Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Desa Ngawur seperti biasa riuh setiap kali Pilkada mendekat. Spanduk-spanduk calon bupati menjamur di mana-mana. Wajah-wajah mereka menghiasi tembok, tiang listrik, bahkan pintu toilet umum.
Tapi bagi Murad, Pilkada kali ini adalah ajang menonton komedi gratis. Dia sudah bulat memutuskan: tidak akan memilih siapa pun.
“Murad! Kamu benar-benar nggak mau milih?” tanya Marni, istrinya, sambil menyapu halaman. “Jangan sampai nanti KTP kita digadaikan KPPS buat nambah suara calon.”
Murad yang sedang memakan gorengan hanya mengedikkan bahu. “Mau digadaikan kek, mau dijual sekalian juga nggak apa. Toh, percuma. Pilih yang satu dapat bodoh, pilih yang satu lagi dapat koruptor. Enakan nggak milih aja.”
Marni menghentikan sapunya dan menatap suaminya dengan tajam. “Halah, males kamu itu, ya. Mau malesin aja!”
“Itu namanya prinsip!” Murad mengangkat gorengan dengan dramatis seperti seorang pahlawan mengangkat pedang. “Prinsip untuk tidak mendukung kebodohan maupun kejahatan!”
“Prinsip apaan? Orang-orang sekampung ini aja sudah pada pilih calon yang mereka yakini,” ujar Marni sambil melipat tangan di pinggang. “Masa Murad yang katanya pintar malah nyerah duluan?”
“Yang mereka yakini itu uang, bukan calonnya!” balas Murad sambil terkekeh. “Apa kamu nggak lihat? Minggu lalu si calon baru bagi-bagi sembako. Giliran ditanya visi-misi, jawabannya malah nyerempet ke harga minyak goreng!”
Marni mendengus, mengibaskan sapunya, lalu masuk ke dalam rumah. Murad melanjutkan makannya sambil menikmati angin siang. Namun, tiba-tiba datang tetangganya, Udin, dengan wajah semangat seperti habis menang undian.
“Rad, Rad!” Udin memanggil sambil mendekat. “Dapet sembako nggak dari calon baru?”
Murad tertawa terbahak-bahak. “Sembako apaan? Aku nggak mau disentuh bantuan tipu-tipu kayak gitu.”
Udin mendekatkan wajahnya. “Sembako itu isinya bukan cuma beras sama minyak, lho. Ada amplopnya juga!”
Murad terkejut. “Amplop?! Berapa?”
“Lima ratus ribu!” Udin menjawab dengan mata berbinar. “Buat apa pilih calon kalau bisa dapet duit tanpa milih!”
Murad tertawa sampai terbatuk. “Jadi ini, ya, pesta demokrasi versi kita. Calon bodoh kasih sembako, calon koruptor kasih janji palsu. Semua orang senang.”
Udin hanya mengangkat bahu, lalu berpamitan. Murad kembali termenung. Dia teringat cerita pemilu sebelumnya, ketika keluarganya memilih Monyong—si calon idola mereka yang entah kenapa tidak dapat satu suara pun di TPS tempat mereka mencoblos. Tiga puluh orang sekeluarga, tidak ada yang dihitung.
“Ini semua kerjaan KPPS!” gerutu Murad waktu itu.
Kini, kejadian itu membuatnya semakin muak. Dia tidak lagi percaya kepada siapa pun, bahkan kepada sistem pemilihan itu sendiri.
Dua hari sebelum Pilkada, desa Ngawur makin hiruk-pikuk. Kampanye berjalan tanpa aturan, bagaikan pasar malam dengan diskon besar-besaran.
Orang-orang yang dulu malas keluar rumah tiba-tiba menjadi aktivis dadakan. Semua karena calon baru mendatangkan penyanyi dangdut terkenal, Cinta Colok, untuk konser gratis.
“Cintaaa… Aduh, cantiknyaaa!” seru Udin yang menonton di depan panggung. “Rad, nggak mau nonton?”
“Enggak,” jawab Murad singkat dari teras rumahnya. “Aku nggak mau diracuni musik norak kayak gitu.”
Udin mendekat, kali ini membawa undangan resmi. “Dengar-dengar, kalau datang ke konser ini, dapet kupon undian motor.”
Murad melotot. “Motor? Gratis?”
“Ya enggak gratis, Rad! Harus daftar dulu. Tapi kalau menang, kan lumayan!”
Murad hanya menggeleng. “Daripada motor, aku lebih butuh otak baru buat calon-calon itu. Mungkin itu lebih bermanfaat.”
Pagi itu, Murad duduk di warung kopi milik Pak Bedul sambil mengamati orang-orang yang ramai membicarakan masalah Pilkada. Warga desa Ngawur, yang biasanya ribut soal panen atau harga pupuk, sekarang berubah jadi analis politik dadakan.
Obrolan mereka penuh dengan istilah seperti "politik uang," "perahu partai," dan "kemenangan rakyat." Tapi bagi Murad, semua itu hanya kamuflase untuk satu hal: duiitt!
"Eh, tahu nggak," kata Pak Komar, pelanggan setia warung kopi. "Katanya calon bodoh sama calon koruptor itu bayar partai tiga puluh milyar, lho. Gede banget duitnya!”
Murad yang tadinya diam langsung tersedak kopinya. “Apa?! Tiga puluh milyar? Untuk partai? Yang benar saja, Pak Komar.”
“Serius!” Komar mengangguk yakin. “Aku dengar dari si Wagiman, yang dapat info dari adiknya yang kerja di kantor partai itu.”
Murad mengerutkan dahi, mencoba mencerna informasi itu. “Katanya, partai-partai itu bersih dan di garda depan memberantas korupsi. Tapi kok terima uang tiga puluh milyar?”
Komar tertawa kecil. “Ah, itu cuma omong kosong, Murad. Partai mana yang nggak main duit sekarang?”
Murad meneguk kopinya sambil berpikir keras. Apa benar tiga puluh milyar itu cuma permainan anak buah di bawah, atau ketua partainya juga tahu? Atau malah semuanya ikut bermain?
Di malam harinya, Murad tak bisa tidur. Pikirannya terus berputar tentang rumor itu. Dia ingat spanduk besar-besaran calon bodoh yang seolah-olah ingin menutupi setiap sudut desa.
Biayanya pasti mahal. Begitu juga dengan calon koruptor yang mengadakan acara mewah di hotel kota. Semua itu jelas membutuhkan banyak uang. Dan kalau benar partai-partai itu menerima bayaran tiga puluh milyar, siapa yang bisa menjamin pemimpin partainya tidak ikut terlibat?
“Marni, kamu tidur nggak?” tanya Murad sambil memelototi langit-langit kamar.
“Tidur, kalau nggak diganggu suami,” jawab Marni malas.
“Tiga puluh milyar, Marni. Itu duit segitu banyaknya buat apa, ya?”
Marni berbalik menghadap Murad. “Buat kampanye lah. Beli sembako, bayar penyanyi dangdut, pasang spanduk, bikin iklan di TV.”
Murad menggeleng. “Tapi katanya partai itu bersih. Mereka selalu bilang nggak akan terima duit dari calon. Kalau benar begitu, kenapa calon-calon ini tetap bisa maju?”
“Ya mungkin ketuanya nggak tahu,” jawab Marni sambil menguap. “Atau pura-pura nggak tahu. Kamu kok mikirin ini banget, sih? Besok juga kamu masih makan gorengan seperti biasa.”
Murad menghela napas panjang. “Aku mikir, Marni. Kalau kita ini nggak bisa percaya partai, terus mau percaya siapa?”
“Percaya aku aja,” jawab Marni santai sambil memejamkan mata. “Aku nggak korupsi kok.”
Keesokan paginya, Murad kembali ke warung kopi. Kali ini, dia ingin menggali lebih dalam soal rumor itu. Di sana sudah ada Pak Bedul, Pak Komar, dan beberapa orang lainnya yang sedang asyik berdebat.
“Kalau memang benar partai itu menerima duit tiga puluh milyar, pertanyaannya: ketua partainya tahu atau nggak?” tanya Murad, langsung ikut bergabung dalam diskusi.
Pak Bedul menyodorkan secangkir kopi. “Kalau menurutku, ketuanya pasti tahu. Masa duit sebanyak itu bisa masuk tanpa sepengetahuan dia?”
“Tapi bisa juga cuma permainan anak buah di bawahnya,” sahut Komar. “Mereka kan sering cari kesempatan. Ketua mungkin nggak tahu apa-apa.”
“Ah, kamu terlalu naif, Komar,” sela Pak Bedul. “Partai itu seperti perusahaan besar. Duit segede tiga puluh milyar pasti lewat meja si bos.”
Murad mengangguk-angguk mendengar perdebatan itu. “Tapi kalau ketuanya tahu, kenapa mereka masih bisa bilang partainya bersih?”
“Bersih di depan, kotor di belakang,” jawab Pak Bedul sambil tertawa. “Politik itu seperti orang jualan ikan asin, Rad. Dari jauh kelihatan bagus, dekat-dekat bau busuknya.”
Rumor itu terus berkembang. Malamnya, Udin datang ke rumah Murad dengan berita baru.
“Rad, kamu tahu nggak? Ada video rekaman yang bocor. Isinya obrolan anak buah partai calon bodoh soal duit tiga puluh milyar itu!”
Murad langsung bangkit dari kursi. “Rekaman? Di mana?”
“Di grup WA warga. Tadi ada yang nyebarin. Katanya, anak buah calon bodoh itu ngaku duitnya memang buat ‘sewa perahu.’”
“Gila!” Murad menggeleng-geleng. “Sewa perahu tiga puluh milyar? Itu bukan perahu lagi, itu kapal pesiar!”
Udin tertawa kecil. “Tapi ini makin bikin orang-orang bingung, Rad. Kalau duit segitu bisa bikin calon bodoh maju, apa gunanya visi-misi?”
“Visi-misi itu cuma pajangan, Din,” jawab Murad. “Yang penting adalah duit. Dan sekarang aku makin yakin: ketua partainya juga pasti main.”
“Jadi mereka semua sama aja, ya?” tanya Udin, terdengar agak kecewa.
Murad menepuk bahu Udin. “Sama, Din. Sama-sama bikin kita pusing.”
Hingga beberapa hari kemudian, rumor soal tiga puluh milyar itu tak pernah benar-benar terkonfirmasi. Tidak ada yang tahu pasti apakah ketua partai memang ikut bermain atau itu hanya ulah anak buah. Namun, bagi Murad, jawabannya sudah jelas.
“Kalau tidak ada yang bersih dari sistem ini,” gumam Murad pada dirinya sendiri, “mungkin kita harus belajar untuk tidak terlalu berharap. Setidaknya aku punya gorengan.”
Marni yang mendengar dari dapur hanya melirik sambil berkata, “Daripada pusing soal politik, mending bantu aku bikin adonan gorengan. Itu lebih pasti daripada janji calon mana pun.”
Murad tertawa kecil. Di tengah kebingungan dan kekecewaan, setidaknya gorengan tidak pernah mengecewakan.
Udin tertawa. “Sok pintar kamu, Rad. Kalau nanti calon bodoh itu menang, aku yakin kamu bakal nyesel.”
Murad tersenyum kecut. “Yang nyesel justru mereka yang milih. Aku mah santai.”
Hari H Pilkada pun tiba. Desa Ngawur terlihat seperti panggung teater absurd. TPS dihias bendera partai, sementara petugas KPPS terlihat sibuk layaknya aktor yang lupa dialog.
Murad sengaja datang ke TPS paling siang, mendekati jam penutupan, berharap tidak perlu mengantre lama.
“Tolong antre, Pak Murad,” kata salah satu petugas KPPS dengan nada lelah. “Formulirnya diisi dulu.”
Murad menatap petugas itu tajam. “Formulir? Buat apa? Nanti juga suaranya kalian edit.”
“Pak, jangan gitu, dong,” ujar petugas itu setengah memohon. “Kami kerja keras, lho.”
“Kerja keras ngedit suara?” balas Murad santai.
Petugas itu hanya menghela napas panjang dan mempersilakan Murad masuk ke bilik suara.
Di dalam bilik suara, Murad membuka surat suara. Wajah dua calon bupati terpampang jelas: calon bodoh tersenyum seperti mau jual panci, sementara calon koruptor menatap seperti hakim yang baru saja menang undian mobil.
Murad menggeleng sambil terkekeh kecil.
“Dua-duanya nggak pantas,” gumamnya. Dengan sengaja, dia mencoret seluruh surat suara dan menulis besar-besar: “HIDUP KPPS DAN SEMBAKO GRATIS!”
Setelah itu, Murad memasukkan surat suara ke kotak dan pulang dengan hati puas.
Namun, drama tidak berhenti di TPS. Malam harinya, hasil sementara Pilkada diumumkan di balai desa lewat pengeras suara. Calon bodoh unggul jauh dari calon koruptor.
“Wah, menang dia, Rad!” Udin datang berlari-lari ke rumah Murad sambil membawa radio kecil.
Murad hanya tertawa. “Sudah kuduga. Orang-orang lebih peduli sembako dan dangdut daripada masa depan.”
“Kalau gitu, kenapa nggak ikutan nyicip sembako? Sayang, kan?” goda Udin.
“Ah, aku cukup makan gorengan saja,” jawab Murad santai. “Setidaknya gorengan ini tidak pakai janji palsu.”
Beberapa bulan kemudian, calon bodoh resmi menjadi bupati. Desa Ngawur berubah, tapi bukan ke arah yang diharapkan.
Jalanan makin rusak, harga sembako naik, dan proyek-proyek pembangunan terbengkalai. Warga mulai mengeluh, termasuk Udin yang dulu begitu mendukung si bupati baru.
“Rad, kamu benar,” kata Udin suatu sore. “Bupati kita ini bodohnya kelewatan. Kemarin dia bilang mau bikin jembatan di atas sawah!”
Murad hanya tersenyum tipis. “Sudah kubilang. Tapi tenang saja, lima tahun lagi kita punya kesempatan memilih calon baru. Siapa tahu nanti muncul calon yang nggak bodoh dan nggak korup.”
“Kalau nggak ada juga?” tanya Udin dengan nada putus asa.
Murad mengambil gorengan terakhirnya. “Kalau begitu, kita bikin partai sendiri. Partai Gorengan Indonesia. Visi-misinya sederhana: kasih rakyat minyak panas dan tepung gratis.”
Udin tertawa terbahak-bahak. “Aku daftar jadi ketua dewan, ya!”
“Silakan,” jawab Murad. “Tapi ingat, partai kita harus anti korupsi. Kalau sampai ketahuan korupsi, hukumannya apa?”
Udin berpikir sejenak. “Disuruh makan gorengan gosong seumur hidup?”
“Setuju!” ujar Murad sambil mengacungkan jempol.
Mereka tertawa bersama, menyadari bahwa meski hidup di tengah absurdnya politik desa, setidaknya mereka masih punya humor untuk bertahan.
***
Pembaca yang budiman, karena karya ini gratis, maka mohon kerelaannya untuk like, komen, dan share ya. Agar penulis semakin semangat membuat tulisannya yang menghibur pembaca. Salam hangat!!!