Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Possessed Recuperatio
0
Suka
347
Dibaca

Gereja Baptis Emanuel berdiri sederhana di tepi jalan desa yang sepi. Bangunannya tidak megah, hanya bercat putih kusam dengan atap seng merah yang mulai memudar. Jumlah jemaatnya tidak banyak, paling banyak dua ratus orang, dan sebagian besar adalah petani atau pedagang kecil di Kota M.

Di belakang gereja itu, berdirilah sebuah rumah kayu sederhana. Rumah itu jadi tempat tinggal Pendeta Yesaya, seorang pria berusia awal empat puluhan, berwajah teduh dengan garis senyum yang hangat. Rambutnya sudah mulai beruban, tapi matanya masih penuh semangat setiap kali ia memimpin kebaktian.

Yesaya tinggal bersama istrinya, Abigail, seorang perempuan lembut yang sehari-hari mengajar Sekolah Minggu dan kadang memasak untuk anak-anak yatim di sekitar gereja. Mereka punya seorang putra, Ayub, berusia sebelas tahun, polos dan penuh rasa ingin tahu. Ayub sering terlihat berlarian di halaman gereja dengan celana pendek dan bola plastik yang warnanya sudah pudar.

Pagi-pagi, sebelum matahari naik tinggi, kehidupan di rumah kecil itu sudah terasa hangat. Abigail sibuk di dapur, menyiapkan roti bakar sederhana dan teh panas. Ayub duduk di meja kayu kecil, masih setengah mengantuk sambil menggambar salib di buku tulisnya.

Yesaya duduk di kursi butut dekat jendela, Alkitab terbuka di pangkuannya. Ia membacakan ayat pelan-pelan, suaranya rendah tapi jelas: “Tetapi orang yang menantikan Tuhan mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya...”

Ayub mendongak, suaranya lirih, “Ayah, kenapa rajawali?”

Yesaya tersenyum, mengusap kepala anaknya.

“Karena rajawali kuat, nak. Dia terbang tinggi, tidak mudah jatuh. Tuhan ingin kita seperti itu, punya iman yang kuat.”

Abigail ikut tersenyum dari dapur. Bagi mereka, pagi selalu diawali dengan doa singkat, lalu sarapan bersama. Kehidupan keluarga kecil itu sederhana, tapi iman mereka teguh.

Hari-hari Yesaya dipenuhi dengan pelayanan kecil;

Menengok jemaat yang sakit, membantu seorang janda memperbaiki atap rumah, mengajar remaja gereja untuk main gitar dan menyanyi pujian.

Malam hari, ia sering duduk di ruang tamu dengan segelas kopi, mencatat rencana khotbah minggu depan.

Ayub selalu ikut, duduk di lantai sambil menggambar salib, burung merpati, atau bahkan gereja kecil mereka.

Kadang, suara lonceng dari Pastori Santo Michael (bekas mess suster yang kini jadi asrama frater dan biarawati) terdengar dari kejauhan. Letaknya hanya sekitar satu kilometer dari Gereja Baptis Emanuel. Setiap kali lonceng itu berdentang, Yesaya sering terdiam sejenak. Ada semacam rasa hormat—juga sedikit misteri—yang menyelimuti setiap dentangannya.

Abigail pernah sekali bertanya, “Mas, kau percaya... tempat itu masih ada sesuatu yang mengganggu?”

Yesaya menghela napas panjang, menutup Alkitabnya.

“Entahlah, Abigail. Kita jalani pelayanan kita saja. Kalau ada badai di sana, biarlah Tuhan sendiri yang menenangkan.”

Ayub, yang mendengar obrolan itu, menatap dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.

“Tempat apa, Bu?”

Abigail buru-buru tersenyum, “Bukan apa-apa, nak. Sudah, habiskan rotimu.”

Tapi di mata Ayub, ada pertanyaan yang menggantung. Anak kecil itu sering penasaran pada gedung tua yang tampak dari kejauhan. Kadang ia melihat burung gagak berputar di atasnya. Kadang pula, saat melewati jalan setapak yang menuju pastori, ia merasa udara jadi lebih dingin.

Namun, bagi keluarga kecil itu, hidup tetap berjalan. Kehidupan mereka tenang, doa mereka konsisten, dan kasih mereka nyata. Jemaat mencintai Pendeta Yesaya karena kerendahan hatinya. Abigail disayang anak-anak karena kelembutannya. Dan Ayub... jadi cahaya kecil yang membuat rumah sederhana itu penuh tawa.

Mereka tidak tahu, bahwa kedamaian yang mereka nikmati hanyalah ketenangan sebelum badai.

...

Embun masih menggantung di ujung dedaunan. Jalan kecil beraspal setengah rusak yang membentang di belakang Pas­tori Santo Mikael terlihat lengang, hanya suara ayam jantan sesekali memecah keheningan. Pendeta Yesaya berlari kecil, napasnya naik turun teratur. Keringat mulai membasahi kaus tipis yang menempel di tubuhnya, sementara sepatu olahraganya sesekali menendang kerikil yang melesat ke pinggir jalan.

Rutinitas pagi seperti ini selalu menjadi bagian dari hidupnya. Selain menjaga kesehatan, lari pagi baginya semacam meditasi: setiap langkah adalah doa, setiap tarikan napas adalah pengingat bahwa hidup adalah karunia. Ia tahu bahwa tidak semua jemaatnya paham kenapa pendetanya suka lari pagi, tapi Yesaya percaya tubuh dan roh harus dijaga sama-sama.

Begitu sampai di dekat halaman pastori, langkahnya melambat. Dari kejauhan, ia melihat sosok mengenakan jubah hitam sederhana, membungkuk di antara pot-pot anggrek tua yang berjajar rapi. Sosok itu tampak tenang, tangannya menuangkan air perlahan seolah sedang merawat sesuatu yang rapuh.

Yesaya tersenyum kecil. Ia mengenal sosok itu—Pastor Rafael.

“Selamat pagi, Romo,” sapa Yesaya dengan suara setengah terengah.

Rafael menoleh, kaget sebentar, lalu bibirnya melengkung tipis. “Pagi juga, Pendeta. Sudah jauh larinya?”

Yesaya tertawa pendek, duduk di bangku kayu yang ada di tepi taman. “Baru tiga putaran. Cukup untuk orang setengah tua seperti saya.”

Rafael tersenyum, kembali menunduk ke anggreknya. “Bunga ini tidak pernah bohong, Pendeta. Kalau kau rawat dengan hati tenang, dia mekar indah. Kalau hatimu penuh resah, daunnya akan layu meski kau siram tiap hari.”

Yesaya menatap sejenak bunga putih itu. Kata-kata Rafael menggema di kepalanya, seperti nasihat yang terdengar sederhana tapi menyentuh bagian paling dalam dari hati.

Percakapan berlanjut ke hal-hal ringan: jemaat, cuaca, harga sembako yang makin naik. Namun perlahan, Rafael menaruh gayung penyiram bunga, lalu duduk di samping Yesaya. Pandangannya kosong, menembus udara pagi yang masih dingin.

“Pendeta Yesaya…” suara Rafael rendah, nyaris seperti bisikan. “Bolehkah aku menanyakan sesuatu yang… tidak biasa?”

“Yesus sendiri mengajarkan kita untuk saling berbagi beban,” jawab Yesaya, mencoba ringan. “Silakan.”

Rafael menghela napas, jemarinya saling mengait, menekan erat. “Apakah… engkau pernah berhadapan dengan roh jahat? Bukan sekadar mendengar, tapi benar-benar berdiri di hadapannya?”

Yesaya terdiam. Hanya detik-detik sunyi yang menjawab. Dari jauh, suara kendaraan sesekali lewat, tapi terasa begitu jauh dari dunia kecil mereka berdua. Pandangan Yesaya jatuh pada tanah lembap di bawah kakinya, lalu perlahan mengangkat kepala.

“Aku pernah,” katanya lirih. “Dan itu bukan kenangan yang bisa aku banggakan.”

Rafael menoleh, menunggu.

Yesaya menarik napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian. “Waktu itu aku masih muda, Pendeta jemaat baru di Surabaya. Semangatku menggebu-gebu, imanku menyala. Aku merasa bisa menaklukkan apapun dengan doa dan keyakinan.”

Ia berhenti sebentar, bibirnya gemetar. “Ada sebuah keluarga yang datang padaku, panik. Anak gadis mereka, Michelle, enam belas tahun, tiba-tiba berubah. Ia menjerit tanpa sebab, matanya kosong, tubuhnya kejang. Dokter tak menemukan apa-apa. Mereka bilang padaku: ‘Pak Pendeta, ini kerasukan.’”

Yesaya menutup mata, mengingat detail itu. “Aku… terlalu percaya diri. Aku pikir, bukankah Yesus memberikan kuasa kepada murid-murid-Nya? Bukankah nama-Nya lebih tinggi dari roh apapun? Maka aku datang ke rumah itu, membawa Alkitab, minyak urapan, dan iman yang kupikir cukup.”

Rafael menelan ludah, mendengarkan tanpa berkomentar.

“Malam itu, Michelle diikat di kursi. Orang tuanya berdoa keras-keras di sudut ruangan. Aku membaca ayat demi ayat, kuperintahkan roh itu pergi. Awalnya dia hanya menjerit, tapi kemudian tubuhnya menghentak begitu kuat hingga kursi bergetar. Matanya menatapku… bukan mata seorang gadis, Romo. Itu mata penuh kebencian.”

Yesaya menggenggam lututnya erat. “Aku terus berdoa. Tapi tiba-tiba… tubuhnya jatuh, kejang-kejang. Aku mencoba menolong, tapi… napasnya berhenti. Michelle meninggal di hadapanku. Gadis enam belas tahun itu mati.”

Sunyi. Angin pagi seolah berhenti bertiup.

“Saat itu, aku hancur,” suara Yesaya pecah. “Orang tuanya awalnya membelaku. Mereka tahu aku hanya mencoba menolong. Tapi hukum tidak peduli. Aku dituduh lalai, dianggap melakukan malpraktek rohani. Media mencaci, polisi menuduh. Aku dijatuhi lima tahun penjara.”

Rafael menunduk. “Lalu?”

Yesaya menghela napas getir. “Aku tidak menjalani lima tahun penuh. Jemaatku, orang-orang sederhana yang percaya padaku, mengirimkan ratusan surat ke Presiden. Mereka memohon penangguhan. Akhirnya aku bebas setelah kurang dari dua tahun.”

Ia menatap Rafael dengan mata berkaca-kaca. “Tapi kebebasan itu tak menghapus wajah Michelle dari pikiranku. Setiap malam aku melihatnya, setiap kali aku menutup mata, aku mendengar jeritannya. Aku merasa… aku membunuhnya, Romo.”

Rafael tidak langsung menjawab. Ia menatap bunga anggrek di tangannya, lalu berbisik lirih. “Sepertinya kita sama, Pendeta. Aku juga masih dihantui masa lalu. Ada seorang gadis… namanya Angel.”

Yesaya menoleh, diam, tapi wajahnya menunjukkan empati mendalam.

“Kadang aku berpikir…” Rafael melanjutkan, “Tuhan menaruh celah di hati kita bukan untuk dihukum, tapi untuk menguji. Tapi celah itu juga bisa menjadi pintu bagi iblis.”

Keduanya tenggelam dalam diam. Dua hamba Tuhan, dari jalan yang berbeda, duduk berdampingan di bangku kayu tua, dihantui dosa dan luka yang tidak pernah benar-benar sembuh. Di sekitar mereka, pagi tetap indah: burung berkicau, sinar matahari menerobos pepohonan. Tapi di dalam hati mereka, ada bayangan kelam yang terus membayang.

Pagi itu matahari mulai naik tinggi, sinarnya menembus dedaunan dan jatuh lembut ke halaman pastori. Pastor Rafael masih duduk di bangku kayu, sementara Pendeta Yesaya mengusap keringat dari dahinya setelah lari pagi. Suasana hening sebentar, lalu terdengar langkah sepatu mendekat dari arah pintu pastori.

Seorang imam muda muncul, dengan wajah tenang dan senyum ramah. Jubah hitamnya rapi, matanya tajam tapi teduh. Rafael berdiri, lalu memperkenalkan.

“Yesaya, izinkan aku kenalkan—ini Romo Gabriel. Ia baru datang dari Jakarta, ditugaskan sementara di sini untuk membantu pelayanan.”

Yesaya berdiri, menjabat tangan pria itu erat. “Salam kenal, Romo Gabriel. Saya Yesaya, pendeta di Gereja Baptis Emanuel. Jemaat kecil saja, tak sampai dua ratus orang.”

Romo Gabriel tersenyum hangat. “Tapi yang kecil itu sering justru lebih hidup, Pendeta. Jemaat yang sederhana biasanya punya iman yang murni.”

Mereka bertiga lalu duduk bersama. Abigail, istri Yesaya, keluar sebentar dari rumah kecil mereka dan dengan sopan membawa teko teh panas dan beberapa kue kering. Percakapan pun bergulir ringan.

Mereka tidak membicarakan iblis, roh, atau bayang-bayang gelap. Justru sebaliknya: mereka membicarakan pelayanan sehari-hari.

Yesaya bercerita tentang anak-anak sekolah minggu yang suka nakal tapi cepat menghafal ayat. Rafael menimpali dengan cerita para frater di pastori yang suka terlambat bangun misa subuh. Gabriel tertawa sambil menambahkan kisah dari Jakarta—tentang jemaat perkotaan yang sibuk kerja tapi tetap rela datang misa meski harus melawan macet.

Suasana cair, penuh canda kecil. Seolah-olah luka masa lalu dan beban berat yang mereka bawa masing-masing tidak ada.

“Kadang saya pikir,” kata Yesaya sambil menyeruput teh, “pelayanan itu bukan soal seberapa besar mimbar kita, tapi seberapa jauh kita bisa menemani umat dalam kesederhanaan mereka.”

Rafael mengangguk setuju. “Benar. Seorang imam, seorang pendeta… kita hanyalah pelayan yang menuntun, bukan pusat dari segalanya.”

“Dan yang paling sulit,” tambah Gabriel, “bukan berkhotbah di depan ratusan orang, tapi hadir ketika hanya ada satu jiwa yang sedang menderita.”

Yesaya tersenyum mendengar itu. Kata-kata sederhana, tapi baginya mengandung kebenaran yang dalam.

Mereka bertiga berbincang hampir satu jam. Sampai akhirnya Yesaya melirik jam tangannya, lalu berdiri pelan.

“Romo Rafael, Romo Gabriel, terima kasih atas waktunya. Saya harus pamit dulu. Ada salah satu jemaat saya, Ibu Sumirah, sedang sakit. Saya janji akan menjenguk dan mendoakannya pagi ini.”

Rafael berdiri, menepuk pundaknya. “Tuhan menyertai pelayananmu, Pendeta.”

Gabriel menambahkan, “Sampaikan salamku juga pada jemaatmu, meski kita berbeda payung gereja, kita tetap saudara di dalam Kristus.”

Yesaya tersenyum tulus. “Amin. Terima kasih. Sampai jumpa lagi.”

Ia melangkah pergi, meninggalkan dua pastor itu di halaman. Dari kejauhan, terlihat punggungnya yang tegap, berjalan menuju kampung dengan langkah mantap. Sinar matahari menyinari jalannya, seolah menegaskan bahwa pagi itu hanyalah milik kedamaian.

Untuk sementara, bayangan kelam tertahan di luar lingkaran percakapan mereka.

...

Siang itu kota M terasa lengang. Matahari menyorot tajam, membuat bayangan bangunan memanjang ke jalanan yang berdebu. Di sebuah Indomaret di pinggir jalan raya, seorang pria berkacamata dengan jubah hitam sederhana baru saja masuk. Ia mengambil sebungkus rokok dari rak kaca dekat kasir — kebiasaan lama yang tak juga bisa ditinggalkannya.

Sambil menghitung receh, ia merasa ada tatapan dari belakang.

“Lho… ini kan… Bimo? Bimo Kumboro?”

Rafael sontak menoleh. Ia membeku sejenak, lalu matanya membesar. Wajah itu, meski sudah ditumbuhi janggut tipis dan mulai berumur, masih jelas sekali. Ia mengenalinya.

“Faisal? Astaga… Faisal!”

Mereka tertawa keras, berpelukan di depan kasir hingga membuat pegawai Indomaret melirik keheranan. Dua sahabat lama yang sudah lebih dari 20 tahun tak bertemu, kini berdiri berhadap-hadapan di tempat paling tak terduga.

Setelah membayar, mereka keluar, lalu duduk di bangku kecil di teras Indomaret. Dua gelas kopi instan panas di tangan mereka, menebarkan uap yang berpadu dengan aroma rokok yang baru dinyalakan Rafael.

“Gila, Bim… aku nyangka nggak bakal ketemu kamu lagi,” kata Faisal sambil mengisap rokok yang ditawarkan Rafael. “Aku pikir kamu entah ke mana setelah lulus SMA. Ternyata kamu di sini juga.”

Rafael tersenyum tipis. “Sekarang aku bukan Bimo lagi, Sal. Aku sudah lama dibaptis… namaku Rafael sekarang. Tapi untukmu, panggil saja aku Bimo. Rasanya hangat dengar nama itu lagi.”

Faisal tergelak, menepuk bahunya. “Ya Tuhan, tetap saja kau Bimo di mataku. Anak nakal yang dulu suka nyolong mangga di kebun Pak Jatmiko.”

Rafael ikut tertawa, menghembuskan asap rokok. “Dan kau yang sering aku ajak mandi kali sampai dimarahi orang tuamu. Kita benar-benar bandel waktu itu.”

Obrolan pun mengalir deras. Mereka mengenang masa lalu: layangan yang putus dan bikin mereka kejar-kejaran di sawah, malam-malam nongkrong di pos ronda, sampai cerita cinta monyet yang dulu jadi bahan ejekan teman-teman.

Sambil menyeruput kopi murah, Faisal lalu berkata, “Sekarang aku tinggal di kota M, Bim. Dapat istri orang sini, jadi sekalian jadi guru ngaji juga. Jemaatku kecil, paling anak-anak kampung belajar iqro sore hari. Hidup sederhana, tapi cukup bikin tenang.”

Rafael tersenyum samar. “Aku juga di sini. Pastori Santo Mikael. Sudah lama tidak pulang kampung, jadi kota ini semacam rumah kedua bagiku.”

“Ohh… itu gereja tua di ujung jalan? Yang katanya sudah lama ditutup itu?” Faisal mengangkat alis.

Ekspresi Rafael seketika berubah kaku, meski ia berusaha tetap tersenyum. “Ya, gereja itu. Ada alasannya kenapa disegel. Tapi… mungkin bukan cerita yang cocok sambil minum kopi.”

Faisal mengangguk, tidak mendesak. “Aku paham. Beberapa hal memang lebih baik dibiarkan misteri.”

Keduanya kembali terdiam sejenak. Hanya suara lalu-lalang motor dan tawa anak-anak kecil yang baru pulang sekolah yang terdengar di jalan.

Akhirnya Rafael menyalakan rokok kedua. “Sal, jujur saja… aku nggak nyangka bisa ketemu kau di sini. Rasanya aneh, seperti balik ke masa kecil. Tuhan memang suka bikin kejutan.”

Faisal tersenyum hangat. “Betul, Bim. Mungkin memang ada maksudnya kita dipertemukan lagi. Nanti mainlah ke rumahku. Istriku senang kalau ada tamu. Dan aku juga ingin kau lihat bagaimana hidupku sekarang.”

“Dengan senang hati.”

Mereka berjabat tangan erat, kali ini lebih lambat, penuh makna. Lalu berpisah, masing-masing membawa kenangan lama yang membuat dada hangat—sejenak melupakan beban berat yang membayangi Rafael sebagai Pastor.

Sore itu, langit kota M berwarna jingga, matahari mulai turun perlahan di balik pepohonan bambu yang berjejer di pinggir jalan. Udara terasa lebih sejuk, ditambah suara azan magrib dari mushola kampung yang samar-samar terdengar. Rafael, dengan jubah hitamnya yang sederhana, berjalan perlahan menuju rumah Faisal.

Rumah itu berada di gang kecil, tidak jauh dari pasar tradisional. Cat dindingnya putih gading dengan pintu kayu sederhana. Ada rak sandal di depan, dan beberapa pot bunga kecil berjejer di teras.

Faisal yang baru saja pulang dari masjid sudah menunggunya. Begitu melihat Rafael, ia tersenyum lebar.

“Bim! Eh, maaf, Romo Rafael. Ayo masuk, ayo…”

Rafael tersenyum, mengangguk sopan. “Bimo saja, Sal. Aku merasa lebih ringan kalau dengar namaku itu lagi.”

Dari dalam rumah, seorang perempuan muda keluar dengan senyum hangat. Berkerudung sederhana, wajahnya lembut dan ramah.

“Ini istri saya, Zahra,” kata Faisal memperkenalkan. “Zah, ini teman lamaku, dulu satu kampung, sekarang jadi Pastor.”

Zahra tersenyum, lalu mengangguk penuh hormat. “Selamat datang, Romo. Anggap saja rumah sendiri.”

Rafael menjabat tangan Zahra sebentar, lalu masuk. Rumah itu sederhana, tapi terasa hangat. Ada rak buku berisi kitab-kitab agama, beberapa foto keluarga, dan aroma teh manis yang baru saja diseduh memenuhi ruangan.

Mereka bertiga duduk di ruang tamu. Zahra membawa teh panas dan pisang goreng hangat. Rafael mengangkat gelasnya, menyeruput perlahan. Hangat teh dan renyahnya gorengan membuatnya sejenak lupa pada beban pikiran yang selama ini menekannya.

“Wah, Sal… ini rasanya seperti pulang kampung. Duduk di rumahmu, ngobrol sama kamu, dan makan gorengan. Aku hampir lupa rasanya.”

Faisal tertawa kecil. “Kamu ini, Bim. Lihat kamu sekarang… jubah hitam, rokok tetap nggak bisa ditinggal, tapi masih saja kelihatan anak kampungku yang dulu.”

Zahra menyimak sambil tersenyum. Ia sesekali menimpali, tapi lebih banyak mendengarkan dua sahabat lama itu bercerita. Obrolan mereka meluas ke masa lalu: tentang guru SD yang galak, tentang lomba layangan antar kampung, tentang malam-malam mereka tidur di pos ronda.

Namun, perlahan, obrolan mulai bergeser. Faisal menatap Rafael serius.

“Bim… aku dengar orang-orang kampung sini masih suka bisik-bisik tentang gereja tua itu. Katanya… angker. Ada yang bilang orang hilang di sana. Aku tahu, kamu nggak bisa cerita banyak. Tapi… jujur, aku khawatir.”

Rafael terdiam. Tangannya meremas gelas teh yang hampir kosong. Senyumnya memudar.

“Kau benar, Sal. Ada hal-hal… yang memang lebih baik tidak disentuh. Gereja itu disegel, dan sebaiknya tetap begitu. Aku hanya bisa bilang… jangan pernah biarkan rasa penasaran membuatmu mendekat ke sana.”

Faisal mengangguk pelan. “Aku paham, Bim. Tenang saja. Aku cuma khawatir sama warga sekitar, apalagi anak-anak muda sekarang. Mereka gampang penasaran.”

Keheningan singkat menyelimuti ruangan. Zahra lalu memecahkannya dengan suara lembut.

“Kalau Tuhan mempertemukan kalian lagi setelah sekian lama, pasti ada maksudnya. Entah untuk saling menguatkan, atau saling mengingatkan.”

Rafael menatap Zahra, lalu menoleh ke Faisal. Ada senyum tipis di wajahnya, tapi matanya memantulkan sesuatu yang dalam—seperti ada beban yang belum selesai.

“Mungkin kau benar, Zahra. Mungkin pertemuan ini bukan kebetulan.”

Malam semakin larut. Rafael akhirnya pamit. Faisal mengantarnya sampai ke depan rumah. Mereka berdiri sebentar di teras, ditemani suara jangkrik yang riuh.

“Sal,” kata Rafael perlahan. “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Tapi aku senang kita dipertemukan lagi. Jika suatu hari aku butuh sahabat untuk sekadar duduk dan tertawa, aku tahu harus datang ke mana.”

Faisal menepuk bahunya dengan erat. “Ingat, Bim… meski jalan kita berbeda, tapi kita tetap satu kampung, satu darah. Kau saudara bagiku.”

Rafael mengangguk, lalu melangkah pergi. Dalam hatinya, ada sesuatu yang terasa lebih ringan malam itu—meski ia tahu, bayangan gelap yang mengintai di balik gereja tua itu belum selesai.

Malam itu, udara di halaman pastori begitu tenang. Dari kejauhan, lampu gantung di teras memantulkan cahaya kekuningan ke tanah basah. Rafael baru saja kembali dari singgah sejenak di Indomaret, kantong plastik berisi roti tawar dan sebungkus rokok masih di tangannya.

Saat membuka pintu, ia mendengar suara samar dari ruang tamu. Bukan hanya suara Romo Gabriel, tetapi ada suara lain—dalam, berat, namun penuh keteduhan. Rafael mengenalinya. Itu suara Pendeta Yesaya.

Ia melangkah masuk. Benar, di ruang tamu sederhana itu, Romo Gabriel duduk dengan rapi di kursi samping jendela, sementara Yesaya ada di depannya, mengenakan kemeja putih sederhana. Di meja kayu ada teko teh dan tiga cangkir.

Rafael tersenyum lebar. “Oh, ternyata kita ada tamu malam ini.”

“Yesaya baru saja datang,” ujar Gabriel dengan nada hangat. “Kami sedang berbincang.”

Rafael meletakkan kantong plastik di meja, lalu duduk di kursi kosong. “Senang melihatmu, Pendeta. Bagaimana kabar jemaatmu?”

“Yesaya mengangguk pelan. “Baik, puji Tuhan. Jemaat kami kecil, tidak sampai dua ratus orang, tapi penuh kasih. Itu sudah cukup membuat hati kami bersyukur.”

Mereka berbicara ringan. Tentang pelayanan, tentang kesibukan, tentang betapa sulitnya menata hati jemaat di zaman yang serba cepat ini. Ada tawa kecil di antara mereka, ada senyum yang tulus.

Namun, pelan-pelan, arah percakapan berubah. Yesaya menunduk, menatap tas lusuh di samping kursinya. Tangannya ragu, lalu menarik keluar sebuah buku catatan tebal dengan sampul kulit hitam yang sudah usang.

“Aku tidak tahu kenapa,” katanya pelan. “Tapi aku merasa harus membawa ini malam ini. Dan… aku merasa harus menunjukkannya pada kalian.”

Rafael dan Gabriel saling bertukar pandang.

Yesaya membuka halaman pertama. Tulisan tangannya rapi, penuh catatan ayat Alkitab dan tanggal-tanggal. Ia mulai membaca.

“8 Januari 2007. Kasus pertama. Seorang pemuda kerasukan setelah bermain jalangkung. Doa puasa tiga hari. Pengakuan iman. Roh jahat pergi, pemuda itu pulih.”

Ia menutup sebentar, menghela napas panjang. “Waktu itu aku muda, penuh semangat. Kupikir aku menang. Tapi aku salah. Aku hanya alat.”

Rafael mengangguk, tenang. “Ya… kita semua hanya alat.”

Halaman lain dibuka. Suara Yesaya bergetar. “13 Mei 2009. Gadis enam belas tahun, Michelle. Kerasukan setelah mengikuti ritual tertentu. Kami doakan berhari-hari. Tapi tubuhnya melemah. Ia meninggal di pelukanku.” Ia terdiam, menutup mata sejenak. “Aku dipenjara. Dituduh pembunuh. Tapi yang lebih berat… wajah gadis itu. Sampai sekarang, aku masih melihatnya.”

Rafael terdiam. Hatinya tercekat. Ia tahu persis apa artinya dihantui rasa bersalah.

Gabriel menyela dengan nada tegas, tapi penuh kasih. “Rasa bersalah adalah senjata setan. Tuhan memberi pengampunan, bukan jerat. Luka itu nyata, tapi jangan biarkan iblis memeliharanya.”

Yesaya terdiam. Ia menghela napas panjang, lalu membuka halaman lain. Doa-doa, ayat-ayat, catatan pengalaman eksorsisme ia bacakan. Tentang doa puasa, pengakuan iman, mazmur pengusiran.

Gabriel mendengarkan dengan serius, sesekali menulis catatan kecil. “Menarik. Dalam Katolik, ada ritus mirip: doa St. Michael, litani para santo, exorcismus minor. Bentuknya berbeda, tapi roh peperangannya sama.”

Rafael menatap Yesaya. “Walau jalan kita berbeda, aku percaya kita berdiri di sisi yang sama.”

Yesaya tersenyum tipis. “Itu sebabnya aku bawa ini. Aku sudah menyalinnya.” Ia menyodorkan map berisi salinan jurnal itu ke arah Gabriel.

Gabriel menerimanya dengan hormat. “Terima kasih. Aku akan membacanya dengan doa.”

Malam itu berlanjut dengan percakapan panjang. Mereka membandingkan iman, doa, luka, dan harapan. Bukan tentang perbedaan, tapi tentang keberanian untuk melawan kegelapan.

Akhirnya, Yesaya menutup dengan doa sederhana: “Tuhan, pakailah kami yang lemah.” Gabriel menambahkan doa Katolik, dan Rafael menutup dengan Pater Noster dalam bahasa Latin.

Tiga suara berbeda, tapi satu arah.

Malam itu, di ruang kecil pastori, tiga pelayan Tuhan menyatukan langkah.

Dan tanpa mereka sadari, bayangan yang sejak lama menunggu di balik segel gereja tua, ikut bergetar.

Romo Gabriel duduk di meja kayu kecil di kamarnya. Lampu meja kuning redup menyinari tumpukan salinan jurnal yang baru saja diberikan Yesaya. Halamannya penuh dengan catatan tangan, doa, bahkan beberapa coretan tergesa—jejak pergumulan batin seorang gembala.

Ia membuka halaman pertama. Matanya menelusuri kalimat demi kalimat, sesekali bibirnya berbisik, membaca potongan ayat. “Efesus 6:12… pertempuran kita bukan melawan darah dan daging…” Gabriel mendesah pelan, lalu melanjutkan membaca.

Di ruang tamu, Rafael belum tidur. Ia menuang teh sisa ke dalam cangkir, mencoba menenangkan hati. Ketika melihat cahaya lampu dari kamar Gabriel masih menyala, ia menghampiri.

“Belum tidur juga?” tanya Rafael sambil mengetuk pintu.

Gabriel mendongak. “Tidak bisa berhenti membaca, Romo. Catatan ini… meskipun dari perspektif Protestan, ada kedalaman rohani yang kuat. Aku merasa ini bukan sekadar pengalaman Yesaya, tapi peringatan untuk kita.”

Rafael masuk, duduk di kursi dekat ranjang. “Apa yang paling membuatmu terpikir?”

Gabriel mengangkat satu lembar, menunjukkannya. “Kasus Michelle. Gadis muda itu. Bagaimana ia meninggal di tengah doa. Yesaya menuliskan detail: teriakan, tubuh yang kejang, lalu napas terakhir. Dan setelah itu, bayangan gadis itu terus muncul di mimpinya. Kau tahu, Rafael… ini mirip dengan apa yang disebut obsessio, roh yang menjerat lewat rasa bersalah.”

Rafael terdiam. Kata-kata itu menusuk. Ia sendiri tahu persis apa artinya dihantui masa lalu. Wajah Angel masih sering muncul dalam mimpinya, sama jelasnya seperti hari-hari ketika mereka remaja.

Gabriel menatapnya lekat. “Aku tahu, kau juga punya luka. Jangan biarkan itu jadi celah.”

Rafael menunduk, menatap kedua tangannya yang gemetar samar. “Kadang aku merasa… doa-doa Latin yang kuucapkan hanya berhenti di bibir, tidak menyentuh hatiku. Luka itu… masih berdarah.”

Gabriel menepuk bahunya. “Maka kita belajar bersama. Jurnal ini… bisa jadi kunci. Kita harus siap, Rafael. Gereja itu belum selesai bicara.”

Sementara itu, di luar pastori, Pendeta Yesaya berjalan pulang sendirian. Udara malam menusuk dingin, jalan kampung sepi, hanya suara jangkrik bersahutan. Langkah kakinya menapak pelan di aspal yang basah oleh embun.

Ia memeluk Alkitab kecil di tangannya, kebiasaan lamanya setiap pulang malam setelah pelayanan.

Namun, saat melewati persimpangan, matanya terpaku pada bangunan tua di kejauhan: Gereja Santo Mikael. Meski sudah disegel, bayang-bayang gedung itu tetap menjulang, dindingnya gelap, jendela-jendela besar seperti mata mati yang menatap siapa saja yang lewat.

Yesaya menelan ludah. Ia mempercepat langkah, tapi tiba-tiba…

“...Sa…ya…”

Suara itu lirih, nyaris tertiup angin. Tapi jelas, sangat jelas.

Yesaya berhenti. Jantungnya berdentum. Ia menoleh ke arah gereja. Tidak ada siapa-siapa. Hanya pohon-pohon tua dan bangunan bisu.

Ia menegakkan bahu, berusaha menepis. “Itu cuma pikiranmu, Yesaya. Jangan bodoh.” Ia melanjutkan langkah.

Namun suara itu datang lagi, kali ini lebih jelas. Suara seorang gadis.

“Pendeta… tolong aku…”

Yesaya berhenti mendadak. Itu suara yang ia kenal. Suara yang sudah bertahun-tahun menghantuinya. Suara Michelle.

Dadanya bergemuruh. Ingatan lama menyeruak—sorot mata Michelle, tubuhnya yang kejang di pelukan Yesaya, jeritan terakhir sebelum sunyi. Luka itu belum pernah sembuh.

Matanya menatap lekat ke arah gereja. Entah mengapa, ia merasa bayangan tipis seorang gadis berdiri di balik jendela kaca besar yang retak. Rambutnya panjang, wajahnya pucat. Bibirnya bergerak-gerak, meski dari jauh tak terdengar.

“Yesaya…”

Tubuh pendeta itu gemetar. Lututnya lemas. Ia ingin berlari, tapi kakinya seperti tertambat. Hanya bibirnya yang bisa bergerak, berdoa terbata:

“Tuhan Yesus, kasihanilah aku… lindungi aku…”

Namun suara itu terus memanggil, semakin memohon, semakin menusuk rasa bersalah di hatinya.

Langkahnya mundur perlahan, hingga akhirnya ia berhasil berbalik dan setengah berlari menjauh. Nafasnya memburu, keringat dingin membasahi tengkuk.

Tapi sebelum tikungan terakhir, telinganya kembali menangkap bisikan, kali ini jelas, tajam, menusuk seperti pisau:

“Pendeta… kau sudah membiarkan aku mati. Sekarang… jangan biarkan aku sendirian lagi…”

Yesaya berhenti. Air matanya menetes tanpa ia sadari. Ia menatap kosong ke depan, sementara suaranya pecah:

“Michelle…”

Angin malam berhembus kencang, membawa daun-daun kering berputar di sekelilingnya. Dari arah gereja, samar-samar terdengar suara ketukan… tiga kali… keras… seperti seseorang dari dalam yang ingin keluar.

Yesaya berlari sekuat tenaga, meninggalkan bayangan gereja Santo Mikael yang makin mencekam di belakang. Nafasnya terengah, kakinya gemetar, tapi ia memaksa terus sampai akhirnya tiba di rumah sederhana di belakang gereja Baptis Emanuel.

Abigail yang sedang merapikan Alkitab di meja ruang tamu terkejut melihat suaminya masuk dengan wajah pucat.

“Ya Tuhan, Mas… kenapa wajahmu seperti itu?” tanyanya cemas.

Yesaya tak menjawab. Ia hanya meletakkan Alkitab yang tadi ia peluk erat di meja, lalu langsung menuju kamar mandi. Air mengalir deras, ia merendam wajahnya, membiarkan tubuhnya basah kuyup seolah hendak mencuci bersih semua ketakutan yang menempel.

Tapi suara itu… masih terngiang di telinganya.

"Pendeta… tolong aku…"

Yesaya menutup telinganya, menggigil. “Itu hanya ilusi… hanya ilusi,” gumamnya berulang-ulang.

Setelah mandi, ia mengganti pakaian, lalu masuk ke ruang kerjanya. Lilin ia nyalakan, dan ia berlutut di depan kursi.

Doanya tak berhenti. Tangannya bergetar memegang Alkitab yang sudah usang di tepiannya. Dari bibirnya keluar doa silih berganti—mazmur penghiburan, doa pengakuan, dan tangisan yang pecah di tengah malam.

“Ya Tuhan Yesus… aku ini hanya hamba-Mu yang lemah. Ampuni aku… jangan biarkan rasa bersalah ini jadi celah iblis. Lindungi keluargaku, lindungi jemaatku…”

Air matanya menetes membasahi halaman kitab. Abigail berdiri di pintu, tak sanggup melihat suaminya berdoa sambil tersedu, tapi ia tahu, ini pergumulan yang tak bisa ia campuri. Ia hanya ikut berlutut diam-diam di belakang Yesaya, menopang dengan doa hening.

Malam itu terasa panjang. Jam demi jam lewat, tapi Yesaya tak beranjak dari doa. Hanya berganti posisi—kadang berlutut, kadang duduk, kadang rebah di lantai dengan wajah menempel tanah.

Setiap kali suara Michelle kembali berbisik di telinganya, ia membalas dengan ayat:

“Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku.” (Mazmur 23:4)

Ketakutan itu masih ada, rasa bersalah itu masih menggenggam, tapi ia memilih untuk terus bertahan dalam doa.

Menjelang fajar, tubuhnya lunglai. Kelopak matanya berat, tapi hatinya terasa sedikit lebih lega. Meskipun masih dihantui, ia tahu satu hal: selama ia berpegang pada Kristus, ia belum sepenuhnya kalah.

...

Romo Rafael menutup pintu dengan perlahan, menghela napas lega. Tetapi ia sadar bahwa sahabatnya, Romo Gabriel, masih duduk di ruang tamu dengan sebuah benda di tangan. Benda itu sederhana: sebuah buku lusuh, kulitnya pecah-pecah, warnanya kecokelatan, dengan beberapa halaman yang sudah mulai robek di tepinya. Itu bukan sembarang buku. Itu adalah jurnal pengusiran roh milik Pendeta Yesaya—catatan yang ditulis dengan tinta keringat, air mata, doa, dan ketakutan.

Rafael memandang sahabatnya. “Kau serius mau membaca itu sekarang, Gabriel?” suaranya rendah, setengah berbisik, seakan takut tembok tua pastori ikut mendengar.

Gabriel tidak segera menjawab. Ia membuka sampul usang itu, dan aroma kertas lembap bercampur bau tinta tua menyeruak. Di halaman pertama hanya ada sebuah kalimat, ditulis dengan huruf besar-besar, tinta hitam yang sudah sedikit pudar;

“Roh melawan roh, daging tidak punya kuasa.”

Gabriel membaca kalimat itu berulang kali. Ia tahu, ini bukan sembarang semboyan. Ini adalah prinsip, pengakuan iman seorang pendeta muda yang waktu itu mungkin masih terbakar semangat pelayanan, tanpa tahu betapa kerasnya benturan dengan kuasa kegelapan.

“Rafael,” akhirnya Gabriel membuka suara, matanya masih terpaku pada halaman itu, “aku sudah banyak membaca literatur tentang eksorsisme. Teologi Katolik punya tradisinya sendiri yang panjang. Tapi… ada sesuatu di sini, dari nada tulisan Yesaya, yang terasa sangat… pribadi. Bukan teori, bukan dogma. Ini pengalaman darah dan daging.”

Rafael mengangguk, berjalan mendekat, lalu duduk di kursi seberang. “Ya. Dan pengalaman pribadi itulah yang membuatnya hampir hancur.”

Halaman demi halaman dibuka Gabriel. Tulisan tangan Yesaya agak terburu-buru, kadang tak rapi, kadang bahkan tinta menetes, seolah ditulis di tengah situasi genting. Ada catatan tentang doa, ayat-ayat Alkitab, bahkan sketsa simbol-simbol salib. Namun di sela-sela itu ada juga deskripsi peristiwa—tubuh seorang gadis 16 tahun bernama Michelle, terikat di kursi, jeritannya, matanya yang mendadak hitam penuh kebencian, kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya.

Gabriel menggenggam buku itu lebih erat. Ia bisa merasakan jantungnya berdetak kencang, seakan ia sendiri ada di ruangan itu, menyaksikan pengusiran yang berakhir tragis. Michelle mati, dan Yesaya dituduh melakukan malpraktik spiritual, bahkan dipenjara karenanya. Luka itu masih terbaca jelas di setiap baris kalimat.

“Gabriel,” Rafael memotong lamunannya, “kau tahu, aku melihat tatapan Yesaya tadi ketika ia menyerahkan buku ini. Itu bukan tatapan seorang pemenang. Itu tatapan seorang prajurit yang pernah kalah, dan luka kekalahannya masih berdarah hingga kini.”

Gabriel menutup jurnal sejenak, menatap Rafael. “Dan itu sebabnya ia memberikannya pada kita. Ia ingin luka itu tidak sia-sia. Ia ingin kita belajar.”

Hening mengisi ruangan. Hanya suara jam dinding tua yang berdetak pelan.

Tetapi entah mengapa, Rafael merasa ada sesuatu yang lain di balik keheningan itu. Seperti ada hawa dingin merambat pelan dari lantai, menjalari kaki, lalu naik ke tubuh. Ia menoleh ke jendela. Angin pagi semestinya hangat, tapi dedaunan di luar bergoyang pelan seakan digerakkan tangan tak terlihat.

“Apakah kau merasakannya?” Rafael bertanya pelan.

Gabriel mengangkat wajah. “Apa?”

“Dingin ini. Atmosfernya berbeda sejak Yesaya pergi.”

Gabriel terdiam. Ia menutup jurnal rapat-rapat, seolah instingnya tahu ada sesuatu yang ikut terbuka bersama halaman-halaman itu. “Rafael… aku takut jangan-jangan apa yang menempel pada Yesaya dulu, masih mengintai. Dan kita baru saja menarik perhatian.”

Rafael menelan ludah. Ia memang pernah menghadapi kerasukan, doa pelepasan, bahkan fenomena supranatural ringan di paroki-paroki pelosok. Tapi ini… ini berbeda.

Ia menatap patung Santo Mikael di pojok ruangan, lambang kemenangan surga melawan naga purba. Dan entah kenapa, untuk pertama kali setelah sekian lama, Rafael merasa ia benar-benar perlu perlindungan dari malaikat agung itu.

Sementara itu, di tempat lain, Pendeta Yesaya berjalan pulang dengan langkah lebih cepat dari biasanya. Rumahnya tidak jauh, hanya di belakang Gereja Baptis Emanuel. Ia ingin segera sampai, ingin membersihkan diri, lalu berdoa. Pertemuan dengan dua imam Katolik itu membangkitkan banyak hal dalam dirinya. Dan seakan belum cukup, suara dari gereja tua Santo Mikael tadi—suara Michelle—masih terngiang.

Ia menepisnya dengan doa dalam hati, tetapi semakin ditepis, semakin keras suara itu terdengar. “Yesayaaa… kau gagal menyelamatkanku….”

Yesaya menggigil. Ia mempercepat langkah.

Begitu masuk rumah, Abigail menyambut dengan senyum hangat, Ayub berlari kecil memeluk kakinya. Kehangatan keluarga sederhana itu sejenak membuatnya merasa aman. Ia mandi, mengganti pakaian, lalu duduk di meja makan. Sarapan sederhana tersaji: nasi hangat, tempe goreng, sambal terasi, dan teh panas. Abigail menatapnya lembut, seolah tahu suaminya sedang memikul sesuatu yang berat.

Setelah makan, Yesaya masuk ruang doa kecil di rumahnya. Ia menutup pintu, menyalakan lilin, lalu berlutut. Suaranya lirih, namun penuh kuasa: doa peperangan roh. Ia memanggil nama Tuhan, mengikat kuasa gelap, menolak segala bisikan yang mencoba merongrong.

Dan di tengah doa itulah sesuatu terjadi.

Rak buku tua di sudut ruangan berderit pelan. Sebuah file usang, berbentuk diary tipis, jatuh ke lantai. Yesaya tersentak, membuka matanya. Ia mengenali benda itu—diary masa mudanya, catatan pribadi, yang sudah lama ia simpan dan jarang disentuh. Tangannya gemetar ketika memungutnya.

Ia membuka halaman pertama. Dan di situ tertulis satu kalimat yang membuat darahnya serasa berhenti mengalir;

“Samael tidak pernah tidur.”

Yesaya memandang kata-kata itu dengan mata melebar. Ia tidak ingat pernah menuliskannya.

Di pastori, Romo Gabriel kembali membuka jurnal Yesaya setelah berdoa singkat dengan Rafael. Ia membaca bagian yang lebih dalam, deskripsi saat Michelle menjerit;

“Dia menyebut nama Samael… bukan sekadar setan kecil. Ini nama besar. Malaikat jatuh yang haus menuntut korban. Aku mendengar suaranya melalui mulut Michelle. Suara itu berat, seperti logam beradu. Ia berkata: Aku tidak akan pergi. Aku sudah menanam benih di sini.”

Gabriel berhenti membaca, wajahnya pucat. Ia menatap Rafael. “Rafael… nama itu. Samael. Kau paham artinya?”

Rafael mengangguk pelan. “Aku tahu. Dalam tradisi Yahudi kuno, Samael disebut sebagai malaikat kematian. Dalam beberapa teks apokrif, ia bahkan digambarkan sebagai lawan berat Mikael. Jika benar roh itu yang dihadapi Yesaya… maka tidak heran Michelle tidak selamat.”

Hening lagi. Tapi hening kali ini jauh lebih berat. Seakan seluruh udara dalam ruangan ikut menahan napas.

Tiba-tiba lampu di ruang tamu berkedip sebentar, lalu kembali stabil. Rafael dan Gabriel saling pandang. Tak ada kata-kata. Tapi mereka tahu, Samael bukan hanya cerita di buku tua. Ia masih ada. Ia masih bangun perlahan.

Dan entah bagaimana, mereka bertiga—Yesaya, Rafael, Gabriel—sudah terseret ke dalam pusaran peperangan roh yang jauh lebih besar dari apa pun yang mereka bayangkan.

...

Siang itu matahari menyengat, tapi angin yang berhembus dari arah sawah memberi sedikit kesejukan. Jalan kecil berdebu menghubungkan kampung ke kota, dan di atas sepeda motornya Faisal melaju perlahan. Ia baru saja menerima kabar bahwa seorang ibu muda bernama Atiqoh mengalami gangguan aneh—bukan sakit biasa. Menurut keluarga, tubuhnya sering mendadak panas seperti terbakar, kadang mulutnya berteriak dengan suara bukan miliknya, bahkan beberapa kali ditemukan benda-benda aneh di halaman rumahnya: pecahan kaca, jarum, dan rambut kusut yang dibungkus tanah.

Faisal menghela napas panjang. Ia sudah sering menangani kasus serupa, ruqyah syar’iyyah yang fokus pada doa-doa Al-Qur’an dan zikir. Tapi setiap kali menghadapi kasus baru, ada beban batin yang ia rasakan. Apalagi kali ini ia diberitahu bahwa penyebab gangguan itu adalah guna-guna santet dari tetangga sendiri. Rasa iri, dengki, yang berubah menjadi kejahatan spiritual.

Motor bebek tuanya bergetar ringan di jalan aspal yang mulai retak-retak. Sesekali Faisal menoleh ke kanan-kiri, menikmati bayangan pepohonan yang jatuh di jalan.

Namun langkahnya terhenti saat melihat sosok yang familiar berjalan di sisi kiri jalan. Seorang pria berkacamata, berkemeja sederhana, dengan sebatang rokok kretek di tangan. Wajahnya teduh, meski matanya menyimpan lelah yang sulit disembunyikan. Faisal refleks mengerem, lalu menepikan motor.

Bimoooo!” serunya.

Pria itu menoleh, “Faisal? … kowe seko endi arep nang endi!” latahnya Rafael menggunakan bahasa Jawa.

Itulah Romo Rafael, teman lamanya sejak masa muda. Namun bagi Faisal, ia tetap “Bimo”, nama panggilan yang sudah melekat sejak mereka sama-sama bocah kampung. Tak peduli kini sahabatnya itu seorang pastor Katolik, bagi Faisal, ia tetap Bimo.

Mereka berjabat tangan erat, lalu saling menepuk bahu. Wajah Faisal sumringah, begitu juga Rafael.

“Apa kabar, Bim?” tanya Faisal sambil mematikan mesin motor.

“Masih begini-begini saja,” jawab Rafael sambil menghembuskan asap rokoknya. “Barusan dari rumah makan Padang. Kau tahu, rendang di sini rasanya masih juara. Kau sendiri?”

“Alhamdulillah baik. Justru aku sedang ada tugas. Ada seorang ibu muda yang terkena gangguan, katanya kena guna-guna.” Faisal menunduk sebentar, lalu menatap sahabatnya. “Kebetulan aku lewat sini, malah ketemu kau. Takdir ini, Bim.”

Rafael tersenyum tipis. “Kau mau ke mana sekarang?”

“Ke rumah Atiqoh, dekat kampung sebelah. Aku diminta meruqyah. Jujur saja, kasusnya agak berat. Kau tahu sendiri, urusan iri hati manusia kalau sudah bercampur dengan setan… bisa jadi rumit.” Faisal menepuk bahu Bimo pelan. “Mau temani aku?”

Rafael menahan sejenak. Baginya, ruqyah adalah tradisi Islam, berbeda dari eksorsisme Katolik. Tapi ia tahu siapa Faisal. Sahabatnya bukan sembarang orang; doa-doanya sering jadi penghiburan bagi banyak orang di kampung. Dan Rafael sadar, apa pun perbedaan mereka, musuhnya tetap sama: kejahatan yang bersembunyi di balik kuasa gelap.

“Aku?” Rafael menunjuk dirinya sendiri, sedikit ragu.

“Ya. Kau hanya perlu menemani. Duduk saja pun tak apa. Aku cuma… merasa lebih kuat kalau ada sahabat lama di sampingku. Kau dengan caramu, aku dengan caraku.”

Rafael terdiam, lalu membuang puntung rokoknya, menginjaknya pelan. “Baiklah, Faisal. Aku ikut. Anggap saja nostalgia masa kecil kita, melawan kenakalan yang lebih besar sekarang.”

Mereka tertawa kecil. Ada rasa hangat yang muncul, seakan waktu tak pernah memisahkan. Faisal memberikan helm cadangan, dan Rafael pun naik ke boncengan. Motor kembali melaju, kali ini berdua.

Sepanjang perjalanan, Faisal bercerita singkat tentang Atiqoh. “Dia masih muda, Bim. Baru punya satu anak, usianya baru tiga tahun. Suaminya kerja di bengkel. Katanya sejak beberapa bulan ini, rumah tangga mereka dirundung masalah aneh. Atiqoh sering sakit tanpa sebab, lalu tiap malam terdengar suara ketukan di genteng, padahal tak ada orang. Dan parahnya, ada tetangga yang terang-terangan berkata: ‘Aku lihat saja berapa lama kau bisa bahagia.’”

Rafael mendengarkan dengan serius. “Kebencian manusia… memang bisa jadi pintu masuk untuk sesuatu yang lebih jahat.”

“Betul,” Faisal mengangguk. “Makanya aku tak bisa menolak. Mereka butuh pertolongan. Dan aku percaya, doa apa pun yang dipanjatkan dengan tulus, Tuhan pasti mendengar.”

Rafael hanya tersenyum tipis. Ada rasa hormat dalam dirinya pada sahabat lamanya ini.

Akhirnya mereka tiba di sebuah rumah sederhana. Di teras, beberapa tetangga sudah berkumpul, wajah mereka penuh rasa ingin tahu. Dari dalam rumah terdengar suara tangisan perempuan—parau, penuh rasa sakit.

Faisal turun lebih dulu, menyapa keluarga Atiqoh. Rafael ikut menundukkan kepala sopan. “Assalamu’alaikum,” ucap Faisal.

“Wa’alaikum salam,” jawab seorang pria muda yang ternyata suami Atiqoh. Wajahnya pucat, matanya merah seperti kurang tidur. “Pak Ustadz, tolonglah istri saya. Kami… kami sudah tak tahu harus bagaimana.”

Faisal menepuk bahunya lembut. “InsyaAllah, Allah akan beri jalan.”

Rafael berdiri di belakang, memperhatikan. Ia melihat sejenak ke dalam rumah: seorang perempuan muda berbaring di kasur tipis, tubuhnya menggeliat gelisah. Matanya setengah terpejam, bibirnya menggumam kata-kata yang tidak jelas. Ada rasa tidak nyaman merambat di dada Rafael—rasa yang sama seperti ketika ia membaca jurnal Yesaya tadi pagi.

Faisal menoleh padanya, memberi isyarat kecil. “Temani aku, Bim.”

Rafael menarik napas dalam. Ia tahu langkah berikutnya bukan sekadar pertemanan biasa. Mereka akan masuk bersama ke dalam medan yang sama: pertempuran roh.

Suara tangisan parau di dalam rumah kecil itu semakin keras ketika Faisal duduk bersila di samping tubuh Atiqoh. Perempuan muda itu berkeringat deras, rambutnya awut-awutan, wajah cantiknya berubah menjadi menyeramkan karena ekspresi beringas yang muncul setiap kali Faisal mulai membaca ayat-ayat ruqyah.

Dua orang lelaki—suami Atiqoh dan pamannya—berusaha keras menahan tubuhnya yang memberontak. Tapi kekuatan yang muncul dari tubuh mungil itu tak masuk akal; ia menendang, menjerit, bahkan beberapa kali hampir melepaskan diri dari pegangan mereka.

Bismillah… Audzubillahi minasy-syaithonir-rojim…” suara Faisal tegas, bergetar tapi penuh keyakinan. Tangannya menempel di ubun-ubun Atiqoh.

Atiqoh menjerit, suaranya berubah berat, seperti suara lelaki tua yang serak. Tiba-tiba ia memuntahkan ludah, tepat mengenai wajah Faisal.

Suami Atiqoh terperanjat, “Astaghfirullah!”

Faisal hanya mengusap wajahnya dengan lengan baju, tetap melanjutkan bacaan tanpa berhenti. “Allahu laa ilaaha illaa huwa al-hayyul qoyyum…

Di sudut ruangan, Rafael duduk tenang, atau tepatnya berusaha tenang. Faisal sebelumnya hanya memintanya untuk menemani, jadi ia memilih diam, berdoa dalam hati dengan cara Katoliknya. Tapi pandangan matanya tajam, mengawasi setiap gerakan roh jahat yang menguasai tubuh Atiqoh.

Suasana semakin panas. Atiqoh mendadak menghentikan jeritannya, lalu matanya terbuka. Menatap lurus—bukan ke Faisal, bukan ke suaminya, tapi ke Rafael.

Bimoooo…” suara itu bukan suara Atiqoh. Itu suara perempuan muda, lembut tapi penuh kebencian.

Rafael membeku. Darahnya seakan berhenti mengalir.

Kau yang membiarkanku mati, Bimo… kau yang meninggalkanku. Karena dosamu, aku hancur. Karena kau, aku terkutuk.

Faisal sempat menoleh heran, tapi tetap melanjutkan bacaannya.

Rafael menggenggam lututnya, tubuhnya menegang. Itu jelas-jelas menyebut Angel. Luka lama yang sudah ia coba kubur dalam-dalam kini dibongkar mentah-mentah di depan semua orang.

Atiqoh tertawa, keras, menggema di ruangan kecil itu. “Bimo, lihat… semua ini salahmu. Kau pendosa. Kau pengecut. Kau tak akan pernah diampuni.

Rafael menunduk, wajahnya pucat. Nafasnya tersengal. Ia ingin tetap diam, ingin menghormati Faisal yang sedang memimpin ruqyah, tapi kata-kata itu seperti racun yang masuk ke dalam hatinya. Luka itu terbuka lagi, lebih besar, lebih sakit dari sebelumnya.

Pamannya dan suami Atiqoh berusaha menahan tubuh perempuan itu yang makin liar. Faisal berusaha lebih keras, suaranya meninggi, “Fa’lam annahu laa ilaaha illallah…

Namun roh jahat itu tak mengindahkan. Ia terus menatap Rafael, seperti tahu kelemahan sahabat Faisal itu.

Rafael akhirnya tak kuat. Ia berdiri, wajahnya merah, tangannya mengepal.

“Cukup!” teriaknya. Semua orang langsung terdiam. Faisal menghentikan bacaannya sejenak, kaget.

Rafael melangkah maju, berdiri tepat di depan Atiqoh yang sedang ditahan. Matanya membara, penuh campuran marah dan putus asa.

Aku tunggu nanti… kau akan kubakar dengan api suci…” suaranya menggema, penuh getaran emosi. Ia menengadah, lalu berteriak dengan lantang, “DALAM NAMA YESUS KRISTUS!

Sejenak suasana beku. Suami Atiqoh melongo, pamannya berhenti menahan, Faisal menatap Rafael dengan kaget yang tak terlukiskan.

Atiqoh—atau lebih tepat roh jahat yang merasukinya—tertawa terbahak-bahak. “Hahaha! Pendosa yang berteriak dengan nama Yesus! Kau pikir Dia mendengarmu? Kau penuh rasa bersalah, Bimo. Kau bukan imam, kau bukan siapa-siapa. Kau hanya luka berjalan!

Semua mata kini tertuju pada Rafael.

Faisal cepat bangkit, menepuk bahu sahabatnya. “Bimo, tenang! Jangan biarkan emosimu jadi celah!” katanya tegas.

Tapi terlambat. Rafael sudah membuka pintu itu—pintu emosinya, pintu dosanya. Dan roh jahat di depan mereka semakin gembira.

Atiqoh menggeliat makin keras, kekuatannya berlipat ganda. Suaminya sampai terlempar ke belakang, pamannya kewalahan. Tawa iblis itu menggema di seluruh ruangan.

Rafael hanya bisa berdiri, dadanya naik turun. Ia sadar semua mata menatapnya—dan ia semakin tak enak hati. Satu kalimat yang ia ucapkan, satu ledakan emosi, telah mengubah seluruh dinamika ruqyah itu. Dan ia tahu… itu baru awal dari bumerang yang akan menghancurkannya lebih dalam.

Rafael masih berdiri di depan Atiqoh, dada bergemuruh, ucapan “dalam nama Yesus” masih menggema di udara. Untuk sedetik ruangan hening, lalu keheningan itu retak seperti kaca. Mata Atiqoh yang tadinya galak penuh kebencian kini melotot lebih luas lagi, dan bibirnya terkatup perlahan — bukan lagi suara perempuan itu, melainkan bisikan serak, berlendir, mengalir keluar seperti arus sungai hitam.

“Bagus… kau marah,” kata suara itu perlahan, seolah bergumam begitu dekat di telinga semua orang. “Marah… itu bau yang manis.”

Tiba-tiba tubuh Atiqoh menjerit sekali, bukan suara biasa — suara itu bergetar di tulang rusuk semua orang. Kepala wanita muda itu menengok cepat ke arah Rafael, dan sesuatu di wajahnya berubah: di dalamnya, bayangan seorang gadis lain berkedip — wajah yang tak asing, namun terdistorsi oleh kebencian.

“Bimo,” suara itu meluluhlantakkan, penuh ejekan. “Kau tak bisa membakar yang sudah dingin. Kau hanya menyiram abu dengan air mata.”

Rafael terpaku. Tangannya masih mengepal, kuku-kukunya memutih. Ada kilas balik di matanya: Angel, tali di pohon serut, malam yang membeku. Rasa bersalah yang selama ini ia coba sembunyikan seperti duri yang dicabut lalu dilempar kembali. Duri itu menancap lebih dalam.

Faisal tak memberi ruang dramatisasi lebih lama. Ia kembali mengangkat suaranya: “Bismillahi, audzubillahi minasy-syaithonirrojim! Ya Allah… keluarkan dia!” Tangannya menekan ubun-ubun Atiqoh lagi, dadanya menggetar mengikuti irama bacaan. Ia memanggil ayat-ayat panjang, suaranya seperti manik-manik yang menaut satu per satu ke langit.

Namun setiap kali Faisal membaca, roh itu menjawab bukan dengan kesakitan, melainkan ejekan. Atiqoh mengangkat tangan lurus, menunjuk ke arah Rafael.

“Kau juga,” bisik roh itu pada semua yang mendengar, “kau berdiri di tanah hangus. Kau memohon pengampunan, tapi tidak menaruhnya di puncak hatimu. Aku masuk lewat celah yang kau panggil ‘weruh’. Aku tidak hanya di tubuhnya; aku menulis namamu di udara.”

Rafael mundur beberapa langkah, melewati kursi. Pandangan matanya mulai kabur, pupil melebar. Ada kilatan sesuatu yang bukan emosional—sebuah pengakuan yang dingin, seperti logika setan yang membalikkan moral: “Kalau aku jatuh, kau ikut terbakar.”

Suami Atiqoh menjerit, hampir lepas pegangan. Pamannya terengah saat tangan Atiqoh melesat, menampar lengan mereka yang menahan — tenaga yang luar biasa. Sesekali Atiqoh menoleh, dan saat itu pula ada kesempatan: ia melontarkan kata yang menohok.

“Dia meninggalkanmu karena dosa, Bimo. Dia menjerit di pohon serut. Kau dengar suara itu? Kau tak layak memimpin. Kau pendosa yang berlagak suci.”

Setiap kata menancap sampai ke sumsum Rafael. Warna wajahnya berubah, bibirnya gemetar. Di matanya, ada konflik — bukan lagi soal iman yang kukuh, tapi perang internal yang menggerogoti. Ia menekan tinjunya hingga kuku memutus darah di telapak tangan, tetapi darah tak terasa; ia tak merasakannya di bawah kulit yang panas.

“Bim, jangan—” Faisal mencoba menghentikannya, suaranya memohon. “Kau harus tetap tenang. Jangan terpancing!”

Namun lidah Rafael kelu dari leher, lalu menjerit satu kata — bukan teriak penyelamatan, melainkan sumpah yang penuh bela diri: “Pergi dari sini! Aku… aku tak mau lagi!” Lalu, sebelum siapa pun bisa bergerak, tubuhnya runtuh seperti orang yang dipukul keras. Ia jatuh ke samping, menabrak kursi, lalu berguling di lantai.

Seketika suasana makin kacau. Pamannya Atiqoh pingsan karena terlalu keras memegang, Faisal segera membalik tubuh Rafael untuk melihat kondisinya—wajah imam itu pucat, keringat dingin membasahi dahinya, napasnya tersengal. Matanya terbuka, namun ada sesuatu yang berbeda: sorotnya kosong, tapi ketika ia berbisik, suaranya bukan lagi suaranya.

“Aku nikmati bau busuk penyesalan. Aku akan menempati lubuk terdalammu.”

Faisal berdiri seperti terpaku; ia bukanlah orang yang mudah panik, namun kata-kata itu membuat bulu kuduknya berdiri. Ia meraih botol kecil air zam-zam yang selalu dibawanya—ia percayai untuk pengobatan rohani di garis depan—dan membasuh dahi Rafael. “Bangun, Bimo—bangun!” ia memohon, mengusap wajah.

Suara yang keluar dari mulut Rafael kini bercampur, seringkali berganti-ganti. Terdengar lamat-lamat kata “Angel… Angel…”, lalu tertawa parau. Lalu sesaat kemudian suara itu menempati nada lain, sindiran: “Tuhan kalian? Tuhan itu jauh. Aku lebih dekat.”

Seseorang di pojok, ibu tetangga, menjerit, “Kami harus hubungi Romo! Romo Gabriel!”

Namun waktu tak berpihak; kerusuhan sudah terjadi. Ia menambah volume zikirnya, menyusun lantunan yang panjang seakan menenun tembok dari kata untuk menutup celah.

Dalam keriuhan itu, Atiqoh melabuhkan pandangan tajam pada Faisal, lalu menumpahkan kata yang membuat darah Faisal ngumpul ke kepala: “Kau hanya tukang baca, cuma kertas yang kau pegang, tapi api ini ada pada kami. Kalian pikir bacaan kalian bisa mengusirku? ”

Faisal tak gentar; ia menegakkan suara, tetapi suaranya kini bergetar. “Dengan izin Allah, aku perintahkan keluar! Dengan nama Allah yang Maha Pengasih—keluarlah!”

Rafael berguling di lantai, tubuhnya kadang kaku seperti orang kejang, kadang melemas. Pada satu saat, ia menatap ke arah pintu dengan mata yang mendidih dendam, lalu tertawa — tapi bukan tertawa manusia. Ia mengucapkan sesuatu dalam bahasa yang tak jelas bagi orang dewasa setempat, bunyi seperti “sa-mael” bila didengar samar oleh telinga Faisal.

Semua hadirin serasa tersentak. Nama itu tak asing di ingatan yang pernah membaca agama dan legenda: Samael — nama yang berat, nama yang seperti batu yang dilempar ke kalbu. Faisal menelan ludah, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menatap Rafael dengan ketakutan baru: jika nama itu disebut dan bercampur dengan darah dosa lama, ini bukan sekadar guna-guna kampung. Ini sudah menyentuh sesuatu yang lebih besar.

Di tengah kekacauan itu, suara Faisal semakin tak henti. Ia memanjatkan doa panjang, mengangkat tangannya, menulis ayat di udara, mengibas-ngibaskan kain putih yang ia bawa. Gerakannya seperti pedang; zikirnya mencipta lapis, menutup ruang satu per satu. Perlahan, ada momen di mana gemuruh di dalam tubuh Atiqoh meredup. Ia mengerang, seperti seekor binatang yang dipukul. Pamannya menahan napas berharap.

Faisal tahu itu saat genting dia tak hanya harus menyelamatkan Atiqoh, tetapi juga menahan agar roh itu tak berpindah ke tubuh yang lain. Ia memandang sekeliling, mencari cara, menajamkan bacaannya sembari meneriakkan nama-nama Allah yang paling lembut hingga paling kuat. Di kepala Faisal, wacana rohani bertemu dengan naluri: mereka harus mengamankan Rafael, memindahkan perhatian roh kembali ke tubuh Atiqoh, sebelum nama-nama yang lebih gelap itu mulai memakan korban lagi.

“Keluar! Keluarlah dari nama Allah, keluar dari ciptaan-Nya! Aku perintahkan kau kembali ke tempat yang kau ambil asal!” tegas Faisal, suaranya tipis tapi tegas seperti besi yang menancap.

Suasana rumah Atiqoh makin mencekam, jeritan demi jeritan bercampur dengan suara doa Faisal yang makin serak. Keringatnya mengucur deras, bajunya basah menempel di tubuh, dan suaranya mulai bergetar. “A’udzubillahi minasy-syaithonir rajim… keluar engkau dari tubuh hamba Allah ini!” teriaknya sambil menekan ubun-ubun Atiqoh.

Di sisi lain, Rafael — atau yang biasa Faisal panggil Bimo — sudah terduduk lemas, matanya setengah terpejam, peluh bercampur dengan debu lantai. Tubuhnya seperti tak lagi mampu menahan dirinya sendiri.

“Ini sudah kelewat batas…” bisik seorang tetangga.

Dan benar saja, dari kejauhan terdengar deru mesin mobil tua. Lampu depan berpendar samar menembus jalan tanah kampung itu. Mobil kijang tua tahun 1995 berhenti tepat di depan rumah Atiqoh. Pintu terbuka, dan dari dalam muncul sosok yang gagah namun sederhana: Romo Gabriel. Wajahnya serius, namun matanya tetap teduh. Ia ditemani empat frater muda: Fr. Antonius, Fr. Xaferius, Fr. Yohanes, dan Fr. Luis.

“Permisi,” suara Romo Gabriel lantang namun rendah, membuat semua orang menoleh. Ia berjalan cepat masuk rumah, disusul keempat frater yang langsung menatap serius kondisi di dalam.

Melihat Rafael terkulai di lantai, Romo Gabriel memberi instruksi singkat. “Anton, Yohanes, papah Romo Rafael ke mobil. Luis, Xaferius, bantu tenangkan situasi.” Tanpa banyak tanya, para frater mengangkat tubuh Rafael, yang sempat meronta lemah, lalu memasukkannya ke dalam mobil kijang.

Sebelum pergi, Romo Gabriel menghampiri Faisal yang masih berlutut di samping Atiqoh. Suara Faisal parau, nafasnya memburu, wajahnya penuh keringat. Romo Gabriel menyentuh bahu Faisal sejenak.

“Saudaraku… terima kasih sudah berjuang. Maafkan kami harus membawa Romo Rafael. Ini pertama kali kita bertemu, dan mungkin bukan terakhir. Tuhan memberkatimu.”

Faisal hanya mengangguk, menahan sesak di dada.

Romo Gabriel memberi anggukan hormat, lalu bergegas keluar. Kijang tua itu kembali menggeram, roda-rodanya menghantam jalan kampung, meninggalkan rumah itu.

Ia kembali fokus pada Atiqoh. Tubuh perempuan itu sudah setengah lemas, tapi setiap kali ayat ruqyah dibacakan, roh jahat dalam dirinya masih memberontak. Faisal hampir jatuh karena tenaga terkuras. Suaranya makin serak, hampir habis.

Paman Atiqoh yang pingsan, kini dirawat anak-anaknya di pojok rumah dengan kain basah menempel di kening. Suami Atiqoh dan beberapa tetangga masih berusaha memegangi tangan dan kaki yang memberontak.

“Bismillah… dengan nama Allah yang Maha Perkasa, keluarlah!” suara Faisal pecah, seperti teriakan terakhir seorang pejuang di medan perang.

Tubuh Atiqoh menegang hebat, lalu terkulai. Tangis meledak, tapi kali ini bukan tangis roh jahat, melainkan tangis manusia — suara lirih seorang istri yang baru saja lepas dari cengkeraman kegelapan. “Astaghfirullah… astaghfirullah…” bisiknya.

Semua yang hadir lega bercampur tak percaya. Suaminya memeluknya erat, sementara tetangga-tetangga berulang kali mengucapkan hamdalah.

Faisal jatuh terduduk. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi, hampir pingsan karena tenaga terkuras habis. Beberapa orang segera memberinya air minum, sementara ia hanya tersenyum lemah.

“Keluarga Atiqoh,” ucap Faisal dengan suara hampir hilang, “jangan pernah tinggalkan shalat. Itu benteng utama kalian. Jangan kasih celah lagi bagi setan untuk masuk.”

Mereka semua mengangguk sambil menangis haru.

Faisal pamit dengan langkah gontai. Tubuhnya masih lelah, tapi hatinya lega. Malam itu jalan kampung terasa lengang, hanya suara jangkrik menemani. Ia naik ke motornya, hendak pulang.

Namun perjalanan pulangnya tidak mulus. Di salah satu tikungan sempit, tiba-tiba ia melihat bayangan anak kecil menyeberang. Refleks ia mengerem mendadak, motornya oleng, dan tubuhnya terpental jatuh ke aspal.

Dentuman keras membuat beberapa orang terdekat keluar rumah. Faisal tergeletak, wajahnya meringis kesakitan. Luka lecet menghiasi lengan dan kakinya, tapi yang lebih parah adalah pergelangan tangannya — patah. Ia tak bisa bergerak, hanya bisa terengah.

Pandangan matanya berkunang, sebelum akhirnya gelap.

Saat tersadar, Faisal sudah berada di sebuah ruangan putih dengan bau antiseptik yang menusuk. Lampu neon menggantung di atas, dan suara langkah kaki sibuk terdengar di lorong. Ia mencoba menggerakkan tangannya, namun perih menusuk tajam. Pergelangan tangannya sudah dibebat dengan gips.

Seorang perempuan berseragam perawat masuk, wajahnya lembut dengan senyum tipis. “Puji Tuhan, Ustadz sudah sadar. Tadi sempat jatuh parah. Sekarang istirahat dulu.”

Faisal berkedip, mencoba memahami.

Perawat itu tersenyum lebih lebar. "Ustadz Faisal kalau ada perlu apa-apa bisa tekan bell" ucap Perawat dengan nam tag Venny Florentina.

Faisal menarik napas panjang, rasa sakit masih menusuk tubuhnya.

...

Pastori malam itu lengang, hanya cahaya lampu minyak yang dibiarkan menyala di beberapa sudut. Angin malam berhembus membawa dingin yang menusuk. Di ruang doa kecil di dalam pastori, tubuh Romo Rafael sudah terbaring di atas ranjang kayu tua. Kedua tangannya diikat kain putih—bukan untuk merendahkan martabat seorang imam, tapi demi keselamatan semua orang yang ada di ruangan itu.

Frater Antonius menunduk dengan wajah tegang. “Romo… dia terus meronta sejak tadi. Matanya… bukan lagi mata Romo Rafael.”

Romo Gabriel berdiri di sisi ranjang. Alkitab Latin terbuka di tangannya, sementara salib besar menggantung di dadanya. Suaranya rendah, tapi mantap. “In nomine Patris, et Filii, et Spiritus Sancti…”

Rafael tiba-tiba tertawa keras. Tawanya parau, panjang, bukan suara manusia normal. Mata hitam pekat itu menatap tajam, lalu berubah-ubah antara wajah Rafael dan sesuatu yang lebih gelap, penuh kebencian.

“Kau pikir bisa menyingkirkan aku?” suara itu keluar dari mulut Rafael, tapi bukan suaranya. Berat, bercampur gema, seakan ada dua atau tiga makhluk yang bicara bersamaan.

Frater Yohanes hampir saja mundur, tapi Romo Gabriel menahanya dengan isyarat tangan. “Tenang. Jangan takut. Ingat, kita berperang bukan melawan darah dan daging, tetapi melawan roh-roh jahat di udara.”

Ia mulai membacakan doa eksorsisme dalam bahasa Latin:

“Exorcizo te, immundissime spiritus, omnis incursio adversarii, omnis phantasma, omnis legio, in nomine Domini nostri Jesu Christi…”

Tubuh Rafael menegang keras, lalu menggeliat seakan hendak lepas dari ikatan kain putih. Peluh dingin membasahi keningnya, tapi tawanya makin menjadi-jadi.

Tiba-tiba sebuah hentakan gaib meluncur dari tubuh Rafael. Romo Gabriel terpental ke belakang, tubuhnya menghantam meja tua di pojok ruangan. Frater-frater terpekik, namun segera berlutut, melantunkan doa dengan suara gemetar.

“Miserere mei, Deus, secundum misericordiam tuam…” suara mazmur 139 mulai mengalun, lirih namun bergema di seluruh ruangan.

Disusul mazmur 140:

“Eripe me, Domine, ab homine malo: a viro iniquo eripe me…”

Suara para frater memang bergetar, tapi semakin lama semakin padu. Mereka mengangkat suara bersama, doa mazmur berubah menjadi senjata rohani yang menekan suasana gelap di ruangan itu.

Rafael meraung. Tubuhnya bergetar, urat-urat lehernya menegang, seakan terbakar oleh lantunan doa. Suara itu menjerit penuh amarah:

“Hentikan! Kau menyiksaku dengan kata-kata itu!”

Namun Romo Gabriel perlahan bangkit, meski wajahnya pucat dan nafasnya terengah. Ia memegang salib dengan erat, menatap lurus ke arah Rafael. “Non tuus est, spiritus immunde. Christus solus est Dominus. Rafael, dengarkan aku! Kristus sudah menebusmu!”

Sejenak, wajah Rafael kembali seperti manusia biasa. Air mata menetes dari sudut matanya, seakan hatinya berperang di dalam. Tapi tiba-tiba, suara itu kembali menggema:

“Tidak! Dia bersalah! Dia yang membunuh Angel! Aku tinggal di dalam dosanya!”

Ruangan itu penuh dengan benturan antara teriakan keras Rafael dan doa-doa suci yang mengalun makin lantang.

Romo Gabriel sendiri mulai gemetar, tubuhnya lelah. Melakukan eksorsisme pada seorang imam bukan perkara ringan. Kuasa jahat menempel kuat pada luka batin Rafael—rasa bersalahnya menjadi celah yang besar. Gabriel tahu, sekali ia lengah, ia bisa tumbang selamanya.

Ia menutup matanya sejenak, menarik napas dalam, lalu mengangkat salib tinggi-tinggi. Dengan suara lantang, ia berteriak:

“Dominus illuminatio mea et salus mea! Quem timebo?” (Tuhan adalah terangku dan keselamatanku, siapa yang kutakuti?)

Teriakan itu menghantam seperti petir. Rafael menggeliat keras, matanya mendelik, lalu tubuhnya tersentak beberapa kali.

Cahaya lilin di ruangan bergetar, beberapa padam seketika. Angin dingin berhembus kencang, membuat jendela tua berderak-derak.

Frater-frater semakin meninggikan doa mazmur, suara mereka kini kompak, tak lagi bergetar. Seperti sebuah paduan suara yang melawan teriakan iblis.

“Domine, clamavi ad te, exaudi me: intende voci meae, cum clamavero ad te!”

Suasana semakin menegangkan. Romo Gabriel hampir tak mampu berdiri, lututnya gemetar. Tapi ia tetap maju, menempelkan salib di dahi Rafael yang masih meronta.

“Non tuus est! Relinque eum, in nomine Jesu Christi!”

Raungan terakhir menggema, begitu keras hingga kaca jendela bergetar. Tubuh Rafael terkulai lemas.

Sunyi. Hanya terdengar nafas berat semua orang yang ada di ruangan.

Frater Antonius perlahan mendekat, memastikan Rafael masih hidup. “Romo… dia tenang. Dia tertidur.”

Romo Gabriel menjatuhkan diri berlutut, salibnya tergeletak di lantai. Nafasnya terengah, tubuhnya basah oleh keringat.

Suasana di pastori malam itu berbeda dari biasanya. Udara yang biasanya sejuk, bercampur bau bunga kamboja dari halaman, kini terasa berat dan menyesakkan. Lorong-lorong sempit di dalam bangunan tua itu dipenuhi dengan suara langkah kaki tergesa para frater yang baru saja menunaikan tugas besar: mengevakuasi Romo Rafael. Tubuhnya yang lelah masih beristirahat di kamar, dijaga dua frater muda yang duduk di kursi depan pintu, wajah mereka pucat seolah baru melihat kematian lewat begitu dekat.

Aula kecil pastori dipenuhi para penghuni. Frater-frater dari berbagai tingkat formasi duduk berjejer di kursi panjang kayu. Lampu gantung tua yang bergoyang pelan hanya memberi cahaya kekuningan yang temaram. Beberapa lilin diletakkan di atas meja altar kecil di sudut ruangan, cahayanya bergetar, menimbulkan bayangan wajah-wajah tegang. Di tengah ruangan berdiri Romo Gabriel.

Pakaian imamnya sedikit kusut, salib di lehernya berkilau tertimpa cahaya lilin, dan wajahnya tampak letih. Keningnya masih basah oleh peluh, sisa dari pergulatan rohani saat ia melakukan eksorsisme terhadap Rafael—pergulatan yang membuat tubuhnya sendiri terpental dan terbanting menabrak meja tua di ruang doa. Tetapi matanya… matanya menyala. Ada api di sana, api yang membakar karena kesadaran: malam ini, ia harus berbicara. Malam ini, ia harus memperingatkan.

Romo Gabriel menatap satu per satu wajah frater di hadapannya. Mereka semua baru saja menyaksikan sesuatu yang mengguncang iman: seorang imam, rekan mereka sendiri, Rafael—yang selama ini mereka hormati—diperdaya oleh celah dosa.

Perlahan, Romo Gabriel menarik napas panjang. Suaranya serak, tapi ketika ia mulai berbicara, kata-katanya menggema memenuhi ruangan.

“Saudara-saudaraku,” katanya, “malam ini kita sudah melihat dengan mata kepala kita sendiri. Betapa rentannya seorang imam ketika ia menyembunyikan luka dalam hatinya. Betapa iblis tidak pernah berhenti mencari celah, meski sekecil jarum, untuk menyusup dan menghancurkan.”

Semua mata terarah padanya. Tidak ada yang berani berbisik, bahkan tidak ada yang berani batuk.

“Rafael…” Gabriel berhenti sejenak, menunduk, lalu menatap lagi. “Rafael adalah contoh nyata. Dia imam. Dia sudah ditahbiskan, sudah memimpin misa, sudah memberkati jemaat, sudah memberitakan Injil. Tetapi satu hal… satu hal yang dia simpan—rasa bersalahnya, penyesalannya, dosanya yang tidak pernah ia buka di hadapan Tuhan—itu menjadi pintu. Dan iblis masuk melalui pintu itu.”

Para frater saling pandang. Beberapa menunduk semakin dalam, karena mereka tahu: mereka pun punya pintu-pintu kecil itu.

Romo Gabriel melangkah mendekat, tangannya menggenggam salib perak. “Kalian tahu apa yang disebut celah dosa? Celah dosa adalah ruang. Bukan hanya dosa besar—bukan hanya perzinahan, pembunuhan, pencurian—tetapi bahkan hal yang kalian anggap kecil. Kebencian yang tidak dibereskan. Iri hati pada saudara sepelayanan. Kesombongan karena merasa lebih rohani dari orang lain. Bahkan rasa bersalah yang kalian pupuk diam-diam tanpa kalian bawa ke pengakuan dosa. Semua itu adalah lubang. Dan lubang kecil itu, ketika dibiarkan, menjadi terowongan bagi setan untuk menancapkan cengkeramannya.”

Suara Gabriel meninggi. Ia mengangkat salibnya tinggi-tinggi. “Ingat! Iblis itu licik. Dia tidak menyerang lewat pintu yang terkunci rapat. Dia menyerang lewat pintu yang kalian biarkan terbuka, meski hanya sejengkal!”

Romo Gabriel berjalan perlahan, mendekati mereka satu per satu. “Dosa daging… kalian tahu apa itu? Nafsu. Amarah. Keserakahan. Keinginan yang membakar tubuh kalian, yang membuat kalian lupa bahwa kalian ini sudah dipersembahkan bagi Tuhan. Jangan bilang kalian kebal! Bahkan imam bisa jatuh pada dosa daging. Dan dosa itu, bila disembunyikan, akan menjadi rantai besi yang melilit.”

Ia berhenti di tengah ruangan. Matanya berkilat. “Lalu ada dosa rohani. Ini lebih berbahaya. Kesombongan rohani. Perasaan bahwa kalian lebih suci dari jemaat. Rasa iri pada imam lain yang lebih disukai umat. Bahkan doa yang dipakai untuk pamer kesalehan. Semua itu… dosa rohani. Dan dengar baik-baik: dosa rohani jauh lebih sulit diakui, karena kalian bahkan tidak sadar bahwa kalian berdosa. Kalian mengira sedang melayani Tuhan, padahal kalian sedang melayani diri sendiri.”

Keheningan makin pekat. Frater-frater itu kini menunduk dalam, seperti baru saja ditelanjangi di hadapan cahaya.

Gabriel menurunkan salibnya perlahan. Suaranya kembali lirih, tapi justru semakin menusuk. “Rafael hanyalah peringatan pertama. Jika seorang imam bisa jatuh, kalian semua juga bisa jatuh. Jangan berpikir bahwa tahbisan membuat kalian kebal. Tahbisan bukan perisai, tahbisan justru membuat kalian target utama.”

Ia menghela napas panjang, lalu menatap seluruh ruangan. “Besok pagi, aku akan membuka ruang untuk pengakuan dosa. Tidak ada syarat. Tidak ada batas. Kalian bisa mengaku dosa daging, dosa rohani, dosa yang kalian anggap kecil, dosa yang kalian pikir hina. Bawalah semua itu ke terang. Karena dosa yang disembunyikan adalah makanan iblis. Lebih baik kalian dipermalukan di bumi, daripada binasa di surga.”

Kata-katanya menggantung di udara.

Suasana hening begitu lama, sampai-sampai bunyi detik jam tua di dinding terdengar jelas.

Fr. Antonius akhirnya mengangkat kepala. Matanya berkaca-kaca. “Romo… apakah benar… seorang imam bisa binasa… meski ia sudah menahbiskan hidupnya?”

Gabriel menatapnya tajam. “Antonius… lebih dari itu. Seorang imam bisa menarik jemaatnya ikut binasa, bila ia membiarkan dosanya menjadi celah. Itulah yang iblis mau: bukan hanya menjatuhkan kalian, tapi menjatuhkan semua yang kalian gembalakan.”

Dan ingat… semakin lama kalian menunda, semakin besar celah itu menganga.”

Semua frater terdiam. Ada yang memeluk rosario erat-erat. menahan rasa bersalah yang selama ini mereka sembunyikan.

Romo Gabriel menutup dengan doa singkat. Suaranya berat, seperti menyerahkan seluruh isi hatinya pada Tuhan. “Ya Bapa, lindungilah anak-anak-Mu ini. Jangan biarkan dosa mereka menjadi pintu bagi musuh. Tutup celah itu dengan darah Kristus. Segel hati mereka dengan kasih-Mu. Dalam nama Yesus Kristus, kami berdoa. Amin.”

Amin lirih bergema.

Malam itu, aula kecil pastori menjadi ruang penghakiman yang sunyi.

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Possessed Recuperatio
Samuel Fetz
Novel
Bronze
KHODAM
Herman Sim
Novel
Utusan
Sudarmanto S
Novel
Lamia
Dewie Sudarsh
Novel
Bronze
Rama's Story : Mey Ling - Dark Castle
Cancan Ramadhan
Skrip Film
Tongkonan Terakhir
Risti Windri Pabendan
Cerpen
Dua Orang Penggali Tanah
Ega Pratama
Flash
Bronze
Mobil Baru Teman Sekelasku
Nabil Bakri
Cerpen
Bronze
GENDERUWO JEMBATAN BOYONG
Sri Wintala Achmad
Novel
Cerita Selepas Magrib
Sasa Herman
Novel
Bronze
Badan Intelijen HANTU
Ainun
Skrip Film
Mburi Lawang
NUR SAFA'AH SIREGAR
Novel
Hadiah Istimewa
Nurul Musyahadah
Novel
WANGSA
Nila Kresna
Novel
Bronze
Sixth Sense
Lucyana
Rekomendasi
Cerpen
Possessed Recuperatio
Samuel Fetz
Cerpen
Possessed
Samuel Fetz
Cerpen
Possessed Ekklesia
Samuel Fetz
Novel
The Last Karta
Samuel Fetz