Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan rintik membasahi jalanan Kota M malam itu. Udara lembap bercampur aroma tanah basah, membuat Venny menutup rapat jaketnya. Di sampingnya, Yael menggenggam payung hitam yang sedikit robek di ujungnya, menatap gedung besar berwarna pucat yang berdiri muram di hadapan mereka.
“Itu mess-nya?” tanya Yael ragu, matanya meneliti bangunan dua lantai dengan cat mengelupas dan jendela-jendela besar yang tampak gelap.
“Iya… kata orang, ini bangunan tua dari zaman Belanda,” jawab Venny pelan. “Sekarang dipakai buat perawat yang kerja di rumah sakit.”
Mereka melangkah masuk ke halaman yang becek. Di sudut halaman, sebuah pohon besar berdiri menjulang, daunnya lebat dan batangnya bengkok seperti tangan tua yang terpelintir. Venny merinding, entah kenapa pohon itu seperti menatap balik.
Pintu mess terbuka, memperlihatkan sosok wanita paruh baya dengan seragam perawat rapi. Senyumannya tipis, matanya tajam menilai dua pendatang baru itu.
“Kalian Venny dan Yael, ya? Saya Maria, kepala perawat sekaligus pengurus mess ini. Ayo masuk,” ujarnya sambil mempersilakan.
Begitu masuk, aroma apek langsung menyergap. Lorongnya panjang, lampu neon berkedip-kedip, dan lantainya terbuat dari ubin kuning yang sudah kusam. Di dinding tergantung foto-foto perawat generasi lama—semuanya hitam putih, dan beberapa wajah di foto seperti… menatap terlalu tajam.
Ibu Maria berjalan di depan. “Mess ini ada dua lantai. Kalian dapat kamar di lantai atas. Peraturan sederhana: jangan keluar mess setelah jam sepuluh malam, jangan bawa orang luar, dan…,” ia menoleh sebentar, “jangan pernah pergi ke belakang.”
Venny dan Yael saling pandang. “Kenapa nggak boleh?” tanya Yael.
Ibu Maria berhenti sejenak, lalu tersenyum kaku. “Karena ada alasan. Kalian akan tahu sendiri nanti kalau melanggar.”
Mereka melewati beberapa pintu kamar yang sebagian terbuka, memperlihatkan penghuni lain. Dian, perawat muda berwajah cerah, melambaikan tangan ramah. Di pojok lorong, seorang perempuan bernama Utari duduk di kursi sambil menunduk, matanya menatap kosong ke lantai.
Di kamar mereka, dua ranjang besi tua berdampingan. Jendela besar di ujung kamar menghadap ke halaman belakang—tepat ke arah pohon besar yang tadi mereka lihat. Bahkan dari sini, bentuknya terasa mengancam.
Malam itu, hujan reda. Lorong sepi. Venny sudah berbaring sambil memainkan ponselnya, sementara Yael masih menata pakaian. Tepat pukul sebelas lewat sedikit, terdengar suara tok… tok… tok di pintu.
Venny mengira itu Yael, tapi saat menoleh, Yael masih di dalam kamar. Mereka saling menatap. Suara ketukan itu datang lagi, lebih keras.
Yael memberanikan diri membuka pintu. Tidak ada siapa-siapa di luar. Lorong kosong, hanya lampu berkedip pelan. Tapi Venny bersumpah, dari arah ujung lorong, ia melihat bayangan putih melompat sekali… lalu menghilang.
Lorong itu seperti menelan suara. Tidak ada bunyi selain dengungan lampu neon yang sesekali berderit. Yael menutup pintu perlahan, mencoba tertawa kecil.
“Mungkin angin,” katanya, meski matanya tak meyakinkan.
Venny menatap jendela kamar. Pohon besar di halaman belakang tampak bergoyang pelan, meski udara malam itu sama sekali tak berangin. Daun-daunnya berdesir lirih, suara yang entah kenapa terdengar seperti bisikan.
Mereka mencoba tidur, tapi sekitar pukul satu dini hari, Venny terbangun. Ada suara… seperti bola kecil yang dipantulkan di lorong. Tok… tok… tok… Suara itu bergerak perlahan mendekat ke kamar mereka.
Dia menoleh ke arah Yael, tapi Yael terlelap. Venny bangkit, menempelkan telinga ke pintu. Suara bola itu berhenti tepat di depan kamarnya. Hening.
Lalu terdengar suara langkah kaki kecil—terlalu ringan untuk manusia dewasa—berlari menjauh.
Venny menelan ludah, lalu kembali ke ranjang. Matanya sekilas tertuju ke jendela. Di luar sana, di bawah pohon besar, dia melihat sesuatu: sesosok anak kecil, kepalanya miring tidak wajar, berdiri sambil menatap ke arah kamarnya.
Dia memejamkan mata kuat-kuat, memaksa dirinya percaya itu hanya bayangan.
Pagi harinya, saat sarapan di ruang makan mess, suasana agak hangat. Dian menyapa ramah, mengajak mereka duduk.
“Kalian tidur nyenyak semalam?” tanyanya sambil tersenyum.
Yael mengangkat bahu. “Lumayan. Cuma… sempat ada suara aneh.”
Dian menatap keduanya lama, lalu menunduk, suaranya menurun.
“Kalian tidur di kamar yang jendelanya menghadap pohon serut, kan?”
Venny mengangguk pelan. “Iya… memangnya kenapa?”
Dian tidak menjawab. Dia hanya meletakkan sendoknya, lalu pergi meninggalkan meja.
Dari ujung ruangan, Utari menatap mereka sambil menghembuskan asap rokok. Matanya sayu, suaranya datar.
“Kalau mau tidur nyenyak, jangan pernah menatap ke arah pohon itu… apalagi kalau ada yang balas menatap.”
Ucapan itu membuat Venny dan Yael saling pandang. Belum genap sehari mereka di sini, tapi perasaan tak nyaman sudah menempel di kulit seperti udara lembap kota ini.
Malam berikutnya, hujan turun deras. Petir sesekali menyambar, membuat cahaya putih menyelinap lewat celah gorden kamar. Venny dan Yael sudah berbaring, tapi suara hujan membuat tidur mereka gelisah.
Sekitar pukul dua dini hari, suara itu datang lagi. Bukan bola kali ini, tapi ketukan pelan di jendela. Tok… tok… tok…
Venny mengangkat kepala. Yael juga terbangun, saling berpandangan di remang kamar.
“Jangan dibuka,” bisik Yael.
Tapi rasa penasaran Venny mengalahkan logika. Dia melangkah pelan mendekati jendela, menarik gorden hanya sedikit… dan membeku.
Di luar, berdiri sosok anak kecil yang kemarin ia lihat. Kali ini lebih jelas—kulitnya pucat kebiruan, matanya hitam pekat tanpa bola mata, bibirnya terbelah sampai ke pipi. Pakaian putihnya basah kuyup menempel di tubuh kurusnya.
Anak itu mengangkat tangannya, mengetuk kaca lagi… lalu tersenyum. Gigi-giginya kecil, runcing, dan terlalu banyak untuk ukuran manusia.
Venny terlonjak mundur, menutup gorden rapat. Namun saat ia membalikkan badan, dia membeku lagi. Di ujung ranjang, tepat di belakang Yael yang masih memandang jendela, berdiri sosok lain—tinggi, terbungkus kain putih kotor, kepala miring seperti tulang lehernya patah.
Pocong itu diam, tapi kain kafannya bergerak-gerak seperti ada sesuatu yang berusaha keluar dari dalam. Bau busuk menguar, menusuk hidung mereka.
Lampu kamar tiba-tiba padam.
Teriakan Venny dan Yael memecah malam, namun lorong mess tetap sunyi. Tak ada yang datang membantu. Hanya suara angin… dan entakan berat yang menjauh, menuju arah pohon serut di belakang.
***
Rumah sakit Kota M punya dua wajah. Siang hari, lorongnya ramai dengan pasien, keluarga, dan suara roda brankar. Tapi malam… ia jadi tempat sunyi yang membuat waktu terasa membeku.
Malam itu, Venny dan Yael mendapat giliran shift malam di bangsal penyakit dalam. Hujan turun di luar, udara dingin merayap masuk lewat celah jendela tua yang tak pernah benar-benar rapat. Lampu neon di langit-langit memancarkan cahaya putih pucat yang membuat semua terlihat seperti foto hitam putih.
Di sudut bangsal, seorang pasien bernama Pak Herman baru saja meninggal sore tadi akibat komplikasi paru-paru. Tubuhnya sudah dibawa ke kamar jenazah sebelum malam, tapi Venny merasa aneh… tempat tidurnya tidak diganti. Selimut masih terlipat rapi, dan gelas air di nakas samping ranjang masih terisi setengah.
“Udah empat kali gue shift malam di sini,” bisik Yael sambil mengisi catatan medis, “dan setiap kali ada yang meninggal, pasti ada hal aneh.”
Venny menoleh. “Maksudnya?”
Yael tidak sempat menjawab. Dari arah tempat tidur Pak Herman, terdengar suara serak memanggil pelan:
“Sus… ter…”
Mereka berdua saling pandang. Tidak ada pasien di ranjang itu—hanya kasur kosong dengan selimut putih.
Suara itu datang lagi, kali ini lebih jelas:
“Suster… tolong…”
Venny memegang lengan Yael. “Lu denger, kan?”
Belum sempat Yael menjawab, monitor di ranjang itu menyala sendiri, memunculkan detak jantung… beep… beep… beep… padahal tak ada siapa pun yang tersambung.
Yael memberanikan diri melangkah mendekat. Tangannya terulur untuk mematikan monitor, tapi tiba-tiba semua lampu di bangsal berkelip cepat. Dari sudut mata, Venny melihat sosok duduk di tepi ranjang—punggungnya membungkuk, kepalanya menunduk. Bajunya persis yang dipakai Pak Herman saat terakhir dia hidup.
“Pak…?” suara Venny gemetar.
Sosok itu mengangkat kepala. Matanya cekung, kulit wajahnya kelabu kebiruan, bibirnya membiru. Dia tersenyum… tapi darah mengalir dari sudut bibirnya.
“Suster… jangan biarkan… dia… masuk…”
Tiba-tiba semua lampu padam.
Dari ujung lorong bangsal, terdengar suara langkah berat, disertai bunyi kain terseret di lantai.
Langkah itu mendekat, pelan tapi berat, seperti seseorang menyeret tubuh yang sudah kaku. Suara kain yang bergesekan dengan lantai semakin jelas.
Shhh… shhh… shhh…
Venny meraih senter dari meja jaga, sinarnya bergetar di tangannya. Dia menyorot lorong—kosong. Tidak ada siapa-siapa. Tapi suara itu tetap terdengar, seolah langkahnya ada tepat di telinga.
“Yael…” bisik Venny.
Yael berdiri kaku, matanya terarah ke ranjang kosong Pak Herman. Sosok tadi sudah hilang. Hanya monitor yang terus berbunyi pelan. Lalu… sesuatu muncul dari bawah ranjang.
Dua tangan pucat mencengkeram pinggiran kasur, kuku-kukunya panjang, hitam, dan retak. Perlahan, kepala muncul—wajah pucat itu bukan wajah Pak Herman. Ini wajah perempuan muda, matanya melotot, bibirnya sobek sampai ke telinga. Air hitam menetes dari rambutnya, membentuk genangan di lantai.
Perempuan itu merangkak keluar dari bawah ranjang dengan gerakan patah-patah, kepalanya sesekali berputar tidak wajar.
“Sus… ter…” suaranya lirih tapi seperti diucapkan dari dalam sumur.
Venny dan Yael mundur, tapi perempuan itu terus mendekat.
Tiba-tiba, lampu bangsal menyala lagi. Semua kembali normal. Tidak ada genangan air, tidak ada perempuan merangkak.
Hanya ada seorang pasien di ranjang sebelah yang bertanya polos, “Suster… barusan siapa yang lewat sini?”
Mereka berdua memilih diam, menyelesaikan shift dengan dada terasa berat.
…
Pukul empat pagi, mereka akhirnya selesai jaga dan keluar menuju mess. Jalan menuju mess sepi, hanya suara hujan sisa dan gemerisik daun.
Saat melewati gerbang belakang rumah sakit, Venny menoleh sekilas. Di dalam ruang jenazah yang kacanya buram, ada siluet seseorang berdiri diam—tingginya tak wajar, dan di sekeliling kepalanya ada sesuatu yang menggantung… seperti kain panjang kotor.
“Jangan nengok lagi,” ujar Yael cepat, menarik tangan Venny. “Kita… nggak sendiri dari tadi.”
Mereka berjalan cepat, tapi setiap langkah terasa diikuti. Begitu sampai di mess dan masuk ke kamar, Venny mendengar suara ketukan di jendela. Tok… tok… tok…
Dia menarik gorden…
Pohon serut di belakang mess bergoyang pelan, meski udara benar-benar tenang.
***
Mess perawat itu punya kamar mandi umum di lantai bawah, terletak di ujung lorong yang jarang dilewati. Konon, bangunan kamar mandi itu tidak pernah direnovasi sejak era kolonial. Lantainya dari ubin abu-abu yang licin, dindingnya tebal dengan cat terkelupas, dan setiap bilik dipisahkan tembok tinggi setengah retak. Lorongnya memanjang, hanya diterangi lampu kuning redup yang menggantung sendirian di tengah.
Malam itu, sekitar pukul setengah sebelas, Dian berjalan santai membawa handuk di bahu dan ember berisi perlengkapan mandi. Dia baru pulang dari shift sore dan merasa tubuhnya lengket oleh keringat. Venny dan Yael sedang di ruang makan, sementara penghuni lain sudah masuk kamar.
Saat Dian tiba di pintu kamar mandi, udara di dalam terasa lebih dingin daripada di lorong. Bau lembap menusuk hidung, bercampur aroma karbol basi. Lampu di ujung lorong kamar mandi berkedip pelan.
Dia memilih bilik ketiga dari pintu masuk, meletakkan embernya, lalu mulai mandi. Suara air yang mengucur memenuhi ruang, bergema di antara dinding lorong. Tapi di sela gemericik itu, dia mendengar suara lain—drag… drag…—seperti kain panjang yang diseret di lantai basah.
Dian berhenti, mematikan keran. Sunyi. Hanya suara tetesan air dari pipa bocor di bilik sebelah. Dia menggeleng, menganggapnya cuma imajinasi, lalu kembali mandi.
Beberapa menit kemudian, suara itu terdengar lagi. Kali ini diikuti suara hentakan berat… duk… duk…… bergerak pelan dari ujung lorong kamar mandi.
“Siapa tuh?” seru Dian, berusaha tegas. Tidak ada jawaban.
Dia mencoba mengintip lewat celah pintu bilik. Lampu di ujung lorong makin redup, bayangan hitam besar tampak diam di sana. Bentuknya samar, seperti seseorang berdiri mematung.
Bulu kuduk Dian berdiri. Dia buru-buru menyelesaikan mandinya, meraih handuk. Saat akan keluar bilik, pintu yang tadi terbuka sedikit… menutup sendiri dengan suara kreeeek.
“Eh, jangan bercanda!” seru Dian panik, mendorong pintu. Ternyata tidak terkunci, tapi begitu dibuka, lorong di luar tampak lebih gelap dari seharusnya. Lampu di tengah lorong berkedip cepat, lalu mati.
Dian melangkah pelan, handuk masih menutupi badannya. Setiap langkahnya terasa berat karena udara semakin dingin. Bau busuk, seperti tanah kuburan basah, menyengat hidungnya.
Dari kegelapan ujung lorong, terdengar suara… duk…… diikuti kain yang terseret. Pelan-pelan, sosok itu muncul dari bayangan: tinggi, terbungkus kain kafan kotor, kepala miring dengan rahang bergeser. Pocong itu melompat sekali, lalu diam, kepalanya menunduk.
Dian mundur, kakinya gemetar. Pocong itu melompat lagi—lebih dekat. Setiap lompatan membuat suara lantai berderak, dan setiap kali bergerak, kain kafannya mengeluarkan bunyi seretan basah.
Dian berteriak, tapi suaranya terputus saat pocong itu melompat ketiga kalinya, kini hanya berjarak dua langkah darinya. Mata pocong itu terbuka lebar, putih seluruhnya, dan dari lubang hidungnya menetes cairan hitam pekat.
Dian merasa pandangannya berputar. Bau busuk itu menyesakkan, dunia seakan meredup. Dalam detik terakhir sebelum gelap, dia melihat kain kafan pocong itu bergerak—seperti ada tangan-tangan kecil yang mendorong dari dalam.
...
Beberapa menit kemudian, Venny dan Yael yang kebetulan hendak ke dapur mendengar suara benda jatuh dari arah kamar mandi. Mereka berlari, menemukan Dian terkapar di lantai lorong, tubuhnya basah kuyup, handuknya terlepas sebagian. Matanya terbuka tapi kosong, napasnya terengah-engah.
Di ujung lorong, lampu kembali menyala pelan. Tak ada siapa-siapa. Tapi genangan air yang mengarah ke bilik paling ujung meninggalkan jejak… seperti bekas lompatan kaki yang dibungkus kain.
***
Mess perawat malam itu tak seperti biasanya. Lampu-lampu gantung diganti bohlam warna-warni, meja makan dipenuhi kue, gorengan, dan minuman manis. Musik mengalun dari speaker kecil—campuran dangdut koplo dan lagu pop lawas. Semua penghuni mess berkumpul di ruang makan untuk merayakan ulang tahun Ibu Maria.
Venny dan Yael, yang biasanya pendiam, ikut larut dalam suasana. Tawa dan tepuk tangan memenuhi ruangan saat kue ulang tahun dibawa keluar, lilinnya berkelip.
“Selamat ulang tahun, Bu Mariaaa!” teriak semua serentak.
Ibu Maria tersenyum, memotong kue, dan membagi-bagikannya. Malam itu terasa hangat, bahkan sedikit berisik. Semua shift jaga dipegang oleh suster-suster yang memang tinggal di Kota M, jadi penghuni mess bisa bebas bersenang-senang.
Di tengah riuhnya pesta, dua sosok mencuri perhatian: Bernadeth, perawat tinggi dengan rambut panjang, dan Emi, yang selalu terlihat penasaran dengan gosip apa pun. Mereka berdua duduk di pojok, berbicara pelan sambil sesekali melirik ke arah pintu belakang mess.
“Aku masih penasaran sama Angel,” bisik Emi, matanya menyipit. “Katanya dia gantung diri di pohon serut belakang mess, kan? Tapi ada yang bilang mayatnya dulu diangkat dari sumur.”
Bernadeth mengangguk. “Aku juga denger gitu. Dan katanya sumurnya disegel sama Bu Maria, biar nggak ada yang diganggu lagi.”
Emi tersenyum nakal. “Kita liat, yuk.”
Tanpa banyak pikir, mereka menyelinap keluar dari ruang makan. Musik dan tawa makin sayup terdengar saat mereka menyusuri lorong belakang mess yang remang. Lampu di sini redup, bau apek lebih pekat.
Lorong itu berakhir di sebuah pintu kayu tua. Begitu dibuka, udara malam langsung menyergap—dingin dan lembap. Di halaman belakang, pohon serut besar menjulang, cabang-cabangnya seperti tangan tua yang menggapai. Di bawahnya, sebuah sumur batu tua berdiri, tertutup lempengan kayu tebal yang diikat dengan rantai berkarat.
Bernadeth melangkah mendekat. “Ini dia…” suaranya bergetar, tapi matanya berbinar penasaran.
Mereka berdua saling pandang. Emi meraih besi tua di dekat sumur, lalu mulai mencungkil papan penutup. Rantai berkarat itu lepas dengan suara krek yang memecah kesunyian.
Begitu penutup terbuka, bau busuk langsung menyeruak, menusuk hidung. Air di dalam sumur tampak hitam pekat, tak memantulkan cahaya bulan.
“Kayak… ada yang bergerak di bawah,” ujar Emi pelan.
Bernadeth mencondongkan tubuh, mencoba mengintip. Air itu bergolak pelan, lalu terdengar suara… tawa lirih perempuan.
Mereka membeku. Tawa itu berubah jadi isakan pelan, lalu kembali tertawa—suara yang mengerikan, campuran sedih dan marah. Dari kedalaman sumur, gelembung-gelembung besar muncul.
Air yang bergolak itu mulai membentuk siluet wajah perempuan. Rambutnya panjang, basah, menutupi sebagian muka. Bibirnya tersenyum… senyum lebar yang terlalu lebar untuk manusia.
Bernadeth mundur, tapi matanya tak bisa lepas dari wajah itu.
“Ang… el…?” bisik Emi.
Senyum itu melebar, memperlihatkan gigi hitam penuh darah. Lalu, tangan pucat dengan kuku panjang menembus permukaan air, meraih tepi sumur…
...
Bernadeth dan Emi berlari sekuat tenaga meninggalkan halaman belakang. Nafas mereka tersengal, sepatu menghentak lantai kayu lorong mess yang sunyi. Jantung mereka berdetak tak karuan, bukan hanya karena lari, tapi karena wajah yang mereka lihat di sumur itu… wajah Angel, dengan senyum yang terlalu lebar.
Tok… tok… tok…
Langkah mereka menggema hingga ke ruang pesta. Musik berhenti mendadak saat semua mata menoleh ke arah lorong. Wajah Venny dan Yael berubah tegang saat melihat dua rekannya datang dengan wajah pucat dan napas memburu.
“Ada… ada yang di sumur…” suara Emi pecah, belum sempat ia melanjutkan—
BLAAAR!
Semua lampu mess padam serentak. Suara lilin ulang tahun yang masih menyala berdesis pelan. Gelap total menyelimuti ruangan, hanya tersisa aroma makanan dan napas panik orang-orang di dalamnya.
“Tenang… mungkin listrik—” suara Ibu Maria terhenti ketika terdengar suara dari luar jendela.
Tawa lirih.
Isak tangis.
Suara kain yang terseret di lantai.
Lalu… derap langkah puluhan orang—atau sesuatu—mengitari mess.
DUM! DUM! DUM!
Pintu belakang berderak seperti dipukul keras dari luar. Bernadeth meraih tangan Emi. “Itu mereka… mereka datang.”
Dari arah lorong, sosok pertama muncul—pocong, lompat pelan namun mantap, kepalanya terkulai ke samping, kain kafan kotor penuh tanah. Dari tangga atas, seorang noni Belanda melangkah anggun, gaunnya compang-camping, mata birunya kosong, darah mengalir dari bibir.
Anak kecil berlari di bawah meja, tertawa cekikikan, sesekali mengetuk kaki orang yang duduk membeku di kursi.
Lalu… datanglah mereka.
Puluhan arwah lain masuk tanpa suara. Ada yang tubuhnya setengah transparan, ada yang tanpa kepala namun tetap berjalan, ada yang merangkak di dinding dengan sendi terpelintir. Mereka memenuhi setiap sudut mess, seakan kegelapan melahirkan mereka satu per satu.
Aroma busuk makin pekat.
Dari pintu belakang yang kini terbuka lebar, air menetes… lalu genangan hitam masuk seperti menyusup dari tanah. Di tengah genangan itu, sosok Angel muncul. Basah kuyup, rambut panjang menutupi wajah, bajunya robek, kulitnya pucat kebiruan.
Saat ia menatap, rambutnya terbelah sedikit, menampakkan mata hitam pekat. Senyum itu kembali—senyum licin, penuh amarah.
Begitu Angel melangkah masuk, semua arwah yang ada di mess menoleh ke arahnya. Seakan ia adalah ratu, komandan, atau alpha mereka.
Ia mengangkat tangannya perlahan. Gerakan kecil itu cukup untuk memberi perintah.
Jeritan pertama pecah dari sudut ruangan—seorang perawat jatuh dari kursinya, tubuhnya diseret ke dalam kegelapan oleh sesuatu yang tak terlihat. Meja terbalik, piring pecah, lilin padam tertiup angin dingin.
Suara-suara itu kini bercampur menjadi simfoni horor.
Tawa histeris noni Belanda, tangis bayi dari sudut gelap, suara pocong menghantam lantai, desisan arwah yang merangkak di langit-langit.
Angel hanya berdiri di tengah ruangan, menikmati pemandangan kekacauan itu.
“Main… bersama… aku…” suaranya berat, seolah berasal dari dasar sumur.
Gelombang arwah menerjang. Semua yang ada di ruangan terjebak. Teriakan demi teriakan meledak, tapi tak ada yang berani bergerak menuju pintu.
Di luar, halaman mess penuh arwah penasaran lain yang tak kebagian masuk. Mereka menekan wajahnya ke kaca jendela, menatap dengan mata kosong yang berkilat di kegelapan.
Dan di tengah semua itu… Venny dan Yael hanya bisa saling menatap, sadar bahwa malam ini baru saja berubah menjadi neraka hidup.
Suara teriakan masih memantul di setiap sudut mess. Piring pecah, kursi terlempar, langkah dan lompatan makhluk-makhluk itu menggema di lantai kayu yang lapuk.
Venny meraih lengan Yael. “Kita harus keluar dari sini… sekarang!” suaranya hampir tak terdengar di tengah kekacauan.
Mereka menunduk, mencoba merangkak di antara meja yang terbalik dan tubuh-tubuh yang berjatuhan. Pocong melompat tak jauh dari mereka, kain kafannya menyapu lantai basah. Dari atas, noni Belanda berjalan di sepanjang pagar balkon, gaunnya berayun, mata birunya menatap lurus ke arah mereka.
Gedebuk!
Sesuatu jatuh di samping mereka—seorang perawat lain, tubuhnya kaku dengan kepala menengok ke arah yang tak seharusnya.
Yael menelan ludah, perutnya mual. “Kalau kita lewat pintu depan, mereka bakal lihat.”
Venny melirik ke arah lorong kecil di sisi kanan mess. “Gudang linen… ada pintu belakang menuju halaman!”
Mereka merangkak cepat. Setiap langkah terasa seperti berjalan di atas kaca. Di belakang mereka, Angel masih berdiri, tapi kepalanya perlahan menoleh, menatap tepat ke arah lorong yang mereka tuju. Senyum itu muncul lagi.
BLUP… BLUP…
Dari lantai basah, genangan hitam merayap mengikuti mereka. Venny dan Yael hampir sampai di pintu gudang, ketika sesuatu seperti tangan pucat muncul dari air, berusaha meraih pergelangan kaki Venny.
“Yael! Tarik aku!”
Yael memegang erat lengannya, menarik sekuat tenaga hingga Venny terlepas. Mereka berdua menutup pintu gudang, menahan napas, mendengarkan suara ketukan pelan di sisi lain pintu.
Gudang itu gelap, hanya aroma kain lembap dan karbol yang menusuk hidung. Mereka berjalan pelan menuju pintu belakang, tapi langkah mereka terhenti.
Di tengah gudang, ada sebuah ranjang besi tua—dan di atasnya, duduk seorang anak kecil. Rambutnya menutupi wajah, bajunya lusuh, tangannya memegang boneka tanpa kepala.
“Main sama aku…” suaranya pelan, tapi menggema di telinga mereka.
Boneka itu terjatuh ke lantai. Dari arah boneka, kaki-kaki kecil mulai berlari ke segala arah—bukan satu, tapi puluhan. Mereka berlari di lantai, dinding, bahkan langit-langit gudang.
Yael menjerit. Venny meraih kunci pintu belakang, tapi lubangnya penuh karat. Ia memutar, memaksa, hingga klik pintu terbuka.
Mereka berlari ke halaman belakang—dan langsung terhenti.
Pohon serut menjulang di depan mereka, dan di bawahnya… sumur tua terbuka lebar. Asap hitam keluar dari dalamnya, melilit udara. Dan dari asap itu, puluhan arwah lain masih terus merangkak keluar, memenuhi halaman.
Venny menoleh ke Yael, napas mereka sama-sama tersengal. “Kalau sumur itu nggak kita tutup, semua ini nggak akan berhenti.”
Di kejauhan, di dalam mess, terdengar teriakan Angel. Kali ini, suaranya memanggil nama mereka berdua.
...
Udara malam terasa menggigit di kulit saat Yael dan Venny memanjat keluar lewat jendela samping mess. Kaca pecah menggores lengan Venny, tapi ia tak peduli. Nafas mereka terengah, tubuh bergetar antara kelelahan dan ketakutan.
“Terus lari… jangan lihat ke belakang!” bisik Yael.
Mereka menyusuri halaman, menginjak rumput yang basah oleh embun dan cipratan genangan hitam. Suara-suara dari dalam mess masih terdengar—teriakan, tawa, hentakan langkah makhluk-makhluk itu—tapi semakin lama semakin sayup.
Di ujung jalan setapak, sebuah lampu minyak berayun pelan di tangan seorang pria tua. Jubah hitamnya berkibar, wajahnya setengah tertutup cahaya.
“Cepat kemari!” panggilnya dengan suara tegas namun lembut.
Venny dan Yael berlari ke arahnya tanpa pikir panjang. Begitu mereka tiba, pria itu—seorang Pastor paruh baya—membuat tanda salib di udara, lalu menyelimuti mereka dengan jubahnya.
“Kalian selamat… syukurlah. Aku sudah melihat bayangan itu dari gereja,” katanya sambil menuntun mereka ke arah sebuah mobil tua yang terparkir di dekat gapura.
Dalam perjalanan menuju gereja, Venny dan Yael bercerita. Suara mereka gemetar saat mengulang bagaimana pocong melompat di lorong, noni Belanda menatap dari balkon, anak kecil dengan boneka tanpa kepala di gudang, dan… Angel, yang kini menjadi pusat semua kekacauan.
Pendeta itu, Pastor Rafael, mendengarkan dengan mata terpejam. Sesekali ia menggumamkan doa singkat, seperti mencoba menahan sesuatu agar tidak mengikuti mereka.
“Sumur tua di bawah pohon serut… itu bukan sekadar sumur. Itu pintu,” ucapnya pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri.
Begitu tiba di gereja, Pastor Rafael langsung menghubungi pihak kepolisian dan tim medis. Ia juga mengabarkan kejadian itu ke pihak rumah sakit.
Pagi menjelang. Sinar matahari yang masuk lewat jendela kaca patri gereja membuat ruangan terasa hangat—kontras dengan kengerian yang baru saja mereka lalui.
Dari halaman gereja, Venny dan Yael melihat mobil-mobil polisi dan ambulans memenuhi area mess. Petugas dengan masker dan sarung tangan mengevakuasi para korban. Ada lima belas orang—termasuk Bu Maria, Bernadeth, Emi, Dian, dan Utari—dibaringkan di atas tandu. Beberapa tak bergerak, beberapa lainnya menggigil atau meracau tanpa arah.
Yael menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Venny hanya bisa menatap kosong.
Kapolsek setempat berbicara dengan Pastor Rafael, lalu menghampiri mereka. “Kalian berdua untuk sementara istirahat dulu. Tidak perlu kembali bekerja sampai kondisi kalian pulih. Tetap di gereja ini, Pastor Rafael akan menjaga kalian.”
Malamnya, mereka tidur di kamar tamu gereja—dindingnya putih, ada salib kayu di atas pintu. Tapi meski aman, keduanya tidak bisa terlelap sepenuhnya.
Setiap kali memejamkan mata, Venny merasa mendengar tawa lirih Angel. Sementara Yael merasa, di luar jendela gereja, ada bayangan tinggi yang berdiri menatap ke arah mereka.
Mereka tahu… ini belum selesai.
Hujan gerimis turun di luar, membuat kaca jendela gereja dipenuhi titik-titik air. Malam itu seharusnya tenang. Venny dan Yael duduk di bangku panjang dekat altar, meminum teh panas buatan Pastor Rafael.
“Besok aku akan ke mess, mencoba melakukan pemberkatan. Tapi kalian tetap di sini,” kata sang pendeta sambil menatap mereka dalam.
Venny mengangguk, meski dalam hati ia tak yakin apa pun yang mereka lakukan bisa menghentikan makhluk itu.
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Pastor Rafael pamit ke ruangannya di lantai atas. Gereja menjadi senyap, hanya terdengar derik kayu bangku dan suara hujan yang jatuh di atap.
Yael berdiri, berjalan ke pintu samping untuk memastikan terkunci. Saat kembali, ia berhenti.
“Ven… kamu dengar nggak?” bisiknya.
Venny memiringkan kepala. Di antara suara hujan, terdengar cekikikan lirih. Bukan dari luar, tapi seperti datang dari dalam gereja.
Mereka berdua menoleh ke arah patung Maria di sudut ruangan. Lilin di bawah patung itu bergetar, nyalanya memanjang, lalu tiba-tiba padam.
Venny menelan ludah. “Mungkin angin—”
KRIIEET…
Suara berat seperti kayu digesek terdengar dari arah balkon paduan suara, di atas pintu masuk gereja. Perlahan, dari balik pagar kayu balkon, muncul sesuatu—kepala dengan rambut panjang basah menutupi wajah. Tubuhnya membungkuk aneh, tangan menjulur hingga menyentuh lantai meski jaraknya masih beberapa meter di atas.
Yael mundur, menarik Venny. “Itu… Angel…”
Makhluk itu mulai turun, bukan lewat tangga, tapi merangkak di dinding seperti laba-laba. Kuku-kukunya menggores cat dinding, meninggalkan jejak hitam pekat.
Mereka berlari ke kamar tamu, menutup pintu, menahan dengan lemari. Tapi di dalam kamar pun tak aman. Di sudut ruangan, di bawah salib kayu yang menggantung di atas tempat tidur, bayangan tinggi berdiri diam, menatap mereka dengan mata merah menyala.
Salib di dinding perlahan miring, lalu jatuh ke lantai dengan bunyi keras. Lilin di meja padam sendiri.
Dari kegelapan, terdengar suara berbisik.
“Kalian pikir… bisa sembunyi?”
Venny memeluk Yael erat-erat. Mereka tahu, malam ini baru permulaan.
Hujan deras mengguyur atap gereja Katolik Santo Michael malam itu. Petir menyambar, menerangi interior gereja yang remang dengan cahaya singkat sebelum kembali tenggelam dalam temaram lilin.
Yael berdiri mematung di dekat bangku panjang, tubuhnya gemetar melihat Venny yang tiba-tiba jatuh tersungkur di tengah lorong utama.
"Venny!" Yael berlari menghampiri, tapi sebelum tangannya menyentuh sahabatnya, tubuh Venny terangkat seperti ada kekuatan tak terlihat yang menarik ke atas. Kaki Venny tidak menjejak lantai, dan matanya yang tadinya normal kini berubah menjadi hitam pekat, pupilnya hilang sama sekali.
Dari bibir Venny, keluar suara yang bukan miliknya—serak, dalam, seperti gema dari sumur tua.
"Akhirnya… kita bertemu, saudara kembarku…"
Yael mundur. "Saudara… kembar?" bisiknya, tak mengerti.
Pastor Rafael segera memberi tanda salib.
"Semua orang, bentuk lingkaran!" suaranya tegas, mengatasi riuh dan kepanikan.
Dua puluh pastor muda bergerak cepat, membentuk lingkaran lebar mengelilingi Venny. Di belakang mereka, dua puluh suster biarawati memegang rosario dan lilin, membentuk lapisan kedua. Suara doa bergema, litani para kudus dibacakan, aroma dupa memenuhi udara.
Pastor Rafael memercikkan air suci ke arah Venny, tapi tubuh gadis itu malah bergetar semakin kuat. Dari balik suaranya sendiri, muncul tawa melengking yang jelas bukan milik manusia.
"Air itu tidak akan menghentikanku…"
Venny terlempar ke lantai, tubuhnya menegang seperti dipaku. Kepala gadis itu menoleh 180 derajat, menatap Yael dengan senyum lebar yang terlalu lebar untuk ukuran wajah manusia.
"Pastor, roh ini… kuat sekali," bisik salah satu pastor muda sambil menggenggam salib erat-erat.
"Teruskan doa! Jangan biarkan ia memutus lingkaran!" perintah Pastor Rafael.
Tiba-tiba, tubuh Venny terhuyung, lalu terdiam. Matanya mendadak kosong. Dan dalam hitungan detik, kesadarannya tersedot ke dalam sebuah ruang yang bukan dunia nyata.
...
Dalam penglihatan Venny
Venny berdiri di lorong panjang bercat putih kusam. Bau obat-obatan dan darah memenuhi udara. Ia tahu ini bukan gereja—ini… mess perawat, tapi dalam bentuknya yang jauh lebih tua, mungkin puluhan tahun lalu.
Di ujung lorong, ia melihat Angel—masih hidup, mengenakan seragam perawat, wajahnya pucat dan bengkak karena menangis. Di belakangnya, berdiri Bu Maria, kepala mess, dengan wajah marah dan mata merah berkilat.
"Bagaimana bisa kau mempermalukan aku seperti ini, Angel?" suara Bu Maria dingin, menusuk.
"Aku… aku dipaksa, Bu… aku—"
Tamparan keras memotong kalimat Angel. Gadis itu terjatuh ke lantai. Bu Maria menendangnya, berulang kali.
"Jangan berbohong! Kau perempuan jalang! Aku tidak peduli siapa ayahnya, kau tetap memalukan!"
Angel menangis, memegangi perutnya yang membesar.
Kata-kata itu membuat Venny terhenti.
Wajah Bu Maria berubah, sejenak tampak ragu. Tapi amarah kembali mengambil alih.
"Lebih baik kau mati saja!"
Adegan bergeser cepat—Angel diikat di kursi, dipukul, dicaci. Malam berikutnya, ia ditemukan gantung diri di pohon serut belakang mess. Dan yang paling mengerikan, bayangan Bu Maria berdiri di bawah pohon itu, menatap tubuh Angel yang tergantung… tanpa setetes pun air mata.
...
"VENNY!" teriak Yael, mengguncang bahu sahabatnya.
Venny terhuyung, tapi matanya masih hitam. Kini suaranya berganti, lebih menyerupai jeritan perempuan muda bercampur erangan seram.
"Dia… dia membunuhku… ibuku sendiri…"
Yael menatap Pastor Rafael. "Pastor… Bu Maria… dia ibu Angel!"
Ritual semakin intens. Pastor Rafael mengangkat salib tinggi-tinggi.
"Dalam nama Yesus Kristus, kami memerintahkan roh jahat ini pergi!"
Tubuh Venny melengkung tak wajar, lalu ia tertawa keras. Dari luar gereja, angin kencang berhembus, membuat pintu berderit hebat. Bayangan-bayangan menempel di dinding, bentuknya tak jelas—mungkin puluhan arwah penasaran yang tertarik oleh energi Angel.
Para suster mulai bergetar, beberapa hampir terjatuh, tapi lingkaran tetap terjaga. Pastor muda melantunkan doa Bapa Kami dan di lanjutkan Mazmur 140, suaranya menembus riuh jeritan roh.
Akhirnya, setelah hampir satu jam, tubuh Venny jatuh lemas. Matanya kembali normal, napasnya terengah.
Roh Angel mundur, tapi sebelum menghilang, suaranya berbisik di telinga semua orang yang ada di gereja:
"Ini belum selesai… kita akan bertemu lagi… pada tanggal kelahiranmu, Venny."
Yael memeluk Venny erat, air mata mengalir di pipinya. Pastor Rafael menatap mereka, napasnya berat.
"Kita memang memukul mundur dia malam ini… tapi ia akan kembali. Dan kita harus siap."
Petir terakhir malam itu menyambar, dan lilin-lilin di gereja bergetar… seolah roh jahat itu belum benar-benar pergi.
...
Ruang ICU di lantai paling ujung Rumah Sakit Katolik Santo Gabriel malam itu terasa seperti dunia yang terpisah dari tempat lain. Lampu redup, sinar putih kekuningan dari bohlam tua membentuk lingkaran cahaya samar di atas ranjang pasien. Di sekeliling tempat tidur, salib-salib kuno terpajang—ada yang terbuat dari kayu jati tua, ada pula yang terukir halus dari perunggu, warnanya kusam dimakan usia. Lilin-lilin kecil menyala di empat sudut ruangan, aromanya bercampur antara wangi dupa gereja dan obat-obatan rumah sakit.
Bu Maria terbaring diam, wajahnya pucat namun tidak lagi sekosong tadi malam. Matanya masih terpejam, tapi bibirnya bergerak-gerak pelan seperti sedang menggumamkan doa yang tak terdengar. Dua biarawati berjubah putih, Suster Bernadeta dan Suster Clara, duduk bergantian di kursi samping ranjang. Satu membaca Kitab Mazmur dengan suara lirih, satu lagi memegang rosario, jemarinya bergerak mengikuti butiran kayu.
Di luar pintu ICU, Pastor Rafael berdiri tegap. Sorot matanya tajam, tapi ada sesuatu yang menggelayut di pikirannya. Sejak tadi ia menghitung sesuatu di kepalanya—tanggal, jam, weton. Kebiasaan lama yang terbawa dari masa kecilnya di keluarga Jawa.
Nama aslinya bukan Rafael. Ia lahir dengan nama Bimo Kumboro, anak bungsu dari keluarga besar yang masih memegang teguh adat. Kakeknya adalah seorang dukun yang terkenal di wilayah Gunung Lawu, lelaki tua yang dipercaya bisa mengobati orang sakit hanya dengan doa dan air dari mata air keramat. Dari kecil, Bimo terbiasa melihat ayah dan pamannya membicarakan hari baik, pantangan, dan weton setiap kali ada hajatan keluarga.
Namun garis hidup membawanya ke jalan berbeda. Saat remaja, ia merasakan panggilan iman yang kuat. Perjalanan panjang membawanya masuk ke seminari, dibaptis, dan menerima nama baru: Rafael. Keluarganya, yang awalnya ragu, akhirnya ikut mengikuti jejaknya. Bahkan sang kakek, yang dulu dikenal sebagai dukun sakti, memilih dibaptis di usia senja. Ia wafat pada usia 113 tahun—wajahnya tenang, rosario tergenggam di tangan kanan, seolah tidur panjang dalam damai.
Kini, berdiri di depan pintu ICU, Rafael—atau Bimo Kumboro dalam dirinya yang lama—merasakan sesuatu yang aneh. Tanggal lahir Venny… tanggal bunuh diri Angel… weton keduanya… semua sama. Persis.
Bukan kebetulan.
Ia teringat petuah kakeknya, bertahun-tahun lalu:
“Anak kelahiran kembar lintas jiwa, yang lahir di detik kematian yang sama, akan terikat nasibnya. Kalau yang mati itu tak tenang… yang hidup akan jadi pintunya.”
Rafael menghela napas panjang. Ia tahu ini bukan saatnya menjelaskan semuanya kepada Venny. Belum.
Di ruang kapel kecil gereja, Venny duduk di kursi panjang, punggungnya diselimuti jubah hitam tebal. Bukan sembarang jubah—ini adalah peninggalan seorang pastor dari abad ke-17, Pastor Lorenzo, yang dalam catatan gereja pernah memenangkan pertempuran melawan iblis bernama Helel. Konon, jubah ini pernah terendam air suci selama tujuh hari tujuh malam sebelum dipakai dalam ritual pengusiran.
Yael duduk di sampingnya, memegang tangan sahabatnya erat-erat. Wajah Venny pucat, tapi matanya terlihat sedikit tenang. Jubah itu berat, aromanya campuran antara kain tua, dupa, dan wangi minyak zaitun. Setiap kali hembusan angin malam masuk lewat jendela kapel, Venny merasa seperti dipeluk dari belakang oleh sesuatu yang kuat namun tak terlihat.
“Kalau aku pakai ini… dia nggak bisa masuk lagi, kan?” bisik Venny, suaranya nyaris tak terdengar.
“Selama kau di bawah perlindungan Tuhan, dia tak akan menang,” jawab Rafael yang berdiri tak jauh dari mereka. Ada keyakinan di suaranya, tapi matanya mengamati setiap detail, seolah siap bereaksi kalau sesuatu berubah.
Malam semakin larut. Di ICU, Suster Bernadeta memejamkan mata sejenak untuk berdoa dalam hati. Suster Clara mengganti lilin yang mulai habis. Di luar, lorong rumah sakit terasa lengang. Suara jam dinding tua berdetak pelan.
Namun di tengah keheningan itu, ada sesuatu yang bergerak. Lilin di sudut kiri ruangan berkedip-kedip, lalu padam sebentar, sebelum menyala lagi. Kedua biarawati saling pandang, tapi tetap melanjutkan doa.
Di kapel, Venny tiba-tiba merasakan hawa dingin di tengkuknya. Jubah di pundaknya terasa semakin berat, seakan ada tangan tak terlihat yang menekan dari atas. Ia menatap Yael, tapi sebelum sempat bicara, aroma melati samar menyusup lewat celah pintu.
Rafael menghentikan langkahnya, menatap pintu kapel. Aroma melati di tengah malam bukan pertanda baik—terutama di tanah Jawa.
Tapi malam itu, tak ada serangan besar. Tidak ada jeritan, tidak ada penampakan. Semua hanya… tanda-tanda kecil. Lilin yang padam sendiri. Aroma bunga. Angin dingin yang tiba-tiba.
Bagi orang awam, itu mungkin kebetulan. Tapi bagi Rafael—Bimo Kumboro—ini adalah bisikan halus sebelum badai besar.
Ia menatap Venny yang mulai terlelap di kursinya, jubah hitam melingkupi tubuhnya. Dalam hati, Rafael tahu… waktu mereka tak banyak.
...
Ruang ICU itu sepi. Hanya bunyi beep monitor detak jantung Bu Maria yang terdengar, teratur, namun anehnya terasa terlalu lambat, seperti waktu ikut melambat bersamanya. Dua biarawati duduk di kursi kecil, bergantian membacakan doa Rosario, sementara salib-salib kuno menempel di tiap sudut ruangan, sebagian tampak sudah pudar catnya, tapi entah kenapa auranya terasa sangat kuat.
Di kapel kecil gereja, Venny duduk di kursi panjang paling depan, tubuhnya dibungkus jubah kuno berwarna hitam keperakan. Jubah itu berat, namun hangat, seolah menyelimuti jiwanya. Yael duduk di sampingnya, menggenggam tangan Venny erat-erat. Pastor Rafael—atau Bimo Kumboro seperti nama yang dulu ia miliki—berdiri di altar, membacakan doa pelindung dalam bahasa Latin, suaranya dalam dan tenang.
Namun, di antara lantunan doa itu… ada sesuatu.
Hening yang bukan hening.
Venny merasakan bulu kuduknya berdiri. Dari arah belakang kapel, terdengar tap… tap… tap… langkah kaki yang berat, namun teratur. Yael menoleh cepat, tapi lorong itu kosong. Hanya lilin-lilin kecil yang berderet di dinding, nyalanya bergetar tanpa angin.
“Aku… merasa ada yang memperhatikan kita,” bisik Venny lirih.
Pastor Rafael berhenti sejenak, menatap ke arah pintu. Matanya yang tajam memantulkan cahaya lilin, seolah ia sudah tahu sesuatu akan datang. Ia melanjutkan doanya, tapi kali ini lebih cepat.
Dari luar kapel, di taman gereja, biarawati yang berjaga melirik ke pohon besar di sisi kanan. Pohon itu tiba-tiba bergoyang, daunnya berdesir kencang meski udara malam ini sama sekali tak berangin. Saat salah satu biarawati mendekat, ia melihat sesuatu—sebuah kain putih panjang menjuntai di antara batang pohon. Pocong. Berdiri diam, kepalanya miring, matanya kosong… tapi senyumnya lebar, retak, dan penuh gigi.
Dan dia… bukan sendirian.
Bayangan hitam melintas di belakang pocong itu—seorang wanita bergaun putih kusam, wajahnya pucat dengan darah mengering di pipi, rambut pirangnya kusut menutupi sebagian wajah. Noni Belanda. Dari arah lain, terdengar suara tawa kecil… hik-hik-hik. Tawa anak kecil. Gelapnya taman mulai dipenuhi sosok-sosok lain—lusinan arwah penasaran, tubuh mereka setengah transparan, wajah mereka menatap ke arah kapel.
Di dalam, lilin di altar padam mendadak. Bau anyir masuk seperti kabut. Pastor Rafael memberi isyarat cepat—para pastor muda dan biarawati membentuk lingkaran mengelilingi Venny dan Yael. Doa bergema serentak, suara mereka saling bertindihan, menciptakan dinding suara yang bergetar di udara.
Tiba-tiba, semua roh di luar berhenti bergerak. Pocong, noni, anak kecil, dan puluhan arwah penasaran itu… menunduk.
Seolah mereka semua menunggu.
Menyambut sesuatu.
Lalu, udara di kapel bergetar.
Pintu kayu yang tertutup rapat mulai berderit… pelan, tapi pasti, terbuka. Dari kegelapan lorong, muncul sosok itu.
Angel.
Bukan Angel yang mereka kenal. Ini… sesuatu yang lain.
Tubuhnya diselimuti kain hitam koyak yang bergerak sendiri, seperti hidup. Dari celah-celah kain itu, kulitnya pucat membiru, penuh retakan hitam, seperti tubuh yang terbelah dari dalam. Matanya merah menyala, memancarkan kebencian mentah yang menusuk jiwa. Rambut panjangnya kusut, sebagian terurai menutupi wajah, sebagian lagi seperti ikut bergerak bersama kainnya.
Di tangannya, ia menggenggam rantai besi berkarat. Suara kring… kring… kring… rantai itu memenuhi kapel, dan setiap dentingnya membuat lilin-lilin yang tersisa meredup.
Begitu Angel melangkah masuk, semua roh lain di belakangnya ikut merayap mendekat. Aura gelapnya memaksa udara menjadi berat; napas menjadi sesak. Pastor Rafael merapatkan formasi, suaranya semakin keras:
“Dominus fortitudo mea et refugium meum!”
Angel berhenti tepat di depan lingkaran perlindungan. Matanya menatap Venny lurus-lurus.
“Kaau…” suaranya serak, panjang, dan dalam. “Kau… lahir… saat aku mati…”
Venny mulai gemetar, matanya mulai kosong. Yael memeluknya erat-erat, tapi tubuh Venny mulai terangkat perlahan dari lantai, seperti ada tangan tak terlihat yang menariknya. Pastor Rafael melangkah maju, mengangkat salibnya tinggi-tinggi, tapi rantai di tangan Angel melayang, menghantam lantai kapel dengan suara menggelegar.
Lilin terakhir padam.
Kegelapan total.
Dan dari dalam kegelapan itu, terdengar jeritan Venny—bukan jeritan manusia biasa, tapi suara bercampur gema… dua suara jadi satu: Venny dan Angel.
Kegelapan di kapel bagaikan lautan pekat. Suara napas orang-orang dalam lingkaran perlindungan menjadi satu-satunya penanda bahwa mereka masih ada. Lalu, dari tengah lingkaran itu, tubuh Venny mulai kejang-kejang.
Rafael merasakan hawa yang menusuk tulang—ini bukan sekadar kerasukan biasa. Ia pernah merasakan ini sekali, puluhan tahun lalu, saat masih frater muda di Yogyakarta… aura iblis yang lahir dari kebencian murni.
“Pegang dia!” perintah Rafael.
Empat pastor muda bergerak, mencoba menahan tubuh Venny, tapi ia melenting seperti boneka kain, matanya terbuka lebar—seluruh bola matanya hitam. Mulutnya terbuka, dan suara Angel keluar darinya.
“KAU INGAT, BIMO KUMBORO?!”
Nada itu bukan menuduh, tapi seperti mencabik jiwanya. Rafael terhenti sesaat.
“Kaau… lihat.”
Mata Venny memancarkan cahaya merah, dan semua orang di dalam lingkaran itu tiba-tiba melihatnya—visi yang begitu nyata seolah mereka ada di sana.
Seorang gadis muda, Angel, berlutut di lantai mess perawat, tubuhnya gemetar, perutnya membesar. Di depannya, Bu Maria berdiri dengan cambuk tipis di tangannya. “Kau memalukan nama keluarga,” suaranya dingin. Setiap cambukan mendarat, Angel menjerit, tapi tidak ada air mata di matanya—hanya tatapan kosong yang semakin dalam.
Lima hari kemudian, pohon serut di belakang mess menjadi saksi. Angel menggantung dirinya dengan seutas kain seprai. Malam itu, di tempat yang sama, di kota yang sama… seorang bayi perempuan lahir. Venny.
Rafael tersentak. Hitungan weton Jawa… tanggal yang sama… jam yang hampir bersamaan. Itu bukan kebetulan.
Kembali di kapel, rantai Angel—yang kini tergenggam di tangan Venny—terhempas ke lantai dengan suara yang memecah dinding suara doa. Salib-salib di dinding mulai berderak, beberapa jatuh. Pocong merayap masuk lewat jendela, noni Belanda melangkah anggun dengan kepala sedikit miring, anak kecil berlari-lari di antara bangku, tertawa tipis.
Lingkaran mulai runtuh.
Bimo Kumboro—Pastor Rafael—melepaskan jubahnya, mengambil botol air suci besar dari altar, dan menyiramkan setengah isinya membentuk garis di lantai. Uap putih mengepul dari lantai, membuat sebagian roh menjerit dan mundur. Tapi Angel tidak.
Dia melangkah maju, kainnya berkibar seperti sayap kegelapan.
“Dia milikku,” katanya pelan, tapi setiap suku kata terasa seperti palu menghantam dada semua orang di ruangan.
Venny mulai terangkat lebih tinggi, kepalanya menunduk, rambut menutupi wajah. Jubah kuno yang membungkusnya retak, serat-serat kainnya terurai, seolah ada sesuatu dari dalam yang ingin meledak keluar.
Rafael tahu—kalau mereka tidak memutus ikatan ini sekarang, roh Angel akan benar-benar masuk ke tubuh Venny secara permanen.
“Semua, doa penutup! Sekarang!”
Suara Latin memenuhi ruangan, tapi Angel hanya tertawa—tawa rendah, panjang, yang membuat semua lilin di luar kapel juga padam. Tawa itu… membawa hawa dingin yang merambat dari lantai hingga ke tulang.
Di luar, lusinan arwah penasaran yang tadi menunggu kini mulai bergerak… menuju kapel.
Lilin terakhir di kapel padam.
Gelap mutlak.
Hanya napas—dan itu pun tak terdengar sebagai napas manusia.
Dari kegelapan, langkah kaki Angel terdengar, pelan, berirama… tak… tak… tak… Setiap hentakan seolah memukul lantai dan menyalurkan energi gelapnya ke seluruh ruangan.
Pocong dan noni Belanda kini berdiri di belakangnya, seperti pengawal pribadi. Anak kecil itu duduk di sudut, memeluk lutut, menyenandungkan lagu nina bobo dengan nada sumbang, seolah menandai waktu sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi.
Lalu terdengar bunyi krak.
Itu tulang—bukan dari tubuh manusia, tapi dari patung Bunda Maria di altar kecil samping ruangan. Patung itu retak, wajahnya runtuh, dan dari dalam retakan itu merembes cairan hitam pekat, berbau seperti daging busuk yang terbakar.
Venny kini melayang setengah meter di udara, kepalanya mendongak. Mata merahnya menatap lurus ke langit-langit, mulutnya terbuka lebar hingga rahangnya berbunyi krek. Dari sana keluar suara Angel—tapi bukan satu suara, melainkan ribuan bisikan yang tumpang tindih.
“Kau tak akan bisa menyelamatkannya, Bimo Kumboro… sama seperti kau tak bisa menyelamatkanku.”
Doa Latin semakin keras, tapi begitu Angel tertawa, doa itu seperti kehilangan daya. Salib-salib kuno yang dipaku di dinding mulai berputar sendiri, beberapa terlepas dan menghantam lantai, membentuk pola lingkaran terbalik.
Rafael merasakan dorongan tak kasatmata—bukan hanya serangan fisik, tapi serangan ke pikirannya. Ia melihat kilasan masa kecilnya, kakeknya yang dukun, aroma kemenyan, suara gamelan, dan wajah Angel muda yang memanggil namanya… Bimo… Bimo…
Pastor-pastor muda di lingkaran mulai kewalahan. Dua di antaranya terhempas ke dinding, tubuh mereka seperti dilempar oleh tangan tak terlihat. Biarawati yang menjaga Bu Maria di ICU mulai berteriak dari kejauhan—tanda roh-roh lain sudah menyusup sampai ke sana.
Dan saat itulah… Angel menunjukkan full armor-nya.
Tubuhnya mulai membesar, kain hitamnya menjuntai seperti ratusan tangan, kulitnya retak dan dari celah itu memancar cahaya merah darah. Matanya dua bola api, dan rambutnya bergerak seperti ular hidup. Di belakangnya, lusinan arwah penasaran mulai berlutut, menyembah.
Satu langkah lagi… dan dia akan meraih Venny.
...
Rafael menatap mata merah Venny—atau Angel di dalam tubuhnya—dan tiba-tiba dunia di sekelilingnya memudar. Suara doa Latin para pastor memanjang, jadi gema jauh yang tak bisa lagi disentuh.
Tiba-tiba ia berdiri di sebuah halaman sekolah. Langit cerah. Angin sore meniup bau tanah basah. Di kejauhan, seorang gadis berlari ke arahnya sambil tertawa—Angel. Bukan yang hitam pekat, bukan yang penuh retakan, tapi Angel remaja, rambutnya dikepang dua, rok abu-abu berkibar.
“Bimo!” serunya sambil mengacungkan sepotong roti bakar. “Aku simpenin, kamu kan belum makan dari tadi.”
Rafael—Bimo Kumboro waktu itu—merasa dadanya sesak. Itu senyum yang sudah bertahun-tahun ia kubur. Mereka duduk di bawah pohon flamboyan, berbagi roti, berbicara tentang ujian, tentang film yang ingin mereka tonton minggu depan. Angel saat itu adalah primadona sekolah, semua orang ingin dekat dengannya, tapi ia memilih Bimo.
Namun, gambarnya berubah. Warna-warna cerah memudar. Angel duduk sendiri di bangku yang sama, menunduk. Tangannya memegang surat. Surat putus darinya.
“Aku… nggak mau kamu ikut terjebak sama aku, Angel,” suara Bimo dari masa lalu terdengar bergetar.
Angel mengangkat wajahnya. Ada luka di matanya yang tak bisa disembunyikan. “Terjebak? Bimo… aku pilih kamu. Kenapa kamu malah ninggalin?”
Bayangan melompat lagi—Angel berdiri di luar klub malam, bibirnya memerah, matanya sayu, sebotol minuman di tangan. Ada tawa orang-orang di sekelilingnya, tapi tatapan Angel kosong. Gambar berganti cepat: pelukan-pelukan asing, kamar-kamar gelap, musik hingar-bingar, hingga tubuhnya terayun di pohon serut di belakang mess.
Rafael terhuyung. “Tuhan…” bisiknya, tapi suaranya tenggelam. Ia tahu ini lebih dari sekadar kenangan. Ini adalah luka yang ia tinggalkan, luka yang menjadi pintu untuk roh Angel masuk.
Suara Angel menyusup ke telinganya—suara yang dulu ia cintai, kini tajam seperti belati.
“Kau meninggalkanku, Bimo… dan aku akan mengambil dia darimu. Dia lahir di saat aku mati. Dia milikku.”
Kilatan cahaya merah meledak, dan Rafael kembali ke kapel. Lilin-lilin yang tersisa meledak serentak. Angel—dalam wujud full armor—berdiri di hadapan lingkaran perlindungan, kain hitamnya berdesir, matanya membara.
“Sekarang, Bimo… kau akan menyaksikan aku mengambilnya.”
Udara di kapel berubah berat. Setiap tarikan napas seperti menarik kabut besi yang menusuk paru-paru. Angel melangkah maju, tumitnya mengetuk lantai kayu kapel seperti palu kematian. Pocong, noni Belanda, dan lusinan arwah penasaran mendekat, membentuk setengah lingkaran di belakangnya.
Formasi doa yang tadinya kokoh mulai goyah. Biarawati yang berada di tepi lingkaran berteriak saat bayangan gelap merayap di kaki mereka, dingin seperti tangan mayat yang membekap pergelangan.
“Perkuat formasi! Jangan lepaskan tangan!” teriak Rafael, tapi suaranya kalah oleh jeritan makhluk-makhluk itu. Lilin di altar berjatuhan, patung-patung malaikat retak dari dasar hingga ke wajah.
Angel mengangkat tangannya—cincin hitam di jarinya berputar sendiri. Dari telapak tangannya, keluar pusaran asap hitam tebal yang langsung menyerbu formasi perlindungan. Doa Latin yang tadinya terdengar tegas berubah menjadi gumaman panik. Pastor muda di ujung lingkaran terlempar ke dinding, darah mengalir dari pelipisnya.
Venny, yang tubuhnya masih dikuasai Angel, tiba-tiba tertarik ke pusat lingkaran. Kakinya tak menapak, melayang seperti boneka di tali. Mulutnya terbuka, tapi bukan suara Venny yang keluar—melainkan raungan dalam bahasa yang tidak dikenali, bergema di kepala semua orang sekaligus.
Rafael maju, jubahnya terangkat oleh hembusan angin gaib. “Kau tak akan membawanya, Angel! Aku tidak akan kehilangan dia seperti aku kehilanganmu!” teriaknya, suaranya bercampur amarah dan luka lama.
Angel tersenyum—senyum yang dulu hangat, kini berubah menjadi belahan mulut yang penuh ejekan.
“Kau sudah kalah, Bimo. Kau kalah waktu meninggalkanku. Kau kalah waktu aku mati. Dan sekarang… kau akan menyaksikan aku lahir kembali di tubuhnya.”
Asap hitam menyambar, menghantam Rafael dan membuatnya terhuyung. Lilin terakhir padam. Kapel tenggelam dalam kegelapan total—hanya mata merah Angel yang menyala seperti bara neraka.
Suara pintu kapel menggelegar tertutup rapat. Tidak ada jalan keluar. Semua roh yang dipanggilnya mulai merangkak masuk ke lingkaran, memecah perlindungan.
Dan ketika tangan pocong pertama berhasil menjebol lingkaran doa, udara di kapel meledak—bukan dengan suara, tapi dengan rasa sakit yang menembus tulang.
Rafael terhuyung, darah merembes dari sudut bibirnya. Asap hitam Angel sudah mulai melilit tubuh Venny sepenuhnya. Semua pastor muda dan biarawati memaksakan doa mereka, tapi formasi itu sudah nyaris hancur total.
Tiba-tiba, dari sakristi, seorang biarawati tua berlari—Suster Lucia. Wajahnya pucat, tapi matanya penuh tekad. Di tangannya, ia membawa sesuatu yang dibungkus kain putih kekuningan karena usia.
“Bimo! Pakai ini!” teriaknya, suaranya nyaris tenggelam oleh jeritan roh-roh yang memenuhi kapel.
Rafael menyambar bungkusan itu. Saat kainnya terbuka, terungkaplah jubah kuno warna hitam pekat, dengan jahitan emas yang membentuk simbol salib Latin bercampur ornamen Jawa kuno. Di bagian dalamnya, ada noda hitam yang tidak pernah hilang—bekas darah iblis bernama Helel yang pernah dikalahkan oleh pemilik jubah ini ratusan tahun lalu.
Begitu Rafael mengenakannya, udara di kapel berubah. Angin dingin mendesir, tapi kali ini dingin yang menusuk roh-roh jahat, bukan manusia. Lilin-lilin yang mati menyala kembali dengan api biru.
Angel menyipitkan mata. “Ah… jadi ini senjata terakhir Gereja? Jubah sang Pemburu Neraka…”
Senyumnya melebar. “Menarik. Akan lebih nikmat mencabikmu saat kau memakai itu.”
Rafael melangkah maju. Setiap langkahnya membuat roh-roh kecil menjerit dan terbakar menjadi abu.
“Angel, aku tidak akan melawanmu sebagai musuh… tapi sebagai seseorang yang pernah mencintaimu,” katanya dengan suara yang berat tapi mantap.
Angel meraung, lalu dari tubuh Venny meledak pusaran energi gelap. Pocong, noni Belanda, dan arwah-arwah penasaran langsung menyerbu Rafael.
Jubah itu bergerak sendiri, ujungnya melayang seperti sayap gagak. Rafael mengangkat tangannya—dari ujung jarinya keluar semburat cahaya emas bercampur merah darah. Satu ayunan tangan memecah tiga pocong sekaligus, tubuh mereka hancur jadi kabut. Noni Belanda menjerit dengan suara pecah sebelum terbakar oleh kilatan salib emas yang muncul di udara.
Angel tak tinggal diam. Ia melompat ke udara, tubuhnya kini berlapis armor hitam yang berkilat seperti obsidian, dengan sayap sobek yang memuntahkan darah hitam ke lantai kapel.
Benturan pertama mereka terdengar seperti petir memukul langsung di dalam ruangan. Lantai kapel bergetar, kaca patri di atas altar retak, dan patung Bunda Maria mengeluarkan serpihan debu putih.
Para pastor dan biarawati berlutut, melindungi kepala mereka, tapi tetap memaksakan doa. Venny di udara bergetar seperti boneka kain, tubuhnya masih diikat oleh energi Angel.
Rafael menatap lurus ke mata iblis itu. “Kau ingin kelahirannya? Kau harus membunuhku dulu.”
Angel tertawa—tawa yang membuat semua lilin padam lagi. “Itu yang sudah aku tunggu, Bimo…”
Dan mereka berdua pun menyerbu ke tengah kapel, membelah kegelapan, saling menghantam dengan kekuatan yang bisa merobek dunia ini menjadi dua.
...
Benturan kedua jauh lebih dahsyat. Rafael terhempas menghantam pilar kapel, tapi jubah kuno itu menyerap sebagian besar hantaman. Angel terbang berputar, lalu mendarat di altar, sayap hitamnya mengibaskan debu suci hingga berterbangan seperti badai pasir di dalam ruangan.
Para pastor muda yang berada di lingkar luar terhuyung, sebagian tersungkur, darah merembes dari hidung dan telinga mereka.
Suster-suster biarawati terus memegang rosario erat-erat, jemari mereka pucat karena menahan getaran energi gelap yang berdenyut di udara.
Rafael mengangkat kepalanya, matanya merah karena pecah pembuluh darah, tapi pandangannya tajam. Ia mengucapkan doa dalam bahasa Latin, dan setiap suku kata seperti palu yang memukul paku ke dalam tubuh roh-roh kecil di sekitar.
Angel melayang turun, wajahnya dekat sekali dengan Rafael. “Bimo… kenapa dulu kau pergi? Kenapa kau tinggalkan aku waktu itu?”
Suara itu—untuk sesaat—tidak terdengar seperti iblis. Itu suara Angel yang dulu, gadis SMA primadona yang selalu tertawa di bawah pohon flamboyan.
Rafael terdiam sepersekian detik. Dan itu kesalahan.
Armor hitam Angel memanjang jadi tombak tajam, menembus dada Rafael. Jeritan para biarawati menggema, tapi Rafael tidak roboh. Darah menetes dari bibirnya, tapi matanya berkaca-kaca.
“Aku… lari, Angel… bukan karena aku tak mencintaimu. Tapi karena aku takut… takut menjadi bagian dari kehancuranmu…”
Armor Angel bergetar, seperti ada sesuatu di dalamnya yang memberontak. Sejenak, wajahnya memucat, matanya yang hitam kembali menunjukkan iris cokelat muda milik Angel yang asli. “Bimo… aku—”
Tiba-tiba, gelombang energi gelap meledak dari tubuhnya, menghempaskan semua orang hingga menabrak dinding. Rafael terlempar, tapi jubah itu kembali bergerak sendiri, membungkusnya seperti perisai hidup.
Angel menjerit, suaranya bercampur ratusan jeritan roh lain yang terikat padanya. “Kau tak bisa menyelamatkan dia, Bimo! Aku sudah menjadi sesuatu yang bahkan Tuhanmu pun takutkan!”
Rafael berdiri lagi, darah mengalir di dagunya.
Ia meraih salib kayu dari lehernya, menciuminya, lalu menancapkannya ke lantai kapel. Dari titik itu, lingkaran cahaya emas membesar, membakar roh-roh kecil hingga lenyap.
Angel melompat masuk ke dalam lingkaran itu, dan duel mereka berubah menjadi ledakan cahaya dan kegelapan yang saling memakan.
Kapel itu bergetar. Patung-patung retak. Lantai pecah. Dan di luar, langit malam berubah merah darah.
Cahaya dan kegelapan yang bertabrakan itu membuat udara berdesis seperti besi panas dicelupkan ke air. Setiap kali Rafael mengayunkan salibnya, semburan cahaya menembus armor Angel, memperlihatkan kulit pucatnya yang retak-retak seperti porselen.
Setiap kali Angel menghantam dengan tombaknya, lantai kapel terbelah, memuntahkan asap hitam dari retakan.
Para pastor muda sudah tersungkur di lantai, hanya bisa berdoa sambil menutup telinga karena raungan roh-roh penasaran yang kini terdengar langsung di kepala mereka.
Biarawati berpelukan erat, sebagian menangis, sebagian mencoba terus membaca doa walaupun suara mereka gemetar.
Rafael dan Angel kini saling mendorong, salib dan tombak terkunci di udara, mata mereka saling menatap.
“Aku masih bisa menyelamatkanmu, Angel! Ini bukan dirimu!”
“Diriku sudah mati, Bimo! Yang kau lihat sekarang adalah dendam murni!”
Tiba-tiba, retakan di lantai kapel membesar. Dari dalamnya, tangan-tangan hitam yang ukurannya jauh lebih besar dari manusia muncul, mencengkeram sisi-sisi retakan.
Udara langsung membeku. Semua roh kecil yang tadi meraung kini justru terdiam, seperti ketakutan.
Angel pun menoleh, ekspresinya berubah tegang. “Tidak… ini bukan bagiannya…” gumamnya dengan suara yang bahkan iblis pun terdengar waspada.
Rafael menatap ke bawah, dan dari celah itu, mata raksasa berwarna merah darah terbuka, menatap lurus ke arahnya. Pandangannya saja membuat lilin-lilin mati tanpa sisa asap, dan salib di dinding jatuh sendiri.
Lalu… sebuah suara yang dalam, berat, dan bergema di setiap sudut kapel terdengar,
“Kalian memanggil… aku.”
Suara itu begitu kuat, membuat lutut Rafael hampir goyah. Angel sendiri mundur dua langkah, tombaknya bergetar di tangannya.
Retakan semakin melebar. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar roh jahat atau hantu mulai naik. Dan di detik itu, Rafael menyadari—pertarungannya melawan Angel hanyalah pemantik. Yang akan datang… jauh lebih buruk.
Begitu mata raksasa itu terbuka sepenuhnya, Rafael langsung menarik napas dalam, lalu menghantamkan salibnya ke tanah untuk terakhir kalinya. Cahaya emas memancar seperti gelombang ledakan, mendorong Angel mundur—dan mendorong makhluk itu kembali ke dalam retakan.
Angel menjerit, tubuhnya terbakar cahaya, tapi tidak hancur sepenuhnya. Sebelum menghilang, ia menatap Rafael dengan mata manusia, bukan iblis, lalu berbisik:
“Ini belum selesai, Bimo…”
Lalu gelap.
Semua orang di dalam kapel tersadar kembali. Para pastor muda, biarawati, bahkan Venny yang tadi kerasukan, kini terkulai lemas. Tanpa menunggu komando, mereka semua berlari keluar.
Udara di luar jauh lebih ringan, tapi dari dalam kapel terdengar suara ketukan… pelan… dari sesuatu yang mencoba kembali keluar.
Beberapa jam kemudian, kendaraan hitam tanpa tanda resmi berhenti di depan gereja. Keluar seorang pria dengan jubah hitam panjang dan salib perak besar di dadanya—Pastor Felix.
Dia membuka tasnya, mengeluarkan gulungan perkamen kuno bertanda lambang Vatikan, dan mulai membaca mantra pengurungan.
Rafael, masih berlumuran darah, berdiri di sampingnya.
“Kau akan menyegelnya?”
Felix hanya menatapnya sebentar, lalu berkata dengan aksen Italia yang berat:
“Bukan hanya menyegel… kita akan mengubur gereja ini dari dunia. Tidak boleh ada satu manusia pun yang tahu apa yang terkunci di dalamnya.”
Gerbang gereja dikunci dengan rantai salib kuno. Lilin-lilin besar dipasang mengelilinginya, dan di puncak segel terakhir, suara itu terdengar lagi dari dalam—tertawa rendah.
“Kalian pikir… aku tidak bisa menunggu?”
Felix menatap Rafael. “Jika segel ini pecah, kita akan berhadapan dengan neraka itu sendiri.”
***
Beberapa bulan setelah peristiwa di Gereja Santo Michael, kota M mulai kembali tenang. Mess perawat yang dulu menjadi saksi kengerian kini kosong total. Dinding-dindingnya dibersihkan, bekas noda darah dan jelaga dibuang, setiap sudutnya diperciki air suci.
Tak ada lagi ranjang-ranjang perawat di kamar, tak ada lagi suara bisik-bisik di lorong tengah malam.
Bangunan itu kini berubah fungsi—diserahkan sepenuhnya kepada Gereja sebagai pastori, tempat tinggal dan pembinaan calon-calon pastor. Di bawah pimpinan Pastor Felix yang berwibawa namun penuh rahasia, dan didampingi oleh Pastor Rafael yang masih dipanggil “Bimo” oleh beberapa orang tua di kampung, tempat itu mulai punya kehidupan baru.
Yael dan Venny kembali bekerja di rumah sakit, menjalani shift seperti biasa. Bedanya, Venny kini sering terdiam di lorong, menatap kosong ke arah yang bagi Yael hanyalah udara. Kadang ia tersenyum tipis, kadang alisnya berkerut, seolah sedang berbicara pada seseorang yang tak terlihat. Ia tak pernah menceritakan apa yang dilihatnya—hanya berkata, “Sekarang aku tahu mereka ada di mana-mana.”
Ibu Maria, yang selamat dari maut, mengajukan pensiun dini. Ia tinggal di rumah keluarganya di luar kota, jauh dari hiruk pikuk rumah sakit. Namun di matanya, selalu ada bayang-bayang sedih yang tak pernah benar-benar hilang.
Sementara itu, Gereja Santo Michael tetap berdiri megah, namun kini selalu terkunci rapat. Segel Vatikan masih terpasang, dijaga doa harian oleh kelompok pastor dan biarawati yang bergantian. Di bawah pengawasan penuh, tempat itu menjadi simbol keheningan… sekaligus peringatan.
Malam-malam tertentu, warga sekitar mengaku melihat cahaya samar di balik jendela gereja yang tertutup papan.
Ada yang bersumpah mendengar suara perempuan bernyanyi lirih.
Ada pula yang mengaku melihat bayangan besar bergerak di balik kaca, padahal tak ada siapa-siapa di dalam.
Dan di ruang bawah tanah gereja, jauh di balik segel, sebuah suara berbisik pelan, nyaris tak terdengar, “Kita akan bertemu lagi…”
Lalu… hening.