Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
(Pintu) Surga Ada di Bawah Pohon Bambu
3
Suka
131
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

RUANG Reka 1, Kantor Kepolisian Kota Kita, Minggu pagi. Seorang petugas polisi sedang menginterogasi seorang pria lansia warga Desa Desis.

“Nama lengkap dan umur?”

“Kauripan, 66 tahun.”

“Panggilan?”

“Ripan.”

“Kenapa bukan Urip?”

“Biar beda saja.”

“Baiklah. Sekarang, tolong Bapak ceritakan kejadiannya.”

“Jumat pagi sekitar pukul sembilan saya kedatangan tiga pria dan dua wanita ke rumah. Mereka warga Desa Desis tapi saya tidak kenal. Mereka minta izin untuk masuk ke Hutan Hantu.”

“Kenapa minta izin ke Pak Ripan?”

“Di Desa Desis saya dikenal sebagai juru kunci Hutan Hantu. Juru kuncilah yang punya hak untuk memberi izin masuk.”

“Kalau masuk tanpa izin?”

“Malapetaka bakal menyerang desa.”

“Malapetaka apa?”

“Itu tidak bisa diperkirakan. Sang Pelindunglah yang punya kuasa.”

“Sang Pelindung?”

“Ya. Dia yang menguasai Hutan Hantu.”

“Memangnya ada apa di dalam Hutan Hantu?”

 

**

 

Ruang Reka 2, Kantor Kepolisian Kota Kita, di waktu yang sama. Petugas polisi yang berbeda menginterogasi seorang wanita muda warga Desa Desis.

“Nama dan umur?”

“Mariyati, 29 tahun.”

“Panggilan?”

“Mari.”

“Kenapa bukan Yati?”

“Silakan tanya bapak saya.”

“Baiklah. Tolong ceritakan kronologi kejadian hari Jumat lalu.”

“Ya, Pak. Jumat pagi, sekira jam sembilan, saya terbangun karena dikagetkan oleh teriakan Bapak dari ruang tamu. Sangat keras, sekeras kepalanya. Dia sedang mencoba menunjukkan kuasanya, seperti yang biasa dia lakukan selama ini. Kebiasaan yang muncul sejak ditinggal Ibu pulang ke kediaman abadinya setahun lalu.”

“Saya minta kamu cerita kronologi kejadian, bukan pendapatmu tentang bapakmu.”

“Oh, maaf. Saya lalu keluar kamar dan duduk di dekat Bapak. Tapi begitu saya duduk, Bapak beranjak dan berjalan menuju ke dapur. ‘Sini! Ngapain duduk di situ!’ tukasnya. Rasanya saya ingin mencabut gondok saya dari kerongkongan dan melemparnya ke muka Bapak.”

“Mari, tolong.”

“Ya, maaf, maaf. Saya, dengan tidak menyebut satu suku kata pun, berjalan mengikuti Bapak. Sesampainya di dapur Bapak mengajak saya ke halaman belakang. Sebelum melangkah melewati pintu Bapak menyuruh saya mengambil golok berkarat, panci bocor dan penyok, serta handuk yang robek-robek. Oh ya, tetap dengan kalimat sok kuasanya itu. Eh, maaf.

“Saya menurut saja. Saya ambil golok, tapi tetap dengan membawa serta gondok saya. Bapak sendiri membawa senter. Lalu saya berjalan mengikuti langkahnya. Bapak menoleh ke belakang, tepat ketika saya hendak membuka mulut untuk bertanya. ‘Sudah, jangan bertanya dulu. Ikuti saja. Aku ingin menunjukkan sesuatu,’ katanya. Saya ngedumel kesal.

“Kami melewati halaman belakang rumah dan tiba di pinggir hutan. Bapak tetap berjalan masuk hutan dan kemudian berhenti tepat di depan barisan semak belukar. Bapak menyuruh saya menyibak semak dengan golok, membuka jalan untuk kami masuk ke dalamnya. Dan kami berhenti 20 meter kemudian, tepat di depan rerimbunan pohon bambu.”

“Ada apa di situ?”

 

**

 

Ruang Reka 1.

“Hutan Hantu isinya seperti hutan-hutan pada umumnya. Tapi saya tidak tahu apa yang dicari orang-orang itu sesungguhnya. Mereka hanya bilang ingin mencari tempat untuk relaksasi.”

“Terus Pak Ripan mengizinkan mereka?”

“Saya izinkan, tapi dengan syarat tidak merusak dan melakukan hal-hal negatif lain. Saya lalu melakukan ritual untuk minta izin masuk hutan kepada Sang Pelindung, membakar dupa dan membaca beberapa mantra. Di pinggir hutan. Setelah itu mereka pun saya arahkan untuk masuk.

“Sekitar 10 menit kemudian saya didatangi beberapa warga yang meminta hal yang sama. Saya izinkan. Tapi kemudian beberapa warga lain datang lagi dan minta masuk hutan juga, dan lalu warga-warga lainnya, terus begitu sampai siang. Karena terlalu banyak dan mulai curiga, saya melarang rombongan warga yang datang belakangan. Tapi mereka marah dan mengancam saya, lalu menyusul masuk hutan.”

“Di mana putri Pak Ripan, Mari, waktu itu?”

“Dia membantu saya menyiapkan ritual dan mengarahkan orang-orang itu.”

              

**

 

Ruang Reka 2.

“Lubang gelap? Di bawah pohon bambu?”

“Ya. Dikelilingi oleh semak belukar dan pohon bambu. Ukurannya sebesar sumur pada umumnya. Tapi jangankan dasarnya, dinding atasnya pun tidak terlihat meski kita sorot dengan senter paling terang sekalipun. Lubang itu seperti menyerap cahaya.”

“Apa tujuan Bapakmu menunjukkan lubang itu padamu?”

“Apa lagi kalau bukan pamer. Menyombongkan diri. Maaf, sepertinya saya memang harus bercerita sambil mengungkapkan perasaan saya atas Bapak. Lebih plong rasanya. Dan lagi ini ada kaitannya dengan lubang gelap itu. Boleh?”

“Baiklah.”

“Terima kasih. Bapak saya ini tinggal di masa kini tapi hidup di masa lalu. Namanya juga orang jadul. Malas untuk melangkah lebih maju, karena merasa sudah punya pengalaman hidup yang lebih kaya. Ilmu kehidupannya lebih mumpuni. Jadi, merasa lebih layak untuk menjadi pembimbing generasi muda. Entahlah, tapi mungkin bawah sadarnya bilang, ‘aku sudah dekat di ujung masa, jadi buat apa belajar lebih banyak lagi.’

“Nah, buat saya, anggapan itu lebih tepat. Atau, sejatinya bawah sadar saya yang bilang bahwa ’Bapak memang menyebalkan.’ Buktinya, hampir semua anak muda di desa ini sepakat kalau Bapak adalah orang tua yang menyebalkan. Bayangkan, di depan mereka Bapak bilang bahwa teknologi digital itu sebetulnya sudah kuno. ‘Teknologi digital itu hanya membuat kita sebagai manusia kehilangan jiwa. Teknologi kuno justru lebih kini daripada teknologi masa kini,’ katanya dengan wajah ‘Ape lo, ape lo!’.

“Menyebalkan, kan? Kata orang, kalau usia sudah masuk kepala enam memang begitu bawaannya. Saya mau saja memaklumi, tapi berhadapan langsung dengan pelakunya—dan setiap hari pula—ternyata melunturkan permakluman itu. Ya sudah, saya akhirnya berpihak pada kebanyakan orang ketimbang pada bapak sendiri.”

“Oke, cukup. Jadi, kaitannya dengan lubang gelap itu apa?”

“Bapak bilang, lubang itu adalah pintu surga. Bayangkan, pintu surga! ‘Teknologi digital yang kamu bangga-banggakan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan ini,’ katanya.

“Saya heran, sedikit tersinggung, tapi juga penasaran. ‘Bagaimana bisa?’ tanya saya.

“Dia menjawab, ‘Teknologi informasi sekarang baru berhasil melintasi ruang, tapi dengan lubang ini kita bisa melintasi ruang dan waktu sekaligus. Kalau sains sekarang baru menemukan empat-lima dimensi, di sini sudah ada lebih dari 20 dimensi. Di sini kita bisa memilih menggunakan teknologi yang dirasa tepat: teknologi masa depan yang canggih atau teknologi masa lalu yang klasik. Dan satu lagi, di sini kita bisa berkomunikasi hanya dengan satu bahasa: Bahasa jiwa. Jadi tidak akan pernah salah tafsir.’

“Lihat, kan? Omongannya ngelantur.”

“Lubang gelap itu dibuat atau ditemukan oleh bapakmu?”

“Katanya sih warisan dari leluhurnya.”

 

**          

 

Ruang Reka 1.

“Bagaimana Mari di mata Pak Ripan?”

“Anak yang baik. Penurut, tidak pernah melawan orang tua. Hanya sekali dia melawan ketika beberapa orang memaksa saya mengizinkan masuk hutan. Mari malah berpihak kepada mereka dan ikut memaksa saya.”

“Apa alasannya?”

“Tidak tahu.”

“Pak Ripan yakin tidak tahu juga tujuan orang-orang itu pergi?”

“Tidak.”

“Pak Ripan tidak curiga kalau ternyata kemudian seluruh warga desa hilang?”

“Saya baru tahu itu tadi pagi dari petugas polisi yang membawa saya. Ya, tentu saya curiga setelah itu.”

“Oke. Jadi kalau saya minta Bapak membawa kami masuk ke Hutan Hantu, bersedia?”

“Tentu.”

“Oh ya, Pak Ripan tidak merasa curiga kalau Mari terlibat dalam raibnya seluruh warga desa?”

“Mmm… ah, sekarang Anda malah membuat saya curiga. Tadinya tidak.”

 

**

 

Ruang Reka 2.

“Kamu percaya omongan bapakmu?”

“Tidak. Saya sudah menganggap Bapak tidak waras sejak Ibu meninggal. Tapi saya ikuti saja apa kata Bapak, biar senang. Termasuk ketika Bapak meminta saya melemparkan benda-benda yang saya bawa ke dalam lubang gelap itu, lalu mengajak pulang.”

“Apa tujuannya?”

“Untuk menunjukkan kesaktian lubang itu. Karena sampai di rumah, barang-barang yang saya buang itu kembali di tempat semula. Yang mengherankan, dalam keadaan utuh dan seperti baru! Golok kinclong, panci mulus, dan handuk tidak lagi robek-robek.”    

“Kamu yakin itu benda-benda yang sama dengan yang kamu bawa tadi?”

“Tidak juga, sih. Bisa saja Bapak sudah menyiapkan yang baru sebelumnya.”

“Jadi, apa inti dari upaya pembuktian bapakmu itu?”

“Begini, setibanya di rumah Bapak memberi saya wejangan. Tiba-tiba saja dia berubah menjadi lebih ‘seharusnya seorang bapak’. Katanya, ‘Mari, sudah saatnya aku mewariskan pintu surga itu untukmu. Tapi kamu harus masuk ke dalamnya. Seraplah ilmu sebanyak-banyaknya di sana dan terapkan tidak cuma di desa, tapi juga di seluruh negeri. Karena inilah masamu. Dulu buyutmu, kakekmu, dan aku, belum bisa menerapkan itu di masa kami. Generasi kami belum paham. Tapi sekarang sudah sangat berbeda. Jadi, kamulah harapannya.’

“Seluruh teknologi yang diciptakan manusia ini, kata dia, tujuan akhirnya adalah untuk membuat hidup lebih mudah dan indah, seperti di surga. Tapi kenapa mereka belum juga sampai ke sana? Karena mereka belum menemukan pintu masuknya. Lihat akibatnya: kemudahan didapat, tapi keindahannya tidak. Begitu mudahnya orang-orang pamer, berbohong, dan berantem. Percuma, teknologi canggih, tapi jiwa tetap primitif.”

“Menurutmu lubang gelap itu ada kaitannya dengan hilangnya seluruh warga desa?”

“Pasti. Karena saya tidak mau masuk ke lubang itu, Bapak lalu membujuk semua warga untuk mencobanya. Dan celakanya, mereka percaya.”

“Mari, kamu bersedia menunjukkan lokasi lubang gelap itu?”

“Tentu.”

 

**

 

Siang itu juga Kauripan dan Mariyati menjadi pemandu dua penyidik kepolisian—dan puluhan petugas lain yang tiba-tiba muncul rasa ingin tahunya—masuk ke dalam hutan.

Beberapa puluh langkah kemudian tibalah mereka di sekumpulan pohon bambu. Dengan aba-aba tangannya, Ripan menghentikan langkah rombongan. Tiba-tiba meruak wewangian beribu kembang menggelitik reseptor hidung mereka. Seiring wanginya yang perlahan menguat, para petugas polisi itu merasakan kenyamanan yang luar biasa. Mereka hanya berdiri terpaku menikmati rasa nyaman tersebut.

Lalu, secara perlahan dunia mereka menjadi gelap gulita.

Ripan dan Mari saling berpandangan. Ripan memandang ke para polisi yang sudah mulai bergeletakan di tanah tapi dengan mulut menyungging senyum. Ia mengangguk pada Mari. “Cepat kita keluar, selagi masih siang,” katanya. “Target kita selanjutnya adalah seluruh warga Kota Kita.”

Ripan dan Mari pun meninggalkan para korbannya.

Dengan melayang.

 

***


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Membacanya sambil keringatan😅
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
(Pintu) Surga Ada di Bawah Pohon Bambu
hyu
Flash
WONDERLAND
Ri(n)Jani
Novel
Gold
Bird Box
Noura Publishing
Novel
JOANA
Gita Sri Margiani
Novel
Hitam Putih Wanasaba
Wulansaf
Flash
Siapa Gadis Itu?
Impy Island
Cerpen
Bronze
ORANG-ORANG SERIGALA
sri wintala achmad
Flash
Bronze
Gayatri
Hanifa Rahma
Novel
Titisan Sang Ratu
Esti Farida
Novel
Gold
PBC Mystery of Library
Mizan Publishing
Flash
Dukun
Mahmud
Novel
Demi Arwah Kekasihku
Arzaderya
Novel
TABUR TUAI (DOA TERHALANG DOSA)
sundari
Cerpen
Bronze
Sandro
sri wintala achmad
Novel
Gold
Sang Peramal
Noura Publishing
Rekomendasi
Cerpen
(Pintu) Surga Ada di Bawah Pohon Bambu
hyu
Cerpen
Raksasa dan Si Tua
hyu
Novel
Bronze
Garda Jiwa
hyu
Cerpen
Dendam Sofia
hyu
Cerpen
Ada Apa dengan Cinta(ku)
hyu
Flash
Izin Tuhan
hyu
Cerpen
Bronze
Berhitung
hyu
Flash
What A Thrilling Night!
hyu
Cerpen
Pulang
hyu
Novel
Bronze
Dua Sejiwa
hyu
Cerpen
Buruk Cermin Muka Dibelah
hyu
Novel
Bronze
Dalam Semesta Jiwa
hyu
Cerpen
Semar Mendem
hyu
Cerpen
Neraca Dunia
hyu
Cerpen
Lepidoptera
hyu