Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
I. Desa Kabut
Perladangan di Bukit Sarunding raib!
Kabar itu dibawa Nando, bocah remaja 14 tahun, yang berlari terengah-engah seusai menuruni punggung bukit. Ia berdiri terbungkuk di hadapan segerombolan lelaki dewasa yang bermain kartu di pondok jaga desa, sembari memegangi perutnya yang terasa nyeri karena dipaksa berlari sejak tadi. Mereka tak menghiraukannya sama sekali.
“Ladang Bukit Sarunding hilang, Angku,” katanya dengan wajah dan tatapan terarah kepada lelaki tua yang duduk berseberangan dengannya. Napasnya masih menderu.
Ia berupaya mengatur napas sebisanya, namun membiarkan peluhnya mengalir deras dari helai-helai rambut ikalnya yang sehitam arang ke pelipis, langsung menuju pipi, dagu, leher dan menyusup sebagai anakan sungai kecil di dadanya yang bidang, menjadi pelekat bagi kemeja katun birunya yang kuyup dan sudah menipis oleh usia.
Lelaki yang disapanya mengangkat wajah dan pandangannya dari tebaran kartu yang menghampar di lantai pondok. Sepasang matanya menyipit menelusuri tubuh kuyup Nando.
“Apa maksudmu?” tanyanya dengan nada tajam.
“Ladang Bu….”
“Aku tahu ladang sudah tak ada. Tapi apa maksudmu mengabarkan hal itu?!” sela lelaki itu cepat, sebelum Nando menyelesaikan kalimatnya. Jelas ia tahu ladang telah raib, bahkan ia orang paling awal di kampung mereka yang tahu tentang itu.
“Makam Abak dan Amak..” Suaranya mendadak tercekat.
“Ooh, bukankah mereka masih ada di sana?” sahut lelaki itu setelah mampu meraba ke mana muara kalimat Nando. Ia mengembuskan napas dari hidung dengan kesal, kembali menatap kartu-kartu di lantai.
“Tapi pohon sejodoh juga ikut hilang!” Nando hilang kontrol. Ia berteriak; satu hal yang sangat dilarang amak untuk dilakukan, bahkan sejak ia masih kecil.
Abak dan amak sudah tiada. Mereka pergi meninggalkan dunia nyaris bersamaan, hanya berbeda dua hari saja. Nando masih 12 tahun ketika ia menjadi yatim piatu dan tinggal menyendiri di rumah tua milik abak dan amak. Setiap pagi ia selalu berlari ke punggung bukit dan menyambangi makam kedua orangtuanya. Ia bercerita tentang hari-harinya yang sepi, tentang perutnya yang belum terisi, juga tentang keinginannya untuk melanjutkan sekolah lagi.
Meski abak dan amak tidak pernah menanggapi ceritanya, tapi hati Nando senang. Ia merasa mereka berdua ada di dekatnya, amak mengelus rambutnya dan abak menepuk-nepuk bahunya. Nando merasakannya dengan nyata.
Lalu sebuah tunas tumbuh di musim penghujan, di antara kedua makam yang berdekatan. Semakin lama semakin besar dan menjulang menjadi pohon dengan daun-daun kecil hijau yang tipis dan kerap mengeluarkan suara berdesir ketika angin kencang. Entah pohon apa itu. Orang-orang desa yang mengetahui munculnya pohon itu menamainya pohon sejodoh. Mereka menganggap itu sebagai pohon keramat titisan abak dan amak, lambang jodoh yang tak terpisahkan dari keduanya. Nando tentu saja sangat mempercayai anggapan itu dan merasa bahwa keberadaan pohon itu adalah cara abak dan amak untuk menjawab kerinduannya.
Setelah pohon sejodoh merindang, Nando seringkali tertidur di atas makam abak atau amak, seusai bercerita dan berkeluh kesah tentang hidupnya. Pohon itu tumbuh tidak terlalu tinggi, tidak sampai dua meter dari permukaan tanah. Batangnya juga tidak terlampau besar, dengan cecabang dahan dan ranting yang banyak, juga dedaunan yang tumbuh rapat menyaring cahaya matahari, melindungi makam dan Nando yang tertidur pulas.
Tapi sekarang pohon itu sudah tak ada lagi!
Pohon sejodoh ikut menghilang bersama pohon-pohon durian, pohon jeruk dan semak belukar. Perladangan raib! Tak ada yang tersisa, kecuali makam abak dan amak. Nando sudah tak sanggup menahan rasa kesal yang berkarat di hatinya.
“Kalau pohon sejodoh raib, lalu?! Kau menyuruhku untuk mencari ke mana pohon itu pergi, begitu?! Lancang, Kau!”
“Angku, itu Abak dan Amak!”
“Itu hanya sebatang pohon kecil yang ditanam di makam!”
“Angku!! Itu bukan pohon yang ditanam. Itu pohon titisan Abak dan Amak. Dia tumbuh sendiri dari tanah makam!” Nando menyergah marah. Wajahnya memuat nyala api seluruhnya, dengan sepasang mata yang berkilat-kilat.
“Omong kosong! Pergilah! Kau laporkan saja ke polisi kalau ingin. Bukan kerjaanku mengurus pohon kecil yang hilang di Bukit Sarunding!” hardik lelaki tua bersinglet kusam dengan permukaan kulit yang sebahagiannya mulai mengendur tergerus usia. Ia ikut terseret emosi. Rahangnya mengeras, jemarinya mengepal geram.
Nando, anak muda yang hatinya tengah terluka itu, menatap lelaki di depannya dengan murka. Kini bukan hanya mereka berdua. Lelaki lain yang duduk di pondok jaga, yang semula tak mengindahkan pertikaian mereka, mulai mengarahkan pandangan ke arahnya. Tatapan yang bermakna; Nando, cucu lancang yang berani menghardik angkunya di depan orang lain. Cucu durhaka yang patut dibekap sumpah serapah. Nando sadar, tak ada gunanya ia bertahan di tempat ini. Takkan ada yang membelanya, konon pula membela abak dan amak, apatah pula sebatang pohon.
Terakhir kali Nando menghujamkan tatapan setajam belati kepada angkunya, sebelum berlalu dengan hentakan kaki yang menyimpan kesumat. Kemeja katunnya yang hanya berkancing dua berkibar-kibar dipermainkan angin, ketika ia mempercepat langkahnya; kemudian berlari sekencang-kencangnya. Ia memasuki pintu desa disambut kabut yang tiba-tiba turun begitu pekat.
II. Pohon Sejodoh
Pohon-pohon durian yang tahun lalu berdiri menjulang berbatang-batang di antara rerimbun perdu setinggi orang dewasa, pohon jeruk setengah ranggas dan tanaman ladang musiman, kini sirna tanpa bekas. Benar-benar tanpa bekas. Sepertinya para pembersih itu -siapapun mereka-, bukan hanya mengamputasi batangnya, namun juga mencabut hingga ke akar penopangnya. Seperti masa lalu yang harus dilenyapkan tanpa jejak. Hanya ada hamparan rumput yang menguning kecokelatan bekas di-roundup beberapa hari lalu. Tentu saja orang-orang desa suruhan yang melakukannya, demi imbalan beberapa lembar kertas rupiah biru, yang diharapkan mampu menyambung dan menaikkan kembali bubungan beras di gerabah yang sudah melandai; mengancam kelangsungan hidup beberapa kepala di rumah mereka.
Seorang perempuan berambut ikal sepunggung dengan topi putih klasik lebar, berjalan mengitari tempat itu dengan sepasang high heels kuning mengilat yang ujung haknya membuat liang-liang tanam baru di permukaan tanah. Dua orang lelaki bertubuh besar mengikuti beberapa langkah di balik punggungnya.
“Kapan ini semua bisa bersih?” tanya perempuan itu, tak pasti ditujukan ke siapa.
Seorang lelaki di belakangnya cepat-cepat mendekat. “Seminggu ini sepertinya sudah bersih, Bu,” sahutnya takzim.
“Berarti minggu depan sudah bisa dimulai pembangunan ya?”
“Iya, Bu. Semua bahan-bahan juga sudah dipesan ke toko. Tukang-tukang juga sudah siap.”
Perempuan itu menghentikan langkah dan mengedarkan pandangannya ke sekitar. Angannya membubung jauh mengikuti arah matanya; ke anak-pinak awan-awan cumulus yang berarak melintasi lereng dan lembah, juga desa-desa di bawah bukit yang samar tertutup kabut. Senyumnya mengembang tipis saat melihat seorang anak perempuan berlari kecil mendaki lereng bukit bersama seorang lelaki yang mengikuti di belakangnya, sembari memegang layang-layang hias yang berukuran separuh tubuhnya. Ekor layang-layang itu menjurai, sesekali meliuk-liuk oleh sapuan angin.
“Mamii…!! Lihat layang-layangku. Cantik, kan?” Gadis kecil itu memamerkan layangan di tangannya.
“Cantik sekali. Tunggu hingga villa kita selesai, baru Stella bisa bermain layangan sepuasnya di sini,” kata perempuan itu sambil merengkuh sang putri.
“Ya, Papi dan Stella akan bermain layangan sepuasnya di bukit. Tapi tunggu hingga rumahnya selesai. Oke?” Gadis kecil itu mengangguk.
Perempuan itu kembali menatap ke sekitar dan melangkah menuju batas perladangan yang tak masuk dalam area yang dibelinya. Matanya terhenti di satu titik, dahinya mengernyit seketika.
“Tunggu dulu!” serunya pada orang suruhannya yang tengah membuat patok batas.
“Pohon apa ini?” tanyanya dengan telunjuk yang terarah lurus ke pohon berdaun rindang yang tidak terlalu besar, yang letaknya persis bersebelahan dengan patok batas tanah.
“Ooh, itu Namanya pohon sejodoh, Bu. Penduduk desa yang menamakannya demikian.”
“Kenapa diberi nama seperti itu?”
“Karena pohon itu tumbuh di antara dua makam suami istri, Bu. Jadi dianggap orang desa itu pohon titisan keduanya.”
“Itu makamnya?” Perempuan itu menunjuk dua gundukan tanah di dekat patok batas.
“Benar, Bu.”
“Hmm, menarik sekali. Berarti pohon ini simbol perjodohan sejati sampai mati ya?”
“He..he..he, begitulah legendanya, Bu. Tapi saya yakin itu bisa-bisanya orang desa saja, Bu. Paling juga burung yang menjatuhkan benihnya di situ. Masa iya di zaman sekarang masih ada cerita seperti itu,” lelaki itu terkekeh.
“Cabut!” perintahnya.
“Maksudnya, Bu?”
“Cabut pohon itu. Bawa pulang ke rumah. Saya mau tanam di rumah,” perintahnya dengan tenang sambil melirik suaminya yang ternganga.
III. Hari yang Dingin
Ruangan itu dingin sekali. Pendingin ruangan, hujan deras di luar dan dua sosok yang saling berdiam diri dengan wajah penuh kemarahan, membuat udara di ruangan itu menjelma cuaca kutub utara.
“Katakan apa maumu sekarang?!” tiba-tiba perempuan yang duduk diam di sofa angkat bicara.
“Kita bercerai saja! Aku capek bertengkar terus denganmu.” Laki-laki yang duduk di sofa seberangnya menyahuti dengan penuh amarah.
“Baik. Kita bercerai dan Stella ikut aku.”
“Tidak bisa. Stella ikut aku!”
“Enak saja. Kita tunggu pengadilan akan memutuskan Stella ikut siapa, dan itu pasti aku; ibunya!”
“Terserah!!” Lelaki itu mengibaskan tangannya dan berjalan cepat ke pintu keluar.
Di teras, pandangannya terpaku pada sebatang pohon setinggi dua meter di tengah halaman, yang cecabangnya meliuk-liuk dihela angin dan hujan. Ia menghela napas, lalu buru-buru memasuki mobil dan beberapa detik kemudian melaju meninggalkan rumah dengan kecepatan tinggi.
IV. Perpisahan
“Apakah rumah ini akan dijual?” tanya seorang lelaki muda pada perempuan berambut ikal pirang yang berdiri di sampingnya.
“Tidak.”
“Lalu, kenapa kau menyewa truk?”
“Aku ingin memindahkan pohon itu.”
“Kenapa?”
“Itu pohon sejodoh kata orang-orang di desa, pohon yang tumbuh di antara dua makam di Bukit Sarunding.”
“Lalu?”
“Aku akan mengembalikannya ke tempat asalnya, sebagaimana wasiat mami sebelum meninggal bunuh diri. Aku cuma ingin papi dan mami tenang di peristirahatannya. Lagipula, pohon ini tak cocok ada di kota. Ia akan mati kesepian. Sedangkan di bukit, pohon-pohon mati untuk hidup lagi.” Setelah mengatakannya, perempuan itu memberi isyarat kepada beberapa pekerja untuk mencabut pohon yang ditunjuknya.(*)