Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sore itu ruang pertemuan pastori tampak lengang tapi tegang. Salib besar di dinding seolah menatap tajam ke arah semua yang duduk di meja panjang jati. Di luar, suara angin yang menyapu daun mangga tua berdesir samar, seperti bisikan dari dunia lain.
Romo Gabriel duduk di ujung meja, wajahnya keras, mata redup. Di hadapannya, sebuah map cokelat tua tergeletak, disegel dengan lilin berlogo Vatikan. Frater-frater muda—Antonius, Xaferius, Yohanes, dan Luis—duduk berderet dengan wajah penuh tanya. Rafael masih tampak letih, sisa pergumulannya beberapa jam lalu belum sepenuhnya hilang.
Dan ada tamu tak biasa: Pendeta Yesaya. Duduk agak tegak, matanya menyapu ruangan dengan kehati-hatian. Ia tahu posisinya janggal—seorang gembala Protestan duduk di jantung pastori Katolik. Tapi ia juga tahu: kuasa gelap tidak mengenal batas denominasi.
Keheningan akhirnya dipecah oleh Gabriel. Ia mengetuk map di depannya.
“Saudara-saudaraku, sebelum kita berbicara lebih jauh, ada sesuatu yang harus kalian lihat.”
Tangannya membuka segel lilin dengan perlahan. Aroma kertas tua bercampur tinta baru menyebar. Ia mengeluarkan selembar surat dengan kop Vatikan berlogo tiara kepausan dan kunci Petrus bersilang.
Wajah frater-frater langsung berubah.
Rafael yang tadinya menunduk, spontan menegakkan kepala.
Yesaya memicingkan mata, merasa dirinya akan dilibatkan lebih dalam dari yang ia kira.
Gabriel menarik nafas panjang lalu membaca keras-keras:
“Kepada Romo Gabriel, pelayan di Keuskupan Agung Semarang. Dengan ini, Tahta Suci memerintahkan agar pembersihan menyeluruh terhadap Gereja Santo Mikael segera dilakukan. Dunia sedang memandang Vatikan dengan penuh tuduhan—bahwa gereja ini telah menjadi sarang iblis. Isu ini sudah viral akibat ulah para konten kreator yang membuka segel terlarang dan kemudian hilang. Maka, demi menjaga nama Gereja Katolik tetap suci di mata bangsa-bangsa, engkau, Gabriel, ditugaskan sebagai eksorsis utama. Jangan menunda. Jangan gagal. Kiranya Santo Mikael sendiri menyertaimu.”
Suara Gabriel bergema di ruang itu, berat dan tegas.
Ia meletakkan surat itu di atas meja, menatap semua orang satu per satu.
“Inilah alasannya kita tidak bisa main-main,” ucap Gabriel. “Ini bukan sekadar pelayanan rohani. Ini soal nama gereja di mata dunia. Vatikan terpojok, dan mereka menuntut kita menyelesaikannya.”
Frater Luis menelan ludah. “Romo… berarti seluruh dunia bisa menyorot kita?”
“Ya,” jawab Gabriel singkat. “Satu langkah salah, dan bukan hanya kita yang dipermalukan. Vatikan akan dituduh tidak becus. Dunia akan menertawakan gereja.”
Yesaya perlahan bersandar, wajahnya serius. Ia memandang surat itu lama, seakan mencoba menembus huruf-huruf yang tertera.
“Surat ini berat sekali,” katanya akhirnya. “Kalau kalian gagal, bukan hanya nama gereja Katolik yang tercoreng. Iman banyak orang bisa goyah. Iblis suka itu—membuat manusia kehilangan percaya, bukan hanya pada imam, tapi juga pada Tuhan sendiri.”
Gabriel mengangguk dalam. “Itu sebabnya aku memanggilmu, Yesaya. Aku tahu engkau pernah mengalami hal serupa, meski berakhir pahit. Tapi pengalamanmu berharga. Kami butuh pandangan dari luar, supaya tidak terjebak dalam keangkuhan denominasi.”
Yesaya terdiam sesaat, lalu menunduk. Bayangan wajah Michelle melintas di benaknya—mata kosong gadis muda itu sebelum akhirnya meregang nyawa di pangkuannya. Luka lama kembali berdarah.
“Aku akan jujur,” katanya lirih. “Waktu di Surabaya, aku pikir aku cukup kuat. Tapi ternyata iblis lebih cerdas. Ia tahu dosaku, celahku, dan ia menyerang di titik i...