Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Bronze
Possessed
0
Suka
68
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Hujan rintik membasahi jalanan Kota M malam itu. Udara lembap bercampur aroma tanah basah, membuat Venny menutup rapat jaketnya. Di sampingnya, Yael menggenggam payung hitam yang sedikit robek di ujungnya, menatap gedung besar berwarna pucat yang berdiri muram di hadapan mereka.

“Itu mess-nya?” tanya Yael ragu, matanya meneliti bangunan dua lantai dengan cat mengelupas dan jendela-jendela besar yang tampak gelap.

“Iya… kata orang, ini bangunan tua dari zaman Belanda,” jawab Venny pelan. “Sekarang dipakai buat perawat yang kerja di rumah sakit.”

Mereka melangkah masuk ke halaman yang becek. Di sudut halaman, sebuah pohon besar berdiri menjulang, daunnya lebat dan batangnya bengkok seperti tangan tua yang terpelintir. Venny merinding, entah kenapa pohon itu seperti menatap balik.

Pintu mess terbuka, memperlihatkan sosok wanita paruh baya dengan seragam perawat rapi. Senyumannya tipis, matanya tajam menilai dua pendatang baru itu.

“Kalian Venny dan Yael, ya? Saya Maria, kepala perawat sekaligus pengurus mess ini. Ayo masuk,” ujarnya sambil mempersilakan.

Begitu masuk, aroma apek langsung menyergap. Lorongnya panjang, lampu neon berkedip-kedip, dan lantainya terbuat dari ubin kuning yang sudah kusam. Di dinding tergantung foto-foto perawat generasi lama—semuanya hitam putih, dan beberapa wajah di foto seperti… menatap terlalu tajam.

Ibu Maria berjalan di depan. “Mess ini ada dua lantai. Kalian dapat kamar di lantai atas. Peraturan sederhana: jangan keluar mess setelah jam sepuluh malam, jangan bawa orang luar, dan…,” ia menoleh sebentar, “jangan pernah pergi ke belakang.”

Venny dan Yael saling pandang. “Kenapa nggak boleh?” tanya Yael.

Ibu Maria berhenti sejenak, lalu tersenyum kaku. “Karena ada alasan. Kalian akan tahu sendiri nanti kalau melanggar.”

Mereka melewati beberapa pintu kamar yang sebagian terbuka, memperlihatkan penghuni lain. Dian, perawat muda berwajah cerah, melambaikan tangan ramah. Di pojok lorong, seorang perempuan bernama Utari duduk di kursi sambil menunduk, matanya menatap kosong ke lantai.

Di kamar mereka, dua ranjang besi tua berdampingan. Jendela besar di ujung kamar menghadap ke halaman belakang—tepat ke arah pohon besar yang tadi mereka lihat. Bahkan dari sini, bentuknya terasa mengancam.

Malam itu, hujan reda. Lorong sepi. Venny sudah berbaring sambil memainkan ponselnya, sementara Yael masih menata pakaian. Tepat pukul sebelas lewat sedikit, terdengar suara tok… tok… tok di pintu.

Venny mengira itu Yael, tapi saat menoleh, Yael masih di dalam kamar. Mereka saling menatap. Suara ketukan itu datang lagi, lebih keras.

Yael memberanikan diri membuka pintu. Tidak ada siapa-siapa di luar. Lorong kosong, hanya lampu berkedip pelan. Tapi Venny bersumpah, dari arah ujung lorong, ia melihat bayangan putih melompat sekali… lalu menghilang.

Lorong itu seperti menelan suara. Tidak ada bunyi selain dengungan lampu neon yang sesekali berderit. Yael menutup pintu perlahan, mencoba tertawa kecil.

“Mungkin angin,” katanya, meski matanya tak meyakinkan.

Venny menatap jendela kamar. Pohon besar di halaman belakang tampak bergoyang pelan, meski udara malam itu sama sekali tak berangin. Daun-daunnya berdesir lirih, suara yang entah kenapa terdengar seperti bisikan.

Mereka mencoba tidur, tapi sekitar pukul satu dini hari, Venny terbangun. Ada suara… seperti bola kecil yang dipantulkan di lorong. Tok… tok… tok… Suara itu bergerak perlahan mendekat ke kamar mereka.

Dia menoleh ke arah Yael, tapi Yael terlelap. Venny bangkit, menempelkan telinga ke pintu. Suara bola itu berhenti tepat di depan kamarnya. Hening.

Lalu terdengar suara langkah kaki kecil—terlalu ringan untuk manusia dewasa—berlari menjauh.

Venny menelan ludah, lalu kembali ke ranjang. Matanya sekilas tertuju ke jendela. Di luar sana, di bawah pohon besar, dia melihat sesuatu: sesosok anak kecil, kepalanya miring tidak wajar, berdiri sambil menatap ke arah kamarnya.

Dia memejamkan mata kuat-kuat, memaksa dirinya percaya itu hanya bayangan.

Pagi harinya, saat sarapan di ruang makan mess, suasana agak hangat. Dian meny...

Baca cerita ini lebih lanjut?
Rp1.000
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Bronze
Sesosok Hantu karya Guy de Maupassant penerjemah: ahmad muhaimin
Ahmad Muhaimin
Cerpen
Bronze
Harmoni Kegelapan
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Bronze
Possessed
Samuel Fetz
Flash
Petak Umpet
Esti Farida
Novel
Gold
Salon Tua
Bentang Pustaka
Cerpen
Bronze
Tersesat Di Desa Sesat
Novita Ledo
Cerpen
Bronze
Neon Ghost Cafe
Silvarani
Novel
Bronze
WINDY ... IS CALLING
Herman Trisuhandi
Flash
Angin dan Daun Yang Jatuh
Salman Faris
Cerpen
Bronze
STALL NOMOR TUJUH
glowedy
Novel
Bronze
Teror Hantu Maryam
Ratna Dks
Novel
Ruang
Ochiipi dan KOJI
Novel
Gold
Fantasteen Diary of March
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Kereta Cepat Whoosh
Christian Shonda Benyamin
Novel
Bronze
LEUMPEUH YUNI (Ketika Tubuh Manusia Disalahgunakan)
Papp Tedd
Rekomendasi
Cerpen
Bronze
Possessed
Samuel Fetz
Novel
The Last Karta
Samuel Fetz