Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
MERAH
Sudah satu minggu hujan mengguyur punggung Semeru dengan deras. Memulangkan beberapa rombongan pendaki lebih cepat dari yang seharusnya. Hujan juga dengan seenaknya menurunkan suhu udara sampai ke batas gigil manusia, lalu angin yang jadi kambing hitamnya. Setiap angin menari, menyelusup di sela-sela jemari dan kuping mereka, manusia-manusia berjaket tebal di dalam tenda itu langsung menyerapah.
Namun angin tidak sepenuhnya naif. Malam itu, angin dengan sengaja menari begitu kencang, membuat sebuah tenda kosong berwarna merah terbang lalu kandas di tepian Ranu Kumbolo. Angin bahkan dengan sengaja membawa titik-titik es yang dibuat hujan, jatuh tepat di atas sebuah teras rumah kayu, pondok tempat Caraka tinggal.
Di dalam pondok, di depan perapian kuno yang terbuat dari batu bata, Caraka duduk bersila, dikelilingi oleh beberapa pendaki yang bersikeras memohon-mohon agar diizinkan masuk ke dalam, karena suhu di luar sudah keterlaluan. Temaram dari perapian, dan dua buah lampu minyak, membuat ruang utama pondok penuh dengan bayangan yang terus bergerak. Kontras dengan pemandangan setengah lusin manusia yang diam meringkuk, sibuk mencari kehangatan pada tubuh mereka masing-masing.
Hanya Caraka yang tampak tidak terganggu dengan udara dingin Semeru. Dia hanya mengenakan sarung, dan satu lapis jaket bertudung wool--yang katanya--pemberian dari Pak Karno.
Dari arah dapur, muncul dua orang perempuan yang membawa dua buah nampan, berisi masing-masing empat buah mangkuk mie rebus. Asap-asap tipis bergelayutan di tengah kuah kaldu, begitu menggoda. Dua perempuan tadi membagikan mangkuk kepada semua orang, lalu kembali ke dapur, dan mengambil dua ceret berisi air panas, lengkap dengan gelas-gelasnya.
Malam itu, hujan tidak kunjung ramah. Dia terus membagikan keramaian dalam bentuk gemericik air yang bunyinya langsung beresonansi sempurna, dengan denting suara sendok beradu dengan mangkuk, dan suara seruput kuah mie rebus. Di tengah kesyahduan tersebut, Caraka berkata bulat-bulat, "cinta memiliki jemari selembut sutra, dengan kuku-kuku runcing yang sentiasa meremas jantung manusia."
Seketika, ruang dan waktu menyempit. Seluruh kehidupan di luar pondok seakan menghilang. Bila para pendaki itu adalah perahu, maka kalimat Caraka barusan adalah sebuah jangkar. Dalam jamuan mewah ala pendaki, dongeng Si Mbah bergulir.
***
Dulu, Sungai Cipunagara masih jernih airnya. Mengalir syahdu mengikuti kelok pembuluh darah Ibu Pertiwi. Airnya berwarna hijau muda, bening seperti kerajinan kaca tiup dari Surabaya.
Di tepian sungai, di sisi Desa Rancamanggung, saya tergolek lemas. Keringat dingin membasahi punggung saya sejak semalam. Luka menganga bekas tembusan pelor, berhasil membuat lengan kanan saya mati rasa. Belasan titik nyeri, dan perih yang tersebar di seluruh tubuh saya tidak ada bandingannya dengan rasa sakit yang semalaman saya tahan, sampai dibanjiri keringat dingin. Kilas-kilas kenangan tentang Pak Rudi, dan Bu Tini membuahkan mimpi buruk yang terus membangunkan saya tiap setengah jam.
Mati kehabisan darah, atau dilahap buaya putih. Hanya itu kemungkinan yang terdengar logis di dalam benak saya sendiri. Meratap, dan berbincang dengan Tuhan adalah satu-satunya kegiatan yang saya lakukan sepanjang malam, sampai bintang fajar hilang pendar karena mentari lebih gahar. Saya sudah ikhlas melepas nyawa saya sendiri, namun untaian takdir dan nasib, berkata lain.
Gemerisik semak belukar yang sedang ditembusnya adalah suara paling merdu di telinga saya. Mata saya yang sudah segaris pun bersikeras melalak. Menyerap sebanyak-banyaknya cahaya, sehingga pupil mata saya yang sudah sekecil tahi lalat di pinggir bibir perawan desa pun sedikit membesar. Dalam kondisi otak yang berkabut, saya berhasil menangkap satu figur paling indah di muka bumi; bidadari penyelamat.
Perempuan itu menjejak batu-batu kali yang licin penuh lumut dengan mudah. Dia bergerak dengan lincah, menyusur tepian sungai. Kain kebat batik warna coklat yang membalut kaki-kaki jenjangnya, tidak membuatnya kesulitan bergerak. Bagian bawah baju bedahan putihnya yang kusam itu melambai-lambai karena pergerakannya yang cepat. Membuat perutnya sedikit tersibak; putih, dan kencang.
Dia tidak terengah ketika sampai di hadapan saya. Tanpa banyak bicara, dia membuka selendang batiknya yang dijadikan sebagai tas punggung. Dari dalam, dia mengambil sebuah cawan tertutup yang berisi alkohol, dan kain blacu putih. Dia membasahi blacu itu dengan alkohol, lalu menekankan pada luka di lengan kanan saya sambil berbisik; "Tahan sedikit! Jangan teriak, ada pasukan Belanda tidak jauh dari sini!"
Saya nurut seperti kerbau. Bukan karena takut ketahuan pasukan Belanda, tapi karena sorot matanya. Bahkan kejora pun kalah indah dengan mata perempuan ini. Putih, dengan bulatan hitam sempurna yang memancarkan keberanian dan kelemahlembutan pada saat yang bersamaan. Tanpa sadar saya tersenyum, dan perlahan menghilang dalam gelap yang menenangkan.
***
Awalnya, saya tidak pernah membenci orang-orang Belanda. Namun setelah tragedi nahas yang menimpa Pak Rudi dan Bu Tini, pemikiran saya berubah seratus delapan puluh derajat. Saya benci pasukan Belanda sampai ke tulang sum-sum. Rasa benci, dan dendam mengarahkan saya untuk bergabung dengan Batalyon Engkong Darsono. Satu dari puluhan batalyon yang dipimpin langsung oleh Jendral Soedirman untuk bergerilya di seantero Pulau Jawa.
Sepanjang perjalanan dari Yogyakarta menuju Bogor--sesuai dengan perintah Kolonel A.H. Nasution--banyak batalyon yang memisahkan diri untuk menyusup ke belakang garis pertahanan musuh. Tujuannya adalah untuk membuat kantong-kantong gerilya, sehingga Pulau Jawa menjadi medan gerilya yang luas.
Empat hari yang lalu, di sepertiga malam, Batalyon Engkong Darsono menginjakkan kaki di Desa Rancamanggung. Kami langsung disambut oleh serangan pasukan Belanda. Kondisi letih membuat kami mau-tak-mau harus mundur untuk menyelamatkan diri. Ini lah poin di mana saya tertembak, dan hampir tertangkap oleh pasukan Belanda.
Setelah terpaksa mundur sampai Desa Ciseupan, Engkong Darsono memutuskan untuk menyerang balik pasukan Belanda beberapa saat sebelum adzan subuh berkumandang. Serangan mendadak ini gagal diantisipasi oleh pihak musuh. Pasukan tentara Indonesia berhasil membunuh sebagian besar pasukan Belanda, dan membuat sisanya lari pontang-panting, sampai harus membuang senjatanya sebagai tanda menyerah.
Momen bersejarah ini diperingati oleh warga setempat dengan dibangunnya sebuah Monumen Perjuangan '45 di Ciseupan, Subang. Di monumen tersebut terdapat patung Mayor Engkong Darsono, dan sebuah patung harimau yang melambangkan Pasukan Batalyon 3001 Kiansantang, Siliwangi.
***
Di sebuah rumah bertembok dan beratap bambu, saya dirawat intensif. Tulang di lengan kanan saya ternyata patah karena tertembus peluru tentara Belanda. Belasan titik yang menimbulkan rasa sakit, perih, cenat-cenut, dan segala macamnya itu adalah hasil dari terjun bebas ke jurang yang saya lakukan untuk menghindari kejaran musuh. Entah apa saja yang saya tabrak ketika berguling-guling menembus jurang kecil yang garis finishnya adalah tepian Sungai Cipunagara.
"Akang beruntung banget, pas jatuh ke jurang, kepala Akang nggak kepentok batu. Kalo sampe kejadian, mungkin nggak bakal selamat, Kang." Kata seorang perempuan desa, yang bertugas untuk merawat tentara Indonesia yang terluka.
"Mbak, kenal ndak sama perempuan yang nyelametin saya?" Tanya saya buru-buru. Perempuan itu terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepalanya.
"Yang ngebawa Akang kemari teh tentara, bukan perempuan."
Saya memilih untuk mengangguk kecil, sambil bergumam pelan tanda mengerti. Saya belum punya cukup tenaga untuk ngotot-ngototan dengan perempuan yang jasanya begitu besar ini.
Di dipan sebelah, seorang tentara Indonesia yang juga sedang dirawat menoleh ke arah saya. "Akang teh ditemukan tentara Indonesia di depan rumah rawat ini, Kang. Saya lihat sendiri. Tiga hari lalu itu saya masih sehat, masih bisa ikut jaga. Nah, Akang nyampe sini tiga hari yang lalu, bukan?"
Saya mengangguk ragu. Selain ingatan tentang figur perempuan nan cantik, saya sama sekali tidak ingat apa-apa lagi. Kapan saya tertembak, bagaimana saya bisa sampai ke rumah rawat, berapa hari saya tertidur. Semuanya terlihat kabur di ingatan saya.
"Terus, yang ngebawa saya sampai depan rumah rawat itu siapa ya, Mas? Soalnya saya ingat, pas saya sekarat di pinggir kali itu, saya ditolong sama perempuan. Dari bajunya sih dia nggak keliatan kaya tentara. Tapi gerakannya lincah! Dia juga keliatan ngerti banget caranya ngumpet dari tentara Belanda! Terus juga dia bawa P3K! Nggak mungkin kan dia rakyat biasa?"
Tentara di sebelah saya itu tak menjawab pertanyaan saya. Dia lalu kembali merebahkan kepalanya ke bantal sambil membagi diamnya kepada saya.
***
Selain dibelah sungai, Desa Rancamanggung juga memiliki banyak sawah dan kebun-kebun sayur. Sapi-sapi ternak dibiarkan lepas, berkeliaran mencari makan sendiri. Hampir tidak ada warga yang mengandangkan sapinya. Rombongan setengah lusin sapi yang sedang berjalan menembus jalan-jalan desa adalah sebuah pemandangan normal di Desa Rancamanggung.
Saya ingat ada satu ekor sapi betina yang menjadi primadona sapi bagi warga di sana. Namanya Mona, dan lucunya, dia cukup pintar untuk mengenali nama pemberian empunya tersebut. "Moooonaaaaa", begitu suara Mang Acep tiap pagi. Memanggil belahan jiwanya yang terjebak dalam tubuh seekor sapi betina.
Orang-orang disini sangat ramah. Terlebih lagi kepada kami, para tentara Indonesia yang sedang dirawat. Setiap hari, ada saja warga desa yang menyempatkan datang ke rumah perawatan untuk sekedar menjenguk, atau malah sampai membawakan ramuan khusus yang katanya, dapat mempercepat penyembuhan kami.
Sekali waktu, pernah datang seorang nenek membawa sebuah mangkuk yang terbuat dari batok kelapa. Mangkuk itu berisi ramuan berwarna hijau pucat dengan tekstur yang menyerupai bubur. Katanya, beliau sengaja meracik ramuan itu untuk saya. Khasiatnya dapat mempercepat penyembuhan patah tulang, katanya. Saya tidak bisa menolak kebaikan hati sang nenek. Dalam satu tarikan nafas, saya teguk habis ramuan hijau pucat itu sampai ke dasar mangkuk. Rasanya pahit, hangat, dan sedikit pedas. Di akhir tegukan, aroma bawang menyeruak dari dalam perut, menuju tenggorokan, lalu berakhir hidung. Saya hampir muntah waktu itu. Namun beliau sudah siap dengan reaksi saya. Sebelum saya kelepasan muntah, beliau mendorong satu sendok penuh madu asli langsung ke dalam mulut saya. Lidah merespon madu kental itu dengan cepat. Rasa pahit, pedas, dan aroma bawang yang tak tertahankan itu langsung hilang. Kalah dengan rasa madu asli, yang sebetulnya tidak terlalu manis.
Lain waktu, rumah perawatan yang hanya merawat tiga orang tentara Indonesia itu pernah kedatangan rombongan dari sanggar tari. Sehari sebelumnya, ketua sanggar sudah datang terlebih dahulu. Beliau menyampaikan kalau besok, siang hari, setelah sholat dzuhur, beliau ingin menampilkan anak-anak didik terbaiknya di depan kami bertiga.
Dari awal, beliau memang sudah berniat untuk membuat pementasan tari daerah begitu mengetahui Pasukan Engkong Darsono berhasil memukul mundur tentara musuh. Namun Engkong Darsono langsung memerintahkan semua pasukannya untuk melanjutkan perjalanan ke Bandung, sambil terus membuat kantong gerilya di titik-titik tertentu. Tentara-tentara yang terluka parah terpaksa harus ditinggal untuk mendapatkan perawatan. Maka, tersisa lah tiga orang, termasuk saya.
Menurut ketua sanggar, tiga orang penonton spesial lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Pertunjukkan tari pun tetap dilaksanakan. "Kasian anak-anak kalau kita sampai nggak jadi pentas. Mereka selalu latihan dari pagi sampai ketemu pagi lagi soalnya," kata beliau.
Keesokan harinya, kami bertiga dipapah ke luar rumah perawatan. Kami diberikan tempat duduk istimewa; paling depan, dengan kursi bambu paling mengkilap di Desa Rancamanggung--hasil menjarah rumah kompeni juragan tebu yang sudah ditinggal empunya sejak sebelum proklamasi.
Di luar, semua warga desa sudah berkerumun. Mereka berdiri mengelilingi area halaman rumah perawatan yang dijadikan panggung tari. Di sisi barat rumah, terdapat seperangkat alat musik nayaga. Tidak jauh di belakang para pemusik, berdiri sepasang remaja yang sudah mengenakan kostum tari. Mereka berdua terlihat datang dengan persiapan.
Seorang perempuan tengah baya yang terlihat anggun dalam balutan kebaya khas Jawa Barat, berdiri di tengah halaman. Tidak lepas senyumnya dibagikan kepada para penonton, terutama kami bertiga. Perempuan itu tidak lain dan tidak bukan adalah ketua sanggar yang kemarin sudah datang terlebih dahulu ke rumah perawatan. Nyi Raden Ratnajaya namanya.
Setelah kami terlihat nyaman duduk di kursi istimewa, beliau mulai membuka acara hari itu. Segala macam penghormatan dan sambutan keluar dari para punggawa desa. Kurang lebih satu jam lamanya pembukaan pentas berjalan. Tanpa ada penampilan pembuka, sepasang penari yang sudah terlihat sedikit berkeringat karena sorot terik matahari itu mulai mengambil kuda-kuda. Mereka masuk ke dalam panggung sejalan dengan musik yang mulai mengalun. Sebuah tari keurseus disuguhkan oleh dua orang murid terbaik sanggar.
Sampai sekarang, saya masih tidak percaya dengan apa yang saya alami. Baru kali itu saya benar-benar merasa diagung-agungkan. Baru kali itu saya melihat bukti kalau Tuhan Maha-adil. Siapa sangka, seorang Caraka, bocah inlander miskin yang bergabung dengan tentara Indonesia untuk balas dendam, malah mendapatkan suguhan seperti pahlawan perang? Padahal di titik itu, saya belum pernah membunuh satu pun tentara Belanda. Alih-alih membunuh, malah saya yang hampir terbunuh karena kena tembak. Untung saja saya sempat tertolong.
Mungkin waktu itu dua orang teman seperjuangan saya bisa menikmati suguhan tarian keurseus dengan hikmat, namun tidak dengan saya. Pikiran saya terus melambung, terbang, dan terus bertanya-tanya; "Wahai bidadari penyelamatku, siapakah namamu? Mungkinkah kita bertemu kembali? Aku ingin mendengar suaramu; sekali lagi. Kali ini dengan tidak tergesa-gesa, dan tidak dalam kondisi tanganku yang bersimbah darah. Aku ingin menatap matamu, saat kau melafalkan namamu, bidadariku."
***
Bau batu bara merangsek masuk ke hidung saya. Keringat yang bercucuran dari seluruh pori-pori jidat mulai keterlaluan. Mereka mulai berani masuk ke mata saya, menyebabkan rasa cubitan yang menjadi mengganggu bila di saat yang bersamaan, kamu sedang mencoba untuk tidur. Telinga saya sudah bebel dengan suara bising lokomotif kereta. Saya menyapu keringat di kening, pelipis, dan leher sambil bergegas berdiri dari posisi duduk saya. Lewat jendela yang kacanya dibuka lebar-lebar, saya mengeluarkan kepala saya. Sengaja menangkap para angin dengan wajah saya agar para pori kembali tertutup, atau setidaknya mengecil. Hanya beberapa detik kepala saya di luar jendela, lalu Pak Pribadi, masinis kereta yang sedang saya tumpangi menepuk bahu saya, "jangan begitu, bahaya." Saya menurut.
"Berapa lama lagi sampai Surabaya, Pak Pri?" Tanya saya sambil masih mengelap keringat.
"Nanti malam sampai. Sudah, kamu tidur saja lagi."
"Ah, sudah kenyang tidur saya, Pak."
"Yasudah, duduk saja di situ sampai ngantuk lagi."
Saya tertawa kecil. Begitu kecilnya sampai dilumat bulat-bulat oleh suara lokomotif yang terus meraung.
Setelah petualangan saya sebagai tentara Indonesia berakhir, saya memutuskan untuk bertolak ke Surabaya dari Bandung. Entah untuk alasan apa, saya juga belum tahu. Yang jelas, saya suka saat melihat tulisan "Soerabaja +750km" terpampang di peron Stasiun Bandung. Seperti orang yang sedang terkena gendam, tanpa pikir panjang saya langsung membeli satu tiket kereta jurusan Surabaya dengan uang pemberian Pak Kepala Desa Rancamanggung.
Itu kali pertama saya naik kereta api. Begitu noraknya sampai-sampai saya ogah duduk di gerbong penumpang, alih-alih memilih duduk di gerbong lokomotif yang berisik, panas, dan sempit. Tapi tidak apa-apa. Saya senang duduk di sini. Masinisnya baik.
Dari jendela kecil tempat saya melongokkan kepala, saya menikmati pemandangan seperti sedang bermeditasi. Deretan pohon karet berbaris rapi seperti shaf sholat Jum'at di Masjid Gedhe Kauman. Mereka silih berganti menghilang dari layar pemandangan saya yang berukuran empat puluh kali lima puluh centimeter. Hutan, sawah, hutan, rumah, sawah, sawah, hutan, rumah, hutan, rumah, sawah, rumah, hutan, tebing, hutan, hutan, hutan, tebing, sawah, rumah. Terus begitu sampai saya tanpa sadar tertidur bersandar pada kaki Pak Pri.
Beliau menggoyangkan kakinya sedikit. Membuat saya setengah terjaga. Lalu dia membunyikan peluit keretanya, "TUUUUUUUTTTT". Saya melonjak kaget bukan main. Dari posisi duduk setengah tidur, saya langsung berdiri tegak dengan mata melalak. Persis seperti dulu saat saya sedang belajar baris-berbaris bersama para murid HIS Jetis. Pemandangan pertama yang saya tangkap adalah gelak tawa Pak Pri. Gigi emasnya pun terlihat sedang menertawakan saya.
"Kamu main-main ke gerbong lain sana. Biasanya di belakang-belakang itu ada yang jual kopi. Ngopi dulu sana biar melek dikit. Masa pertama kali naik kereta isinya cuma tidur doang?"
"Lah tadi Pak Pri yang nyuruh saya tidur?"
"Yaa, itu kan tadi. Sekarang udah beda lagi. Dunia itu cepat berubahnya! Kamu harus terbiasa dengan itu!"
Dengan sedikit menggerutu saya meninggalkan gerbong lokomotif. Diam-diam, saya menyimpan kalimat terakhir Pak Pri dalam benak saya.
***
Gerbong ke gerbong, bordes ke bordes. Saya berjalan dari ujung paling depan kereta api, sampai ke bagian hampir belakang untuk menemukan gerbong kantin. Kursi-kursi kereta yang saling berhadapan itu kini ditengahi oleh meja bertaplak putih, yang di atasnya terdapat toples berisi sendok dan garpu. Gerbong kantin ini sepi, tidak seperti gerbong-gerbong lainnya yang penuh sesak dengan manusia, tas, kardus, dan beberapa ekor ayam yang meringkuk dalam tas khusus. Di gerbong kantin hanya ada tiga orang. Sepasang suami-istri yang duduk di dalam satu meja, dan satu orang lagi yang duduk sendiri membelakangi saya.
Saya berjalan ke arah meja bar yang tidak menjual minuman beralkohol, lalu menyandarkan kedua siku saya pada mejanya. Seorang pelayan menghampiri saya dan bertanya 'mau pesan apa?'. Mata saya melirik sebuah papan tulis hitam yang ditempelkan tepat di salah satu jendela gerbong. Daftar menu beserta harga yang dituliskan dengan kapur putih itu membuat tangan saya bergerak masuk ke dalam kantong celana coklat lusuh saya, lalu mengeluarkan sisa uang yang saya dapat dari Pak Kades. Saya menghitung, dan mencocokkan dengan menu yang mampu saya beli. Tidak ada.
Dengan senyum cengangas-cengenges, saya balik badan bubar jalan.
Saya meninggalkan gerbong ternyaman, lalu kembali menembus lautan penumpang lengkap dengan segala keunikannya. Sampai di sebuah bordes, saya berpapasan dengan seorang pria yang terlihat terburu-buru. Dia menabrak saya, lalu terus jalan seperti saya ini bukan manusia utuh.
"Hei, Bung! Hati-hati kalau jalan!" Teriak saya yang tidak digubris oleh pria itu.
Saya masih tidak terima dengan perilakunya. Akhirnya saya pun mengikuti pria tak punya sopan santun itu. Dia setengah berlari, dan terlihat lihai sekali menyelinap di antara kerumunan penumpang. Saya tertinggal satu bordes, lalu satu gerbong, lalu pria itu mulai tidak nampak lagi di depan saya. "Ini kan kereta. Kereta ada ujungnya." Pikir saya dalam hati sambil terus lanjut mengejar pria tersebut.
Sampai lah pada gerbong kantin. Saya dengan penuh percaya diri karena sedang kesal, langsung saja berjalan cepat di tengah selasar yang kosong melompong. Belum juga sampai ke pintu di ujung lain gerbong kantin, langkah saya dihentikan oleh pelayan di sana.
"Pak! Bapak mau ke mana?"
"Saya mau ngejar laki-laki yang tadi lewat sini, Mas."
"Setelah gerbong kantin itu gerbong kelas utama, Pak. Kalau Bapak tidak punya tiket kelas utama, Bapak tidak boleh masuk ke sana."
"Tapi laki-laki tadi kurang ajar, Mas. Masa saya ditabrak?"
"Laki-laki yang mana ya, Pak?"
"Yang barusan lewat sini. Dia pake baju jas. Rapi pokoknya."
"Maaf, Pak. Tapi Bapak tidak boleh masuk ke gerbong kelas utama."
"Yaudah, saya minta tolong Masnya ke sana, terus panggilin deh itu orang. Saya mau ngomel."
"Maaf sekali lagi, Pak. Saya tidak diperkenankan meninggalkan gerbong kantin."
"Yaudah lah, saya aja yang ke sana. Bentar doang kok, Mas."
"Bapak sebaiknya kembali ke tempat duduk Bapak. Kalau Bapak membuat kekacauan, saya akan laporkan ke keamanan, dan nanti Bapak bisa dipaksa turun di stasiun terdekat."
"Halah, mentang-mentang saya pribumi miskin, jadi diperlakukan seperti ini ya?" Kata saya untuk mengakhiri perbincangan tak berujung barusan.
Belum juga saya keluar dari gerbong kantin, tetiba belasan orang menyeruak masuk ke dalam. Mereka semua terlihat marah, dan terus berteriak, "Maling! Ada maling! Kejar malingnya! Mana malingnya?!"
Belasan orang tersebut tanpa peduli terus berjalan melewati gerbong kantin. Sepasang suami-istri yang dari awal sudah duduk di sana dengan tenang, sekarang terlihat kaget dan sedikit takut. Pria yang duduk sendirian acuh tak acuh. Segerombol orang yang sedang mencari maling itu juga tak mengindahkan mereka bertiga. Hanya melirik sekilas, setelah yakin bukan dia malingnya, mereka lanjut menuju gerbong kelas utama. Saya pun ikut. Lha wong saya juga lagi nyari orang, kok!
Di gerbong kelas utama, mayoritas penumpang sedang tertidur karena buaian kipas angin yang masing-masing tersedia di tiap kursi. Berbeda dengan gerbong-gerbong, kursi di sini tidak saling berhadapan. Sebuah sofa empuk yang muat untuk dua orang, lengkap dengan bantalnya tersusun rapi menghadap ke arah lokomotif kereta.
Gerombolan itu pun langsung mencari maling yang mereka cari di tiap kursi. Saya pun langsung mencari pria-tak-sopan yang saya cari. Hasilnya sama-sama nihil.
Tak lama kemudian, riuh-rendah terdengar dari arah gerbong depan. Sontak segerombolan orang yang sedang mencari orang ini langsung bertolak ke arah suara.
Ternyata, maling yang mereka cari adalah pria-tak-sopan yang saya cari, dan ternyata dia bersembunyi di toilet yang terdapat di bordes sebelum gerbong kantin. Kebetulan sekali! Saya tidak perlu marah-marah lagi karena pasti sudah mereka wakilkan dengan pukulan-pukulan, dan tendangan-tendangan ala gebukin maling.
Riuh-rendah suara masyarakat yang baru saja menangkap seorang maling tas kecil berisi perhiasan dan emas, langsung berubah menjadi kekacauan. Semua orang seperti merasa punya jatah memukul maling satu kali. Mereka berebutan melayangkan tinju-tinju mereka di bagian mana saja dari maling itu. Sungguh malang nasibnya. Saya cuma menonton dari bordes gerbong kantin. Penumpang yang duduk di gerbong kelas utama pun ikut menonton. Mereka berdiri tepat di belakang saya. Tidak berani lebih maju lagi. Sambil sedikit terkekeh puas, saya menjawab pertanyaan-pertanyaan para priyayi di belakang saya sekenanya.
"Maling, Mas?"
"Iya, Pak."
"Maling apa?"
"Maling tas."
"Tasnya isinya apa?"
"Perhiasan."
"Kok berani bener bawa perhiasan di tas? Naik kereta lagi!"
"Ya mau naik apa lagi, Pak?"
"Kan lebih aman di taro di brankas, terus brankasnya dikirim pake truk dari bank?"
"Yang punyanya gak mampu kali, Pak?"
"Ah, kalo gak mampu kok punya perhiasan?"
"Warisan kali, Pak?"
"Ya mending dijual dulu, lah! Bawa uang kan lebih gampang daripada bawa perhiasan!"
"Ya mau gimana lagi, Pak?"
"Salahnya sendiri. Untung aja malingnya ketangkep."
Saya tidak yakin di pihak mana bapak priyayi ini berada. Di pihak korban, atau di pihak maling? Kenapa dia malah menyalahkan si korban? Jelas-jelas jadi korban, kok disalahkan?
***
Setelah semua orang kebagian jatah memukul, dan wajah si maling sudah bonyok sejadi-jadinya, massa yang penuh dengan amarah ini belum terpuaskan. Sebagai penutup, mereka mengeluarkan kepala si maling, lalu menjepit lehernya dengan pintu kereta yang terdapat di bordes gerbong kantin; di depan mata saya, sambil terus memegangi maling itu sampai kereta melewati sebuah terowongan. Mereka berniat menghukum penggal si maling.
Kilasan kenangan tentang Pak Rudi menghantam saya. Membuat saya mual, lemas, lalu mundur teratur dari bordes kantin. Saya melempar diri saya ke kursi terdekat, lalu meminta segelas air putih kepada pelayan yang tadi juga ikut menonton penghakiman maling.
Saya sedang menenggak air putih ketika tiba-tiba kereta berhenti mendadak. Proses pengereman yang berlangsung beberapa detik itu membuat seisi kereta terpental ke arah depan. Untung saja saya memilih kursi yang menghadap ke belakang kereta, jadi saya tidak terpelanting jatuh. Punggung saya tertahan sandaran kursi, namun membuat air putih yang sedang saya minum mengguyur wajah saya. Sebagian besar masuk ke dalam hidung.
Begitu kereta berhenti sepenuhnya, saya langsung bangkit dari kursi sambil mengelap wajah dan terbatuk-batuk. Hal yang pertama kali saya periksa adalah bordes gerbong kantin; pusat kegiatan para penumpang. Semua orang tersungkur di lantai, kecuali si maling. Dia sudah tidak lagi berada dalam kuasa massa. Alih-alih, sedang berlari dengan sedikit terseok menahan sakit, menembus hutan karet yang lengang karena tidak ada semak belukar sama sekali.
Hari itu, ada tiga pemandangan yang tidak akan pernah saya lupakan.
Di sebelah kanan saya, pintu kereta terbuka lebar, menampakkan pemandangan seorang maling yang sedang berusaha menyambung nyawa. Di depan saya, tampak hamparan penumpang garis miring hakim-hakim rimba, sedang tersungkur karena kereta yang kami tumpangi mendadak berhenti. Di depannya lagi, di ambang pintu bordes sisi satunya, di seberang lautan manusia yang menjarakkan kami berdua, berdiri seorang perempuan yang sorot matanya sanggup menghentikan waktu.
Bidadari penyelamat saya.
HIJAU
Letup-letup suara api di perapian, semilir angin yang berhembus melewati selipan tembok kayu, berfusi sempurna dengan suara dengkur tipis yang bersumber dari kakek tua tukang dongeng yang terduduk tidur di kursi goyangnya. Di lantai, para pendengarnya saling tengok. Mereka bingung memilih antara membiarkan Caraka tertidur, atau membangunkannya. Cerita belum selesai, kan? Pikir mereka.
Sementara itu, Caraka yang sudah terlelap sedang berdiri di gerbang alam mimpi yang masih tertutup. Raut wajahnya tak karuan; kombinasi rasa rindu, dan keraguan. Entah apa yang dipikirnya, tapi semakin gerbang itu terbuka, semakin tak karuan pula raut wajahnya. Semakin tak karuan wajahnya, semakin tegap juga punggungnya. Saat gerbang mimpi terbuka sepenuhnya, punggungnya pun sudah setegak bambu Cina. Tongkat berkepala batu hitam mengkilat yang selalu menjadi alat bantunya berjalan pun sekarang dia jepit di ketiaknya. Lalu dia melangkah, perlahan memasuki gerbang mimpi sambil menyisir rambut-rambut di atas telinganya ke belakang.
Jauh di depannya, pemandangan ala gambar anak TK terhampar. Sebuah jalan lurus mengarah tepat ke titik temu dua buah gunung yang berdampingan, dengan semburat mentari pagi yang mengintip malu dari balik perpotongan dua gunung tersebut. Sawah-sawah penuh dengan padi siap panen mengisi ruang di kanan-kiri satu-satunya jalan, membentang luas, dan baru hilang di bawah garis horizon.
Dengan tongkat yang masih lekat di ketiak, Caraka mengeluarkan kertas dan tembakau dari kantong kemejanya. Sambil melinting rokok, dia berjalan menuju dua gunung tersebut.
"Jadi, malam ini, cerita apa lagi yang akan kamu berikan?"
***
Tidak ada yang tahu persis umurnya berapa. Guratan keriput di wajahnya seperti ingin menunjukkan jumlah kenangan, sejarah, cerita, dan roman yang telah ia lalui. Sinar matanya terlalu binar untuk seorang yang sudah dimakan usia, namun cukup redup untuk menggambarkan kesetiaannya menunggu kehadiran malaikat maut.
Jemarinya yang sudah akrab dengan tremor itu masih piawai memadatkan sejumput tembakau, meratakannya di sehelai kertas rokok, lalu cepat-cepat dilinting pada kedua permukaan tangannya. Terakhir, menjilat tipis sisa kertas rokok yang tidak ikut terlinting agar saling melekat.
Rokok lintingannya sudah siap bakar, namun Caraka baru menyadari kalau dia tidak punya korek. Dia menggeledah seluruh kantong yang ada tubuhnya; kantong kemeja, kantong samping kanan-kiri celana, kantong belakang celana, semua digeledahnya masing-masing dua kali. Hasilnya tetap saja sama. Lalu, dengan sedikit menghela nafas kecewa, Caraka memasukkan rokoknya ke dalam kantong kemeja, dan melanjutkan perjalanan.
Angin menyapanya dengan beberapa terpaan syahdu ke arah wajah. Kakak angin; awan, pun menyapa Caraka dengan cara yang berbeda. Awan sengaja menggeser-geser beberapa gumpal dirinya sampai membentuk figur wajah yang tersenyum. Jauh di depannya, sepupu angin dan awan; matahari, masih malu-malu. Dia belum terlalu berani menyapa Caraka segamblang kedua sepupunya. Namun Caraka paham tentang hal itu. Dia melambaikan tangannya untuk membalas salam dari tiga anggota keluarga langit.
Setengah jam berjalan, dan tujuan Caraka masih terlihat jauh. Dia seperti tidak bergerak sedikitpun dari mulut gerbang mimpi. Namun saat dia menoleh ke belakang, gerbang mimpi sudah jauh tertinggal. Memperlihatkan kemegahan daun pintu berbahan emas yang masih terbuka lebar. Di tengahnya, warna hitam pekat memancarkan isyarat jalan keluar dari dunia mimpi. Bukan tujuan Caraka yang jelas, namun hitam pekat itu seperti memanggil-manggil namanya sejak lima menit yang lalu. Hal yang biasa terjadi, pikir Caraka.
Apa lagi yang bisa dilihat? Alam mimpi ternyata tidak seindah yang kita kira. Sejauh ini, hanya ada satu jalan lurus yang menghilang tepat di tengah perpotongan dua gunung, mentari yang malu-malu bersinar dari punggung dua gunung, dan hamparan sawah hijau kekuningan yang cuma Tuhan tahu ujungnya di mana. Langit dunia mimpi pun tidak menunjukkan predikat mimpi; warna biru cerah sejauh mata memandang, dengan aksen putih tipis-tipis hasil kerja awan yang sedang tidak ingin menangis.
"Selalu seperti ini. Apanya yang dunia mimpi? Kalau terus-terusan hanya begini, bahkan Oi Bura di kala musim hujan pun lebih menarik." Gumam Caraka yang mulai bosan.
"Bersyukur sedikit. Kamu baru berapa tahun bisa masuk ke sini? Paling mentok lima belas atau dua puluh tahun, kan? Aku sudah ratusan tahun, dan selalu ini-ini saja yang bisa mereka berikan. Paling mentok ganti warna gunung; dari warna hijau, jadi warna putih." Gerutu sebuah suara.
Caraka mencari sumber suara itu. Kanan-kiri, depan-belakang, namun tidak ada siapa-siapa.
"Bawahmu." Kata suara itu lagi.
Caraka menoleh ke bawah. Di samping kaki kirinya, ada seekor kucing yang berjalan dengan dua kaki belakangnya. Persis seperti manusia. Kucing itu mengenakan pakaian terusan putih mirip daster, dan sebuah kain penutup kepala yang juga berwarna putih.
"Dasar kucing. Bulumu itu warna oranye. Sungguh tidak padan bila kamu mengenakan warna putih untuk gamis dan sorban." Kata Caraka.
"Siapa bilang ini gamis dan sorban?"
"Lalu?"
"Ini adalah bisht dan agal."
"Apa bedanya?"
"Lebih otentik."
"Buatan mana?"
"Cina."
Caraka terkekeh dengan jawaban si kucing. "Yang begitu kamu bilang otentik. Dasar kucing."
"Biar. Setidaknya, aku lebih outstanding dibanding kucing-kucing lain. Daripada kamu? Sudah jadi manusia, tapi paling mentok nenteng-nenteng tongkat. Pasti kamu kasta jelata, ya?"
"Enak saja. Tongkatku ini terbuat dari kayu pohon kokka yang terbakar selama empat puluh hari empat puluh malam, karena tersambar petir di tepian Sungai Nil, saat tak ada satu pun awan penghujan.
Dan lihat ini; kepalanya ini, terbuat dari batu mutiara hitam yang dilebur dengan emas, dan sedikit safir untuk memantapkan pesona raja-rajanya. Kau paham, tidak? Dasar kucing."
Kucing berpakaian serba putih itu mengamati tongkat Caraka lamat-lamat. Dia memerhatikan setiap inci, lekuk, dan guratan tipis yang hadir malu-malu di permukaan kepala tongkat.
"Aku mau barter." Kata si Kucing.
"Apa dengan apa? Kalau dengan tongkatku, maaf saja."
"Ya, jelas dengan tongkatmu, lah. Memangnya jelata sepertimu ini punya barang berharga apa lagi, ha?"
"Bagaimana dengan sepaket rokok lintingan? Aku punya tembakau, cengkeh, dan kertas rokoknya. Sungguh nikmat bila kamu bisa menikmatinya, Cing."
"Tidak akan berharga bila tidak ada korek." Balas Kucing seraya mengeluarkan sebatang korek api kayu kurus. Lalu dia menyeringai. Membuat Caraka diam.
"Bagaimana? Mata untuk mata, dan tongkat untuk tongkat. Adil, bukan?"
"Jangan lah kamu buang-buang waktu untuk mengadali seorang buaya muara, Cing."
"Lalu, menurutmu bagaimana baiknya?"
"Baiknya, aku lintingkan sebatang rokok untukmu, lalu kita gunakan korek kurusmu itu menjadi benda yang lebih berguna. Dengan begitu, kita berdua bisa menghirup aroma khas kampung halamanku. Semua menang, semua senang. Bagaimana?"
"Dasar, orang."
***
Selain suara langkah kaki seorang manusia dan seekor kucing, hanya ada suara 'kretek-kretek' dari pembakaran rokok lintingan yang menambah bebunyian. Dunia mimpi begitu hening, jauh lebih hening daripada sepertiga malam di bulan Syawal.
"Namaku Caraka. Salam kenal."
"Aku Ceria. Panggil saja Ria."
"Loh, kamu betina, Cing?"
"Iya. Memang kenapa?"
"Aku kira kamu itu jantan."
"Penilaian dari mana itu?"
"Dari bajumu."
"Tapi dari suara, aku jelas terdengar betina, 'kan?"
"Hmm, sepertinya."
"Maksudnya? Masa suara cempreng gini kamu bilang jantan?"
"Masalahnya, aku belum pernah dengar kucing dengan suara bariton. Mau betina, mau jantan, pasti suara kucing ya begitu; cempreng."
"Yak, kamu lulus."
"Dari apa?"
"Dari ujian kejujuran."
"Baiklah."
"Selamat ya, Caraka."
"Terima kasih, Ria, si kucing yang bisa ngomong dan doyan ngerokok."
"Kembali kasih."
"Ngomong-ngomong, ada hadiahnya, gak?"
"Ya, jelas ada dong."
"Apa?"
"Nanti, di depan aku berikan hadiahnya."
"Depan mana?"
Ria menunjuk ujung jalan, nun jauh di sana.
"Kenapa mesti di sana pemberian hadiahnya?"
"Agar kamu lulus ujian kesabaran."
"Ah, kamu ini seperti tidak kenal aku saja."
"Loh, kan memang kita baru kenal?"
"Tapi aku 'kan manusia. Harusnya kamu langsung paham, dong."
"Paham apa lagi?"
"Kami penuh nafsu, Cing. Selalu ingin cepat, gitu loh."
"Justru itu alasan aku memberikanmu ujian ini."
"Jangan berlagak Tuhan gitu, lah."
Ria tertawa sejadi-jadinya, "belagak Tuhan?"
"Iya! Suka memberikan ujian. Padahal hadiahnya sudah pasti akan diberikan."
"Kalau semua hadiah langsung diberikan, apa gunanya jiwa yang ada di dalam dirimu, orang?"
"Hmm, menarik."
"Nah, kalau sudah paham, jalani saja ujianmu dulu."
"Siapa bilang aku sudah paham?"
"Memangnya belum?"
"Sepertinya sih belum. Soalnya, omonganmu tadi masih ada tanda tanyanya di otakku, belum jadi jawaban. Masih berbentuk pertanyaan, belum menjadi pernyataan."
"Manusia itu kok suka menyusahkan diri sendiri, sih? Lama-lama kesal aku dengan ras kalian."
Giliran Caraka yang tertawa.
"Mau pertanyaan, mau pernyataan, kalau nyatanya sudah menjawab, apa lagi yang harus dipertanyakan?"
"Kalau tidak dipertanyakan, nanti ruang luas yang ada di depanmu itu akan otomatis menghilang, Ria." Kata Caraka seraya menyapu horizon dengan tangan kurus yang jemarinya sedang menjepit sebatang rokok.
Ria terdiam cukup lama sebelum kembali bicara.
"Perjalanan kita masih jauh, Caraka."
"Lalu?"
"Jangan menggodaku seperti itu. Lagipula dalam hitungan celestial, aku masih di bawah umur bila dibandingkan dengan kamu."
Dua buah senyum muncul di masing-masing pipi mereka, namun dunia mimpi masih saja hening.
Selain suara langkah kaki seorang manusia dan seekor kucing, hanya ada suara 'kretek-kretek' dari pembakaran rokok lintingan yang menambah bebunyian.
***
Kesunyian dunia mimpi menelan mereka bulat-bulat, lalu memuntahkan mereka ke sebuah galeri lukisan. Ruangan serba putih yang temboknya setinggi empat meter itu tampak lowong. Lampu-lampu kecil yang juga berwarna putih makin membuat ruangan itu seperti ruang kerja Tuhan di film Almighty.
Di tiap tembok, ada satu buah lukisan yang dipajang. Masing-masing berbeda ukuran, dan yang paling besar, berukuran lima kali tiga meter. Lukisan terbesar yang ada di ruangan itu berisi gambar sebuah figur hitam yang sedang berdiri membelakangi matahari, entah kala pagi atau sore. Figur hitam itu tampak sedang berdiri di sebuah titik tertinggi. Sepanjang mata memandang, hanya ada pepohonan yang menghampar luas, menjembatani figur itu dengan matahari yang terletak di bahu kirinya.
"Kita di mana?" Tanya Caraka.
"Galeri?"
"Milik siapa?"
"Pelukis terkenal?"
"Kenapa kita bisa sampai di sini?"
"Mimpi. Ingat?"
"Ah, ya… ketentuan pertama dunia mimpi; para pemimpi tidak akan pernah tahu bagaimana bisa sampai di mana, sedang apa, dan dengan siapa." Caraka kembali mengingatkan dirinya sendiri.
"Eh, tapi aku masih ingat saat kita bertemu di jalur pemimpian, Ria."
"Mimpi. Ingat?"
"Ah, ya… ketentuan kedua dunia mimpi; membuat dan mencerna adalah dua hal yang selalu terjadi bersamaan. Begitu 'kan maksudmu?"
Ria mengangguk. Matanya masih tertuju pada lukisan figur hitam.
"Sunset." Kata Caraka membaca judul lukisan tersebut.
"Tapi bagiku sunrise."
"Masa iya? Judulnya kan Sunset."
"Iya, tapi bagiku sunrise."
"Kok bisa?"
"Entah. Rasanya seperti sunrise."
"Kalau figur hitam itu bermata sembap, aku yakin sunrise."
"Kok bisa?"
"Karena sunrise diperuntukkan bagi mereka yang baru bangun."
"Atau belum tidur." Sambung Ria, yang lalu diamini Caraka dengan diamnya.
***
Ruangan kedua, dan masih sama dengan ruangan pertama tadi. Hanya beda lukisan.
Kali ini, mereka berdua berhenti di depan sebuah lukisan dengan kanvas portrait yang berukuran tiga kali dua setengah meter. Lukisan tersebut menggambarkan sebuah situasi peperangan. Namun, alih-alih menaiki kuda, para prajurit berpedang, bertombak, dan bersenapan laras panjang itu menaiki babi. Bukan babi hutan, tapi babi potong yang penggambarannya mirip babi-babi di dalam kartun; gendut, dan berwarna merah muda.
"Jaya." Baca Caraka. "Kali ini, apa yang kamu rasakan?"
"Kekanak-kanakkan? Aku tidak begitu yakin dengan yang satu ini. Harganya berapa ya? Kalau bisa kubawa pulang, aku mau. Kalau menurutmu bagaimana, Caraka?"
"Aku kurang menikmatinya."
"Kenapa?"
"Haram."
"Karena babi?"
"Iya."
"Oh, aku kira karena perang."
"Perang 'kan tidak haram."
"Tapi membawa petaka."
"Tapi mau gimana?"
"Ya, jangan perang."
"Gak bisa gitu dong."
"Kenapa?"
"Perang kan salah satu warisan Adam. Selain cinta tentunya."
"Kalau sudah tau bawa petaka, walau itu warisan Adam, kenapa tetap dilakukan?"
"Karena ingatan kolektif kita menyimpannya dengan baik."
"Kalau begitu, lupakan."
"Mana bisa kita sengaja melakukan suatu hal yang hanya bisa terjadi bila tidak disengaja?"
"Maksudmu?"
"Ya, itu tadi; melupakan."
"Rubah."
"Binatang, atau kata kerja?"
"Kata kerja, lah! Kamu mabuk?!"
"Soalnya kita 'kan lagi ngeliatin binatang."
"Dasar, orang."
Caraka terkekeh, lalu kembali melinting rokok.
"Lanjutkan yang tadi," kata Ria.
"Ubah?"
"Iya."
"Susah."
"Tapi mungkin, kan?"
"Bila kamu dan aku saja bisa beradu argumen tentang lukisan, apa lagi milyaran orang, dengan milyaran topik lain di luar sana?"
"Tapi mungkin, kan?"
"Minta Tuhanmu untuk menghancurkan dunia, dan sisakan kita berdua. Aku jamin, keturunanku bisa lebih baik daripada Adam."
"Lebih baik aku buat peradaban jongkok dengan kucing pasar daripada harus denganmu."
"Tapi mungkin, kan?"
Salah satu dari mereka tersenyum, lalu meninggalkan yang satunya, menuju ke ruangan ketiga.
***
"Ngomong-ngomong, kenapa kamu anggap babi itu haram?" Kata Ceria seraya mereka berjalan, berkeliling ruangan ketiga. "Apa karena doktrin agama?"
"Iya, karena doktrin agama."
"Bukan karena kesehatan?"
"Maksudmu, soal cacing pita, pemicu kanker, dan ulat-ulat yang 'katanya' hidup di dalam daging babi?"
"Iya. Kebanyakan orang 'kan mengatasnamakan kesehatan untuk mengharamkan babi."
"Aku tidak."
"Lalu? Apa alasanmu?"
"Sudah aku jawab tadi; doktrin agama."
"Hanya karena itu?"
"Iya."
"Bukankah agama selalu punya alasan atas doktrin-doktrinnya?"
"Iya."
"Lalu, apa alasannya?"
"Aku tidak tahu."
"Dan kamu menerimanya dengan buta?"
"Tidak juga."
"Lalu?"
"Ceritanya panjang. Yakin kamu mau dengar?"
"Singkat saja."
"Ada syaratnya."
"Apa?"
"Bagi korek lagi."
"Dasar, orang."
Ceria mengeluarkan kotak korek api dari balik bishtnya.
"Ternyata kamu punya sekotak?! Kenapa tidak bilang dari tadi??"
"Ujian kesabaran."
***
Caraka dan Ceria berhenti di sebuah teras penghubung antara ruangan ketiga dan ruangan lainnya. Teras itu cukup luas untuk bermain futsal. Rumput-rumput Jepang melapisi tiap jengkal tanahnya. Di tengah, terdapat pohon apel Malang yang tidak terlalu tinggi. Buah-buahnya seakan sengaja melebihkan pigmen hijau agar para pengunjung galeri tergoda untuk memakannya. Tidak jauh dari batang pohon apel Malang, terdapat sebuah papan yang bertuliskan; "Jangan Dipetik."
"Sudah serasa menjadi Adam?" Tanya Ria.
"Tergantung."
"Apa?"
"Kalau kamu sudah serasa menjadi Hawa, aku mau-tak-mau harus jadi Adam."
"Masih?"
"Apa?"
"Berusaha."
Caraka tertawa seraya menghempaskan pantatnya ke sebuah kursi bambu yang di letakkan sedikit jauh dari pohon apel Malang. Di depan kursi bambu, di atas meja pendek yang juga terbuat dari bambu, terdapat poci tanah liat yang dari corongnya terlihat asap-asap tipis menghambur keluar. Di samping poci terdapat dua buah cawan kosong yang juga terbuat dari tanah liat, dan sebuah cawan lain yang sedikit lebih besar, berisi gula batu berwarna kuning semu.
Caraka langsung menjadi pelayan untuk dirinya sendiri, juga Ria. Dia meletakkan dua buah gula batu ke masing-masing cawan, lalu mengisinya dengan apa pun yang ada di dalam poci.
"Oh, isinya teh, ternyata." Kata Caraka. "Duduklah dulu, Ria. Aku masih harus menceritakan kisah pengharaman babi, bukan? Lebih nikmat bila didengarkan sambil duduk, menyeruput teh panas bergula batu, dan tidak lupa rokok lintingan khas kampung halamanku." Bujuk Caraka. Dia masih menuangkan teh dari poci, ke cawan kedua saat Ria mulai duduk di sampingnya.
"Jadi, bagaimana?"
"Apanya?"
"Kisah pengharaman babi."
"Hus, santai dulu, nyender dulu, diminum dulu tehnya, tarik napas dulu. Baru kita beranjak ke topik lain."
Ria menurut saja dengan perkataan Caraka.
"Ngomong-ngomong, apa kita cuma berdua di galeri ini?"
Caraka menaikkan bahunya.
"Kau pernah ke galeri ini sebelumnya?"
Caraka menggelengkan kepalanya.
"Tapi jujur, baru kali ini aku dapat berbagi mimpi selama ini. Biasanya, orang yang kutemui di jalur pemimpian pasti akan langsung sibuk sendiri setelah tertelan. Kok bisa ya? Sebenarnya, kamu ini siapa, Caraka?"
"Matchamu." Kata Caraka sambil menyuguhkan secawan teh yang sudah terisi penuh. Ria menerima suguhan Caraka, lalu menyeruputnya.
"Ini teh hutan, bukan matcha."
"Biar keren aja. Lagipula, lihat sekelilingmu. Seperti berada di Jepang, kan?"
"Jepang, atau Korea?"
"Jepang, lah."
"Kenapa bukan Korea?"
"Kurang asik."
"Mana ada pohon apel Malang di Jepang?"
"Memang di Korea ada?"
"Ya, cuma ada di Malang sih sepertinya."
"Yasudah, nikmati saja Jepang ala Caraka."
***
"Mau dilanjut?"
"Boleh."
"Oke, jadi begini;
Aku percaya kalau semua kitab suci itu turun dari Tuhan. Isinya mempunyai detail yang berbeda-beda, dan saling melengkapi. Kenapa? Karena Tuhan menciptakan manusia juga berbeda-beda. Jadi, Dia 'harus' memberikan tambahan pengetahuan, dan peraturan baru untuk tiap permainan di tiap era, karena batas pemahaman dan penyerapan informasi manusia di tiap era itu berbeda-beda. Nah, era yang aku bicarakan adalah era yang hanya Tuhan tahu batas awal dan akhirnya.
Entah kenapa Dia baru menurunkan kitab suci-Nya di era Musa, dan tidak di era Ibrahim--yang notabenenya adalah bapak dari agama-agama samawi. Entah kenapa Dia menurunkan kitab-kitab suci-Nya hanya kepada empat orang nabi saja. Entah kenapa dia juga menurunkan seratus suhuf kepada beberapa orang nabi, namun tidak menyebutnya sebagai 'kitab'.
Tiga hal yang terakhir itu, belum saatnya kita bahas. Sampai di titik ini, kamu masih setuju?"
Ceria belum sempat menjawab. Dia sedang menyeruput teh saat Caraka melanjutkan penjelasannya.
"Nah, di antara semua perbedaan tersebut, Tuhan menyelipkan satu perkara sederhana yang selalu konsisten disebutkan di dalam seluruh kitab suci. Entah apa tujuannya, tapi satu perkara sederhana itu adalah larangan mengkonsumsi babi. Kalau kamu mau rajin sedikit, kamu bisa mengonfirmasi hal ini. Dari zaman Taurat sampai Al-Qur'an, Tuhan selalu melarang satu perkara sederhana ini. Bahkan, tata-cara beribadah pun tidak diturunkan secara konsisten, selalu berbeda-beda. Entah kenapa, dan aku memilih untuk tidak mempertanyakannya."
"Kenapa?"
"Nggak mampu otak saya."
"Kok gitu?"
"Ya coba saja kamu pikir; dari seluruh hal yang kita--manusia--anggap penting, seperti tata-cara ibadah, ayat-ayat rapalan, puji-pujian, sampai ke ritus-ritus keagamaan, semua itu selalu berubah tiap era. Namun, entah atas alasan apa, Tuhan secara konsisten melarang, atau dalam kata lain; mengharamkan manusia atas babi.
Mungkin ada wabah penyakit yang disebabkan dari daging babi saat zaman Musa? Siapa yang tahu?"
"Bila memang itu jawabannya, berarti alasan kesehatan yang mengawali larangan memakan babi?"
"Bisa jadi."
"Berarti alasan-alasan yang sekarang populer digunakan itu benar dong?"
"Bisa jadi.
Masalahnya, alasan kesehatan seperti itu dapat dengan mudah dipatahkan. Maksudku, banyak juga teman-teman kita yang suka mengonsumsi babi, dan tidak pernah terjangkit penyakit yang 'katanya' disebabkan oleh daging babi, kan? Mudah dipatahkan, mudah didebat, dan akan membuat kita jadi terkesan sedang adu pintar dengan Tuhan. Aku pribadi, tidak menyukai hal itu."
"Jadi, kamu lebih suka dengan alasan 'atas nama konsistensi' yang kamu jelaskan dengan panjang nan lebar barusan?"
"Iya."
"Bukankah alasan seperti itu malah lebih mudah untuk dijadikan topik debat kusir?"
"Apa sih yang tidak bisa diperdebatkan?"
"Lalu, apa bedanya dengan alasan kesehatan? Kenapa kamu jadi merasa sedang adu pintar dengan Tuhan bila memperdebatkan alasan tersebut?"
"Hidup itu tentang rasa, Ria. Dua hal tersebut rasanya sangat berbeda. Aku merasa kalau alasan atas-nama-konsistensi lebih besar rasa ke-Tuhan-annya."
"Tapi, atas-nama-konsistensi itu terdengar naif."
"Loh, itu 'kan kitab-Nya. Perkataan-Nya. Peraturan-Nya. Bebas, dong? Siapa kita merasa harus tahu alasannya?"
"Tapi itu penting, Caraka. Kita tidak bisa hidup tanpa alasan."
"Memangnya siapa yang dapat menentukan alasan?"
Ceria terdiam, lalu membuang muka. Mengarahkan matanya ke apa pun yang bergerak, hanya untuk mengalihkan kekesalannya. Caraka tersenyum kecil sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengeluarkan asapnya perlahan. Memenuhi ruang kosong di depan wajahnya dengan asap-asap putih.
"Baiklah, aku berikan kamu satu alasan lagi. Ini adalah alasan yang paling sering muncul di akhir perdebatan 'kenapa babi haram'. Kamu masih mau dengar?"
"Apa itu?" Sambung Ria penasaran.
"Coba kamu bilang; 'jadi, apa alasannya babi itu haram?'"
"Jadi, apa alasannya babi itu haram?"
"Karena enak."
"HA?"
"Yang enak-enak 'kan haram?"
***
Sebuah lorong berukuran sedang menjadi penghubung antara taman pohon apel Malang, dan ruangan keempat. Lorong yang lebarnya hampir tiga meter itu cukup unik. Saat seluruh galeri dicat dengan warna putih--bahkan tembok-tembok yang membatasi taman pun berwarna putih--lorong itu sengaja dibuat berbeda. Sebuah mural bergambar pemandangan bawah laut menghiasi tiap sisi lorong. Kanan, kiri, atas, bahkan lantai lorong pun penuh dengan mural. Berjalan di dalam sana terasa seperti sedang berada di wahana aquarium besar, namun tak nyata. Walaupun semua itu hanya gambar, dan tidak ada satu pun yang bergerak, namun sensasinya sama. Detail-detail terumbu karang yang menjadi sarang ikan-ikan kecil, ikan badut yang bersembunyi di balik anemon, siluet ikan hiu yang sedang berenang dekat permukaan air, sampai gumpalan pasir yang ternyata adalah persembunyian ikan pari.
Selain mural yang tampak hidup, ada satu lagi keunikan yang membuat lorong ini takkan terlupakan; puluhan kupu-kupu berwarna kuning berterbangan di sepanjang lorong. Mereka keluar-masuk lorong melalui lubang-lubang ventilasi kecil yang dikamuflasekan dalam mulut ikan paus yang sedang menganga.
"Artificial-surealis." Kata Caraka.
"Artsy." Kata Ceria.
"Experience." Balas Caraka.
"One of kind." Balas Ceria.
"Four."
"Ha?"
"Four of a kind."
"Bukan poker hand, bodoh."
"Kok poker hand? Maksudku empat dimensi."
"Jauh amat…"
Di ujung lorong, terlihat cahaya putih menyeruak. Sangat terang sampai-sampai ruangan di ujung lorong sama sekali tidak kelihatan.
"Di depan itu akhirat bukan, ya?" Tanya Caraka.
"Kalau benar akhirat, kira-kira di depan itu surga atau neraka?"
"Dari cahayanya sih surga. Tapi aku belum pernah ke neraka juga, sih. Jadi tidak tahu. Kalau menurutmu?"
"Hmm, aku juga tidak tahu."
"Tebak saja."
"Surga, deh."
"Kalau kita berdua salah, gimana?"
"Ya, jalani saja. Masa mau ngelawan?"
"Kalau dengan Tuhan, kita boleh mengajukan banding tidak?"
"Tidak tahu. Tapi kalau dengan malaikat, bisa."
"Tahu dari mana?"
"Kamu pernah dengar kisah pelacur yang masuk surga karena memberi minum seekor anjing? Atau kisah pembunuh sadis yang mati di perjalanan saat ingin bertaubat?"
"Dua-duanya pernah."
"Nah, yasudah. Itu kan bukti kalau dengan malaikat kita bisa mengajukan banding."
"Semoga malaikat yang ada di depan nanti bisa objektif."
"Amin."
***
Kesunyian dunia mimpi kembali menelan mereka berdua. Bulat-bulat, dan kali ini ditambah dengan intensitas tekanan yang tinggi, namun tetap tidak bersuara; sedikit pun.
Mereka seperti diremas udara. Ide, pikiran, khayal, dan kenangan, semuanya seperti ingin meledakkan otak agar bisa bebas dari penjaranya masing-masing. Kilatan cahaya yang terdiri dari bermacam warna menghantam mata mereka berulang-ulang, membuat perut mual.
Mereka berdua tahu apa arti dari gejala ini; transisi. Entah masuk lebih dalam lagi, atau malah keluar dari dunia mimpi. Tidak ada yang bisa memastikannya, sampai hitungan detik yang serasa menit itu berlalu seutuhnya.
KUK!!
***
Caraka terjaga. Di depannya, setengah lusin manusia yang terbungkus sleeping bag berjajar rapi seperti tongkol-tongkol segar siap lelang di Pasar Ikan Labuan Bajo. Dari sela-sela tembok kayu, dia bisa melihat kerlap-kerlip headlamp, lampu senter, dan beberapa obor. "Sudah pagi," pikirnya. Pelan-pelan dia beranjak dari kursi tempatnya tertidur, menarik resleting jaketnya ke atas sampai mentok, mengambil tongkatnya, lalu berjalan ke arah pintu pondokan. Angin pagi yang super dingin buru-buru masuk lewat celah pintu yang terbuka sedikit. Beberapa dari tongkol-tongkol segar bergetar. "Oh, masih hidup rupanya," batin Caraka.
Di teras yang penuh dengan embun, paru-paru Caraka mengambil udara sebanyak-banyaknya, ditahan sebentar, lalu mengeluarkannya perlahan. Sambil bertopang pada pagar teras pondokan, dia memerhatikan kegiatan para pendaki yang sedang sibuk mencari kayu bakar untuk api unggun. "Sarapan," bisik Caraka kepada dirinya sendiri.
"Pagi, Mbah Prof.!" Sapa seorang pendaki yang sedang menggendong setumpuk kayu bakar.
"Morning!" Balas Caraka.
"Mind to join us for breakfast?" Lanjut pendaki tadi sambil cekikikan.
"Of course! I'm fucking ngelih!"
Pendaki tadi menghentikan langkahnya untuk tertawa. Di teras, Caraka mengangkat tongkatnya ke arah timur. Memberi bahasa tubuh 'lihat itu'. Si pendaki pun menoleh ke arah yang ditunjuk Caraka dengan tongkatnya.
Nun jauh di ufuk timur sana, tepat di belakang lekukan gunung, sang mentari mulai mengintip; sinar oranye keemasan yang malu-malu kucing itu mendarat tepat di permukaan Ranu Kumbolo. Membuat danau tertinggi ketiga di Indonesia itu menjadi sebuah cermin raksasa, yang cuma Tuhan tahu cara membuatnya.
"Selamat pagi, langit." Bisik Caraka.
BIRU
Rokok lintingan terselip di bibir lelaki tua itu sementara tangannya bergerak perlahan, ke arah kantong kemejanya, mengeluarkan kotak korek api. Dia bakar rokoknya. Asap putih menghambur. Tipis-tipis berarakan, berlomba menuju langit, lalu menghilang beberapa jengkal di atas jidat yang penuh dengan kerut permanen.
Setiap hari, bersama seplastik tembakau kiloan, tiga pak kertas rokok, dan sekotak korek api, beliau duduk di atas singgasananya; menunggu malaikat maut yang tak kunjung datang menyapa, sambil menceritakan kisah hidupnya pada siapapun yang mau mendengarkan.
Mbah guru, mbah jendral, mbah mayor, mbah dongeng, mbah eyang, mbah pak tua, mbah profesor, mbah dosen, mbah suhu, dan lusinan nama panggilan lainnya. Hanya segelintir warga asli Semeru yang tahu nama aslinya. Segelintir warga asli itu pun sudah pada mati. Tinggal lelaki tua ini yang masih hidup. Masih sabar menunggu diberangkatkan ke keabadian oleh Sang Izrail. Masih sabar menunggu maut di atas singgasananya, di atas Gunung Semeru, di samping Danau Ranu Kumbolo, di depan lusinan pendengar setianya.
Singgasananya adalah sebuah kursi malas yang terbuat dari kayu. Berdiri dengan agung di depan pondokan pendaki, hanya beberapa meter dari teras pondokan. Tepat di samping singgasana, terdapat sebuah meja kayu kecil dengan ukiran khas Jepara. Di meja kecil itu beliau meletakkan seluruh harta benda miliknya. Dari gulungan tembakau, sampai mangkok kecil berisi uang hasil sumbangan dari para pendaki yang terhanyut dalam ceritanya. Beliau jarang menggunakan uang tersebut. Para penduduk lokal, sering menyempatkan diri singgah sebentar di pondokan untuk sekedar memberikan makanan. Sedekah membawa berkah.
Para pendaki pun sering memberikannya makanan, uang, rokok, kopi, cemilan, sampai handphone--katanya sih biar bisa terus berhubungan dengan beliau. Beberapa orang malah sengaja mendaki Semeru hanya untuk bertemunya, berbincang sebentar, khusyuk mendengarkan kisah-kisahnya, lalu pulang.
Dongeng Si Mbah. Begitu orang-orang menyebutnya.
***
Waktu saya lahir ke dunia,
bapak-ibu memberi saya nama Caraka.
Entah apa artinya.
Mereka lebih dulu wafat
tanpa sempat memberi wasiat,
atau apa pun surat
yang menjelaskan tentang arti nama.
Lalu saya tumbuh
dengan penuh rasa ingin tahu.
Apa rasanya berjalan mengikuti arah angin,
menyesap belantara hutan dipandu gerombolan awan,
diarak gulungan ombak ke pulau seberang,
sampai tertidur di bawah rimbun pohon asem
di pinggiran Sungai Bengawan Solo?
Apa rasanya?
Saya terus tumbuh
dengan penuh rasa ingin tahu.
Kemana setapak yang disinari bintang itu menuju?
Apa yang disembunyikan rembulan di balik tengkuknya?
Kenapa keindahan mentari malah muncul saat dia hampir berpulang?
Berapa bulir air mata yang diperlukan untuk membangun pelangi?
Tampaknya, waktu saya lahir ke dunia,
bapak-ibu tak hanya memberi saya nama,
namun juga jutaan tanda tanya.
Bukan wasiat, atau surat tentang arti nama,
tapi cukup
bagi saya untuk melawan dunia.
***
Saya masih ingat dengan jelas saat kali pertama saya berbicara dengan seorang bule. Saya yang waktu itu baru genap sepuluh tahun, mendadak jadi patung di tengah kolam pancur terguyur air; diam, kaku, ciut, dan kuyub--karena keringat dingin. Bule perempuan itu sedang bersama seorang pria yang saya tebak adalah kekasihnya. Dulu, saya sama sekali tidak mengerti kalau mereka sedang menanyakan arah alun-alun. Namun, sampai sekarang saya masih ingat bunyi kalimat perempuan pirang itu; "weris elon-elon?"
Beberapa detik berlalu. Bule perempuan itu tidak mendapatkan jawaban yang didambanya. Alih-alih, dia mendapatkan pemandangan langka; seorang bocah yang lari sambil berlinang air mata setelah ditertawakan para tukang becak. Saya berlari sampai nafas saya habis.
Di pinggiran rel Stasiun Tugu, tanpa disaksikan siapapun kecuali Tuhan, saya membuat sumpah.
"Aku akan belajar bahasa Inggris! Lalu aku akan ngobrol langsung dengan bule Inggris di negaranya langsung; di Inggris! Aku akan menyusur hamparan bumi untuk sampai kesana! Aku akan berpetualang!
***
Awalnya, para kompeni menamakannya Sekolah Kelas Satu, lalu mereka ubah menjadi HIS; Hollands Inlandse School. Setelah kita merdeka, bangunan tempat saya mencuri-curi belajar itu diubah lagi namanya menjadi SMP VI Jetis.
Di bangunan milik pemerintah Belanda itu, saya sering menyusup, mengintip, memerhatikan, dan menyuri dengar kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas. Peduli setan dengan pelajaran berhitung, atau pun ilmu alam, target saya cuma satu; bahasa Inggris.
Pada hari, dan jam-jam tertentu, dari balik jendela kayu yang selalu dibiarkan terbuka agar angin leluasa masuk, saya diam-diam belajar. Jauh lebih tekun daripada anak-anak priyayi berblangkon pualam dan berbatik berlian yang duduk dengan nyaman di dalam kelas.
Angin, anak bungsu keluarga langit, tersentuh dengan tekad saya. Setelah dikabarkan kakaknya; awan, tentang sumpah saya di pinggiran rel Stasiun Tugu, angin pun memutuskan untuk membantu saya. Angin meniupkan suara sang guru lebih cepat ke telinga saya. Angin membawa pergi bulir peluh saya jauh-jauh dari ketiak--dan kening. Angin pun menyanyikan senandung keluarga langit di daun kuping saya dengan syahdu. Membantu saya untuk lebih berkonsentrasi. Sebuah nyanyian yang hanya mungkin kalian dengarkan bila benar-benar mendengarkan.
"Kenapa kau belajar dari kolong jendela?"
Sebuah suara datang dari arah belakang. Berat, rendah, sedikit serak. Suara itu melafalkan diksi-diksi bahasa Indonesia dengan lamat, namun sang empu suara belum bisa menghapus logat Eropa-nya.
Saya menoleh ke arah suara, dan kembali mematung seperti yang lalu-lalu. Saya melihat seorang pria tinggi besar, berambut pirang, rapi disisir ke belakang. Pria itu mengenakan kemeja batik lengan panjang dengan celana kain berwarna coklat muda. Dia berdiri tegak sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.
***
Rudd van Naaktboren namanya, namun beliau lebih senang bila dipanggil Pak Rudi. Beliau adalah direktur HIS--setara kepala sekolah--yang domain wilayahnya sedang saya usik.
"Saya sudah tinggal di Jogjakarta selama tiga puluh tahun. Dulu, saya modal nekat ikut berlayar di atas kapal dagang VOC tujuan Indonesia sebagai ABK. Untaian kisah-kisah tak terjamah yang kita sebut nasib, bercampur takdir, membawa saya ke Jogjakarta. Kecintaan saya terhadap budaya kalian membuat jalan saya terbentang. Sampai akhirnya saya tiba di posisi saya sekarang ini; direktur HIS Jetis."
Kalau ingat cara bicara Pak Rudi, saya pasti terpingkal. Aneh rasanya bagi saya mendengarkan Pak Rudi lancar berbicara bahasa Indonesia, namun kental dengan logat Belanda. Acap kali, saya harus menutupi konspirasi otot, urat, saraf, dan sugesti 'JANGAN TERTAWA!' dalam benak saya bila mendengarkan beliau bicara.
"Saya cinta Indonesia. Saya cinta budaya Jogjakarta. Istri saya pun orang Jogjakarta. Namanya Tini, asalnya dari Wonosari. Persis seperti namanya, orangnya juga kecil."
Program gerilya saya terbukti berhasil di titik ini. Saya ingat waktu itu saya bisa merespon kelakar Pak Rudi. Butuh waktu beberapa detik bagi saya untuk menyadari kalau beliau baru saja memelesetkan nama istrinya; Tini, dengan tiny; kecil. Begitu paham gojekan beliau, saya pun ikut tertawa.
"Aah, kau mengerti candaan saya barusan?" Kata Pak Rudi memastikan. Saya hanya mengangguk kikuk. Sesungging senyum muncul di wajah Pak Rudi. Ujung-ujung bibirnya saling bertolak ke arah berlawanan, seperti ingin menyapa telinganya; merekah, memamerkan sederet gigi putih yang berbaris rapi.
"Good boy." Kata Pak Rudi sambil mengelus rambut saya. Dua detik selanjutnya, beliau menundukkan kepala sampai matanya sejajar dengan mata saya.
"I don't like you sneaking around like that in my school, young boy. But if you want to study, I'll teach you. Come to my house every Thursday, and Friday night. I will teach you everything you want. I'm sure my mistress will agree. She loves kids."
Saya mengerti kalimat panjang Pak Rudi sepotong-sepotong, namun saya fokus pada satu frase, dan frase itu lah satu-satunya pertanyaan yang saya ajukan pada Pak Rudi, "you will teach me bahasa Inggris??"
"Ah, bahasa Inggris, kek. Belanda, kek. Bahasa batin pun nanti saya ajari!"
***
Awalnya, belajar bersama Pak Rudi dan Bu Tini itu memang penuh dengan rasa canggung, dan waktu lah yang paling berjasa dalam mengubahnya. Waktu dengan sabar mengubah canggung menjadi terbiasa. Waktu juga yang mengubah terbiasa menjadi rindu. Di fase terakhir, dia menaburkan rasa kasih, sayang, dan cinta pada rindu yang terlanjur menjangkit.
Kepingan puzzle kami seperti jatuh dengan tepat ke tempatnya masing-masing. Otomatis saling melengkapi sampai terlihat sebuah gambar baru yang lebih indah daripada gambar-gambar terdahulu kami.
Sebelum bertemu dengan Pak Rudi di bawah jendela kelas HIS, saya hanyalah seorang bocah inlander miskin yang bekerja sebagai kuli angkut di Pasar Kranggan. Kota Jogja adalah rumah saya. Entah di sudut mana, tapi hampir semua trotoar, dan emperan toko pernah saya tiduri. Segala macam pekerjaan kasar pun pernah saya coba. Hidup sebatang kara, tanpa mengenal orang tua ataupun saudara kandung sejak umur enam tahun, membuat saya sangat menghargai sebuah hubungan baik dengan siapa pun.
Di sisi lain, Pak Rudi dan Bu Tini pun sedikit-banyak juga merasakan apa yang saya rasakan. Sepuluh tahun pernikahan, pasangan paling suci yang pernah saya temui ini belum juga diberikan buah hati. Segala cara sudah mereka coba. Dari cara medis sampai tradisional. Bahkan, Pak Rudi yang sangat tidak percaya dengan hal-hal klenik pun dengan besar hati mempercayai istri tercintanya untuk bertolak ke Gunung Kidul, mengunjungi rumah seorang dukun tersohor yang katanya dapat membuat subur pasangan. Hasilnya? Nihil. Lalu tiba-tiba saya datang. Bocah inlander miskin yang tertangkap basah sedang nyolong kesempatan belajar dari bawah jendela.
Persis seperti penggalan kalimat yang sering diucapkan Pak Rudi; untaian kisah-kisah tak terjamah yang kita sebut nasib, bercampur takdir, membuat kami dipertemukan di satu titik dimensi ruang dan waktu. Sebuah titik pertemuan yang memang telah dituliskan semesta untuk kami.
Sejak saya rajin datang tiap Kamis dan Jumat malam untuk belajar bahasa Inggris, secara bertahap saya tinggal di rumah Keluarga Naaktboren. Pak Rudi, dan Bu Tini memang tidak pernah mengatakannya secara gamblang, namun saya bisa merasakannya.
***
Bentuknya kotak. Warnanya coklat agak hitam, dengan bagian dalamnya putih bagai susu. Teksturnya empuk, dengan intensitas kekenyalan yang membuaikan para geraham sehingga mereka langsung memerintahkan otot rahang untuk bergerak perlahan, namun konstan. "Apapun yang terjadi, jangan berhenti mengunyah!" Begitu isi surat perintah resmi dari perwakilan dental untuk perserikatan otot rahang. Di lidah, perpaduan rasa asin dan manis membuat sensasi gurih yang lalu menginspirasi para pujangga melahirkan kata 'lezat'.
Demi jingga yang dibagikan senja, tidak ada yang dapat menyaingi tahu bacem buatan Bu Tini. Sampai di umur saya yang jauh lebih tua daripada NKRI ini, saya belum pernah menemukan tahu bacem yang dapat mengalahkan kelezatannya. Hampir setiap malam, Bu Tini menghidangkan tahu bacem jawara tersebut. Spesial untuk saya, katanya. Pak Rudi hanya bisa terkekeh melihat saya saban hari menelan bulat-bulat makanan yang sama, seperti baru pertama kali mencoba.
Saya sering bertanya apa resepnya, namun Bu Tini hanya memberikan satu senyuman yang paling ikhlas, dan berkata, "rahasia, biar kamu betah belajar di rumah ibuk."
"Resep asli Wonosari, ya?" Saya masih haus jawaban, dan beliau masih hanya tersenyum. Seperti sedang membahasakan yang tak terbahasakan.
Selama bertahun-tahun, senyuman Bu Tini terus merekah. Berusaha memberikan jawabannya pada saya. Sampai pada akhirnya, senyuman itu berhasil membuka satu jendela perspektif baru di alam imaji saya. Sebuah jendela perspektif baru, yang lalu memberikan sebuah kotak bersimpul mawar yang berisi jawaban.
"Resepnya adalah hati yang berbunga, dan cinta." Bisik senyuman Bu Tini pada saya.
***
Tahun itu, hari-hari saya penuh dengan keceriaan. Bahasa Inggris saya sudah sefasih balita dari Brisbane. Puluhan tamu mancanegara sudah saya temui. Belanda, Perancis, Jerman, Italia, Spanyol, Swiss, Turki, Yunani, Australia, dan negara-negara lain. Mayoritas dari mereka adalah kolega Pak Rudi. Mereka selalu datang berbondong-bondong dengan lusinan keponakan yang saya susah sekali menghafal nama-namanya. Pak Rudi menyebut mereka; tamu kehormatan Keluarga Naaktboren.
Tahun itu, hari-hari saya penuh dengan keceriaan. Tamu kehormatan Keluarga Naaktboren bergantian datang tiap minggu. Beda tamu, beda tradisi. Beda tradisi, beda kisah.
Keluarga Jerryfin dari Australia tidak suka sarapan di kamar. Harus di meja makan bersama seluruh keluarganya yang berjumlah enam belas orang. Sarapan tidak akan dimulai bila keenambelas anggota keluarga belum duduk di kursinya masing-masing.
Keluarga Heinz dari Swiss tidak suka makan babi. Jijik katanya. "Hidangkan saja pepes," kata Pak Rudi. "Mereka cinta ikan."
Keluarga Bianchi dari Italia lumayan rewel. Pak Rudi sampai harus mendekor ulang kamar-kamar tidur tamu, spesial untuk mereka. Kertas dinding yang meliputi seluruh dinding kamar disobek, dan diganti dengan cat putih. Kain sprei berpola garis-garis dengan paduan gambar bunga matahari di sisi bawahnya juga diganti dengan kain seprai berwarna putih. Meja rias kayu mahoni berpelitur natural coklat kemerahan dibopong keluar, lalu diganti dengan meja rias kayu suren yang dicat putih. Pokoknya, seluruh kamar harus berwarna putih.
Keluarga Garcia dari Spanyol selalu meminta diajak berburu di hutan. Agak sulit mengabulkannya. Paska proklamasi, masyarakat sangat sensitif bila melihat bule menenteng senjata. Akhirnya, Keluarga Garcia saya ajak berburu kelinci dengan panah. Sekaligus saya ajari tradisi jemparingan. Pak Rudi dan Bu Tini begitu bangga dengan ide saya waktu itu.
Keluarga Kuttner dari Jerman berkali-kali tidak terpuaskan dengan tarian tradisional. Membosankan kata mereka. Sampai akhirnya kami menyuguhkan mereka jathilan, atau kuda lumping. Mereka begitu antusias menonton. Semua anggota Keluarga Kuttner kompak menahan nafas, dan saling menggenggam tangan orang yang berada di sampingnya saat menyaksikan adegan makan beling.
Pada kunjungannya yang kesekian, Ophelia, anak perempuan sulung dari Keluarga Heinz sempat meminta untuk diantar ke pantai. Pak Rudi sudah menyiapkan setengah lusin batur untuk mengawal, namun Nona Ophelia menolaknya dengan halus. Dia beralasan ingin menikmati keindahan pantai seorang diri, tanpa diganggu siapa pun. Orang tuanya tidak setuju dengan idenya ini. Begitu pula dengan Pak Rudi. Akhirnya, saya mendadak didaulat menjadi pemandu, sekaligus pengawal pribadi Nona Ophelia selama dia menyusuri pantai-pantai Yogyakarta. Untung saja ide mau-tak-mau ini bisa diterimanya dengan legowo.
Selama dua minggu, saya menemani Nona Ophelia menyusuri seluruh bibir pantai di Yogyakarta. Dia bukan orang yang suka berbincang tentang banyak hal. Dia lebih suka menyendiri, duduk di bawah bayangan pohon kelapa, di depan hamparan pasir putih yang sepertinya mengerti bahasa Jerman-Swiss. Debur-debur ombak juga sepertinya mengerti selera humor Nona Ophelia. Saya sering melihatnya tersenyum kecil saat ombak membagikan kelakarnya. Dari balik hening yang selalu Nona Ophelia tunjukkan, saya tahu kalau cintanya sudah jatuh. Entah kepada siapa, yang jelas bukan ke saya. Saya hanya kebagian aura biru laut yang selalu terpancar dari orang kasmaran.
Tahun itu, hari-hari saya penuh dengan keceriaan. Tamu kehormatan Keluarga Naaktboren bergantian datang tiap minggu. Beda tamu, beda tradisi. Beda tradisi, beda kisah.
***
Tahun itu, di suatu pagi, langit Jogja terkoyak. Ratusan baling-baling membelah semburat oranye mentari terbit. Meniup jauh-jauh kawanan kumulus yang sedang beriringan ke arah barat. Mengaduk-aduk lorong kasat mata yang jadi papan terbangnya angin. Suara gemuruh gaduh mesin-mesin tempur membisukan para ayam jago. Ledakan, teriakan, desing peluru, dan aroma mesiu jadi dalang pembuka realita pagi itu. Saya menyebutnya 'kiamat kecil'. Pemerintah Belanda menyebutnya 'Operasi Gagak'. Buku-buku sejarah Indonesia menyebutnya 'Agresi Militer Belanda II'.
Soto ayam kegemaran saya belum saya sentuh. Semua pengunjung warung soto di depan pintu utara Stasiun Tugu mendongak. Menyaksikan ratusan burung gagak besi yang gaoknya mengacaukan hati, memacu detak jantung, dan membuat kami ingat Tuhan. Gelas-gelas es teh mulai berkeringat. Kuali tempat kuah soto diam-diam mendorong asap tipis uap soto ke langit, mencoba mengusik perut para penunggang burung gagak besi, tapi tidak berhasil.
Rentetan pelor berkaliber besar memecah lamunan semua orang. Masing-masing meninggalkan piring sotonya. Si tukang soto, meninggalkan piring loteknya. Pagi itu semua orang kalang kabut. Kalut dalam pencarian tujuan kabur. Sembunyi? Kabur? Melawan? Usir penjajah? Atau lanjutkan sarapan?
Saya berlari layaknya kawanan hyena yang mencium aroma bangkai rusa sisa perburuan singa masai di kejauhan. Saya berlari tanpa peduli apa, dan siapa. Saya berlari tanpa rencana. Pak Rudi, dan Bu Tini. Cuma nama mereka yang terus bergaung di pikiran saya.
Saya berlari menuju rumah Keluarga Naaktboren tanpa peduli apa, dan siapa, hanya untuk menemukan tubuh Pak Rudi yang sudah terpisah dengan kepalanya. Jantung saya seperti menyerah. Detaknya pelan, lembut, dan tak terasa. Membuat otak saya terlambat mengasup oksigen. Saya tersungkur lemas. Mencoba mencari alasan untuk menjadikan ini semua hanya mimpi.
Tapi siapa yang boleh menentukan alasan? Bukan saya.
Kesadaran saya tetiba kembali berkat suara Bu Tini. Di tengah otak yang berkabut, saya dapat mendengar teriakan beliau. Tidak jauh, dan bukan merupakan tanda selamat. Di dapur, belasan tentara Belanda sedang menunggu antrian menggagahi Bu Tini. Dari gelak tawanya, mereka terdengar begitu menikmati detik demi detik saat mereka menjadi lebih iblis daripada Lucifer.
Satu jam terbunuh, dan kisah Keluarga Naaktboren harus berakhir tragis. Caraka gagal menyembunyikan emosinya. Matanya berkaca, menatap nanar rombongan pendaki yang sedang menoreh Bukit Cinta. Suaranya tercekat, menggantung entah di pucuk haru sebelah mana. Lingkaran manusia yang berpusat padanya itu cuma bisa diam, menghormati sang pendongeng yang sedang terhanyut dalam jeram-jeram kenangan. Membuat beberapa pendengarnya juga ikut terhanyut. Segelintir sisanya, mendongak ke atas, terpaku dihadapan lorong waktu yang perlahan hilang.
Tamat.