Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Aksi
Portal Utopia
1
Suka
121
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Laboratorium itu runtuh dalam kilatan cahaya yang menyilaukan. Ledakan energi membelah udara dengan gemuruh, menghancurkan peralatan canggih di sekitarnya. Asap pekat menyelimuti ruangan, bercampur dengan suara alarm yang memekakkan telinga. Di tengah kekacauan, Dr. Adrian Wells terlempar ke dinding, tubuhnya terpental oleh gelombang energi yang tak terlihat. Detik berikutnya, segalanya berubah menjadi sunyi dan hampa.

Ketika Adrian membuka mata, ia tidak lagi berada di laboratoriumnya. Langit di atasnya berwarna ungu yang memancar lembut, penuh dengan pola-pola aneh yang bergerak seperti tarian tanpa suara. Di sekelilingnya, struktur melengkung yang tampak hidup berdiri menjulang, seperti gabungan antara teknologi dan organik. Ia menyentuh tanah di bawahnya—hangat dan berdenyut, seolah-olah bernafas.

Adrian mencoba mengingat apa yang terjadi. Proyek Harmonic Leap, sebuah eksperimen untuk menciptakan portal antar dimensi, adalah hasil kerja keras bertahun-tahun. Ia memimpin tim terbaik di dunia, dibiayai oleh pemerintah yang berharap menemukan cara untuk menjelajah dunia baru.

Namun, ada peringatan. Banyak ilmuwan senior memperingatkan bahwa teknologi tersebut terlalu berisiko. "Dimensi lain adalah wilayah yang tak dikenal, Adrian," kata Dr. Ellison, mentornya, di hari terakhir sebelum eksperimen. "Jika kita salah melangkah, kita mungkin membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup."

Adrian, seperti biasa, mengabaikan rasa takut itu. Baginya, ini bukan tentang rasa aman—ini tentang kemajuan. Dunia telah kehabisan sumber daya; portal ini adalah kunci untuk menyelamatkan umat manusia. Tapi segalanya berjalan di luar kendali. Gelombang energi yang dihasilkan lebih kuat dari yang mereka duga, menarik Adrian ke dimensi ini sebelum ia sempat menutup portal tersebut.

“Dimana aku sekarang?” gumam Adrian. Pandangannya beralih ke langit yang terus bergerak, ke bentuk-bentuk aneh yang mengintip dari balik bangunan melengkung. Sebuah suara lembut, seperti melodi, terdengar di belakangnya. Ia berbalik perlahan, menahan napas.

Di hadapannya berdiri makhluk tinggi berkulit biru kehijauan, bermata besar yang berkilauan seperti kristal. Mereka memandangnya tanpa ancaman, tetapi dengan rasa ingin tahu. Dalam diam, Adrian menyadari satu hal: ia telah terlempar ke dunia yang selama ini hanya ada dalam imajinasi manusia.

Adrian berdiri kaku, memandangi makhluk di hadapannya. Mereka—atau ia, Adrian tak yakin—memiliki bentuk humanoid dengan tangan panjang, jari-jari lentur yang tampak seolah-olah bisa merasakan udara. Mata mereka, besar dan penuh warna.

Salah satu dari mereka maju, gerakannya seperti tarian anggun. Ia membawa sesuatu di tangannya, bola bercahaya yang berdenyut perlahan. Ketika bola itu disentuhkan ke udara, melodi lembut terdengar, seperti alunan suara yang langsung menembus pikiran Adrian.

“Kau dari dunia lain,” suara itu berkata, bukan melalui bibir, tetapi langsung di dalam benaknya. Adrian mundur selangkah, bingung.

“Siapa kalian? Dimana aku?” tanyanya, setengah berteriak.

Makhluk itu tidak menjawab, hanya mengangkat tangannya, menunjukkan panorama kota aneh di sekeliling mereka. Struktur melengkung tampak berdenyut, bercahaya lembut seperti makhluk hidup. Sesuatu yang sebenarnya membuat Adrian kebingungan.

“Apa kalian... alien?” Adrian bertanya dengan ragu.

“Alien?” suara itu mengulang, dengan nada bingung. “Kami adalah penghuni tempat ini. Seperti kau adalah penghuni duniamu.”

Adrian merasa nafasnya tersangkut. Selama hidupnya, ia telah mendedikasikan penelitian untuk menemukan kehidupan lain di alam semesta, membayangkan bagaimana peradaban lain hidup, berpikir, dan berkembang. Tapi ia tidak pernah membayangkan dirinya benar-benar berdiri di hadapan mereka.

Makhluk lain mendekat. Kali ini, ia menunjukkan sebuah simbol—sederhana namun aneh, seperti lingkaran yang terjalin dengan garis-garis. “Ini adalah pintu. Kau membukanya,” kata makhluk itu.

Adrian tersentak. “Aku? Tidak, aku hanya mencoba menciptakan portal, bukan menghancurkan batas dimensi.”

“Kau menciptakan retakan,” jawab suara itu dengan tenang namun menekan. 

Adrian memegang kepalanya, mencoba memahami semua ini. Jika benar, eksperimennya tidak hanya mengubah dunianya tetapi juga dunia ini. Ia telah mengganggu keseimbangan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.

“Bagaimana aku kembali?” Adrian memohon. “Aku harus kembali ke duniaku!”

Makhluk itu memandangnya dengan intens, mata besarnya berkilauan. “Untuk kembali, kau harus memahami suatu hal,” jawabnya samar.

Sebelum Adrian sempat bertanya lebih jauh, mereka mulai bergerak, memberi isyarat agar ia mengikuti. Adrian tidak punya pilihan. Dengan langkah ragu, ia melangkah lebih dalam ke dunia ini, menyadari bahwa jawaban atas kepulangannya mungkin lebih rumit dari sekadar membuat portal untuk pergi.

Adrian mengikuti mereka ke sebuah struktur besar yang memancarkan cahaya lembut keunguan. Bangunan itu berbentuk seperti cangkang spiral raksasa yang seolah berdenyut seperti makhluk hidup. Setiap langkah yang diambilnya terasa berat, bukan hanya karena atmosfer yang aneh, tetapi juga karena kesadarannya akan konsekuensi dari tindakannya.

Di dalam struktur itu, suasana berbeda. Udara terasa lebih berat, dan dinding-dindingnya memancarkan energi hangat yang aneh. Di tengah ruangan, ada objek besar berbentuk seperti bola kristal dengan celah-celah bercahaya. Adrian mendekat, merasa tertarik oleh daya tarik yang tidak bisa dijelaskan.

Makhluk yang memimpin menatapnya dan berkata, “Ini adalah inti dunia kami. Ketika kau membuka retakan, keseimbangan inti ini terganggu. Dunia kami mulai bergeser.”

“Jadi, ini salahku,” gumam Adrian dengan nada bersalah.

Makhluk itu mengangguk, tetapi tanpa nada menuduh. “Namun, bukan hanya salahmu. Dunia kami dan duniamu terhubung lebih lama dari yang kau sadari. Portalmu hanya mempercepat sesuatu yang sudah ditentukan.”

Adrian terdiam. Selama ini, manusia selalu percaya bahwa mereka sendirian di alam semesta. Namun, ternyata dunianya hanyalah salah satu bagian kecil dari jaringan dimensi yang lebih luas.

“Lalu, apa yang harus kulakukan?” tanya Adrian akhirnya.

“Kau harus memahami bahwa membuat jembatan antar dimensi adalah hal yang hampir mustahil,” jawab makhluk itu. “Untuk mengeliminasi kemustahilan itu, kau harus menjadi bagian dari dunia ini dulu.”

Adrian merasa bingung. “Bagaimana caranya? Aku tidak berasal dari sini!”

Makhluk lain maju, membawa sebuah benda berbentuk lingkaran kecil yang berpendar lembut. “Dengan ini, kau akan terhubung dengan inti kami. Hanya dengan begitu, keseimbangan bisa dipulihkan, dan kau mungkin menemukan jalan pulang.”

Adrian memandang benda itu dengan ragu. “Apakah aku akan berubah menjadi seperti kalian?”

“Tidak,” jawab mereka serempak. “Tapi kau akan melihat dunia ini seperti kami melihatnya.”

Dengan nafas berat, Adrian mengambil lingkaran itu. Begitu menyentuhnya, arus energi mengalir deras ke tubuhnya. Ia terjatuh ke lutut, dan penglihatannya berubah. Ia bisa melihat dunia ini dengan cara yang sama seperti makhluk-makhluk itu—penuh warna, energi, dan pola yang tidak pernah ia sadari sebelumnya.

Ia memahami segalanya dalam sekejap. Dunia ini bukan sekadar tempat asing; dunia ini adalah rumah bagi kehidupan yang sama berharganya dengan dunianya sendiri. Dan keseimbangan di antara keduanya harus dipertahankan, atau keduanya akan hancur.

Saat ia kembali berdiri, Adrian tahu ia tidak lagi sama. Ia merasa terhubung, bukan hanya dengan dunia ini, tetapi dengan sesuatu yang lebih besar. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar menjadi bagian dari sesuatu.

Dan ia menyadari bahwa untuk pulang, ia harus menerima bahwa tempat ini adalah awal yang baru.

Adrian memandang makhluk-makhluk itu satu per satu. Mereka mengawasinya dengan tatapan penuh harap, seolah mempercayakan masa depan dunia mereka padanya. Di genggamannya, lingkaran bercahaya itu terasa hangat, seperti denyut kehidupan yang mengalir tak putus.

“Aku tahu apa yang harus kulakukan,” katanya, suara bergetar antara ketakutan dan tekad.

Makhluk yang memimpin memberi anggukan kecil. “Bersiaplah. Begitu kau memulainya, kau tidak bisa kembali.”

Adrian berjalan menuju inti besar berbentuk bola kristal. Cahaya dari celah-celahnya berdenyut cepat, seperti jantung yang kelelahan. Ia berdiri di hadapan objek itu, merasakan gravitasi yang kuat, baik secara fisik maupun emosional.

“Bagaimana aku tahu ini akan berhasil?” tanyanya sambil memandang lingkaran di tangannya.

“Kau tidak akan pernah tahu,” jawab salah satu makhluk di belakangnya. “Tapi jika kamu tidak yakin dengan apa yang akan kamu lakukan, lebih baik berhenti.”

Adrian menarik napas panjang, menutup matanya, lalu meletakkan lingkaran itu ke dalam celah di inti kristal. Begitu ia melakukannya, bola kristal memancarkan cahaya yang sangat terang hingga membuat semuanya putih. Adrian terhempas ke belakang, tubuhnya terasa seperti ditarik oleh ribuan tangan tak terlihat.

Adrian merasakan perasaan aneh saat ia melewati portal dimensi itu. Cahaya yang menyilaukan melingkupi tubuhnya, kemudian seketika memudar, meninggalkan kegelapan yang pekat di sekelilingnya. Begitu mata Adrian terbuka, ia mendapati dirinya berada di sebuah dunia yang sangat berbeda.

Langit di atasnya berwarna kelabu, dipenuhi dengan awan tebal yang tampak menggantung berat. Tanah di bawah kaki terasa keras dan kering, penuh dengan serpihan batu dan puing-puing yang tampaknya hasil dari pertempuran besar. Semua yang ada di sekelilingnya adalah kehancuran. Kota yang pernah ramai kini terbengkalai, hanya menyisakan bangunan-bangunan yang hancur dan reruntuhan yang mengintai dari segala arah. Tidak ada suara kehidupan—hanya sunyi yang mencekam.

Adrian berdiri termangu, tak yakin dengan apa yang ia lihat. Ada rasa tercekik di dadanya, seakan dunia ini memberi peringatan yang tajam. Ini bukan dunia yang ia kenal. Ini adalah dunia manusia, namun... dalam keadaan yang jauh berbeda dari yang ia harapkan.

Adrian mencoba melangkah, namun suara langkah kakinya yang bergema di jalanan yang kosong adalah satu-satunya yang terdengar. Tidak ada suara manusia, tidak ada hewan, hanya bisu. Ia bertanya-tanya apa yang telah terjadi di dunia ini. Kenapa tidak ada satu pun orang di sini? Di mana semua orang yang harusnya ada?

Ia meraba dadanya, merasa bingung dan terasing. Tak ada tanda-tanda kehidupan, hanya jejak-jejak pertempuran yang tersebar di mana-mana. Di sudut jalan, ia melihat sebuah bangkai kendaraan militer yang hancur, roda-roda besarnya hancur remuk. Di sebelahnya, terdapat sisa-sisa amunisi dan alat perang yang tergeletak begitu saja, tak terpakai. Dunia ini, dunia manusia, sepertinya sedang berada di ujung kehancuran.

Sementara pikirannya melayang, terbenam dalam keraguan dan ketakutan yang menggerogoti, tiba-tiba ia mendengar suara yang sangat samar—suara tembakan yang terdengar jauh di kejauhan. Suara itu tidak seperti yang ia harapkan; ini adalah suara tembakan senapan, serangan yang terarah, meskipun sepertinya bukan untuknya. Adrian menegang. Insting bertahan hidupnya mulai menyala, tapi ia tidak tahu harus berbuat apa di dunia yang begitu asing ini.

Baru saja ia mulai melangkah lebih hati-hati, berharap bisa menemukan petunjuk atau seseorang untuk menjelaskan keadaan ini, terdengar sebuah suara keras dari arah yang tidak jelas—suara tembakan yang lebih dekat. Adrian membeku. Sebuah peluru melesat, meluncur begitu cepat melalui udara, dan tanpa peringatan, menembus tubuhnya.

Tembakan itu begitu tiba-tiba dan tak terduga. Adrian merasa tubuhnya terhuyung, darah mengalir cepat dari luka di dada. Ia jatuh ke tanah yang keras, napasnya semakin sesak, tubuhnya semakin lemah. Matanya yang mulai kabur menatap langit kelabu yang membentang di atasnya.

Ia merasa seperti terlempar kembali ke dunia lain, jauh dari segala harapan. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Dunia ini tidak memberinya kesempatan untuk bertahan. Semua yang ada hanyalah kehancuran dan perang. Ia menggenggam erat tanah di bawahnya, berusaha bertahan untuk beberapa detik lagi, tetapi napasnya semakin berat.

Adrian telah gagal. Padahal dia membawa sesuatu yang bisa mengubah dunia dan membawa keseimbangan sehingga manusia tidak perlu bertempur seperti ini. 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Aksi
Cerpen
Portal Utopia
zain zuha
Cerpen
Sniper
Rexa Strudel
Novel
Remarkable 2: Special Bonus Prize
FS Author
Novel
Bronze
The Justice
djangles
Cerpen
Anti Crown
Rexa Strudel
Novel
Bronze
98 JUNI
Putri Tari Lestari
Novel
Jagoan Karate
Handi Yawan
Novel
Bronze
The Thief
Aspasya
Flash
War Kingdoms
Rexa Strudel
Flash
ZONA NYAMAN BUKAN ZONA AMAN
Lisnawati
Flash
Dewi The Super Woman Part. 2
Bramanditya
Novel
Bronze
Weak Hero
Penulis Noname
Flash
KUMPULAN FIKSIMINI (FM)
Citra Rahayu Bening
Cerpen
Bronze
MYTHOEPIA: Sebuah Cerpen Fantasi Epik
Blue Sky
Flash
Bronze
Pohon Jagat
AndikaP
Rekomendasi
Cerpen
Portal Utopia
zain zuha
Cerpen
Sibuk sedang Beristirahat
zain zuha
Cerpen
Jejak yang Hilang
zain zuha
Cerpen
Pak Tua Penunjuk Jalan
zain zuha
Cerpen
Vampir yang Merindukan Rumah
zain zuha
Cerpen
Para Pencari Kerja
zain zuha
Cerpen
Cawan Ajaib
zain zuha
Cerpen
Mie di Kala Hujan
zain zuha
Cerpen
Terlahir Kembali
zain zuha
Cerpen
Obrolan Burung
zain zuha
Cerpen
Buku yang Hilang II
zain zuha
Cerpen
Pemburu Suara
zain zuha
Cerpen
Batu Eramis
zain zuha
Cerpen
Satu Astronot Telah Pergi
zain zuha
Cerpen
Bahasa Bunga
zain zuha