Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
Pindah Chanel
0
Suka
106
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Masa kecilmu adalah sebuah periode waktu yang menggembirakan, di mana belum ada pedih yang dibayangkan, belum ada sesal mengendap di dada ketika problem kehidupan tak dapat dipecahkan, belum ada tangis serius, meskipun hujan dan kedua orangtuamu pergi ke luar kota, tak ada ratapan dalam gigil payah saat di meja makanmu tak terhidang sepiring nasi. Kau seutuhnya pemilik kesenangan, senang dalam arti yang salah.

             Sepulangmu dari sekolah, kau lempar sepatu dan ranselmu, pembantu rumah akan terbirit-birit menempatkannya pada ruang yang layak, seragam sekolahmu kau lepas sembarang, lantas mengambil kaos kesukaanmu di almari, setelahnya duduk di depan layar televisi, menonton serial kartun yang bagimu mengasyikkan. Tayangan terfavorit yang paling kau nanti-nantikan adalah Detective Tintin, kau terpesona dengan kecerdasan Tintin dan anjingnya. Kau seringkali bertepuk tangan sendirian, atau menjerit-jerit memberi semangat.

 Jika bukan kartun Tintin, maka Popeye si pemakan bayam merupakan idolamu yang kedua. Tak heran, keseharianmu berkawan bayam di meja makan. Hidupmu jarang merasa susah meskipun orangtua tidak singgah di rumah, fasilitas dan apa yang kau inginkan senantiasa terpenuhi, membuatmu merasa cukup dan damai sepanjang hayat.

             Ketika bertemu dengan kawan-kawanmu, seringkali kau berbicara tentang Superhero yang menjadi selingan tontonanmu di hari minggu, mereka menanggapi dengan kisah Dora yang melarang Swaiper mencuri. Dirimu merasa menjadi pahlawan terhebat di lingkungan sekolah. Teman-temanmu adalah makhluk-makhluk yang perlu dilindungi dan dihormati. Jimmy Neutron pun menjadi santapan lezat imajinasimu ketika jam istirahat bertandang. Kau dan temanmu sering bermain peran menjaadi detektif ala Tintin dengan kapasitas pengetahuan Jimmy Neutron. Kisah-kisah misteri kau ciptakan di belakang punggung gedung sekolah, mozaik-mozaik petunjuk terselip di atas pohon-pohon rambutan. Kau dan teman-temanmu main petak umpet dengan gaya khas serial kartun. Guru-gurumu sering terpingkal, namun membiarkanmu dan teman-teman.

             Waktu terus berjalan, meskipun kebiasaanmu belum berubah, meletakkan sepatu, seragam dan tas tidak pada tempatnya, namun ada hal yang menjadi perubahan alamiah fisikmu. Kau bertambah tinggi, wajahmu yang semula dikatakan imut, kini memiliki sedikit ketampanan yang memikat orang dewasa, dulu kau terbata mengeja alvabet, kini kau lari menyalinnya di lembar-lembar halaman. Pikiranmu bertambah liar, seliar matamu menikmati serial kartun, kau mendadak bosan, memindah tayangan kesukaanmu. Kartun-kartun itu, menjadi petualang-petualangan bocah perkampungan, kau menyebutnya sebagai ‘Jejak Olang’.

Yang kau tonton kini pawang ular di sebuah hutan sedang menakhlukkan Anaconda atau Ular Kobra, berlanjut wanita muda yang mendaki gunung-gunung tinggi dan membelah lembah-lembah asing di dalam hutan. Kau amat terpesona dengan keberanian wanita itu berangkat sendirian melintasi medan terjal dan curam, kemudian mencari air sungai untuk dijadikan minuman, menciptakan api dengan bebatuan purba, terakhir mengajari bertahan hidup dengan memakan buah-buahan yang tersedia di dalam hutan. Matamu kembali dilototkan di depan layar televisi. 

             Kau menjadi sosok pencinta alam, gemar menanam tanaman di halaman rumah, merawatnya dengan sangat perhatian, mencabuti gulma yang tumbuh di sekitar, menyiramnya siang dan petang, bahkan di tengah-tengah malam, kau pun sering memerhatikan tanaman-tanamanmu dari balik jendela kamar, sebelum kedua bohlam matamu terpejam. Kau tampan, dan pemerhati tanaman. Gadis-gadis terpikat, sementara tak ada yang ingin kau ikat. Kau merupakan orang yang acuh. Saat yang lain sibuk bermain-main dengan cinta monyet, kau justru menjadi monyetnya dengan bergelantungan di bukit-bukit kecil dekat dengan perkampungan, dalam benak imajinasimu, kau sedang mempraktikkan gaya khas wanita dari ‘Jejak Olang’. Kau sebenarnya layak mendapat julukan fotokopiannya Dora The Explore dengan kawannya Diego.

             ‘Jejak Olang’ menjadi kenangan, ras bosan itu kembali menghinggapi pikiranmu. Usiamu bertambah dan kian bertambah, matamu membutuhkan asupan yang berbeda, tanganmu tak sengaja memenchat chanel yang menayangkan sinetron. Sepulangmu dari sekolah abu dan putih, kau letakkan sepatu juga seragam kotor di tempatnya. Usia mengantarkanmu pada sebuah pemahaman tentang kerapian dan kebersihan. Beberapa menit kau rebah di atas kasur dengan gadgedmu, kemudian membenamkan mata sejenak, bangun makan siang pada pukul empat sore, kemudian berduaan dengan layar televisi, kedua orangtuamu belum pulang dari kantor.

Kau menghabiskan waktu sepimu dengan benda kubus itu. Menyelami arus yang disajikan, tentang cinta anak-anak remaja, tentang penceraian, tentang kemiskinan, tentang moral yang merosot, tentang adu domba, tentang kebodohan, tentang manusia-manusia yang memperebutkan jabatan karena uang, tentang wanita-wanita cantik yang lupa dengan suami dan anaknya, berujung dengan perselingkuhan. Dan entah mengapa, mendadak kau amat tertarik dengan peristiwa-peristiwa itu.

             Kau mulai melirik lawan jenismu, mengenal lebih lanjut, mengantarkan ia pulang seperti yang dilakukan seorang pemuda di televisi, mengajaknya makan, pelan mulai kau belai ubunnya, mulai kau sentil pipinya, mulai kau rayu hatinya, mulai kau puji hingga perasaannya meleleh, terakhir kau mengungkapkan perasaanmu, tentang cinta palsu yang berujung pada nista, sementara di belakang punggungmu kau menggoda gadis lain. Ah, kau sudah merasakan apa irtu gelisah karena rindu, kau merasakan debaran jantungmu saat pertama kali melihat senyummu, kau pun menjadi lelaki paing tersiksa jika melihat air matanya berderai-derai.

Beberapa tahun kemudian, setalah seragam abu dan putih kau tanggalkan, kau pindah chanel pada chanel yang menyiarkan berita-berita teraktual. Kau menjadi pemerhati yang cermat, memilah dan memilih. Kau mendadak berubah menjadi pemuda provokatif yang membela kebenaran. Kau berdalih tentang keadilan. Kau umbar peyimpangan yang tersembunyi, kau kuak habis dan mengulitinya. Kau gigih dalam membela. Kau adalah orang yang kemudian mendapatkan pandangan baik dari beberapa organisasi. Latar belakangmu yang seorang mahasiswa menjadi sorotan bersinar oleh wajah-wajah publik. Kau juga pandai berorasi, menyuarakan hak-hak rakyat.

Berita-berita tidak pernah membuatmu bosan, sampai kau tua, sampai kau diwisuda, sampai kau beranak-pinak, sampai jabatanmu naik pangkat, sampai orang-orang membencimu, sampai uangmu bermilyar-milyar, sampai para tersangka korupsi keluar masuk dari penjara, kau tidak pernah pindah chanel televisi. Kau menyukai berita-berita, apalagi jika ada siaran yang menjatuhkan salah satu partai musuhmu. Kau dikenal menjadi orang yang dermawan dan cerdas, kau suka.

Senja itu, alam luar tampak tenang, ruang tengah ramai dengan mata-mata penuh selidik. Berita tidak baik tersiarkan. Wajah-wajah penuh kecewa menatapmu murka. ANak-anakmu terisak, istrimu mendesah marah namun tak tahu akan berbuat apa. Kau ingin berlari sejauh-jauhnya, menghilang dari muka bumi ini, namun tidak bisa. Nama dan jabatanmu terpampang di layar televisi, kasus penggelapan dana menjadi tranding topik bulan itu, dan pelakunya adalah dirimu!

Di umur senja ini kau seperti kura-kura tua yang kehilangan populasinya, ia tersesat dari keluarga dan cucu buyutnya, pada akhirnya hidup sendirian di atas pasir dan laut yang merana kesepian. Dahulu, keramaian dan alam adalah milikmu, kehidupan makhluk lain seolah menjadi ekosistem yang menyatu dalam hidupmu, namun kali ini, di masamu yang tua, tatapanmu justru kosong, jauh dari kepedulian, tak ada yang hendak hinggap menyandar pada bilik hatimu, kau sungguh sendirian, dalam kehampaan nyata yang tidak mustahil.

Orang-orang mengabaikanmu begitu saja. Dahulu kau adalah kue, dengan semut-semut yang mengerubungi jasadmu, kau teranggap bermanfaat dengan karbonhidrat yang terkandung dalam tubuhmu, kau pun menguntungkan melalui rasa manis yang sempurna dengan aromamu yang menggiurkan. Sementara saat ini, kau adalah tulang busuk yang tak akan memikat hati makhluk apa pun, termasuk seekor anjing sekali pun.

Harummu tak lagi mewangi, semua tentangmu adalah nostalgia yang dijemput kunang-kunang menuju malam yang berbaring ketika rembulan tersungkur di hadapan kegelapan, kau masam, semasam linangan air matamu di pipi. Namun semuanya tak akan menjadi berarti. Kau melewati garis finish yang disebut dengan, ‘terlambat’.

             Magelang, 23 Oktober 2018. 

Ilustrasi Gambar : Pixabay.com

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
Pindah Chanel
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Gara-gara Ayah
Rafi Asamar Ahmad
Cerpen
Bronze
Memahami
Daud Farma
Cerpen
Tanah yang Ditinggalkan
Yovinus
Flash
Ingin hidup tenang
moh nabil ardiansyah
Cerpen
Pundak Perintis
Adam Nazar Yasin
Flash
Bisakah Aku Jadi Dewasa?
lidia afrianti
Novel
Bronze
Heartless
Aylanna N. Arcelia
Cerpen
Bronze
Tiket Sekali Jalan ke Diri Sendiri
Penulis N
Cerpen
Tahta Sunyi Sang Antagonis
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Sang Penulis
AndikaP
Flash
Discount Friend
lidia afrianti
Cerpen
Pemuda Di Kamar 17
Sucayono
Cerpen
Alasan Orang Indonesia Beremigrasi Keluar Negeri
Yovinus
Novel
From now to 1414 years ago
Dinda
Rekomendasi
Cerpen
Pindah Chanel
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Surat
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Bobong dan Negeri Cahaya
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Suara-suara Aneh
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Ditolak
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Kualat
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Dirimu dan Penunggu Hal-Hal Pergi
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Lelaki Kenangan dan Kupu-Kupu di Lampu Merah
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Pelanggan Terbaik
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Tabebuya
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Payung Hitam
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Sebuah Sampah
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Nasib Ratusan Bumi
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Tubuhmu, Tubuh Orang Lain
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Selimut Tidak Pernah Kering
Titin Widyawati