Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Politik Kardus
1
Suka
291
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Seorang Guru Tua

Di sebuah negeri bernama Demokrasia, musim pemilu datang seperti hujan deras yang membawa serta aroma uang basah. Di balik baliho-baliho raksasa, tersenyum wajah para calon wakil rakyat. Janji-janji ditulis besar, tapi yang lebih besar adalah isi kardus-kardus yang tersembunyi di ruang belakang kantor partai.

Gilang, seorang pemuda sarjana hukum, baru saja diterima menjadi staf magang di Partai Nurani Murni. Ia datang dengan idealisme yang masih hangat—ingin membantu menghapus korupsi dan menegakkan keadilan.

Di hari ketiga magang, ia menyaksikan pemandangan ganjil.

Seorang calon legislatif datang membawa kardus besar bertuliskan “Sumbangan Kampanye”. Di dalamnya bukan brosur atau kaos, tapi uang tunai yang diikat rapi. Tak ada yang bertanya dari mana uang itu berasal. Semua hanya tersenyum dan menyilakan masuk.

“Sudah biasa,” bisik salah satu staf senior. “Kalau nggak bawa kardus, nggak bakal dapat nomor urut jadi caleg.”

Gilang tertegun. Ia pikir politik adalah adu gagasan, bukan adu isi kardus. Tapi semakin hari, ia makin terbiasa melihat ritual kardus itu. Para calon datang, menyerahkan kardus, pulang dengan janji kursi.

Sampai akhirnya, ia bertemu Bu Ratri, seorang guru tua dari desa yang ingin maju jadi caleg karena prihatin pada pendidikan. Ia tak membawa kardus. Ia hanya membawa map berisi proposal visi-misi.

“Bu… tanpa kardus, Ibu nggak akan dilirik,” kata Gilang pelan.

Bu Ratri tersenyum tenang. “Kalau semua anak muda menyerah seperti kamu, maka politik akan selamanya dikuasai kardus.”

Hari itu, Gilang memutuskan berhenti magang. Ia menulis semuanya dalam blog: kesaksian soal politik kardus, lengkap dengan bukti foto dan nama-nama. Dalam semalam, blog itu viral.

Besoknya, ia didatangi dua orang berpakaian rapi. Mereka tak memperkenalkan diri, hanya berkata, “Kalau kamu sayang orangtuamu, tutup blog itu.”

Gilang tak gentar. Ia tahu risikonya.

Blognya dihapus. Ia dibungkam. Tapi satu salinan tulisannya sempat menyebar, dikutip oleh media, dan membuat gaduh.

Beberapa tokoh politik mencoba menutupi, beberapa menyangkal. Tapi rakyat sudah terlanjur membaca.

Dan Bu Ratri? Ia tetap gagal jadi caleg. Tapi ia menang di mata orang-orang desa yang kemudian menggalang gerakan baru: “Bersih Tanpa Kardus”.

Gilang tahu, perubahan tak datang dari satu tulisan. Tapi seperti kardus yang bisa menampung banyak, semangat juang pun bisa dikemas dan dibagikan—asal isinya bukan uang, tapi keberanian.

Anak Seorang Politikus

Bab 1: Kardus yang Menghancurkan

Anis Syah Putra masih duduk di kelas enam SD ketika hidupnya hancur dalam semalam. Ayahnya, Fedi Nurilham, adalah politisi yang dikenal jujur, bersih, dan berani menolak suap. Namun suatu hari, televisi dan media sosial dipenuhi berita mengejutkan:

“Politisi Fedi Nurilham Ditangkap Terkait Dugaan Korupsi Dana Pendidikan!”

Anis menatap layar televisi dengan gemetar. Ibunya jatuh pingsan. Tapi yang paling menyakitkan adalah… ayahnya menangis saat diborgol. Bukan karena ketakutan, tapi karena difitnah.

Dan sang pelaku fitnah itu adalah Gebrendnad L., politisi licik yang dulu bersahabat dengan ayahnya, kini menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Ia melakukan semua itu demi menutupi korupsi yang ia sendiri lakukan—menggunakan kardus-kardus uang untuk membeli posisi.

Bab 2: Gila Karena Gosip

Hari-hari setelah penangkapan itu adalah mimpi buruk bagi Anis. Ibunya sering dibicarakan tetangga, diejek di pasar, dan disumpahi di jalan. Tak kuat dengan tekanan sosial, ibunya akhirnya mengalami gangguan jiwa dan dibawa ke rumah sakit jiwa kota.

Anis jadi anak terlantar. Rumah besar yang dulu hangat kini sunyi. Sampai Pak Pandji Perkasa Waksono, guru wali kelasnya yang berhati emas, datang dan membawanya pulang.

Bab 3: Sahabat Sejati

Pak Pandji memiliki seorang anak perempuan bernama Najwa Alina Sihab, teman sekelas Anis. Mereka seperti saudara. Tapi kebahagiaan itu tak lama. Pak Pandji difitnah menyelewengkan dana PIP (Program Indonesia Pintar). Tak ada bukti kuat, tapi karena lawan politik ayah Najwa ingin menyingkirkannya dari dunia pendidikan, Pak Pandji dipecat.

Keluarga itu jatuh miskin. Anis dan Najwa mulai berjualan makanan ringan di pinggir jalan selepas sekolah. Namun mereka tetap belajar dengan semangat, menolak putus sekolah. Saat kelulusan, mereka berdua berdiri di podium sebagai siswa berprestasi.

Bab 4: Teman Baru, Semangat Baru

Di SMP, Anis dan Najwa bertemu Tom Lembingo, anak pengusaha kaya keturunan Tionghoa yang rendah hati. Tom terpesona oleh semangat Anis dan Najwa. Ketiganya cepat akrab dan membentuk tim debat sekolah. Mereka berkali-kali juara tingkat kota.

Namun di SMA, tantangan lebih besar muncul. Mereka satu sekolah dengan Joko Anwar, anak dari Gebrendnad L., yang kini telah menjadi Presiden Konoha.

Joko adalah murid yang sombong, tukang contek, dan sering mem-bully murid lain. Tapi selalu lolos dari hukuman. Semua guru takut dengan pengaruh ayahnya.

Anis perlahan mulai menemukan jejak-jejak bukti. Dari catatan lama, ia tahu bahwa Gebrendnad L. yang memfitnah ayahnya. Kardus-kardus uang yang dulu dilaporkan ayah Anis… disabotase oleh Gebrendnad dan justru dijadikan alat untuk menjerumuskan orang lain.

Bab 5: Balas Dendam dengan Ilmu

Setelah lulus SMA, Anis diterima di Fakultas Hukum Universitas Negeri Konoha lewat jalur beasiswa. Ia belajar giat, mendalami hukum antikorupsi, dan bercita-cita masuk KPK.

Saat itu, Joko Anwar baru lulus kuliah dan langsung dijagokan jadi gubernur—padahal belum cukup umur. Ayahnya menggunakan kekuasaan untuk memanipulasi hukum. Banyak jabatan penting diberikan pada teman-teman dekat. Banyak oposisi yang dikriminalisasi. Media dibungkam. Konoha menjadi negara gelap.

Anis tak tinggal diam.

Ia mengorganisasi demo besar: “Aksi Konoha Bersih dari Kardus”, yang melibatkan mahasiswa dari seluruh kampus. Mereka turun ke jalan dengan spanduk bertuliskan:

“Kami Tidak Butuh Pemimpin Kardus!”

Bab 6: Keadilan Tidak Bisa Ditutupi Kardus

Gerakan itu mengguncang istana. Tekanan publik memaksa KPK bertindak. Saat itu, Anis telah diterima sebagai penyidik muda KPK. Ia memimpin investigasi besar-besaran.

Dan akhirnya…

Gebrendnad L. ditangkap. Bukti video, aliran dana, dan testimoni saksi berhasil menyingkap aib kekuasaan kardus. Joko Anwar juga ikut terseret karena ikut menerima dana ilegal.

Tak lama, ayah Anis dibebaskan dan dipulihkan nama baiknya. Ibunya, yang perlahan membaik, akhirnya pulang ke rumah.

Epilog: Dari Kardus ke Cahaya

Anis, Najwa, dan Tom berdiri di pelataran gedung KPK, menatap matahari pagi.

“Kita nggak bisa hapus masa lalu,” kata Anis pelan.

“Tapi kita bisa pastikan masa depan negeri ini tak lagi disetir oleh kardus.”

Mereka bertiga tersenyum. Karena dari reruntuhan kardus itulah, mereka membangun masa depan yang bersih.

Tamat

[Dalam cerpen ini, saya selaku penulis berharap semoga negara kita terhindar dari praktek - praktek korupsi yang dapat merugikan negara yang kita cintai ini. Dan saya berharap kepada pembaca agar selalu peduli terhadap negara ini dengan mecegah dan melawan korupsi]

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Aku kamu dan koma
yulindraaulia
Novel
Perjalanan Ke Neraka
Pebriyatna Atmadja
Novel
Harmoni, Poligami, dan Rapuhnya Hati
#diksidisuduthari
Novel
Bronze
Dia, Perempuan di Ambang Titian
Wulan Kashi
Skrip Film
Sang Multitalenta
M. Ferdiansyah
Flash
Bronze
Kisah Kelam Kehidupan: Si Buruk Rupa Juga Manusia Biasa
mahes.varaa
Cerpen
Politik Kardus
Fadlinursufi
Novel
Bronze
Our Destiny
Resha
Novel
Madeleine
Nurina Maretha Rianti
Novel
Gold
KKPK Journey Of The Girls
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Bus Kota Warna Merah (Cerpen Pilihan Editor#1)
Imajinasiku
Komik
Kilogram
Dwirns
Komik
9306 in the Eyes
Misha si Beruang
Flash
Nyanyian Penyemangat Hidup
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Di Penghujung Jalan
oktaviani difa
Rekomendasi
Cerpen
Politik Kardus
Fadlinursufi