Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan turun gerimis membasahi pelataran masjid. Mobil yang kutumpangi bersama empat saudariku masih diam di pelataran parkir. Bunyi hujan di luar mobil terdengar semakin deras mengetuk bodi mobil. Mataku tertuju ke masjid di seberang jalan yang lengang-tidak seperti pikiranku yang berisik.
Bagaimana rasanya melihat ayah menikah dengan wanita pilihan ibumu sendiri?
Hari ini, perayaan pernikahan yang tak ingin aku datangi. Harusnya perayaan ini menjadi hal yang dinantikan semua orang, tapi tidak untukku, empat saudara perempuanku dan terutama ibuku.
Aku teringat dua bulan lalu, ketika segalanya mulai terasa hampa. Rumah yang biasanya penuh sapaan kini terasa sunyi. Televisi yang biasanya ramai ditonton, kini hanya menyisakan suara bisingnya-dia menonton kami. Ruang keluarga yang biasanya penuh kehangatan kini berubah menjadi dingin. Aku yang lelah dengan penambahan materi untuk Ujian Nasional akhirnya naik ke lantai dua, kamarku, mengurung diri di sana.
Jam makan malam yang biasanya ramai dengan sahutan dan celotehan tentang lauk pauk kini tak terdengar. Meja panjang yang harusnya berisi makanan buatan ibu kini hanya menyisakan tudung saji tanpa apapun tersaji di sana.
Ibu yang biasanya sibuk mengabsen kami satu persatu tidak lagi terdengar. Ia hanya duduk sendirian di meja makan, menyantap semangkuk mi rebus buatannya. Tubuhku yang menyadari ibu di sana, segera turun menghampiri, bertanya tentang lauk malam ini.
"Masak sendiri aja ya, kak. Ibu lagi malas masak," balas ibu dengan santainya.
"Iya," jawabku lemah. Kakiku kembali melangkah ke lantai dua kamarku. Mencari kamar kakak pertamaku yang biasa kusapa mbak itu.
"Aku laper," ucapku seraya merebahkan tubuhku di kasurnya. "Dari kemarin kita makan mi instan terus tahu, mbak. Keriting nanti ususku!"
Jian, kakakku hanya melirikku dan kembali sibuk bermain ponselnya. "Iya mau gimana lagi, kan? Ibu nggak mau masak, ya kita makan mi aja."
"Dih! Lu mau emang makan mi terus? Ini juga bapak kenapa deh jarang banget keliatan di rumah. Biasanya udah pulang sebelum kita makan malam." Aku menyahuti dengan kesal.
Ternyata memang ada masalah antara ibu dan bapak. Aku baru menyadarinya saat berbicara dengan Mbak Jian. Bapak jarang terlihat. Saat pagi hari mau berangkat sekolah, ia sudah sibuk dengan laptop dan tumpukan bukunya. Biasanya selalu tersedia kopi disamping laptop tuanya, tapi akhir-akhir ini gelas kopi milik bapak selalu ada di lemari gelas seolah tidak ada yang menyentuhnya apalagi menggunakannya.
"Mbak! Kakak! Dipanggil ibu!" Adikku yang pertama--Sean datang ke kamar. Wajahnya tampak tak bersemangat, biasanya adikku ini selalu tersenyum dan cengengesan di kondisi apapun. Membuatku menelan kegelisahan yang sejak tadi menggantung.
Kami turun ke lantai satu. Ruang makan lengang, ada ibu dan dua adikku yang lain. Dian, adik keduaku dan si bungsu, Lian. Wajah mereka tampak khawatir. Lian berkali-kali menggerakkan jemarinya. Aku dan dua saudaraku duduk di kursi makan kami biasanya. Menatap wajah ibu yang sudah memerah.
Dari jarak sedekat ini, aku menyadari banyak hal. Kerutan di wajahnya semakin banyak. Bibirnya tampak pucat dan sorot matanya tampak kosong beberapa kali. Matanya yang besar seperti almond itu tampak sayu dan membengkak.
"Bagaimana kalau bapak menikah lagi?" tanya ibu dengan suara tercekat.
Pertanyaan itu tak bisa kurespon dengan baik. Sesuatu yang salah telah menusuk telingaku, bahkan hatiku. Pandanganku beralih ke arah ruang keluarga di dekat ruang makan. Mengingat semua kehangatan, sapaan, senyum, pelukan, candaan beserta kejahilan yang kami lakukan di sana bersama bapak. Semua seolah memudar seperti bayang-bayang yang tak pernah terjadi.
Suara gebrakan meja terdengar mengalihkan pikiranku. Mbak Jian berdiri, wajah putihnya seketika memerah, pipinya sudah basah. Ia melempar kotak tisu di hadapannya.
"Kenapa sih harus nikah lagi? Apa kurangnya ibu? Ibu bisa melakukan semuanya! Kenapa harus cari yang lain?" tanyanya dengan suara keras. "Aku nggak mau!" Ia mendekati ibu, memeluknya seperti anak kecil meminta permen.
"Mbak, tapi ibu udah capek. Bapak diemin ibu lama banget, ibu nggak kuat. Jadi, ibu ikhlasin semuanya. Bapak dan ibu masih di rumah ini sama kalian." Ibu mengelus kepala mbak dengan lembut. Air matanya terus mengalir, tidak bisa berbohong, ibu juga sedih.
Bagaimana bisa ibu begitu tenang saat dunia kami seperti akan hancur besok?
"Aku nggak mau!" seru Sean tak kalah keras dan berlari memeluk ibu. "Kenapa sih bapak harus nikah lagi? Kenapa ibu mau juga dimadu?" Sean terisak dalam pelukan ibu.
Lian ikut berlari, mendekati ibu. "Lian sayang ibu, pokoknya ibu Lian cuman ibu satu-satunya. Nggak ada yang lain," ucapnya diselingan isak tangisnya yang tidak kalah keras.
"Bapak jahat! Apa sih kurangnya ibu? Karena anaknya perempuan semua, kah? Jadi dia mau nikah lagi? Nggak sudi aku punya ibu tiri!" Dian, adikku yang lain berdiri, menjatuhkan kursinya, pergi ke kamarnya. Terdengar teriakan sebelum pintu kamarnya dibanting.
Aku terdiam, mengamati wajah ibu dan saudaraku yang lain. Kepalaku mencari alasan kenapa bapak ingin menikah lagi dengan semua pertanyaan lain yang sibuk aku pikirkan. Wajah ibu yang merah dengan air mata itu menciumi satu persatu anaknya yang memeluknya sambil terisak. Sesuatu yang menyayat terasa semakin menyakitkan. Aku ingin ikut berlari memeluk ibu, menangis bersama saudaraku yang lain, tapi aku enggan.
Ibu mengatakan padaku bahwa aku jarang menangis, ia menyebutku anak kuat. Dan karena sebutan itu, aku menahan semua emosiku. Memikirkan keadaan apa yang akan terjadi selanjutnya untuk keluarga ini, terutama untuk, ibuku.
"Terus, ibu izinin bapak nikah lagi?" tanyaku setelah jeda panjang yang dipenuhi isak tangis.
"Iya, mau bagaimana lagi. Tapi, syaratnya ibu yang carikan istri untuk bapakmu." Meski sambil tercekat, ibu masih mengulum senyum, membuatku tidak bisa berpikir dan menebak apa yang sebenarnya yang ia rasakan.
Kembali ke hari ini. Perayaan pernikahan kedua bapakku di masjid besar. Kami tidak mau datang, tapi ibu memohon untuk menghargai bapak. Dengan setengah hati kami menurut, walaupun kami hanya duduk di mobil menunggu. Kami juga tidak mau melihat siapa wanita yang dinikahi bapak, meski ibu yang mencarikannya.
Wanita mana yang mau membagi cinta suaminya kepada wanita lain? Pertanyaan itu selalu mengisi kepalaku, tidak mau mengetahui jawaban yang mungkin memang ada wanita seperti itu di dunia ini, tapi kenapa harus ibuku?
Kami pulang ke rumah tanpa ingin menyapa istri kedua bapak. Berpura-pura tidak ada yang terjadi. Aku sering mengunjungi ibu di kamarnya karena tidak ada bapak di sana. Ibu bercerita tentang istri kedua bapak yang ia carikan.
"Dia cantik banget lho, Kak. Putih, langsing juga. Kakak tahu, ibu nggak secantik dia. Jadi, ibu yakin bapakmu suka."
Ah.... Kalimat itu menyayat hatiku, seperti terisis. Seseorang pasti menaruh bawang merah di dekatku. Rasanya mataku perih bersama hatiku.
"Kekurusan itu orang," balasku berusaha menghindari tatapan ibu.
"Cantik tahu, Kak. Bapakmu pasti senang sama dia." Ibu menyenggol tanganku.
"Dih," balasku tidak minat memuji wanita itu. "Tetap aja yang nomor satu yang paling spesial. Lihat aja nanti, pasti bapak tetep cari ibu, deh. Mau dia secantik miss universe juga, orang yang lebih lama mendampingi yang menang. Yakin, deh!"
"Bisa aja kamu, Kak." Ibu tertawa kasar. "Udah, ibu mau sholat dulu. Ayo, kamu tidur di mana? Mau sama ibu di sini?"
"Iya, besok Sean yang tidur sama ibu." Aku membalas, menarik selimut menutupi seluruh tubuhku. Mencoba menghapus air mata yang sudah menetes sejak tadi.
Ibu berbicara fakta, tapi aku tidak mau menyetujui ucapannya. Ibu selalu minder dan menjelekkan dirinya sendiri karena tubuhnya berubah setelah memiliki lima anak. Tubuhnya dulu kurus sebelum menikah, wajahnya cantik, putih bersih, bibirnya juga merah merona. Tapi, sekarang tidak lagi, ia jadi sering mengatakan bahwa dirinya jelek. Dan aku benci itu, aku tidak tahu harus merespon seperti apa, aku hanya ingin ibuku tetap percaya diri bukan malah semakin menyiksa dirinya.
Hampir subuh tapi ibu belum juga datang untuk tidur di kamar. Ia masih di atas sajadahnya, menengadahkan tangannya dengan linangan air mata. Mukena putihnya sudah basah oleh air matanya, punggungnya bergerak naik turun, isakannya terdengar pelan. Aku duduk jauh mengamati.
"Ikhlaskan aku, bantu aku untuk menerima ini." Suara ibu terdengar bergetar dan bergema di ruang sholat rumah yang lengang. "Jangan buat anakku membenci bapak mereka, jadikan kami keluarga yang tetap hangat." Kali ini terdengar isakan panjang.
Ibu kembali menangis, menangisi hidupnya. Mataku yang sudah sembab kembali dibanjiri air mata. Rasanya menyakitkan. Aku perempuan seperti ibu, tapi aku tidak akan bisa sekuat dirinya.