Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Possessed Ekklesia
0
Suka
295
Dibaca

Ruang itu penuh dengan aroma mie instan yang sudah dingin. Di sudut, ring light berwarna putih kebiruan masih menyala, meninggalkan jejak silau di meja kayu yang berantakan dengan kaleng soda, charger kabel, tripod patah, dan sebuah kamera mirrorless yang lensanya sudah penuh sidik jari. Di tengah kekacauan itu, lima orang duduk melingkar. Mereka adalah anak-anak muda yang dikenal di dunia maya sebagai “Urban Fear Explorers”—sebuah channel YouTube yang lahir dari iseng tapi berhasil menembus ratusan ribu subscriber dalam setahun terakhir.

“Gue bilang apa, bro, video kemarin di rumah sakit tua itu pecah parah! Trending dua hari,” seru Rama, pemimpin sekaligus otak di balik channel itu. Rambutnya gondrong, diikat seadanya dengan karet gelang. Suaranya lantang, penuh percaya diri, dan selalu punya nada meremehkan siapa pun di hadapannya.

Dani, yang lebih pendiam, sibuk menghisap rokok elektriknya. “Iya sih, tapi lu lihat komen-komennya nggak? Banyak yang bilang setting-an. Kayak pocong yang nongol di lorong itu.” Ia tertawa kecil. “Padahal itu boneka kain yang kita gantung.”

Rama mengangkat bahu, tidak peduli. “Ya terus kenapa? Yang penting views naik, adsense masuk. Penonton itu gampang ketipu, bro. Mereka cuma mau sensasi, bukan kebenaran.”

Di seberang meja, Tasya, satu-satunya perempuan dalam tim, memainkan rambutnya sambil menatap layar laptop. Ia adalah editor sekaligus wajah cantik yang sering jadi clickbait thumbnail video mereka. “Tapi kita butuh sesuatu yang lebih gede. Rumah sakit, pabrik tua, sekolah angker… semua udah terlalu mainstream. Penonton bosen.”

“Betul,” sela Imam, kameramen yang selalu membawa handycam ke mana pun. “Gue kemarin baca komentar, banyak yang nyaranin: kenapa nggak coba eksplor gereja tua? Itu jarang ada yang berani, bro. Apalagi yang katanya disegel Vatikan. Gereja apa tuh namanya… Santo…”

“Santo Michael.” Suara itu keluar lirih dari Dani. Asap rokok elektriknya membentuk lingkaran samar. Ia menatap rekan-rekannya dengan serius. “Gue pernah dengar dari temen bokap gue. Katanya dulu pernah ada tragedi gila di sana. Sampai belasan orang mati sekaligus, termasuk suster kepala mess. Gereja itu langsung ditutup, dan Vatikan sendiri yang ngirim pastor buat segel. Sampai sekarang nggak ada yang berani nyentuh.”

Ruangan itu mendadak hening. Bahkan Tasya menghentikan ketukan jarinya di laptop. Hanya suara kipas angin berdecit yang terdengar.

Rama menyeringai, matanya berbinar. “Nah… ini baru konten.”

“Lu gila, bro?” Imam menelan ludah. “Itu segelnya Vatikan loh. Kalau kita sampe buka atau masuk tanpa izin, bisa masuk penjara.”

Rama tertawa, keras dan panjang. “Penjara apaan. Paling juga satpam lokal doang yang jaga. Polisi? Mereka nggak bakal peduli sama anak-anak kecil kayak kita. Lagi pula, bayangin aja judulnya: LIVE MASUK GEREJA YANG DISEGEL VATIKAN!! Gue jamin, satu juta views sehari.”

Tasya menatapnya ragu. “Kalo beneran ada apa-apa di sana gimana?”

“Please, Tas. Lu pikir lima tahun gereja kosong bakal ada apaan? Hantu? Setan? Itu semua omong kosong. Semua bisa dijelasin logika. Cahaya bayangan lah, hembusan angin lah. Kita cuma perlu acting dikit biar makin dramatis. Gampang.”

Dani masih diam, tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu. Ia yang paling sering membaca kisah-kisah urban legend. Tentang suster yang mati bunuh diri, tentang roh-roh penasaran yang berkeliaran di sekitar mess, tentang seorang pastor Jawa yang sampai sekarang katanya tidak pernah mau bicara soal kejadian itu. Dani percaya ada sesuatu yang nyata, tapi ia juga sadar—semakin besar risiko, semakin besar pula perhatian yang mereka dapat.

“Kalau beneran kita masuk…” Dani menghela napas panjang. “Kita harus live. Biar nggak bisa dibilang setting-an lagi. Semua real time, penonton bisa lihat langsung.”

Rama menepuk pundaknya keras-keras. “Nah, gitu dong! Gue suka otak lu.”

Mereka mulai membahas teknis: kamera apa yang akan dipakai, jaringan internet mana yang stabil, rute menuju gereja, bahkan jam tayang yang pas untuk dapat prime time penonton—sekitar pukul sebelas malam.

“Gue bawa drone,” kata Imam. “Biar ada opening keren dari atas, nunjukin betapa angkernya gereja itu.”

“Bagus!” Rama menyahut cepat. “Tasya, lu siapin script, narasi awal. Yang spooky gitu, biar penonton langsung merinding. Dani, lu riset lebih banyak tentang tragedinya. Gue pengen kita kelihatan pinter, bukan cuma bocah tolol main-main.”

Dani mengangguk pelan. Dalam hatinya, ia tahu riset itu akan membuka lebih banyak cerita menyeramkan. Tapi ia juga tahu, ini akan jadi konten paling besar dalam sejarah channel mereka.

Tasya menutup laptopnya, menatap mereka satu per satu. “Kalian sadar nggak… kalau ini berhasil, channel kita bisa meledak. Tapi kalau gagal, kalau ketahuan… kita bisa kena masalah serius.”

Rama mencondongkan tubuhnya, menatapnya tajam. “Ingat, Tas. Dunia ini milik orang-orang yang berani ambil risiko. Kalau lu takut, lu nggak bakal pernah sukses. Dan gue nggak lahir buat jadi orang biasa.”

Kalimat itu bergema di kepala mereka semua. Meski ada ketakutan, ada juga semacam euforia yang merayap. Adrenalin anak muda yang merasa kebal terhadap bahaya.

Pertemuan itu berlanjut sampai larut malam. Mereka menonton ulang footage-video lama, membayangkan betapa megahnya kalau bisa menembus larangan Vatikan. Beberapa kali Dani berusaha menyelipkan peringatan—tentang legenda pohon serut di belakang mess, tentang sumur tua yang katanya menyimpan roh-roh jahat—tapi Rama menepis semua dengan tawa.

Akhirnya, keputusan bulat tercapai.

Minggu depan, tepat pukul sebelas malam, mereka akan melakukan live streaming pertama yang paling gila sepanjang karier mereka: masuk ke dalam Gereja Santo Michael yang disegel Vatikan.

Dan di luar sana, di kegelapan yang hanya diterangi cahaya bulan, sesuatu seperti sedang bernafas. Menunggu.

....

Keesokan harinya, mereka sudah berkumpul di parkiran sebuah toko kamera di pusat kota. Matahari siang menyorot tajam, tapi semangat mereka jauh lebih panas. Rama berjalan paling depan, wajahnya berbinar seperti anak kecil yang hendak beli mainan baru.

“Bro, kita butuh stabilizer. Gambar harus mulus, jangan kayak kemarin di pabrik tua itu—pada muntah penonton gara-gara shaky,” kata Rama sambil mendorong pintu kaca.

Toko itu dipenuhi peralatan kamera, lampu portable, hingga drone berbagai ukuran. Imam langsung menempelkan wajahnya ke etalase, matanya berbinar. “Gila, ini sih surganya gue.”

Tasya menyusuri rak-rak, tangannya menyentuh sebuah mic clip-on. “Kalau live, suara harus jelas. Jangan sampe lagi ada momen penting, eh penonton cuma denger angin sama nafas ngos-ngosan lu pada.”

Dani, seperti biasa, lebih diam. Tapi ia memperhatikan setiap detail: baterai cadangan, senter UV, bahkan kamera night vision. “Kita perlu ini,” katanya sambil menunjuk kamera kecil berlampu inframerah. “Kalau di dalam gelap total, penonton tetap bisa lihat.”

Rama hanya mengangguk cepat. Baginya, semua alat hanyalah senjata untuk satu tujuan: sensasi. Ia bahkan membeli sebuah cross necklace palsu dari etalase souvenir, lalu memakainya sambil bercermin. “Gimana, udah kayak exorcist belum?” candaannya memicu tawa Imam, tapi Tasya hanya mendengus.

Beberapa jam kemudian, kantong plastik besar berisi peralatan penuh mereka bawa keluar. Total biaya hampir menembus belasan juta, sebagian hasil tabungan Adsense mereka, sebagian lagi hutang kecil dari kartu kredit.

“Worth it lah,” kata Rama sambil menyalakan motor. “Lu lihat aja hasilnya nanti.”

Dua hari berselang, mereka memutuskan melakukan survey lokasi. Mobil sewaan Avanza hitam meluncur di jalan berkelok menuju sebuah desa yang sepi.

Udara sore di pegunungan itu dingin. Jendela mobil berkabut tipis, suara jangkrik sudah mulai terdengar padahal matahari belum sepenuhnya tenggelam. Dani duduk di kursi depan, menatap peta Google Maps, sementara Tasya merekam beberapa footage sebagai dokumentasi.

“Serius nih… kita beneran mau live di gereja itu?” tanya Tasya pelan. “Rasanya beda. Gue liat tempat ini aja udah merinding.”

Imam menertawakannya. “Lu takut sama kabut? Ini kan daerah pegunungan. Wajar dingin, wajar berkabut.”

Tapi Dani merasakan hal lain. Di balik kaca mobil, pepohonan besar berbaris seakan menjadi dinding hijau yang menutup jalan. Dan di antara ranting-rantingnya, ia merasa ada sesuatu yang mengawasi.

Mereka berhenti di warung kayu kecil dekat perempatan desa. Seorang nenek dengan kerudung lusuh duduk di bangku panjang, menatap kosong ke arah sawah. Ketika melihat mereka turun, matanya mengerut curiga.

“Permisi, Nek,” sapa Dani sopan. “Kami mau tanya, kalau gereja Santo Michael arahnya ke mana, ya?”

Sejenak hening. Nenek itu tak menjawab, hanya menatap mereka satu per satu. Pandangan matanya berhenti lama di leher Rama, pada kalung salib mainan yang tergantung di sana. Bibirnya bergetar, lalu ia berbisik:

“Kenapa kalian mau ke sana?”

Rama dengan enteng menjawab, “Explorasi, Nek. Bikin video. Kan keren tuh, tempatnya angker.”

Nenek itu menunduk, tangannya gemetar. “Nak… segel itu bukan mainan. Ada yang dikurung di sana. Lima tahun kami hidup tenang karena tempat itu ditutup. Jangan kalian buka lagi.”

Tasya menelan ludah. Imam hampir tertawa, tapi ditahan ketika melihat wajah Dani yang serius.

“Ada apa sebenarnya di sana, Nek?” tanya Dani.

Nenek itu tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat tangannya, menunjuk ke arah pohon besar di kejauhan. Dari jauh, pohon itu tampak menjulang hitam, lebih gelap dari sekitarnya. “Pohon serut itu saksi. Dari situ mereka masuk… dan sampai sekarang masih menunggu.”

Angin sore bertiup dingin. Suasana seakan membeku.

Rama memecahnya dengan tawa. “Aduh Nek, serem banget ceritanya. Cocok buat opening video gue nanti. Makasih banyak ya, Nek!”

Ia memberi uang beberapa lembar sebagai tanda terima kasih, lalu melambaikan tangan sambil mengajak yang lain kembali ke mobil.

Dani masih menoleh ke arah nenek itu sebelum akhirnya masuk ke mobil. Dalam hati, ia merasakan peringatan itu bukan sekadar cerita kosong.

Mereka melanjutkan perjalanan, hingga sampai di depan sebuah pagar besi tinggi berkarat. Di balik pagar itu berdiri Gereja Santo Michael—megah tapi muram. Kubahnya retak, kaca patri pecah di beberapa sisi, dan di pintu utamanya terpasang papan kayu dengan tanda salib serta tulisan Latin: Clausum est in aeternum.

Drone kecil milik Imam terbang rendah, merekam suasana dari udara. “Cakep banget, bro. Gila, dari angle atas keliatan horor banget.”

Rama berdiri di depan pagar, kedua tangannya meraih jeruji besi berkarat. Ia menatap bangunan itu dengan senyum puas. “Ini dia. Konten sejuta view.”

Tasya menggigil. “Lu nggak lihat segel itu? Itu bukan sembarang papan. Itu tanda larangan.”

“Justru itu yang bikin makin keren.” Rama melirik kameranya. “Besok malam kita balik, bawa semua alat. Live. No cut, no edit.”

Dani masih diam. Ia menatap tulisan Latin itu lama sekali. Hatinya bergetar, seolah ada suara samar yang memanggil dari dalam bangunan.

....

Mobil Avanza hitam itu menuruni jalan berliku, meninggalkan pagar besi tinggi tempat Gereja Santo Michael berdiri. Tidak ada yang bicara lama sekali. Hanya suara ban bergesek dengan aspal basah, dan kadang deru napas Dani yang terdengar berat.

Tasya akhirnya membuka suara, lirih.

“Gue nggak bisa berhenti mikirin kata-kata nenek tadi.”

Imam menoleh sambil terkekeh. “Aduh, Tas, lu jangan kebawa sugesti. Itu kan strategi klasik orang desa. Biar kita takut, terus nggak jadi datang. Udah biasa lah.”

“Bukan masalah sugesti,” jawab Tasya cepat. “Lu nggak liat cara dia ngomong? Tangannya gemeteran. Itu ketakutan asli.”

Rama mengangkat alis lewat kaca spion. “Justru makin mantap kan? Kalau orang lokal aja udah takut setengah mati, berarti penonton kita bakal lebih penasaran.” Ia tersenyum penuh percaya diri. “Gue bisa bikin teaser besok: ‘Masuk ke gereja terlarang yang disegel Vatikan!’ Boom, trending!”

Dani yang sejak tadi diam, akhirnya berkata pelan, “Ram, lu sadar nggak kalau segel itu suci? Itu bukan sekadar papan larangan. Itu simbol gereja.”

“Simbol doang,” potong Rama cepat. “Lu ini serius banget, bro. Kita bukan mau ngapa-ngapain kok. Cuma masuk, live, terus keluar. Simple.”

Mobil berhenti di SPBU kecil untuk isi bensin. Sementara petugas mengisi tangki, mereka semua turun sebentar untuk meluruskan kaki. Tasya duduk di bangku beton, matanya menatap jauh. Dani ikut duduk di sampingnya, lalu berkata, “Lu juga kerasa, kan?”

Tasya mengangguk pelan. “Seolah ada yang… nunggu kita.”

Dani menarik napas panjang. “Gue nggak suka feeling ini. Gue takut kita beneran ngelepas sesuatu.”

“Kalau gitu, kenapa masih ikut?” Tasya menoleh dengan tatapan serius.

Dani terdiam. Matanya redup. “Karena kalau gue nggak ikut, mereka bakal lebih ngawur.”

Tasya tidak menjawab lagi. Ia hanya menghela napas, dalam hatinya berdoa agar semua ini tidak berakhir buruk.

....

Tumpukan peralatan baru berserakan di lantai: kamera, tripod, mic, drone, bahkan lampu portable. Imam seperti anak kecil dengan mainan baru, sibuk mengetes satu per satu. “Gila, ini sih bakal kayak film found footage Hollywood. Lengkap banget!”

Rama duduk di depan laptop, mengetik cepat. “Gue bikin teaser dulu, guys. Dua puluh detik aja cukup. Besok gue upload.”

Ia menggabungkan footage singkat: wajah serius mereka di mobil, potongan drone yang menyorot gereja dari atas, dan kalimat peringatan nenek tua itu yang sempat mereka rekam diam-diam. Suara nenek itu pecah-pecah, namun jelas:“Segel itu bukan mainan. Ada yang dikurung di sana…”

Rama menambahkan teks dramatis berwarna merah:

“Gereja terlarang. Segel Vatikan. 5 tahun tak tersentuh. Kami akan masuk.”

Lalu ia akhiri dengan countdown: “LIVE dalam 3 hari.”

Tasya yang melihat proses editing hanya bisa memijat pelipis. “Lu sengaja masukin suara nenek itu? Nggak etis banget, Ram.”

“Justru itu yang bikin makin creepy,” jawab Rama santai. “Lu pikir penonton peduli etika? Mereka mau ditakutin, mau drama, mau sensasi. Dan itu yang bakal kita kasih.”

Dani menatap layar laptop itu lama sekali. Setiap huruf merah seakan membara di matanya. Dalam hati, ia tahu, mereka baru saja menyalakan api yang tak bisa dipadamkan.

Dua hari sebelum live

Notifikasi meledak di ponsel mereka. Teaser singkat itu sudah viral di Twitter, Instagram, dan TikTok. Ribuan komentar berdatangan:

“Anjir ini beneran? Gereja yang disegel Vatikan??”

“Gila sih kalo sampe beneran live di dalem!”

“Please jangan macem-macem sama segel suci!”

“Gas bro, gue tunggu jam live-nya!”

Rama membaca komentar-komentar itu dengan senyum puas. “Liat kan? Gue bilang apa. Ini kesempatan emas.”

Tasya menatap layar ponselnya dengan hati campur aduk. Ia memang senang karena channel mereka naik, tapi di sisi lain, ia merasa seperti sedang duduk di atas bom waktu.

Dani malah semakin murung. Setiap kali membaca komentar, ia merasa seolah ada suara kecil di telinganya berbisik: “Biarkan mereka membuka pintu… biarkan…”

Malam terakhir sebeluim eksekusi

Mereka mengadakan rapat kecil di kos. Semua peralatan sudah dites ulang, baterai dicadangkan, kartu memori kosong siap terisi. Imam membuat daftar teknis di papan tulis:

  1. Opening – shoot depan pagar, Rama monolog perkenalan.
  2. Breaking seal – dokumentasi detail saat segel dibuka.
  3. Explorasi dalam – split dua tim kecil, Tasya bawa kamera B.
  4. Climax – jelajahi altar dan ruang bawah tanah.
  5. Closing – keluar dengan footage utuh.

“Rapi kan? Kayak film dokumenter beneran,” kata Imam bangga.

“Lu yakin soal nomor dua?” tanya Tasya, suaranya tegang. “Breaking seal? Lu sadar nggak itu inti masalahnya?”

Rama tertawa. “Tenang aja. Segel itu cuma papan kayu paku biasa. Kita copot, kita tempel lagi pake paku baru. Aman.”

Dani mendesah berat. “Segel itu doa, Ram. Lu kira itu cuma papan kayu? Nggak. Itu simbol pengurungan.”

“Bro,” Rama menepuk bahu Dani. “Lu tuh kebanyakan nonton film exorcism.” Ia lalu menatap semua orang. “Denger ya. Kalau kita mundur sekarang, kita cuma jadi grup kecil yang dilupain orang. Tapi kalau kita jalan terus? Kita jadi legenda.”

Hening. Semua menatap Rama. Dan meski hati mereka bergetar, tidak ada yang berani membantah.

Pukul 23:59, sehari sebelum eksekusi.

Di layar laptop Rama, countdown sudah berjalan.

“LIVE – 18 JAM LAGI.”

Komentar terus masuk, ribuan orang menunggu.

Rama menutup laptop dengan senyum puas. “Besok malam… dunia bakal inget nama kita.”

Dani menatap jendela kamar yang terbuka sedikit. Angin malam masuk, membawa bisikan samar yang hanya dia dengar.

“Sudah waktunya…”

Dan di kejauhan, di balik kabut pegunungan, Gereja Santo Michael berdiri muram, segelnya bergetar pelan seperti merasakan sesuatu yang sedang mendekat.

Langit malam itu pekat tanpa bintang. Kabut tipis turun menyelimuti desa, membuat lampu jalan tua di depan pagar Gereja Santo Michael tampak suram.

Sebuah mobil berhenti beberapa meter dari gerbang besi tinggi yang dipenuhi sulur karat. Dari dalamnya keluar empat orang: Rama, Tasya, Imam, dan Dani. Mereka menenteng tas besar berisi kamera, tripod, drone, dan lampu portable.

Rama menyalakan kamera utama dan berdiri tepat di depan pagar. Lampu portable diarahkan ke wajahnya. Matanya berbinar penuh percaya diri, senyum khas host andalan konten horror.

“Selamat malam, semuanya!” suaranya lantang, menggema di udara dingin. “Seperti janji gue, malam ini kita ada di depan Gereja Santo Michael, gereja yang katanya disegel langsung oleh Vatikan lima tahun lalu. Malam ini, kita akan jadi tim pertama yang menayangkan eksplorasi live di dalam gereja ini!”

Chat di layar ponsel Tasya yang terhubung ke live-stream langsung meledak:

“WOY INI BENERAN?!”

“KAMU GILA BROO!”

“Kasih liat segelnya donggg!”

“Anjir makin panas, gaskeun!!”

Rama menunjuk kamera, lalu mendekat ke pagar. Lampu portable menyorot papan kayu tebal yang dipaku silang, dengan tulisan lusuh dalam bahasa Latin. Di bawahnya, ada lilin bekas doa yang sudah lama padam, serta beberapa tanda salib kayu kecil yang diletakkan jemaat desa dulu.

Tasya merasakan bulu kuduknya berdiri saat kamera menyorot dekat papan itu. Udara di sekitar pagar mendadak lebih dingin dari sebelumnya. Ia berbisik, hanya cukup untuk Dani dengar, “Lu ngerasain, Dan? Anginnya beda.”

Dani mengangguk, wajahnya pucat. “Kayak ada yang ngintip balik dari dalam.”

Tapi tentu saja, Rama tidak memperdulikan itu. Ia mendekat, tangannya menunjuk segel. “Guys, ini dia yang kalian tunggu! Segel suci yang dipasang lima tahun lalu. Katanya… ada sesuatu yang dikurung di dalam.” Ia menurunkan suara, membuat efek dramatis. “Malam ini… kita akan buktikan kebenarannya.”

Chat kembali membanjir:

“WOYY COPOT! COPOT! COPOT!”

“Anjir gue nonton sambil merinding gila!”

“Kalian siap mati bro, sumpah ini dosa!”

“Gue tegang asliii.”

Imam tertawa sambil mengangkat crowbar kecil dari tasnya. “Peralatan sudah siap, Bos. Tinggal eksekusi.”

Tasya buru-buru menahan. “Ram, serius? Lu mau buka segelnya sekarang? Nggak mikir lagi?”

Rama menoleh sebentar, menatap Tasya dengan sorot yang tak bisa diganggu. “Tasya, kesempatan kayak gini nggak datang dua kali. Ribuan orang lagi nonton. Kita nggak bisa mundur.”

Tasya menggertakkan gigi, hatinya berteriak ingin berhenti. Tapi saat melihat layar ponselnya, jumlah penonton sudah mencapai 78.000 orang. Semua mata sedang tertuju ke mereka.

Dani berbisik tajam, “Ram, gue sumpah ini keterlaluan. Jangan main-main sama doa yang dipaku di situ. Kalau lu maksa… gue cabut.”

“Silakan,” jawab Rama dingin. “Tapi ingat, nanti yang bakal dikenang bukan lu, tapi kita.”

Hening sejenak. Angin malam merambat pelan, seperti desahan panjang. Imam sudah bersiap, crowbar di tangan. Tasya menyalakan kamera B, gemetar saat merekam detail paku karatan di segel itu.

Rama mengangkat tangan, menghitung dramatis.

“Tiga…”

“Dua…”

“Satu…”

CREAAAKK!!

Crowbar Imam menghantam papan. Paku pertama copot dengan suara berderit menyeramkan.

Begitu paku itu terlepas, lampu portable mereka meredup sepersekian detik, lalu terang kembali. Kamera sempat bergetar. Penonton di live langsung heboh:

“WOYY LAMPU NYALA MATI!!!”

“Ada bayangan lewat belakang Ram!!!”“JANGAN LANJUTIN ANJIR GUE TAKUTTTT!!”

Tasya spontan menoleh ke belakang. Tidak ada apa-apa. Tapi perasaan dingin di tengkuknya makin menekan.

Imam menghantam lagi, paku kedua copot. Segel itu goyah. Dani menutup mata, berdoa dalam hati. “Ya Tuhan, ampuni kami…”

Saat paku terakhir dicabut, papan kayu jatuh menghantam tanah dengan suara berat.

Dan untuk sesaat, seluruh dunia terasa berhenti. Angin berhenti berhembus. Suara jangkrik mendadak hilang. Bahkan notifikasi chat seakan membeku.

Rama mendekat ke kamera, wajahnya penuh kemenangan. “Guys… segelnya sudah terbuka.”

Hening.

Lalu… DOOOMMM!!!

Suara dentuman gaib menggema dari dalam gereja. Tanah di bawah kaki mereka bergetar halus. Dari celah pintu tua itu, hembusan udara keluar—dingin, bau apak, bercampur sesuatu yang seperti… belerang.

Chat pecah gila-gilaan:

“GILAAA ITU APA?!”

“JANGAN MASUK PLIS GUE MERINDING!!”

“SUMPAH ADA SUARA DI DALAM!!!”

“LANJUT!! LANJUT MASUK BRO!!”

Mata Rama berbinar seperti orang kerasukan ambisi. Ia menoleh ke timnya. “Lampu siap. Kamera jalan. Sekarang… kita masuk.”

Tasya menggigit bibirnya sampai hampir berdarah. Dani terhuyung, wajahnya pucat pasi. Imam malah tertawa pendek, seakan mabuk adrenalin.

Dan perlahan, dengan langkah berat, mereka mendorong pintu besi itu. Suara engsel tua berderit panjang…

GREEEKKKK…

Kegelapan pekat menyambut dari dalam gereja, seakan mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang masuk.

Lampu portable menyorot ke depan. Cahaya menembus debu yang menari di udara, menampakkan altar tua, patung Santo Michael berdebu, dan bangku-bangku kayu lapuk yang masih tersisa.

Rama mengangkat kamera, suaranya lirih namun penuh gairah.

“Selamat datang di dalam Gereja Santo Michael…”

Dan live pun resmi dimulai.

Udara di dalam gereja terasa berbeda. Dingin, tapi bukan dingin biasa—dingin yang menusuk sampai ke tulang. Lampu portable menyorot debu yang berterbangan di udara, membentuk kabut tipis di dalam ruangan. Bau apak bercampur belerang semakin kuat, seperti ruangan ini sudah lama ditinggalkan oleh waktu.

Langkah pertama mereka menimbulkan gema yang aneh, seolah-olah lantai gereja itu menelan suara dan memantulkannya dengan nada lebih berat.

“Gila…” Imam berbisik lirih, tapi mikrofon di bajunya menangkap jelas. “Tempat ini kayak bener-bener nggak pernah disentuh manusia.”

Kamera Tasya menyorot ke altar utama. Patung Santo Michael masih berdiri, tapi berlumut dan retak. Sayapnya yang seharusnya megah kini penuh noda hitam, seperti hangus terbakar. Di dasar altar ada bekas lilin yang sudah lama mati, serta cawan emas kecil yang terguling di lantai.

Chat penonton langsung meledak:

“ASTAGAAAA patungnya rusak gitu?”

“WOY ADA BAYANGAN DI BELAKANG RAMAAA!!”

“JANGAN KE ALTAR BEGO!!!”

“Sumpah merinding parah gue.”

Rama justru semakin bersemangat. Ia mendekat ke altar, kamera menyorot wajahnya yang penuh gairah. “Guys, ini altar yang katanya tempat pengusiran iblis terakhir sebelum gereja ini disegel. Katanya… di sini, para pastor mendengar suara makhluk yang dipanggil Samael.”

Begitu nama itu terucap, angin dingin berembus dari arah belakang altar, membuat lilin bekas doa bergemeretak seakan baru saja dinyalakan. Tasya menegang, matanya membesar. “Ram… lo jangan sembarangan nyebut namanya.”

Tapi Rama malah mendekat, mengangkat tangannya. “Kalau memang ada sesuatu di sini… tunjukkan pada kami!”

DUUUMMMM!

Tanah di bawah kaki mereka bergetar lagi, lebih keras dari sebelumnya. Kamera bergetar, gambar blur beberapa detik. Dari arah sayap kiri gereja, pintu kayu yang setengah lapuk terhempas sendiri, terbuka lebar dengan suara pecah.

Imam mundur, crowbar di tangannya gemetar. “Bro… itu barusan siapa yang buka?”

Chat makin liar:

“ANJIR PINTU NYA KEBUKAAA SENDIRIIII!!”

“WOYY KELUARRR AJA!!!”

“INI UDAH GA BERES BRO, SERIUS GUA TAKUT.”

“Sumpah ada suara ketawa kecil tadi nggak sih???”

Tasya merasakan napasnya tercekat. Di telinganya, samar-samar, terdengar bisikan pelan. Bukan satu suara—tapi banyak, berlapis-lapis, seperti ribuan orang berbisik sekaligus dari balik tembok.

“…lepas…kan… aku…”

“…kami… di dalam…”

“…darah… darah…”

Ia langsung menutup telinganya, wajah pucat. “Ram! Ada suara… sumpah gue denger suara!”

Tapi Rama tetap menatap lurus ke kamera, wajahnya tersenyum aneh. Seperti semakin dalam ia masuk, semakin besar dorongan dalam dirinya untuk bertahan. “Kalian semua denger itu, kan? Ini bukti, guys! Ini bukan hoax. Gereja ini masih hidup.”

Mereka berempat perlahan bergerak menuju pintu samping yang terbuka sendiri. Lampu portable diarahkan, memperlihatkan lorong panjang menuju ruang kecil di balik altar. Lantai marmernya retak-retak, dengan noda hitam di beberapa titik.

Dani, yang sejak tadi paling takut, akhirnya angkat suara, hampir berteriak. “RAM, GUE SERIUS INI KETERLALUAN! KITA KELUAR SEKARANG JUGA ATAU—”

Suaranya terputus.

Karena dari arah lorong itu, muncul suara. Suara rendah, dalam, seperti seseorang bernafas dengan dada berlubang.

Hhhhhhhhkkk… hhhhhhhhkkk…

Semua terdiam. Kamera fokus ke lorong gelap.

Lalu terdengar… ketukan.

Tiga kali. Berat.

DUK… DUK… DUK…

Lampu portable bergetar sedikit, seakan energinya tersedot. Tasya mulai menangis pelan, menahan diri. Imam mundur dua langkah, tapi Rama justru melangkah maju satu langkah.

“Siapa di sana?” Rama berteriak ke arah lorong. “Kalau kau Samael… tunjukkan dirimu!”

Hening sejenak.

Lalu… dari dalam lorong, suara lirih menggema.

“…Raa…maaa…”

Darah di wajah Rama seakan surut. Semua menatapnya.

“…Raa…maaa…” suara itu lebih jelas, kini terdengar seperti dipanggil dari dasar perut bumi.

Chat meledak histeris:

“WOYYY DIA NYEBUT NAMA RAMA!!”

“INI NGGAK NORMAL ANJINGGGG!!!”

“LARI SEKARANG JUGA!!!”

“SUMPAH GUA BERDOA SEKARANG TOLONG JANGAN LANJUT!!!”

Dani jatuh terduduk, tangannya menutup muka. Tasya menjerit, “Kita cabut sekarang, Ram!! Sekarang!!!”

Tapi Rama malah mendekat, seakan tertarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Senyumnya kini hilang, diganti wajah kosong, matanya melebar. Ia mengangkat kamera, melangkah ke lorong itu.

“Guys… gue harus lihat ini dengan mata kepala sendiri.”

Begitu langkah Rama melewati ambang pintu lorong…

BUKKK!

Pintu itu menutup keras dengan sendirinya, memisahkan Rama dari yang lain.

Tasya menjerit histeris. “RAMAAA!!!”

Dari dalam lorong, terdengar suara Rama berteriak. Awalnya panik.

“Gue nggak bisa buka pintunya! Tolongin gue!!”

Lalu suaranya berubah… berat… serak… seperti bukan miliknya.

“…kalian… semua… sudah… terlambat…”

Lampu portable mereka padam.

Dan layar live-stream mendadak gelap.

“RAMAAA!!!”

Tasya menubruk pintu lorong yang tiba-tiba menutup rapat. Ia menekan bahunya sekuat tenaga, tapi pintu itu seperti dilem, tidak bergeming sedikit pun. Imam mengayunkan crowbar berkali-kali ke engsel pintu, suaranya bergema memekakkan telinga. Dani ikut mendorong dengan tubuh gemetar.

Dari balik pintu, suara Rama masih terdengar.

Awalnya panik: “Buka! Tolong buka pintunya!!!”

Tapi perlahan berubah. Suaranya serak, aneh… berat.

“…jangan… buka…”

“…kalian… bukan lawan…nya…”

Tasya berhenti, tubuhnya gemetar hebat. “Itu… itu bukan suara Rama lagi…”

Tiba-tiba DUUUUMMMM!!!

Getaran keras mengguncang gereja, debu berjatuhan dari atap. Cawan emas di altar terguling, pecah, dan lilin bekas doa meneteskan sisa lilin yang entah bagaimana menyala kembali—api kecil berkedip-kedip tanpa sumbu.

Chat penonton live-stream benar-benar kacau:

“ANJIRRRR SUMPAH GUA GA KUAT!!”

“ITUNYA MASUK KE RAMA BROOO!!!”

“GEREJANYA GEMPA WOYYYY!!”

“LARIIII LARIIII LARIIII!!!”

Lalu terdengar krak-krak-krak… suara kayu retak.

Patung Santo Michael di altar, yang tadinya tegak, tiba-tiba bergeser sedikit. Sayapnya yang patah retak semakin parah, dan dari retakan itu menetes cairan hitam pekat seperti darah busuk.

“Ya Tuhan…” Imam berbisik, keringatnya bercucuran. “Patung itu… berdarah.”

Lalu pintu lorong bergetar keras. Dari dalam terdengar suara kuku panjang menggores kayu. Sreeeettt… sreeeettt…

Dani langsung mundur, wajahnya pucat pasi. “Gue… gue nggak tahan lagi, gue keluar sekarang!” Ia berlari menuju pintu utama gereja. Tapi begitu tangannya menyentuh gagang pintu…

BRAKKKK!

Pintu itu terbanting sendiri, terkunci rapat, besi pengunci muncul seperti didorong dari luar. Dani menjerit panik, menendang-nendang, tapi sia-sia.

“Jangan pisah! Jangan pisah!!” Tasya menjerit. Suaranya pecah, tangannya terus mengguncang pintu lorong.

Lalu… hening.

Suara dari balik pintu lenyap.

Tiga detik.

Sepi, hanya terdengar detak jantung mereka masing-masing.

Lalu…

DOOOMMMM!!!

Pintu lorong terhempas terbuka begitu keras hingga hampir terlepas dari engselnya. Dari dalam lorong keluar Rama—atau sesuatu yang menyerupai Rama.

Matanya hitam total, wajahnya pucat kebiruan. Dari mulutnya menetes cairan hitam. Tangannya bergetar, dan dari kuku jarinya menjulur panjang seperti cakar.

“Ram…?” Tasya berbisik lirih.

Sosok itu mendongak, dan tersenyum lebar dengan mulut penuh darah.

“Dia sudah tidak ada lagi…”

Tasya langsung menjerit, Imam melangkah mundur sambil mengacungkan crowbar, dan Dani terjatuh menabrak kursi gereja.

Seketika udara berubah semakin pekat. Salib besar di belakang altar jatuh menghantam lantai, kayu patah berkeping-keping. Dari retakan lantai altar, asap hitam perlahan keluar, berputar membentuk pusaran.

Samael.

Bisikan ribuan suara menggema di seluruh ruangan. “…darah… korban… buka segel… dunia… milik kami…”

Rama—orang yang dulunya Rama—bergerak cepat tak wajar, seperti direnggut tali tak kasat mata. Dalam sekejap ia sudah ada di depan Dani, mencengkeram lehernya. Dani menjerit, kakinya menendang-nendang udara.

“LEPASKAN DIA!!” Imam berteriak dan menghantamkan crowbar ke kepala Rama. BLAKK! Suara besi menghantam tulang terdengar jelas. Tapi Rama hanya menoleh perlahan, tersenyum, dan darah hitam muncrat sedikit dari pelipisnya—tanpa efek.

Tasya menangis histeris, berteriak-teriak memanggil nama Tuhan, tapi suaranya tertelan bisikan yang semakin keras. Dari arah retakan altar, tangan-tangan hitam mulai merayap keluar, mencakar lantai, seperti ada puluhan tubuh mencoba keluar dari dalam tanah.

Dani terlempar ke kursi panjang, tubuhnya menghantam kayu hingga pecah. Ia berusaha merangkak, tapi darah segar sudah keluar dari mulutnya. Kamera yang jatuh masih merekam semuanya, angle miring, membuat wajah Rama terlihat lebih menyeramkan—setengah manusia, setengah iblis.

Imam maju lagi, berteriak penuh nekat, “KALAU LO MAU KORBANNYA, AMBIL GUE, JANGAN TEMEN-TEMEN GUE!!”

Tapi sosok itu tertawa, tawa dalam yang bergema di seluruh gereja, bercampur suara lain di belakangnya.

“Semua kalian… akan jadi milikku.”

Lalu lampu portable pecah serentak. Gelap total.

Hanya tersisa cahaya merah samar dari retakan altar yang kini menyemburkan api hitam.

Dalam kegelapan, terdengar suara kursi terguling, kaca pecah, jeritan, dan bisikan bercampur jadi satu. Penonton live-stream di luar sana hanya melihat layar gelap dengan suara chaos yang tak manusiawi.

Chat benar-benar histeris:

“WOYYYY APAAN INI SUMPAH GA ADA EDITAN!!!”

“ADA TANGAN KELUAR DARI LANTAI, LIATTT!!!”

“RAMANYA BUKAN RAMA LAGI WOYY!!!”

“STOPP!!! STOPP LIVE INI!!!”

“GUA BERDOA, GUA BERDOA, GUA BERDOA…”

Tasya menjerit panjang, lalu… BRUKK! Suara tubuh jatuh keras ke lantai.

Lalu, hening.

Gelap.

Dan dari kegelapan itu, terdengar suara rendah, dalam, mengisi seluruh ruang:

“…segell… telah… patahh…”

Kejadian malam itu yang begitu chaos-nya, tidak terdengar dari luar Gereja karena di saat bersamaan ada tiga orang yang sedang patroli kampung, merasa heran kenapa ada mobil avanza hitam ber-plat nomor asal kota besar terparkir didepan Gereja tanpa ada tanda-tanda kehidupan.

***

Pagi itu matahari sudah naik tinggi, menyinari halaman rumah sakit dengan cahaya keemasan. Venny berdiri di depan jendela ruang perawat, masih mengenakan seragam putih bersih dengan name tag bertuliskan Suster Kepala – Venny. Lima tahun bukan waktu sebentar; wajahnya sedikit lebih dewasa, garis lelah di bawah mata makin jelas, tapi tatapan matanya justru lebih tajam.

Di balik semua pengalaman traumatis lima tahun lalu, ia belajar untuk menyembunyikan rasa takutnya. Namun ada sesuatu yang tidak pernah hilang: kemampuannya melihat makhluk tak kasat mata.

Hari itu, sejak subuh, Venny sudah gelisah. Tiga kali ia salah menuliskan data pasien. Dua kali ia merasa ada yang memperhatikannya dari lorong kosong rumah sakit. Bahkan saat memimpin briefing pagi dengan para perawat, tangannya bergetar saat memegang papan laporan.

“Bu Suster?” tanya seorang perawat muda, ragu-ragu. “Ibu baik-baik aja?”

Venny tersenyum tipis, mencoba menutupinya. “Iya… mungkin kurang tidur aja.”

Padahal sejak semalam ia tidak bisa tidur sama sekali.

Mimpi buruk itu datang lagi.

Dalam mimpinya, ia selalu berdiri di halaman belakang mess lama—yang sekarang sudah jadi Pastori untuk para frater dan biarawati. Pohon serut tua masih menjulang di sana, dan sumur tua itu tetap tertutup kayu tebal. Tapi ada sesuatu yang berubah: papan kayu penutup sumur retak, dan dari celahnya keluar asap hitam perlahan, menyelinap ke udara malam.

Dalam mimpinya, Venny mendengar suara bisikan.

“…segell… terbukaa…”

Ia terbangun dengan tubuh penuh keringat dingin, dan jantung berdegup kencang tak terkendali.

Sejak itu, rasa gelisah tak mau pergi.

Sore harinya, Venny sengaja melewati kompleks gereja Santo Michael, sekadar mampir sebentar. Gereja itu sudah lima tahun disegel, dengan garis tanda Vatikan yang membentang di pintu utama. Debu menempel di kaca jendela, dan halaman dipenuhi dedaunan kering. Namun justru di situlah, firasat buruknya semakin kuat.

Ia berdiri lama di depan pagar.

Tiba-tiba bulu kuduknya meremang. Dari arah jendela lantai dua, ia jelas melihat bayangan hitam berdiri menatap ke luar.

Venny memejamkan mata, lalu membuka lagi. Kosong. Tidak ada apa-apa.

Tapi ia tahu.

Itu bukan ilusi.

Malamnya, Venny duduk di kamarnya, menatap meja belajar yang penuh berkas kerja. Ada cermin kecil di pojok meja. Ia nyaris tidak pernah menatap cermin lama-lama sejak kejadian lima tahun lalu.

Namun entah kenapa malam itu ia terpaku pada pantulan wajahnya sendiri.

Dan untuk sepersekian detik…

Wajahnya di cermin tersenyum, padahal ia tidak.

Venny langsung menjerit kecil, menutup cermin itu dengan kain putih. Tangannya gemetar. Nafasnya memburu.

Ada sesuatu yang bangun lagi.

Keesokan paginya, Yael datang berkunjung. Kini Yael sudah resmi jadi bidan muda, wajahnya lebih cerah, lebih percaya diri, seolah sudah berdamai dengan masa lalu. Tapi begitu masuk kamar Venny, ia langsung menyadari perubahan suasana.

“Ven… kenapa kamu pucat banget?”

Venny menghela napas panjang, suaranya pelan.

“Yael… aku mimpi buruk lagi. Sama persis seperti dulu. Tentang sumur itu. Tentang gereja itu.”

Yael langsung diam. Tangannya menggenggam erat tangan Venny.

“Jangan bilang… ada yang kebuka lagi…”

Venny tidak menjawab. Tapi sorot matanya cukup membuat Yael ikut merinding.

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, Venny menuliskan sesuatu di buku catatan pribadinya. Tangannya gemetar, tapi ia tetap menulis dengan rapi:

“Aku tidak tahu kapan, tapi aku yakin tragedi itu belum selesai. Gereja Santo Michael belum sepenuhnya tenang. Dan aku… bisa merasakannya. Ada yang akan datang.”

Saat ia menutup buku itu, terdengar suara samar dari luar jendela.

Bisikan.

Sangat lirih, tapi jelas:

“…venny…”

Yael menatap Venny lama sekali. Mereka duduk berdampingan di ruang tamu kecil apartemen perawat yang ditempati Venny. Lampu temaram membuat suasana jadi hangat, tapi entah kenapa hawa di ruangan itu terasa dingin.

“Aku tahu kamu masih sering diganggu, Ven,” kata Yael pelan, seolah takut kata-katanya bisa melukai. “Tapi kamu nggak pernah cerita detail. Bahkan waktu kita sama-sama tinggal di mess dulu, kamu selalu diam.”

Venny menggenggam cangkir tehnya. Uap tipis naik perlahan. Tangannya gemetar sedikit. Ia menatap ke bawah, lalu berkata dengan suara rendah:

“Yael… aku nggak diam. Aku cuma takut kalau aku cerita, orang-orang bakal bilang aku gila.”

Yael menarik napas dalam. “Aku nggak akan pernah bilang kamu gila.”

Hening sejenak. Lalu Venny mengangkat wajahnya, mata berkaca-kaca.

“Aku bisa lihat mereka, El. Makhluk-makhluk itu. Dari sejak kita di mess dulu, setelah malam kita pertama kali diganggu pocong itu… penglihatanku nggak pernah normal lagi.”

Yael menelan ludah. Ingatannya kembali ke malam itu. Bagaimana ia pingsan, tubuhnya dingin, dan saat sadar, Venny yang paling hancur. Ia baru sekarang benar-benar memahami apa yang Venny tanggung selama ini.

“Seberapa sering?” tanya Yael pelan.

Venny terdiam sejenak. Lalu ia mulai menghitung dengan jemarinya.

“Di rumah sakit—hampir tiap minggu aku lihat ada ‘bayangan’ di lorong ICU. Kadang di ruang operasi yang kosong. Kadang di kursi tunggu. Waktu aku pulang malam, sering ada yang ngikutin. Aku pura-pura nggak lihat, padahal jelas mereka berdiri.”

Yael memegang lengan Venny erat-erat. “Ya Tuhan…”

“Aku nggak pernah bisa cerita ke Ibu Maria, apalagi ke Pastor Rafael atau Pastor Felix,” lanjut Venny, suaranya pecah. “Aku takut mereka pikir aku kesurupan, atau kerasukan. Padahal aku sadar penuh, El. Aku normal. Cuma… aku bisa lihat apa yang orang lain nggak bisa lihat.”

Air mata jatuh membasahi pipi Venny.

Yael menatap sahabatnya itu dengan campuran iba dan kagum.

“Kamu kuat banget, Ven. Kalau aku yang ada di posisimu, mungkin aku udah gila beneran.”

Venny menggeleng. “Bukan kuat. Aku cuma… nggak punya pilihan.”

Mereka terdiam lama. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar.

Akhirnya, Yael bertanya hati-hati.

“Ven… mimpi yang kamu alami semalam… itu tentang sumur lagi, kan?”

Venny mendongak pelan, menatap sahabatnya dengan sorot mata serius.

“Iya. Sama persis seperti lima tahun lalu. Kayu penutup sumur itu retak. Ada asap hitam keluar. Dan ada suara yang berbisik.”

Yael menggigit bibirnya. “Kamu yakin bukan cuma mimpi?”

Venny menatap tajam. “El, aku udah terbiasa bedain mana mimpi biasa, mana yang bukan. Dan kali ini… itu bukan sekadar mimpi.”

Yael menggenggam tangan Venny lebih erat.

“Kalau begitu… mungkin kita harus bicara sama Pastor Felix.”

Venny cepat-cepat menggeleng. “Belum. Jangan dulu. Aku takut ini cuma… semacam firasat. Aku nggak mau bikin panik siapa-siapa.”

“Tapi kalau ternyata beneran, Ven?” desak Yael. “Kalau ada sesuatu yang kebuka lagi, kita nggak bisa diem aja.”

Venny terdiam. Pandangannya kosong. Seolah hatinya setengah sepakat dengan Yael, setengah lagi terlalu takut untuk membenarkan.

Lalu, tiba-tiba, Venny menoleh ke arah jendela. Matanya melebar.

“Yael… kamu lihat itu?”

Yael refleks menoleh. Tapi ia hanya melihat kaca gelap memantulkan bayangan mereka berdua.

“Apa, Ven?”

Venny masih terpaku, wajahnya pucat pasi.

“Di luar jendela… ada yang berdiri. Tinggi… hitam… matanya merah.”

Yael merinding hebat. Ia menggenggam tangan Venny makin kencang. “Aku nggak lihat apa-apa, Ven…”

Venny menutup matanya erat-erat, tubuhnya gemetar. “Yael… aku takut. Mereka makin sering muncul. Kayak… ada sesuatu yang bangun lagi. Dan aku yakin ini bukan kebetulan.”

Yael menarik napas panjang, mencoba tenang meski tubuhnya sendiri kaku.

“Kalau gitu… kita nggak bisa nunggu. Besok, aku ikut kamu. Kita harus cek gereja itu. Minimal, kita pastikan segelnya masih utuh.”

Venny menatap Yael, bingung sekaligus takut.

“Kalau ternyata segelnya rusak, El?”

Yael menatap balik, sorot matanya mantap meski bulu kuduknya berdiri.

“Kalau rusak… berarti kita udah terlambat.”

...

Suara lonceng kecil di kapel pastori berdenting lembut. Matahari sore menyelinap lewat kaca patri berwarna biru dan merah, menumpahkan cahaya samar ke lantai marmer. Di altar kecil itu, Pastor Rafael duduk sendirian. Jubah hitamnya sedikit kusut, wajahnya kuyu, bola mata cekung seolah baru melewati malam-malam tanpa tidur. Tangannya menggenggam rosario, tapi jari-jarinya gemetar pelan—seolah setiap manik manik yang ia sentuh justru menyalakan luka lama di dadanya.

Sudah lima tahun sejak tragedi Gereja Santo Mikael, tragedi yang menewaskan belasan penghuni mess perawat dan menyisakan trauma panjang. Gereja itu kini tersegel, dijaga pihak Vatikan, dan tak seorang pun diperbolehkan masuk. Namun bagi Rafael, segel besi dan salib-salib exorcismus di pintu tak pernah cukup menutup bayang-bayang dalam kepalanya. Ia masih mendengar bisikan, masih melihat bayangan Angel—gadis yang pernah dicintainya ketika ia masih bernama Bimo Kumboro—tersenyum getir dalam mimpinya.

Felix, kepala pastori, sudah berulang kali menasihati: “Engkau belum siap memimpin misa, Rafael. Lukamu belum sembuh. Jangan terburu-buru.”

Dan Rafael hanya bisa mengangguk. Ia tahu dirinya rapuh. Ia tahu rasa bersalah itu, yang menempel bagai duri, bisa dijadikan celah oleh iblis kapan saja.

Setiap pagi, Rafael bangun lebih dulu dari frater-frater muda. Ia menyapu halaman pastori, menggunting ranting kering pohon serut di belakang yang kini menjadi taman doa, lalu duduk di bangku kayu menghadap Goa Maria mini. Dari sana ia bisa melihat sumur tua yang kini ditutup permanen dengan besi dan salib besar di atasnya. Udara pagi segar, burung-burung gereja berkicau. Namun di telinga Rafael, masih ada gema samar: suara perempuan menangis… atau tertawa. Ia tidak pernah bisa membedakannya.

Para frater menghormati Rafael. Meski jarang bicara, wajahnya menyimpan kharisma. Ia rajin membantu tugas sehari-hari: mengajar kelas Kitab Suci, mendampingi doa brevir, atau mendengarkan curhat para frater muda yang rindu rumah. Tapi, setiap kali ada misa besar, Rafael mundur. Ia hanya duduk di bangku belakang, ikut berdoa, sementara Pastor Felix yang berdiri di altar. Banyak frater bertanya-tanya, tapi tak ada yang berani menyinggung.

Hanya Felix yang tahu luka itu. Luka bernama Angel.

....

Malam itu, setelah makan malam komunitas, Felix menghampiri Rafael yang sedang membersihkan perpustakaan kecil. Cahaya lampu kuning membuat ruangan tampak hangat, tapi suasana di antara mereka tegang. Felix menaruh sebuah buku tebal di meja—buku psikologi pastoral.

“Rafael,” katanya dengan suara pelan, “kau masih bermimpi tentang dia?”

Rafael terdiam. Tangannya berhenti mengusap debu. Lalu ia mengangguk perlahan.

“Angel datang lagi,” jawabnya parau. “Kadang ia berdiri di depan altar, menatapku. Kadang ia berbisik: ‘Kenapa kau tinggalkan aku, Bimo? Kenapa?’” Rafael menelan ludah, matanya basah. “Aku tahu itu ilusi… tapi rasanya nyata, Felix. Terlalu nyata.”

Felix menarik kursi, duduk di hadapannya. “Bimo Kumboro…,” ia sengaja menyebut nama lahir Rafael, “kau tidak bisa terus lari. Kau menjadi imam bukan untuk menutup luka, tapi untuk menyembuhkannya bersama Kristus. Tapi aku melihat, kau justru memendam. Itu berbahaya.”

“Aku… takut, Felix,” Rafael menunduk. “Takut suatu hari iblis memakai rasa bersalahku untuk menghancurkan semuanya.”

Felix menatapnya lekat. “Itulah sebabnya kau belum boleh berdiri di altar. Belum saatnya. Aku tidak ingin jemaat melihat imam yang rapuh di depan mereka. Tapi jangan salah… rapuhmu ini bukan kutuk, Rafael. Itu pintu. Pintu menuju pemurnian, jika kau berani melaluinya.”

Rafael terdiam lama. Dalam hati kecilnya, ia tahu Felix benar. Tapi hatinya tetap digelayuti bayangan seorang gadis berambut panjang, tertawa di bawah cahaya bulan—Angel muda, yang dulu primadona sekolah, dan pernah menjadi kekasihnya.

...

Ingatan itu datang tanpa diundang. Ia kembali ke masa remaja, saat masih bernama Bimo Kumboro. Rambut gondrong, seragam putih abu-abu, dan sepeda motor tua yang sering ia kendarai untuk menjemput Angel sepulang sekolah. Angel selalu duduk di boncengan sambil tertawa, rambutnya terurai diterpa angin. Ia adalah gadis tercantik di sekolah, cerdas, penuh pesona. Semua iri pada Bimo, si anak kampung yang bisa merebut hati Angel.

Tapi hubungan itu retak. Angel ingin bebas, sementara Bimo terikat pada keluarga yang religius—ibunya seorang katekis, ayahnya pendoa lingkungan, kakeknya seorang dukun yang kemudian bertobat. Tekanan hidup membuat Bimo akhirnya memutuskan hubungan. Ia pikir itu keputusan bijak. Tapi setelah itu, Angel berubah. Ia mencari pelarian: pergaulan bebas, dunia malam, pria-pria yang tak peduli padanya.

Dan saat Angel hamil di luar nikah, dunia runtuh. Bimo, yang kini Rafael, tak pernah berhenti menyalahkan diri. “Seandainya aku tidak meninggalkannya… seandainya aku bertahan… mungkin nasibnya tak akan seburuk itu.”

Rafael berdiri di depan cermin kecil kamarnya. Ia menatap wajahnya sendiri—wajah seorang imam berusia hampir empat puluh, dengan keriput halus di sekitar mata. Namun dalam bayangan cermin, ia seakan melihat Angel berdiri di belakangnya, tersenyum pahit. “Kau lari dariku, Bimo. Kau sembunyi di balik jubah hitam itu. Tapi aku masih di sini…”

Ia memejamkan mata keras-keras, lalu menciprati wajahnya dengan air. Nafasnya memburu. Ia meraih salib kayu kecil yang tergantung di leher, menggenggam erat-erat. “Tuhan… kuatkan aku. Jangan biarkan rasa bersalah ini jadi pintu bagi iblis.”

Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu doa itu masih penuh keraguan.

Beberapa hari kemudian, Pastor Felix mengajaknya berjalan di taman doa belakang pastori. Angin sore bertiup, daun pohon serut bergoyang, dan suara air dari sumur tua yang ditutup besi masih bisa terdengar samar.

“Rafael,” kata Felix, “kau tahu mengapa aku terus menekanmu dengan pertanyaan-pertanyaan itu?”

Rafael menggeleng.

“Karena aku melihat sesuatu yang belum selesai. Kau ibarat rumah yang terlihat indah dari luar, tapi pondasinya retak. Jika retak itu tak diperbaiki, satu guncangan kecil saja akan membuatnya roboh. Kau harus berani menghadapi Angel, bukan hanya bayangannya. Kau harus berani berdamai dengan masa lalu.”

“Bagaimana caranya, Felix?” suara Rafael nyaris pecah. “Setiap kali aku mencoba berdamai, wajahnya datang. Tawa itu, tangis itu. Dan aku tahu, itu bukan sekadar ingatan. Itu roh. Angel masih terikat di dunia ini karena aku.”

Felix menepuk bahunya. “Mungkin benar. Tapi roh yang terikat tidak selalu datang untuk menghancurkan. Kadang ia hanya cermin, memaksa kita melihat sisi diri yang kita tolak. Kau harus siap, Rafael. Karena suatu hari, entah kapan, engkau akan berhadapan langsung dengannya.”

Malam itu, Rafael duduk lagi di kapel kecil. Lilin menyala di altar, patung Bunda Maria menatap dengan lembut. Ia memejamkan mata, menggenggam rosario. Namun kali ini, di telinganya, ia mendengar suara lain. Bukan bisikan Angel, melainkan suara berat, dingin, yang tak asing:

“Bimo… kau adalah celah. Aku akan menunggu.”

Rafael tersentak, membuka mata. Kapel kosong, tapi udara terasa lebih dingin. Ia berlutut, menekan dahi ke lantai marmer.

“Jangan biarkan aku jatuh, Tuhan…” bisiknya.

Tapi entah kenapa, malam itu ia merasa doa itu tak sampai ke langit.

....

Malam itu, satu hari setelah live streaming Horror Hunter mendadak viral, dunia maya seperti terbakar. Video mereka menembus trending di YouTube, dipotong-potong jadi potongan pendek di TikTok, dan bahkan masuk thread panjang di Twitter. Judul-judulnya clickbait:

“Live terakhir Horror Hunter, lihat menit 46:23!”

“Beneran ada penampakan? Atau editan doang?”

“Kameramen jatuh terus hilang, asli bikin merinding.”

Netizen gempar. Ada yang ketawa dan bilang itu konten settingan, tapi banyak juga yang justru merinding, karena video itu terhenti di tengah kekacauan. Gambar freeze terakhir menampilkan pintu altar terbuka sedikit, seperti ada tangan hitam yang menjulur keluar. Lalu… mati. Tidak ada reconnect. Tidak ada update. Channel mereka pun sunyi.

Dan yang lebih mengerikan: tidak ada satu pun dari tim Horror Hunter yang bisa dihubungi lagi sejak malam itu.

Pagi berikutnya, kantor polisi kota M penuh dengan telepon. Orang tua dari Rama—leader Horror Hunter—melapor anaknya tidak pulang sejak dua malam lalu. Keluarga dua kru lain juga datang dengan wajah panik.

“Apa anak saya ikut tim itu, Pak? Saya lihat di video, bajunya sama persis kayak yang dia pakai waktu berangkat…” suara seorang ibu tersendat, memeluk foto anaknya.

Polisi awalnya mengira ini hanya kasus kabur atau prank. Tapi ketika beberapa bukti dikumpulkan—termasuk link live yang viral—mereka mulai menyadari kasus ini jauh lebih serius.

Kapolres, seorang pria paruh baya bernama Kompol Suryo, menatap layar laptop yang menayangkan ulang live. Wajahnya tegang. “Kalau ini benar-benar live… mereka masuk ke gereja Santo Mikael yang sudah disegel. Itu melanggar hukum.”

Seorang perwira muda, Bripka Adi, mengangguk. “Tapi, Pak… masalahnya mereka nggak keluar lagi. Tidak ada rekaman mereka keluar.”

Keesokan harinya, sebuah tim gabungan dibentuk: polisi, SAR, dan relawan. Mereka akan melakukan pencarian di sekitar gereja.

Mobil-mobil dinas berhenti di depan pagar besi besar yang sudah penuh tanda larangan masuk. Plang kayu bertuliskan: DILARANG MASUK – AREA DISEGEL tergantung berdebu, tetapi jelas.

Warga sekitar mulai berkerumun di kejauhan. Bisik-bisik terdengar:

“Walah, itu gereja angker kok masih ada yang berani masuk…”

“Katanya dulu disegel Vatikan langsung, lho…”

“Ya itu anak-anak konten sekarang, nekad demi viewer.”

Kompol Suryo menatap pagar tua itu, lalu menghela napas berat. “Kita harus sowan dulu ke pastori. Jangan gegabah. Ini wilayah gereja, dan segelnya internasional.”

....

Pastori terletak tidak jauh dari gereja, menempati bangunan lama yang sudah direnovasi jadi asrama frater. Dari kejauhan, aroma dupa samar tercium, bercampur dengan wangi melati dari taman doa.

Di ruang tamu pastori, rombongan disambut oleh Pastor Felix, pria setengah baya dengan wajah teduh tapi sorot mata penuh wibawa. Di sampingnya berdiri Pastor Rafael, lebih muda, wajahnya khas Jawa, namun terlihat lelah—seperti menanggung beban tak kasat mata.

Kompol Suryo menundukkan kepala sedikit, tanda hormat. “Mohon maaf, Romo. Kami datang karena ada laporan anak-anak muda hilang di sekitar gereja. Kami juga sudah lihat video live yang viral itu…”

Pastor Felix menatap dalam, lalu menjawab dengan suara rendah.

“Gereja Santo Mikael bukan tempat biasa, Bapak-bapak. Itu tempat yang disegel dengan doa dan sakramen. Bukan untuk dikunjungi, apalagi dijadikan bahan tontonan.”

Pastor Rafael tampak gelisah. Jemarinya meremas rosario di tangannya. Ia menunduk, seperti menahan sesuatu.

Seorang polisi muda memberanikan diri bicara. “Romo… kalau boleh jujur, di video itu… ada sesuatu. Kami juga tidak bisa menjelaskannya. Mungkin Romo lebih tahu?”

Pastor Felix hanya menutup mata sejenak, lalu berkata:

“Kalau mereka sudah membuka pintu itu… yang keluar bukan hanya mereka.”

Hening mendadak memenuhi ruangan. Suara detak jam dinding terdengar jelas.

Keluar dari pastori, rombongan aparat terbelah dua: sebagian menganggap ini hanya kasus orang hilang biasa, sementara sebagian lain benar-benar merasa ada hal gaib yang terjadi.

Bripka Adi berbisik pada rekannya, “Aku lihat videonya sampai habis. Ada suara… kayak bisikan. Itu bukan suara manusia.”

Rekannya langsung menegurnya, “Ssst! Jangan ngomong sembarangan. Nanti malah bikin takut yang lain.”

Namun dalam hati, semua orang tahu: pencarian ini tidak akan mudah.

Tim SAR mulai menyisir area sekitar gereja. Lampu sorot dipasang, anjing pelacak dilepas. Jejak sepatu ditemukan di tanah lembap dekat pagar samping, sesuai dengan jejak anak muda. Namun, jejak itu berhenti tepat di pintu utama gereja.

Tidak ada jejak keluar.

Pintu itu masih terkunci rapat dengan rantai besi dan segel lilin Vatikan. Anehnya, lilin itu tampak retak, seakan ada yang memaksa dari dalam.

Salah satu relawan merinding. “Pak… kalau mereka masuk, kenapa gembok ini masih utuh? Kok kayak ada yang nge-seal lagi dari dalam?”

Tidak ada yang bisa menjawab.

Sementara itu, dunia maya makin panas. Tagar #HorrorHunterMissing trending di Twitter. Wawancara keluarga korban muncul di televisi. Ada yang marah-marah, ada yang hanya bisa menangis.

“Kalau mereka masuk tanpa izin, tetap harus dicari, Pak. Itu anak kami, bukan kriminal,” kata seorang ayah di layar TV, wajahnya merah padam.

Tekanan publik membuat polisi semakin terjepit. Mereka harus memberi jawaban. Tapi bagaimana, kalau kenyataan yang mereka hadapi bukan hanya hukum dunia?

Malam itu, Kompol Suryo kembali ke pastori. Ia duduk berhadapan dengan Pastor Felix dan Pastor Rafael. Wajahnya letih.

“Romo… kami sudah cari seharian. Tidak ada tanda-tanda mereka. Saya ini polisi, saya percaya bukti. Tapi… kasus ini beda. Jujur, saya juga takut. Apa yang harus kami lakukan?”

Pastor Felix menatapnya dalam.

“Kalau benar mereka masuk… mungkin tubuh mereka tidak lagi berada di sini. Doa kami menyertai kalian, tapi ingatlah: ada batas antara tugas manusia dan kuasa Tuhan.”

Pastor Rafael akhirnya bicara, suaranya lirih.

“Kalau kalian nekat membuka pintu itu… bukan hanya mereka yang hilang. Kita semua bisa ikut binasa.”

Kompol Suryo terdiam. Kata-kata itu seperti beban besar menekan dadanya.

Malam kian larut. Tim SAR bubar untuk sementara, tapi di sekitar gereja masih ada garis polisi. Warga tidak berani mendekat, hanya mengintip dari jauh.

Di ruang pastori, Pastor Rafael duduk sendiri di kapel kecil, menatap patung Bunda Maria. Wajahnya pucat, matanya sembab. Ia berbisik, nyaris tak terdengar:

“Angel… jangan biarkan aku gagal lagi.”

Dari kejauhan, angin malam bertiup. Seperti ada suara tawa tipis, samar, bergaung di antara dinding tua gereja Santo Mikael.

....

Malam itu, kota M sudah tidak sama lagi. Sejak segel di altar gereja Santo Michael rusak, keanehan semakin menjadi-jadi. Warga jarang keluar rumah, lampu-lampu jalan mati mendadak, suara binatang malam lenyap. Hanya bunyi angin yang menyerupai bisikan.

Pastor Felix berdiri di depan pintu besar gereja yang kini terbuka sedikit, berderit seperti mengundang. Pastor Rafael, dengan jubah hitam liturgis, menggenggam salib peraknya erat-erat, tangan bergetar.

“Rafael,” suara Felix berat, tegas, “malam ini kita tidak punya pilihan. Kalau Samael bebas, bukan hanya kota ini… dunia bisa porak-poranda.”

Rafael menunduk. “Saya tahu, Romo. Tapi… saya takut. Saya masih… belum bersih.”

Ia menggertakkan giginya, bayangan Angel kembali muncul dalam benaknya. Senyum, tawa, lalu wajah penuh benci saat ia gantung diri. Luka itu masih menganga, belum sembuh.

Felix menepuk pundaknya. “Tuhan memakai orang yang paling rapuh, untuk menunjukan kuasa-Nya. Kau bukan sendirian. Aku di sini.”

Keduanya masuk. Pintu gereja menutup keras dengan sendirinya.

Gereja Santo Michael kini bukan lagi rumah ibadah. Altar dipenuhi noda hitam seperti jelaga, patung Yesus di salib tampak menangis darah, dan udara sesak, berbau belerang.

Rafael menyalakan lilin-lilin di sekeliling altar sambil melantunkan doa pembuka:

“In nomine Patris, et Filii, et Spiritus Sancti…”

Lilin-lilin itu menyala dengan api biru, bukan kuning. Felix sadar—Samael sudah bangkit sepenuhnya.

Tiba-tiba suara tawa menggema, rendah, menghantam jantung mereka.

“Ah… dua gembala kecil datang lagi. Membawa doa yang sudah basi.”

Samael muncul di atas altar. Tubuhnya seperti manusia raksasa bersayap, namun wajahnya pecah menjadi ribuan wajah manusia yang menjerit.

Felix mengangkat kitab Rituale Romanum. Suaranya keras, jelas, menggema ke seluruh ruangan:

“Adjúro te, omnis spiritus immunde, in nómine Iesu Christi Nazaréni, qui venit judicare vivos et mortuos…”

Rafael mengikuti, meski suaranya gemetar.

Samael meraung. Angin kencang bertiup dari segala arah, kaca jendela pecah satu per satu. Salib-salib di dinding jatuh, berdering.

Rafael terhuyung. Suara bisikan mulai masuk ke telinganya: suara Angel.

“Kau penyebab aku mati, Bimo… Kau yang membuatku memilih tali itu…”

Rafael menutup telinganya, tapi bisikan itu masuk langsung ke hatinya. Tubuhnya lunglai, matanya berkaca-kaca.

Tiba-tiba Rafael terlempar ke dinding dengan kekuatan tak kasat mata. Tubuhnya terbentur keras, darah muncrat dari bibirnya.

Samael menghampiri, wajahnya berubah jadi Angel yang tersenyum pahit.

“Lihat, Rafael… Kau gagal sebagai kekasih. Dan sekarang kau gagal sebagai imam. Tuhanmu tidak akan mengampunimu.”

Rafael meraung, “TIDAAAK!”

Felix segera berdiri di depan Rafael, mengangkat salibnya.

“Pergilah, roh jahat! Vade retro, Satana!

Api hitam menyambar. Felix menahan dengan salib. Cahaya terang dan gelap bertabrakan, membuat lantai gereja retak.

Felix tahu—Rafael tidak akan bisa menahan lama. Luka batin itu terlalu dalam, dan Samael memanfaatkannya.

Felix berbalik pada Rafael yang terkulai di lantai.

“Dengarkan aku, Rafael! Kalau kau mati dalam keadaan berdosa, kau akan hancur selamanya. Biarkan aku yang menanggung ini!”

“Tidak, Romo! Kau tidak boleh!” Rafael berusaha bangkit, tapi tubuhnya lemah.

Felix tersenyum. “Aku sudah tua. Hidupku sudah kupersembahkan. Biarkan darahku menjadi persembahan terakhir.”

Felix berdiri tegak di depan Samael, kitab doa di satu tangan, salib di tangan lain. Ia mulai melantunkan doa terakhir dengan suara yang mengguncang ruang angkasa:“Exorcizamus te, omnis immundus spiritus, omnis satanica potestas, omnis incursio infernalis adversarii…”

Samael meraung, menyalakan api hitam yang lebih besar, langsung menghantam tubuh Felix.

Tubuhnya terbakar, tapi mulutnya tetap melafalkan doa. Mata Felix bersinar dengan keyakinan, meski kulitnya melepuh.

Rafael menjerit. “ROMO FELIIIX!!”

Felix jatuh berlutut, lalu berteriak terakhir dengan kekuatan jiwa:

“CHRISTUS VINCIT! CHRISTUS REGNAT! CHRISTUS IMPERAT!!”

Tubuhnya hancur diterpa cahaya hitam, meledak menjadi debu bercahaya.

Doa Felix melemahkan Samael, tapi tidak menyegelnya. Sebaliknya, Samael makin bebas.

Ia tertawa panjang, suaranya bergema sampai keluar gereja.

“Pengorbanan sia-sia! Aku… bebas!”

Langit kota M berubah merah darah. Hewan-hewan mati mendadak. Orang-orang yang masih berani keluar rumah menjerit ketakutan melihat bayangan hitam merayap di jalan.

Kota M seperti dilanda lockdown. Rumah-rumah terkunci, jalan kosong, udara berat oleh rasa takut.

Rafael hanya bisa menangis di lantai, memegang salib penuh darah. “Maafkan aku, Tuhan… Maafkan aku…”

....

Beberapa minggu kemudian, Vatikan menetapkan kota M sebagai zona darurat rohani.

Seorang imam baru datang dari Jakarta. Tingginya menjulang, wajah keras, sorot mata dingin. Dia membawa sebuah koper hitam besar berisi kitab Latin, salib, dan alat eksorsisme resmi.

Namanya: Pastor Gabriel.

Ia berdiri di depan gerbang Santo Michael yang kini tertutup rantai besi. Dari dalam, samar terdengar tawa Samael.

Gabriel menggenggam rosario, bibirnya berbisik dalam Latin.

“In nomine Patris, et Filii, et Spiritus Sancti.”

Matanya menatap lurus.

“Aku datang untukmu, Samael.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Possessed Ekklesia
Samuel Fetz
Cerpen
Sendang Jantur
Noctis Reverie
Cerpen
Bronze
Tersesat Di Alam Gaib
Nasreen
Flash
Bronze
Hilang Dalam Dekapan Alam Lain
Sunarti
Flash
PESTA DI MALAM ITU
eunike_xiuling
Flash
Bronze
Petuah Nenek
Alfian N. Budiarto
Cerpen
Bronze
KAMAR 303
IGN Indra
Flash
Bronze
Adel Tersayang
Rere Valencia
Cerpen
Misteri dibalik keindahan gunung merapi
Aziz mubarok
Cerpen
Keluarga Keramat
LISANDA
Cerpen
Bronze
Aku Mencium Melati
Christian Shonda Benyamin
Flash
Bronze
Meja Operasi
Nila Kresna
Novel
Gold
Fantasteen Scary Halte Angker
Mizan Publishing
Novel
Gold
Mysterious Murder
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Rahasia Sumur Setan
Eki Saputra
Rekomendasi
Cerpen
Possessed Ekklesia
Samuel Fetz
Novel
The Last Karta
Samuel Fetz
Cerpen
Possessed
Samuel Fetz