Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Disclaimer : Pada jaman dahulu kala, cerpen ini pernah dimuat di sebuah website bernama Annida-online. Website itu sekarang telah down, dan saya post di sini hanya untuk menolak hilang. Semoga bermanfaat.
“PLAYBALL!”
Begitulah Ahmad memekik dan aku tahu itu adalah signal bagiku untuk melempar bola. Tapi, kami tidak sedang bermain baseball! Kami sedang bertaruh antara hidup dan mati! Jelas kami tidak berada di lapangan!
Ironisnya, pekikan Ahmad itu mengingatkan aku pada suatu pagi di mana Zack, sepupuku, memekikkan kata yang sama saat melompat keluar di tikungan dan mengayunkan tongkat baseballnya kepada Ahmad. Tongkat itu akan mendarat di dadanya kalau saja bocah Arab itu tidak sempat menghadang dengan kedua lengannya. Tapi memang tak ayal dia terdorong juga, dan terjungkal. Setelah dia terjungkal seperti itu, ritual biasa pun segera berlangsung; kami menendanginya ramai-ramai.
“Pulang ke kampungmu, Teroris! Kau tidak layak di sini!” pekik Zack saat kami berhenti menendanginya. Zack meludah, dan aku yakin dia sebenarnya hendak meludahi muka Ahmad, tapi meleset.
Melihat itu aku sempat mendengus. Zack memang punya tangan yang kuat dan akan selalu mencetak home-run, jika dia bisa berhasil memukul bola—aku tekankan JIKA dia berhasil memukul bola. Dia memang kuat, tapi tidak punya daya akurasi. Dia tidak bisa memukul bola dengan tepat. Itulah mengapa Kakek lebih menyukaiku yang berhasil menjadi Pitcher (pelempar) favorit di tim inti Klub Baseba...