Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Pocong di Zoom Meeting
0
Suka
447
Dibaca

Langit Bogor sore itu berwarna kelabu, sama kelabunya dengan semangat Reksa. Dari jendela kamarnya di lantai dua, ia bisa melihat rintik hujan mulai membasahi jalanan, menciptakan genangan-genangan kecil yang memantulkan cahaya lampu jalan yang mulai menyala. Seharusnya ia mengerjakan revisi skripsi. Seharusnya ia bersemangat, karena hanya tinggal satu langkah lagi menuju gerbang kelulusan. Seharusnya.

Tapi Reksa tidak merasakan apa-apa selain kelelahan yang meresap hingga ke tulang. Tiga semester terakhir hidupnya telah direnggut oleh pandemi, mengubah riuh rendah koridor kampus menjadi keheningan kamarnya yang berantakan. Ambisinya yang dulu membara kini padam, menyisakan abu penyesalan dan kebosanan. Ia merasa seperti hantu di dalam pendidikannya sendiri—hadir dalam bentuk kotak digital, tapi jiwanya melayang entah di mana.

Pukul setengah delapan malam. Notifikasi pengingat dari kalender ponselnya berbunyi nyaring. Kelas Teori Sastra Kontemporer. Kelas wajib yang terasa seperti hukuman. Dengan helaan napas berat, Reksa mengklik tautan Zoom yang sudah ia tandai.

Layar laptopnya menyala, menampilkan mosaik kotak-kotak hitam yang familiar. 80 peserta. 78 di antaranya mematikan kamera, sebuah kesepakatan tak tertulis dari para mahasiswa yang lelah. Hanya kotak video milik dosen, Pak Sentosa, yang aktif. Wajahnya tampak datar, matanya separuh terpejam, seolah energinya telah tersedot habis oleh sinyal Wi-Fi.

“Baik, selamat malam semua,” suara Pak Sentosa terdengar monoton, sedikit terdistorsi oleh mikrofon laptopnya. “Malam ini kita akan membahas dekonstruksi dalam karya-karya post-strukturalis. Silakan buka materi yang sudah saya unggah …”

Reksa menyandarkan kepalanya ke dinding. Dekonstruksi. Ironis sekali. Seluruh semangatnya sudah terdekonstruksi hingga tak bersisa, dan sekarang ia harus mempelajari teorinya. Ia membuka daftar peserta, sebuah distraksi yang biasa ia lakukan. Nama-nama yang familiar muncul: Adinda Putri, Banyu Samudra, Citra Lestari. Ia menghitung dalam hati, mencoba menebak siapa yang benar-benar mendengarkan dan siapa yang sedang menonton serial di jendela browser lain.

Saat itulah matanya menangkap sebuah anomali. Di antara puluhan nama, di bagian bawah daftar, ada satu yang berbeda. Bukan nama, hanya sebuah label generik yang dingin.

“Peserta 100”.

Reksa mengerutkan kening. Mungkin mahasiswa baru yang belum sempat mengatur akunnya. Atau mungkin salah satu temannya yang iseng. Ia mengangkat bahu, mencoba tak peduli, lalu kembali menatap wajah Pak Sentosa yang membosankan di layar utama.

Tiga puluh menit berlalu seperti tiga abad. Pak Sentosa terus berbicara, suaranya menjadi lagu pengantar tidur yang paling efektif. Reksa sudah hampir menyerah pada kantuknya saat dosen itu tiba-tiba berhenti.

“Ada yang bisa memberikan contoh penerapan dekonstruksi pada teks iklan? Siapa saja? Jika ada silakan jelaskan dengan mengaktifkan videonya.”

Keheningan. Di ruang obrolan, hanya ada stiker-stiker canggung. Beberapa mahasiswa yang panik mulai mengetik “kurang paham, Pak” atau “bisa diulangi, Pak?”.

Pak Sentosa menghela napas, tampak pasrah. “Baiklah, kalau tidak ada …”

Kalimatnya terpotong oleh sebuah notifikasi kecil yang muncul di sudut layar, disertai bunyi ‘ting’ yang lembut. Sebuah ikon tangan berwarna kuning muncul di samping sebuah nama.

“Peserta 100 raised hand.”

Seluruh mahasiswa yang masih setengah sadar langsung menegakkan punggungnya. Siapa ini? Di tengah keheningan massal, ada satu jiwa pemberani atau cari perhatian yang mengangkat tangan.

“Baik … silakan, Peserta 100,” kata Pak Sentosa, nadanya datar. “Silakan aktifkan kamera dan mikrofonnya. Sebutkan nama lengkap Anda.”

Semua mata kini tertuju pada daftar peserta, menunggu kotak hitam bertuliskan “Peserta 100” menyala. Reksa ikut menahan napas.

Tiba-tiba, kotak hitam itu berubah menjadi jendela video yang aktif. Tanpa suara, tanpa peringatan. Cahaya dari kamera yang menyala itu seolah merobek kegelapan digital, dan di dalamnya, sebuah sosok muncul.

Kotak itu menampilkan sosok yang membuat Reksa tegak dari sandarannya. Bukan wajah seorang mahasiswa. Melainkan sebuah sosok yang seluruh tubuh dan wajahnya terbalut kain kafan putih yang lusuh dan sedikit kotor oleh tanah. Dua lubang hitam di tempat mata menatap lurus ke arah kamera. Latar belakangnya adalah dinding gelap yang lembap dan tak dikenal.

Satu detik hening. Lalu, ruang obrolan meledak.

“WKWKWKWK NIAT BANGET PRANK-NYA!”

“SIAPA SIH INI ANJIR, KREATIF!”

“Auto jadi mhs favorit.”

Puluhan emoji tertawa memenuhi kolom chat. Reksa sendiri tersenyum tipis. Di tengah kebosanan ini, setidaknya ada sedikit hiburan.

Tapi Pak Sentosa tidak terhibur. Wajahnya memerah karena marah. “Siapa itu?! Tolong yang sopan, ya! Ini forum akademik, bukan panggung komedi! Kalau tidak mau keluar, saya yang akan keluarkan!”

Pak Sentosa menggerakkan kursornya ke arah kotak video “Peserta 100”, hendak meng-klik tombol ‘Remove’. Tapi sebelum ia sempat melakukannya, terdengar suara yang berderak seperti radio rusak. Perlahan, di antara suara berisik itu, sebuah suara terbentuk. Jernih, tenang, dan sedikit bergema.

“Jika kita menerapkan dekonstruksi pada iklan sampo, Pak,” kata suara itu, “kita bisa membongkar oposisi biner antara ‘rambut sehat’ yang selalu direpresentasikan oleh model perempuan dengan rambut lurus dan panjang, versus ‘rambut bermasalah’ yang seringkali diasosiasikan dengan rambut keriting atau tidak konvensional. Iklan secara implisit menciptakan hierarki di mana satu jenis rambut dianggap lebih superior. Teks ‘kembalikan kilaumu’ tidak hanya menjual produk, tapi juga menjual ideologi kecantikan yang tunggal.”

Seluruh tawa di ruang obrolan seketika berhenti. Emoji-emoji membeku. Jawaban itu … sempurna. Jauh lebih tajam dan mendalam daripada apapun yang pernah mereka diskusikan di kelas. Bahkan Pak Sentosa tampak terpaku, mulutnya sedikit terbuka, kursornya melayang tak bergerak di atas tombol ‘Remove’.

Keheningan yang canggung dan merinding menyelimuti ruang Zoom itu. Prank ini … terasa terlalu pintar. Terlalu serius. Di kotaknya yang gelap, sosok pocong itu hanya diam, seolah menunggu nilai.

***

Sejak malam itu, semuanya berubah. “Peserta 100” tidak pernah absen. Setiap pertemuan Zoom, ia selalu hadir, kameranya selalu aktif, menampilkan sosoknya yang menyeramkan dengan latar belakang yang sama kelamnya. Mahasiswa lain berhenti tertawa setelah pertemuan kedua. Si pocong mereka beri nama panggilan “Bagus” setelah nama itu sesekali muncul di akun Zoom-nya saat sinyal internetnya bagus.

Saat si Pocong menyajikan sebuah presentasi PowerPoint, presentasinya tidak hanya rapi, tapi brilian. Dengan judul “Analisis Wacana Kritis pada Lirik Lagu Dangdut Koplo”, Bagus membongkar lapisan-lapisan kritik sosial dan perlawanan gender dalam lagu-lagu yang selama ini mereka anggap remeh. Slide-nya penuh dengan kutipan dari Foucault dan Derrida, disandingkan dengan lirik dari Via Vallen. Itu adalah presentasi paling jenius yang pernah Reksa saksikan selama empat tahun kuliahnya.

Perlahan tapi pasti, para mahasiswa lain mulai bergantung padanya. Di ruang obrolan, pertanyaan-pertanyaan yang tadinya ditujukan pada dosen, kini dialamatkan pada Bagus.

“Gus, referensi buat tugas semiotika apa ya yang bagus?”

“Bagus, bisa tolong jelaskan lagi soal poskolonialisme? Penjelasan Pak Sentosa bikin ngantuk.”

Bagus selalu menjawab dengan sabar dan sopan melalui fitur chat, atau kadang melalui suaranya yang bergema. Ia menjadi tutor gratis, asisten dosen tak resmi, dan suar di tengah lautan kebingungan akademis mereka.

Reksa, yang awalnya hanya mengamati, mulai merasakan sesuatu yang aneh. Bukan ketakutan, melainkan kekaguman. Makhluk ini, siapa pun atau apa pun dia, menunjukkan semangat belajar yang telah lama mati di dalam diri Reksa dan teman-temannya. Ia tidak hanya hadir, ia berpartisipasi. Ia tidak hanya menyerap, ia berkontribusi.

Suatu malam, saat mengerjakan tugas kelompok yang buntu, Reksa memberanikan diri. Ia mengirim pesan pribadi pada Bagus di jendela Zoom.

Reksa: “Gus, sorry ganggu. Boleh minta pendapat soal ini? Kelompok gua stuck.”

Balasan datang hampir seketika.

Bagus: “Tentu saja, Reksa. Coba kirimkan drafnya. Mungkin gua bisa bantu melihat dari sudut pandang yang berbeda.”

Percakapan mereka berlanjut hingga larut malam. Mereka tidak hanya membahas tugas. Bagus bertanya tentang kehidupan Reksa, tentang skripsinya, tentang mimpinya setelah lulus. Ada kehangatan dan kebijaksanaan dalam kata-katanya. Reksa merasa sedang berbicara dengan seorang teman lama.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, Reksa merasa bersemangat mengerjakan tugas kuliah. Ia merasa terinspirasi. Dan perasaan itu membuatnya semakin penasaran sekaligus merinding. Siapakah sebenarnya sosok di balik kain kafan itu?

***

Rasa penasaran Reksa berubah menjadi sebuah obsesi yang sehat. Ia harus tahu siapa Bagus. Berbekal nama yang sesekali muncul itu, “Bagus Wicaksono”, ia memulai penyelidikannya. Ia menyelam ke dalam arsip digital universitas, sebuah labirin file PDF dan database usang yang jarang dijamah.

Setelah berhari-hari mencari di antara ribuan nama, akhirnya ia menemukannya. Sebuah folder usang bertuliskan:

“Mahasiswa Angkatan 1999”. Jantungnya berdebar kencang. Ia meng-klik folder itu. Ratusan file kartu mahasiswa digital muncul. Ia mengetik nama “Bagus Wicaksono” di kolom pencarian.

Satu hasil muncul.

Sebuah foto Kartu Tanda Mahasiswa yang sedikit buram. Seorang pemuda kurus, dengan rambut belah tengah yang khas awal tahun 2000-an, mengenakan kacamata tebal berbingkai kotak. Di wajahnya, terukir sebuah senyum yang tulus, sedikit malu, dan penuh dengan harapan. Itu adalah wajah seorang kutu buku yang mencintai dunianya.

Di bawah data dirinya, statusnya tertulis: “Mengundurkan Diri (2003)”. Mengundurkan diri? Kenapa?

Reksa tidak berhenti di situ. Dengan nama lengkap dan tahun angkatan, ia melakukan pencarian di arsip berita online nasional. Hasil pertama yang muncul membuat darahnya serasa surut dari wajahnya. Sebuah artikel dari sebuah koran lokal, tertanggal 17 Oktober 2003. Judulnya: “Kecelakaan Tunggal di Tol Jagorawi, Mahasiswa Tingkat Akhir Tewas di Tempat.”

Reksa membaca artikel itu dengan tangan gemetar. Bagus Wicaksono, 22 tahun, mahasiswa Sastra, meninggal dunia setelah mobil yang dikendarainya menabrak pembatas jalan. Yang membuat lutut Reksa lemas adalah paragraf terakhir dari artikel itu.

“Menurut keterangan saksi, korban terlihat mengemudi dengan tergesa-gesa. Kecelakaan terjadi pada pukul 07.15 pagi. Korban dijadwalkan untuk menghadiri sidang skripsi terakhirnya di kampusnya pada pukul 09.00 pagi. Di antara puing-puing mobil yang terbakar, ditemukan sisa-sisa dari sebuah naskah skripsi yang telah dijilid rapi.”

Ponsel terlepas dari genggaman Reksa, jatuh ke lantai dengan bunyi yang pelan. Semuanya menjadi jelas. Bagus tidak pernah mengundurkan diri. Ia meninggal hanya beberapa langkah dari garis finisnya. Keinginannya untuk lulus, argumen-argumennya yang brilian di kelas, semangat belajarnya yang tak pernah padam … semua itu adalah gema dari sebuah mimpi yang direnggut secara brutal. Tuntutannya untuk mendapatkan ijazah bukan lagi sebuah lelucon. Itu adalah sebuah tangisan dari jiwa yang tidak bisa tenang, sebuah permintaan untuk menutup babak terakhir dari kehidupannya yang terpotong.

Malam itu, Reksa menatap kotak hitam “Peserta 100” di layar Zoom dengan cara yang sama sekali berbeda. Ia tidak lagi melihat pocong yang lucu atau arwah yang menyeramkan. Ia melihat tragedi. Ia melihat ketidakadilan. Dan di dalam hatinya, tumbuh sebuah tekad. Ia harus membantu Bagus.

***

Berbekal bukti dan empati yang membara, Reksa mengumpulkan beberapa teman sekelas yang paling bersimpati pada Bagus. Citra, seorang aktivis mahasiswa yang vokal, dan Doni, seorang anak IT yang jenius. Mereka membentuk sebuah tim kecil, sebuah “Komite Advokasi Arwah Mahasiswa”.

Langkah pertama mereka adalah melobi pihak kampus. Mereka berhasil mendapatkan jadwal bertemu dengan Kepala Bagian Administrasi Akademik, Pak Hartono, seorang birokrat paruh baya dengan wajah yang seolah terbuat dari formulir dan stempel.

Reksa menjelaskan semuanya dengan runut dan penuh perasaan. Ia menunjukkan bukti digital, artikel berita, bahkan rekaman video dari beberapa “kuliah” Bagus yang brilian.

Pak Hartono mendengarkan dengan dahi berkerut, bukan karena simpati, tapi karena bingung. Setelah Reksa selesai, ia menyesap kopinya, lalu menatap mereka dari atas kacamatanya.

“Jadi, intinya,” katanya dengan nada datar, “kalian ingin saya menerbitkan ijazah untuk … sesosok pocong?”

“Namanya Bagus Wicaksono, Pak,” potong Citra, nadanya tajam. “Dan dia adalah mahasiswa universitas ini yang hak akademisnya belum terpenuhi.”

Pak Hartono tertawa kecil, tawa yang kering dan meremehkan. “Dengar, ya, Anak-anak. Saya hargai kreativitas kalian. Tapi sistem kami tidak dirancang untuk menerima NIM hantu.” Ia berdiri, memberi isyarat bahwa pertemuan itu selesai. “Urus saja skripsi kalian yang masih hidup. Jangan buang-buang waktu saya dengan lelucon seperti ini.”

Reksa dan teman-temannya keluar dari ruangan itu dengan perasaan kalah dan marah. Malamnya, mereka berkumpul di Zoom untuk merencanakan langkah selanjutnya. Bagus juga ada di sana, mendengarkan laporan Reksa dalam diam.

Saat Reksa menceritakan kalimat terakhir Pak Hartono yang meremehkan, sesuatu yang aneh terjadi. Lampu kamar Reksa mulai berkedip-kedip. Layar laptop semua peserta mulai dipenuhi glitch dan distorsi visual.

Tiba-tiba, kotak video semua orang, termasuk Reksa, berubah. Wajah mereka semua digantikan oleh wajah Pak Hartono dari foto profil di situs web kampus. Lalu, satu per satu, wajah Pak Hartono itu berubah bentuk, meregang dan terkoyak secara digital, hingga menjadi wajah Bagus yang terbalut kafan.

Speaker mereka yang tadinya sunyi, kini mengeluarkan suara statis yang memekakkan telinga. Di antara suara bising itu, terdengar potongan-potongan suara Bagus saat sedang berargumen di kelas, diputar berulang-ulang dengan tempo yang cepat dan tumpang tindih.

“Ini bukan tentang hierarki … tapi tentang makna … makna … makna …”

Itu bukan sekadar amukan acak. Itu adalah raungan frustrasi dari jiwa terpelajar yang eksistensinya baru saja dilecehkan. Mahasiswa lain di Zoom call itu panik dan ketakutan, tapi Reksa hanya menatap layar dengan nanar. Kemarahannya kini menyatu dengan kemarahan Bagus. Jika sistem tidak mau mendengarkan, mereka akan membuat sistem mereka sendiri.

***

Reksa sadar, melawan tembok birokrasi adalah sia-sia. Tapi mereka bisa memberikan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada selembar kertas: pengakuan dan penghormatan.

Ide "wisuda online" yang tadinya hanya lelucon, kini menjadi sebuah misi suci.

Selama seminggu, Reksa dan teman-temannya bekerja tanpa lelah. Doni merancang filter toga virtual dan latar belakang auditorium universitas yang megah. Citra berhasil melacak dan menghubungi dosen pembimbing skripsi Bagus, Profesor Handoko, seorang pria tua baik hati yang sudah pensiun. Setelah mendengar ceritanya, sang profesor setuju untuk bergabung dalam Zoom.

Reksa sendiri menghabiskan waktu berjam-jam untuk menulis pidato. Ia membaca kembali semua catatan dari “kuliah” Bagus, mencoba menangkap esensi dari semangat lelaki itu.

Malam wisuda itu tiba. Lebih dari 50 mahasiswa bergabung dalam Zoom call khusus itu, semuanya mengenakan filter toga virtual. Mereka mematikan mikrofon, menjaga suasana tetap khidmat.

Acara dibuka. Reksa, yang berperan sebagai rektor, muncul di layar utama. Ia mengenakan kemeja rapi dan filter toga.

“Selamat malam,” kata Reksa, suaranya tulus dan sedikit bergetar. “Malam ini, kita berkumpul bukan untuk merayakan sebuah kelulusan biasa. Kita berkumpul untuk melunasi sebuah hutang. Hutang penghormatan kepada seorang mahasiswa, seorang teman, seorang guru … yang telah mengajarkan kita arti semangat belajar yang sesungguhnya.”

Reksa kemudian memanggil Profesor Handoko untuk memberikan testimoni. Wajah sang profesor tua yang keriput memenuhi layar.

“Bagus Wicaksono,” katanya dengan suara parau, “adalah mahasiswa paling cemerlang yang pernah saya bimbing. Skripsinya, tentang pergeseran makna kepahlawanan dalam sastra pasca-reformasi, saya yakin, akan menjadi sebuah karya yang luar biasa. Sangat disayangkan dunia tidak pernah sempat membacanya. Tapi semangatnya… semangatnya tetap abadi.”

Akhirnya, momen puncak itu tiba. Reksa menampilkan foto Bagus dari kartu mahasiswanya di layar utama.

“Dengan ini,” kata Reksa, suaranya berat karena menahan emosi, “atas nama seluruh mahasiswa yang terinspirasi olehmu, kami, Fakultas Sastra Digital, dengan bangga meluluskan … Bagus Wicaksono, Sarjana Sastra.”

Di tengah keheningan itu, kamera “Peserta 100” aktif. Sosoknya masih sama. Tapi untuk sesaat, video itu berkedip. Citra pocong itu menghilang, digantikan oleh bayangan samar dari pemuda berkacamata di foto KTP, dengan sebutir air mata transparan mengalir pelan di pipinya.

Di kolom chat, sebuah pesan terakhir muncul.

Bagus: “Terima kasih, teman-teman. Akhirnya … saya bisa tenang.”

Lalu, video “Peserta 100” mati. Dan namanya menghilang dari daftar peserta … untuk selamanya.

Di depan laptopnya masing-masing, Reksa, Citra, Doni, dan puluhan mahasiswa lainnya menangis dalam diam. Mereka baru saja menyaksikan sebuah perpisahan yang paling aneh, namun juga paling tulus yang pernah ada.

***

Seminggu setelah wisuda yang mengharukan itu, Reksa merasa hidupnya punya makna baru. Ia kembali bersemangat mengikuti kelas, mengerjakan skripsi dengan gairah yang telah lama hilang. Ia merasa terinspirasi oleh Bagus untuk menjadi mahasiswa yang lebih baik. Ia pikir, semuanya telah selesai.

Namun, saat ia masuk ke kelas Zoom Teori Sastra Pak Sentosa berikutnya, ia terpaku. Daftar peserta menunjukkan angka yang mustahil: 300 orang.

Layar Zoom yang tadinya didominasi kotak hitam, kini penuh dengan puluhan kamera yang aktif. Dan isinya adalah sebuah parade horor. Ada kuntilanak dengan rambut panjang menutupi wajah, genderuwo yang membuat latar belakang virtualnya buram karena energinya yang terlalu kuat, dan tentu saja, puluhan pocong lainnya dengan berbagai tingkat kelusuhan kain kafan.

Kolom chat-nya meledak dengan notifikasi, bukan lagi dari mahasiswa, melainkan dari para arwah.

KuntiMerana_Sospol87: “Permisi, Mas Reksa. Saya dengar di sini bisa bantu urus wisuda yang tertunda? SKS saya tinggal 2, tapi dosen pembimbing saya sudah reinkarnasi.”

Pocong_Akuntansi95: “Selamat malam. Saya mau klaim refund UKT semester terakhir tahun 1995. Kira-kira inflasinya dihitung tidak, ya?”

Genderuwo_TeknikSipil78: “Maaf OOT. Pendaftaran jadi anggota BEM masih buka? Saya punya visi misi untuk meningkatkan kesejahteraan entitas gaib di area kampus.”

Di tengah lautan penampakan itu, Reksa mencari-cari kotak video Pak Sentosa. Dosen itu ada di sana, membeku. Wajahnya pucat pasi, matanya terbelalak menatap layar dengan horor murni, mulutnya sedikit terbuka. Bibirnya bergerak-gerak tanpa suara selama beberapa detik, sebelum akhirnya sebuah suara gemetar dan pecah keluar dari speaker.

 “K-kelas … kelas dibubarkan! T-tolong … harap tenang!”

Tidak ada yang mendengarkan. Tangan Pak Sentosa terlihat di kameranya, gemetar hebat saat mencoba menggapai mouse. Ia mencoba menekan sesuatu, mungkin tombol ‘End Meeting for All’, tapi notifikasi chat yang meledak dengan kecepatan kilat seolah membuat sistemnya macet total. Dan kemudian, dalam tindakan kepasrahan akademis yang paling puncak, kotak video Pak Sentosa tiba-tiba menjadi hitam. Ia mematikan kameranya. Menyerah.

Saat itulah Reksa sadar. Tidak ada otoritas di sini. Tidak ada dosen, tidak ada sistem yang bisa diandalkan. Hanya ada dia dan para arwah yang menuntut haknya. Ia adalah satu-satunya yang mengerti bahasa mereka.

Reksa menatap layar horor itu. Ia tidak panik. Ia hanya menghela napas panjang, lalu seulas senyum lelah namun penuh tekad terukir di wajahnya. Ia meraih keyboard-nya dan mulai mengetik di kolom chat, sebuah pesan yang ditujukan untuk semua peserta.

Reksa: “Baik, tenang semua. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Silakan jelaskan masalahnya satu per satu. Saya akan coba bantu data dulu. Tolong yang mau urus ijazah di thread A, yang mau refund UKT di thread B …”

Ia telah menemukan panggilannya. Bukan sebagai sarjana sastra, tapi sebagai advokat bagi arwah-arwah mahasiswa yang terjebak dalam birokrasi kampus, baik di dunia ini maupun di dunia selanjutnya. Skripsinya bisa menunggu. Para kliennya sudah menunggu terlalu lama.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Pocong di Zoom Meeting
Kingdenie
Cerpen
Bronze
Teman Ilusi
SUWANDY
Cerpen
Bronze
BAYANGAN DI WAKTU MAGRIB
Lestari Zulkarnain
Komik
Teror di Kampung Sanes
Alfisyahrin Zulfahri Akbar
Flash
Bronze
Ajakan Bapak
Alfian N. Budiarto
Cerpen
Bronze
Mereka Yang Selalu Menggangguku
safii bhendol
Novel
Gold
Fantasteen Bisikan Caroline
Mizan Publishing
Novel
Gold
Fantasteen 22 Boards
Mizan Publishing
Novel
Gold
Fantasteen Scary: Noroi
Mizan Publishing
Flash
Bronze
Jalan yang Jauh, Jangan Lupa Oleh-oleh
Ari S. Effendy
Komik
Selamat Datang di Toko Batavia
Tri Agustinauli
Novel
Gold
Fantasteen Hana dan Piano La
Mizan Publishing
Cerpen
Rencana
Endah Wahyuningtyas
Novel
Gold
Fantasteen Shadow
Mizan Publishing
Novel
Gold
Rumah di Perkebunan Karet
Mizan Publishing
Rekomendasi
Cerpen
Pocong di Zoom Meeting
Kingdenie
Novel
Elang Angkasa: Perang Tahta
Kingdenie
Cerpen
Ketika Namanya Bukan Namaku
Kingdenie
Novel
Pocong Berjaket Kuning
Kingdenie
Novel
Jangkitan: Wabah Zombie di Bogor
Kingdenie
Novel
Tawarikh Nusantara - Kitab Kesatu: Sumpah Sang Gajah Mada
Kingdenie
Novel
Elang Angkasa
Kingdenie
Cerpen
Nomor Telepon Lama
Kingdenie
Novel
Tawarikh Nusantara - Kitab Ketiga: Benteng Terakhir
Kingdenie
Novel
Tawarikh Nusantara - Kitab Kedua: Gema Sriwijaya
Kingdenie
Novel
Bayang Senja
Kingdenie
Cerpen
Bucin Tanpa Nama
Kingdenie
Cerpen
Jasa Ojek Hantu
Kingdenie
Novel
Tawarikh Nusantara - Kitab Keempat: Fajar di Batavia
Kingdenie
Novel
JATUH HATI TANPA JEDA
Kingdenie