Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sebuah permainan kata yang sangat sederhana namun perlahan mengiris hati dan bahkan mematahkan tujuan hidup manusia. Banyak orang menyukai kata menghilang namun tidak menyukai kata kehilangan. But, hei! Bukankah menghilang dan kehilangan berasal dari kata yang sama? Bukankah tidak adil jika manusia hanya menyukai kata menghilang saja?
Matahari menghilang saat malam datang, bulan pun hilang saat pagi menyapa, seseorang menghilang dan kembali dengan kabar kematian, kupu-kupu menghilang saat ia sudah tidak menginginkan bunganya lagi. Dan yang tersisa dari itu semua adalah rasa kehilangan bagi siapa saja yang ditinggalkan.
Terlepas dari semua itu makna dari hilang itu sendiri tidaklah indah. Seseorang memilih menghilang karena suatu masalah dan seseorang merasa kehilangan juga karena suatu masalah. Rasa yang menyakitkan yang hampir bisa membunuh siapapun.
Disinilah aku, terjebak antara kata menghilang dan kehilangan. Aku mengingat semua yang terjadi di hidupku seolah aku baru saja merasakannya lima menit yang lalu. Semua terasa begitu menyakitkan. Bahkan tanah tempatku berpijak saat ini terasa seperti menusuk kakiku. Aku datang kemari untuk berduka namun, tidak ada nisan untuk bersandar dan tidak ada bunga untuk diletakkan.
…….
14.09.2019
Hari ini aku memahami siapa Tika yang sebenarnya. Pagi tadi ia berhasil membuatku melampiaskan amarahku pada barang-barang yang berada di kamar kami, semua hancur berantakan. 6 tahun kami lewati dan aku baru menyadari kebodohanku sekarang. Semalam aku mendapat kabar bahwa adikku harus dilarikan ke rumah sakit karena keadaannya yang semakin memburuk setelah peristiwa kecelakaan yang menimpanya minggu lalu, aku yang seharusnya berada disampingnya dengan segala keterpaksaan yang ada hanya bisa menetap di kamar asramaku dipenuhi dengan rasa khawatir akibat kelalaian kerja yang ku lakukan kemaren.
Tak lama Tika datang menanyakan kondisiku dan saat aku menceritakan semuanya satu kalimat sialan itu keluar dari mulutnya.
"Yaelah ra, ujian lo Cuma segitu aja, gak usah lebay!"
Aku tidak menggubris perkataannya namun, ingatan-ingatan masa lalu mulai bermunculan di dalam benakku. Saat itu juga aku mengamuk sejadi-jadinya. Sudah cukup aku menahan amarahku selama enam tahun karena semua tingkah lakunya. Aku tahu dia memanfaatkanku sebagai mesin pekerja untuk mengerjakan tugas-tugasnya. Aku tahu dia membicarakan diriku sebagai orang yang menyukai kekasih orang lain di belakangku. Aku tahu dirinya selalu mengambil hak milikku bahkan milik orang lain tanpa merasa bersalah. Aku juga tahu bahwa dirinya terus menerus melabeli diriku sebagai seorang penjilat di depan teman-temannya dan aku pun tahu ia menghargaiku dengan semua uang yang diberikannya padaku. Keadaanku memang memaksaku untuk terhambat dalam masalah ekonomi tapi, bukan berarti dia bisa meremehkan diriku.
Selama enam tahun aku selalu mengabaikan orang-orang yang memperingatiku akan dirinya. Aku selalu percaya bahwa dia adalah orang baik, aku percaya padanya disaat orang lain menuduhnya sebagai pencuri. Aku membelanya saat orang-orang membully-nya. Aku selalu membantunya saat ia mendapatkan tugas yang menumpuk. Dan sekarang aku dan kepercayaan bodohku telah menghancurkan diriku sendiri.
Dan disaat itu juga, semua bangkai yang disimpan Tika aku temukan. Seakan semua kejadian itu tengah aku saksikan. Aku melihat bagaimana ia berfikir bahwa uangnya bisa membodohiku. Tanpa memandang keadaan dan situasi aku melempari dirinya dengan semua barang yang ada di sekitarku, asrama yang rapih berubah menjadi porak poranda akibat ulahku. Tidak, aku tidak menangis. Air mataku bahkan tidak sudi jatuh setitikpun untuk orang seperti dirinya yang ada hanyalah amarah yang sudah tidak bisa kubendung lagi.
“Jangan pernah kau muncul lagi di hadapanku!”
Hanya kalimat dengan nada yang berisi amarah dan luapan emosi itulah yang bisa kukatakan padanya. Dirinya yang ketakutan saat melihat diriku mengamuk hanya terdiam dan bergumam tidak terima saat aku mengusirnya dari hadapanku. Bahkan sampai akhir pertemanan kami pun dirinya sama sekali tidak merasa bersalah.
Tubuhku terasa lemas saat ia pergi. Aku mengutuk diriku di masa lalu yang dengan polosnya memberi seorang manusia sepertinya kepercayaan dan kebaikan. Aku benar-benar merasa bahwa sepertinya tidak ada siapapun lagi yang tidak bisa kupercayai.
Teman yang selama ini selalu aku bela dan kupercayai sudah membunuh diriku.
20.08.2020
Lagi-lagi aku dan pemikiran bodohku kembali menghancurkan diriku. Keluarga yang selalu ku anggap tempat yang paling aman untuk aku kembali berubah menjadi tempat yang mengerikan. Pertengkaran hebat itu membuat aku bergidik ngeri.
Aku tidak tahu apa sebabnya akan tetapi pertengkaran kedua orang itu membuatku kembali mengingat hal-hal buruk. Pipiku yang mulai terasa panas dan memerah mengingatkanku saat aku berusaha membuat sebuah gambar dan ayahku mengapresiasi hasil usahaku dengan kata-kata buruk. Serpihan kaca yang menusuk kakiku mengingatkanku saat aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja saat aku sakit dan ibuku selalu mengeluh bahwa aku membuatnya tidak merasa baik. Memar yang timbul di lenganku mengingatkanku bagaimana ayahku melontarkan kata-kata kasar saat aku melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kemauannya.
Semuanya terasa menyakitkan hingga aku tidak berani berharap keajaiban akan datang padaku. Keheningan menyelimuti benakku, meskipun suasana saat ini sangat berantakan dan penuh kebisingan akibat adu mulut kedua orang itu, benakku terasa hening. Apakah aku memang tidak berhak memiliki kebahagiaan bahkan di tempat yang digadang-gadang sebagai rumah? Apakah nirwana sulit sekali bagi diriku untuk digapai meskipun sudah berusaha menjalani berbagai nasihat untuk menjangkau taraf moksa? Yang aku inginkan hanyalah sedikit keheningan dalam hidupku yang dipenuhi suara kebisingan. Apakah aku bahkan berhak menginginkan hal itu?
Sekali lagi orang –orang dan tempat yang kupercaya kembali membunuhku.
………
Dua kejadian besar yang diikuti kejadian kecil lainnya itu telah berhasil membuat diriku menghilang dan membuat diriku yang sekarang kehilangan sosok lamaku. Aku rindu bagaimana dulu aku bisa dengan mudah menjadi ramah pada orang lain, aku rindu bagaimana dulu aku bisa dengan mudahnya mendapat kepercayaan diriku, dan aku yang dulu selalu merasa bahwa semua akan baik-baik saja.
Sosok diriku yang baru merasa bahwa semua orang seperti monster. Sosok diriku yang baru mulai tenggelam dalam kegelapan. Sosok diriku yang baru selalu beranggapan bahwa semua orang hanya penasaran terhadap apa yang terjadi pada diriku bukan peduli. Aku yang sekarang selalu memohon pada mereka para pelaku utama untuk mengembalikan diriku yang lama.
Pada akhirnya, lagi-lagi aku menyalahkan orang lain sebagai pelaku. Akan tetapi, bukankah kita semua pelaku dan kita semua adalah korban dari perbuatan orang lain. Aku bahkan takut melabeli mereka sebagai pelaku meskipun hati ini begitu ingin menjerumuskan mereka ke dalam penjara. Namun sekali lagi, aku bahkan tidak tahu bukti dan motif apalagi yang harus aku serahkan kepada hakim jika aku melabeli mereka sebagai pelaku. Lagi dan lagi, sepertinya aku memang ditakdirkan sebagai pelaku dan korban atas diriku sendiri.
Ya.. Aku kehilangan diriku sendiri.