Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dengar-dengar, akan ada hal besar saat planet-planet sejajar sebelum fajar. Dua puluh empat Juni. Begitu yang Aruna dengar. Dia memaknainya sebagai peristiwa pengabul doa-doa terlepas nantinya ada bencana atau entah apa. Dia hanya ingin meminta satu doa: bertemu orang tua kandungnya.
Aruna, gadis sendu yang merasa ia bukan anak orang tuanya. Ia memiliki kulit lebih hitam dan rambut lebih keriting dari mereka. Pun saudara-saudaranya, yang tentu saja memiliki kulit lebih terang dan rambut lurus gemulai.
Aruna semakin nestapa ketika teman-teman dan saudara-saudaranya mencibir dirinya, merasa dianggap bukan bagian dari mereka, bahkan merasa tidak dianggap sebagaimana manusia.
Saat makan bersama, saudara-saudaranya bahkan pernah memberinya piring dan gelas bekas mereka, sedangkan mereka sendiri memiliki piring dan gelas baru, yang minta dibelikan ibu. Pakaian pun sama tragisnya, salah satu saudaranya bilang, Aruna tidak cocok dengan model baju apa pun.
Malam dua puluh empat Juni, Aruna bertekad pergi dari rumah, mengajak Haumea, satu-satunya teman yang mau berbincang dengannya tanpa mengoloknya, untuk menyaksikan planet-planet sejajar.
“Kau gila.”
“Kau yang bilang, Haumea, planet-planet itu akan terlihat sejajar sebelum fajar.”
“Tapi aku tidak bilang kalau peristiwa planet sejajar bisa mengabulkan doa-doa. Itu Cuma fenomena la—”
“Kau hanya perlu menemaniku menyaksikannya, Haumea.”
“—ngit biasa.”
“Orang-orang bilang akan ada suatu peristiwa yang besar,” oceh Aruna sambil mengepak camilan dan senter di tas ransel temannya.
“Kau terlalu mendengarkan orang-orang, Aruna!”
Aruna menghentikan pengepakan. Menoleh. Ada seraut kecewa di mata bulatnya. Kecewa karena Haumea, satu-satunya teman yang mau berbincang dengannya tak mendukungnya kali ini.
“Baik. Aku akan pergi sendiri.” Lalu ia bergegas mengambil tas ranselnya sendiri. Menuju pintu keluar.
Haumea, tentu saja terkejut dengan Aruna yang tetiba berpamit dengan grusa-grusu. Ia takut sesuatu terjadi pada temannya. Ia tahu teman sekolahnya itu tidak pernah pergi sejauh yang diniatkan hari ini.
Tanpa pikir panjang, Haumea menyabet ransel tipisnya dan menyusul.
“Aruna, tunggu! Aku ikut.” Ia menyambar lembut lengan hitam manis itu tepat sebelum memutar gagang pintu.
Seketika, Aruna menoleh, memperlihatkan sederet senyumnya.
“Tapi, aku harus bilang apa ke orang tuaku?”
*
Pukul sembilan malam, dua puluh tiga Juni, seorang perempuan gelisah di sudut rumah. Sejak makan malam, keluarga itu sudah menyadari, bahwa anaknya kurang satu.
“Dia mungkin menginap di rumah temannya.” Si lelaki duduk diam, memantau media sosial, berusaha untuk tidak terlalu gelisah.
“Teman yang mana? Memangnya dia punya teman?” Si perempuan mondar-mandir sambil mengamati gerbang yang tak juga berderit.
“Kenapa dia tidak punya teman? Dia sudah remaja, Honey. Dia bahkan mungkin sudah punya pacar.”
Si perempuan ingin bilang: memangnya siapa yang mau pacaran sama dia, tetapi ia urungkan. Dia duduk di samping sang suami yang sibuk membacai linimasa.
Ini yang Terjadi Ketika Planet-Planet Sejajar, dua puluh empat Juni.
Sepasang suami istri saling toleh. Lalu keduanya membuka WhatsApp Group, menemukan forward-an pesan untuk banyak-banyak berdoa karena ada peristiwa besar yang terjadi saat planet-planet sejajar.
“Aruna!” seru mereka serempak.
*
“Kamu bilang apa sama orang tuamu?” tanya Aruna di tengah bising sepeda motor yang melaju melawan dingin. Mereka perlu berkendara sekitar 20 kilometer untuk menjauh dari denyar-denyar cahaya kota.
“Menemanimu melihat bintang,” jawab Haumea kencang, sekencang sepeda motor bapaknya yang baru diisi bahan bakar.
“Memangnya itu masuk akal buat mereka?”
“Mereka pikir kita pacaran.”
Kalau saja kulit Aruna seterang saudara-saudaranya, mungkin pipinya terlihat merah muda. Tetapi lagi-lagi ia hanya merasa pantas seterang malam.
Dan hei, siapa yang tak senang pacaran denganmu, Haumea? Pelukan di pinggang semakin kencang.
Degup jantung si pemuda ikut mengencang, merekahkan senyum yang melintang.
Motor itu berhenti di satu bukit berumput. Dari bukit itu, kerlip cahaya kota serupa bentangan bintang di atasnya. Namun, kemegahan langit tidak pernah ada yang bisa merebutnya, tidak oleh kerlip lelampu yang bertumbuh di setiap sudut kota di kaki bukit itu.
“Kupikir kita sendirian.” Aruna menggelar matras, di satu sisi yang ia pikir tak tercampur dengan orang-orang. Mereka berkelompok dan mendirikan tenda. Mengepung api unggun beraroma daging dan jagung. Sesekali renyah denting gitar terdengar.
“Aku sudah bilang, itu cuma fenomena biasa.”
Aruna sudah berkali-kali mendengar Haumea mengatakannya. Tetapi ia lebih percaya bahwa akan ada hal-hal besar, termasuk mengabulkan satu doa. Ia memilih tak menanggapinya.
“Aku mau buat kopi. Kamu?”
“Sebaiknya kamu tidur. Angin malam tidak baik, Aruna. Planet berjajar terjadi sebelum fajar.”
*
“Ini sudah tengah malam, Hubby. Dan Aruna belum ada kabarnya.” Sang istri memencet-mencet tombol ponsel dengan gelisah.
Di dalam mobil yang sama, sang suami sama gelisahnya. “Coba sekali lagi menghubungi teman-temannya. Kita tidak mungkin melapor kalau belum 24 jam hilang, kan?”
“Bukannya sekarang tidak harus menunggu 24 jam?”
“Masa?”
“Aruna aset kita, Hubby.”
“Aku tahu, Honey. Kita harus menemukannya.”
“Masalahnya, kita tidak pernah tahu dia dekat dengan teman yang mana.”
Sang suami menoleh. Menepikan mobilnya di bahu jalan. Mobil itu telah melaju tanpa tahu ke mana menuju.
“Itu dia masalahnya. Kita tidak pernah tahu selama ini, selama dia bertumbuh, dia telah berteman dengan siapa. Dia telah pacaran dengan siapa.”
“Kita terlalu sibuk dengan pekerjaan, atau kita terlalu abai dengan anak-anak.”
Keduanya saling diam, menatap kekosongan malam.
“Bukannya kalian habis pergi belanja minggu lalu?” Suaminya mengingatkan.
Sang istri menggeleng. “Aku pergi dengan Swastamita, Kalinda, dan Chandra.”
Sang istri melempar sauh ingatannya pada minggu lalu, saat ketiga anaknya mengajaknya membeli baju baru, menunjukinya model terkini dari layar ponselnya. Tetapi ia tidak ingat Aruna melakukannya juga. Atau sebenarnya dia ingat, saat Aruna sendirian di meja makan, memilah-milah baju-baju yang ingin dia beli di ponsel, tetapi diejek saudara-saudaranya yang mengatakan itu tidak cocok untuknya.
Sang istri merasa ia sudah cukup adil kepada anak-anaknya. Tapi tunggu sebentar, ia hanya memperhatikan anak-anak jika mereka yang lebih dulu memintanya. Dia tidak ingat Aruna pernah meminta sesuatu atau meminta ia memperhatikannya.
Namun, si perempuan itu ingat bahwa Aruna dengan wajah sendu pernah mengadu: Mi, kenapa Aruna berbeda? Apakah Aruna bukan anak Mami dan Papi?
“Hubby, Aruna sepertinya merasa kita bukan orang tuanya.”
*
Sejatinya, Aruna gagal memeluk lelap. Matanya yang pejam, hanya tidur ayam. Bukan saja gigil oleh dingin, tetapi juga gigil oleh pikiran-pikiran letih yang selalu menyudutkan dirinya selalu merasa tak pantas untuk tetap tinggal. Ia bukan anak orang tuanya.
Ia tak mungkin tinggal dengan saudara yang bahkan tak pernah menganggapnya saudara. Ia telah dihina semena-mena oleh mereka yang selama ini ia anggap saudara. Aruna hanya ingin bertemu orang tua kandungnya kalau saja mereka masih hidup. Dan kalau saja mereka mau menerimanya.
Aruna tak pernah benar-benar terlelap saat Haumea membuka ritsleting tenda dan membangunkannya. “Aruna, cepat keluar. Bulan sedang tersenyum kepadamu.”
Sempat terkejut, tetapi ia segera keluar untuk menyambut. Dan, hei, planet-planet betulan sejajar di atas bulan yang tersenyum kepadaku.
Rupanya, orang-orang di tenda-tenda sebelah mendongak ke langit. Beberapa mengikuti sorot moncong teleskop. Mengamati.
“Haumea,” panggil Aruna parau. Bukan parau sehabis tidur, alih-alih gagal tidur.
“Mmm?”
Dia tersenyum sangat manis saat terang bulan menghujani wajahnya. “Haumea, menurutmu ini fenomena langit biasa. Tetapi, lihatlah,” Aruna melirik ke orang-orang, “kau lihat mereka? Mereka juga sama sepertiku. Menganggap fenomena biasa ini sebagai sesuatu yang luar biasa.”
Haumea mengangguk. “Ini namanya konjungsi kuintet.”
Aruna mengerutkan kening.
“Kau lihat titik-titik cahaya yang sejajar dengan bulan itu? Itu lima planet yang berjajar: Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, dan Saturnus.”
Keduanya menatap langit timur. Sebelum fajar memendar.
“Aku bahkan tidak tahu bagaimana membedakan nama planet-planet itu.”
“Tentu saja tidak. Kita perlu teleskop untuk melihat dengan jelas.” Lantas keduanya melirik orang-orang di tenda sebelah. Membungkam senyum.
“Terima kasih sudah menemaniku menyaksikan ini.” Senyum itu terlalu manis.
Haumea membalas senyum itu, menatapnya lekat-lekat, meraih kedua tangannya lembut, dan mencuri cium di pipinya. Dia hanya berani mencium pipi, astaga.
Keduanya saling melepaskan tangan. Keringatan.
“Aruna, bukannya kamu harusnya berdoa?”
*
Setelah semalaman berputar-putar di kota tanpa tujuan, dan hanya menghubungi beberapa teman dan guru Aruna yang tanpa hasil, sepasang suami istri itu memutuskan berhenti di warung soto. Ternyata mencari sang aset juga butuh tenaga.
Cekungan mata keduanya menghitam, seperti bekas tumbukan meteorit.
Mereka akhirnya berniat melapor sebelum dering telepon menjeda kunyahan soto.
Dengan Ibu Padma?
“Ya, saya sendiri. Dengan siapa saya bicara?”
Saya ibunya Haumea.
“Hau-mea?”
Anak ibu, Aruna, pacarnya Haumea. Ibu tidak tahu?
Bu Padma, ibu Aruna ingin mengutuk diri sendiri lantaran tidak tahu kehidupan Aruna. Bahkan pacarnya. Ya, Tuhan, apa yang telah selama ini kulewatkan?
Bu, apakah Aruna sudah pulang?
“Be-belum,” jawabnya gelagapan. “Maksud saya, saya tidak tahu karena saya sedang di jalan. Saya sedang mencarinya. Apakah Aruna bersama anak Ibu?”
Loh, Bu. Memangnya Aruna tidak pamitan? Tadi malam Aruna mampir di rumah, mau melihat bintang sama Haumea.
Perempuan itu terkejut sekejut-kejutnya. Aruna pergi tanpa pamitan, tetapi pamitan sama orang tua si pacar.
Halo?
“Ya, Bu. Sebetulnya, kami tidak tahu kalau Aruna punya pacar. Dia tidak pernah bilang.”
Sebaiknya Ibu segera pulang dan jangan pernah memarahi Aruna karena tidak pernah bilang. Atau selamanya dia tidak akan pernah bilang karena hilang kepercayaan.
Bu Padma terenyak, karena dia sempat berpikiran akan melumat Aruna kalau anak itu pulang.
*
Motor itu berhenti persis di depan gerbang. Aruna yakin kepulangannya akan menjadi bencana. Ibunya akan menghukumnya dan saudara-saudaranya akan mengejeknya. Aruna selalu pantas mendapat hina.
“Aruna, kau yakin mau pulang?”
Aruna mengangguk, tetapi tak yakin. Ia menghindari menatap Haumea. “Saat aku pergi semalam, aku yakin bisa menemukan orang tua kandungku. Tetapi begitu selesai berdoa saat planet-planet berjajar, rasanya mustahil aku bertemu mereka. Aku bahkan tidak tahu apa-apa. Dan aku tahu tidak ada gunanya berdoa pada planet.”
Ingin rasanya Haumea memeluk Aruna, tetapi urung. Ia tahu Aruna merasa bukan bagian dari keluarga yang selama ini menghidupinya. Dari kulitnya, dari rambutnya. Dia tahu, tetapi di mana lagi Aruna bisa bernaung?
“Aruna,” panggil Haumea pelan, “kau tahu, planet-planet yang sejajar itu sebenarnya tidak benar-benar sejajar. Kesejajaran hanya soal perspektif kita. Kau mungkin juga tahu, doa yang kamu sampaikan itu, mungkin tidak terkabul sekarang, tapi kau tahu, doa yang tulus bisa menembus planet-planet. Dan menembus langit.”
Gerbang itu dibuka buru-buru. “Aruna?”
Sang ibu buru-buru memeluk anaknya, sesaat setelah Haumea berpamit pulang.
“Kamu tidak bilang kalau punya pacar,” kata ibunya saat mereka bersitatap di bangku taman kecil rumah itu.
“Mami, kami tidak pacaran.” Aruna menjawab takut-takut dan malu-malu.
Mata ibunya menyelidik menggoda. “Pacaran juga boleh.”
Lagi-lagi, Aruna malu. Bagaimana bisa ibunya tidak marah? Bukankah seharusnya dia dihukum. Aruna jadi sangsi, bagaimana mungkin ia bukan anak ibunya, bahkan setelah air mata tulus yang menungguinya pulang.
“Mami,” panggilnya.
Rumah itu hanya berisi mereka berdua. Ketiga saudaranya sekolah, sementara ayahnya langsung berangkat kerja dengan mata panda.
“Ya?”
“Aruna pikir Mami bukan ibuku. Maaf sudah membuatmu cemas semalam.”
Kedua perempuan beda warna kulit itu saling rangkul.
*
“Hubby,” panggilnya lirih dalam telepon di dalam kamarnya. “Ramalan planet sejajar itu benar. Akan ada bencana besar.”
“Apa?”
“Aruna mulai mempertanyakan jati dirinya.”
***
Erna Widi
Yogyakarta, 24 Juni 2022