Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Pietist
6
Suka
4,423
Dibaca

Suara bandul dari jam besar itu menarik kesadaran para tamu yang sedang terombang-ambing di realitas semu, membawa mereka kembali ke sebuah kenyataan yang terintegrasi dengan semesta ini. Sebuah kekuatan magis yang sangat dahsyat telah mencuri persepsi mereka, sehingga mereka merasa saling terhubung oleh suatu kesadaran palsu yang sulit dicerna oleh akal sehat.

Para tamu itu menyadari bahwa kesadaran mereka telah menjelajahi waktu selama lima tahun ke depan, dan kini mereka kembali ke ruang dan waktu yang nyata. Di ruangan inilah mereka berada sedari tadi, tidak beranjak sedikit pun. Bahkan aliran waktu—jika dilihat dari sudut pandang mereka—seakan terhenti, meskipun waktu di persepsi mereka telah berjalan sangat jauh.

Perasaan canggung mulai hinggap di relung hati mereka setelah si empu rumah, Pak Kyai Basyir, menyindir mereka secara halus, “Bagaimana rasanya menjadi penguasa yang dzalim, Tuan-tuan sekalian?”

Para tamu itu saling menatap. Beberapa dari mereka celingukan memandangi seisi ruangan bernuansa Arab yang penuh kaligrafi, mata mereka terus menelusuri ruangan sambil tersipu. Sementara itu, tamu utama hanya tertunduk layu. Tak ada sepatah kata pun terucap.

Si tamu utama, seorang pria bertubuh gempal yang sedang mencari restu dari seorang yang alim, datang ke Pak Kyai Basyir karena terkenal akan kewaliannya. Saat ini adalah musim pemilihan, dan dia berniat mendatangi Pak Kyai Basyir.

Pak Kyai dirumorkan memiliki karamah, sehingga seluruh doanya selalu diijabah. Wajar saja, menurut penuturan santri-santrinya, Pak Kyai tidak pernah sedetik pun berhenti berdzikir. Lidahnya selalu basah oleh Asma Allah. Meski begitu, Pak Kyai tetap rendah hati. Beliau menyadari bahwa dirinya hanya sebagai wasilah, bukan sumber dari segala kemujaraban yang terjadi selama ini.

Terlepas dari niat dan kepercayaan individu yang kita sebut politisi, keberadaan Pak Kyai menjadi strategi tersendiri untuk meraih hati rakyat. Kasarnya, Pak Kyai hanya dijadikan alat untuk meraih kemenangan. Politisi, termasuk tamu utama ini, sebenarnya cenderung tidak peduli dan tidak percaya pada karamah. Yang terpenting adalah citra bahwa politisi tersebut dekat dengan Kyai, sehingga lebih mudah mendapatkan kepercayaan rakyat.

Terlebih lagi, Pak Kyai ini sangat antipati terhadap politik dan politisi. Menyambanginya sambil membawa awak media merupakan setengah kemenangan yang sudah ada di depan mata. Apalagi jika Pak Kyai sudah mendoakan politisi tersebut agar menjadi pemimpin bangsa ini.

***

“Sungguh!?” Mata orang itu terbelalak, perasaan gembira menyelimuti hatinya. Kedua tangannya terkepal, dan sejurus kemudian ia melayangkan uppercut ke ruang hampa. Kumis baplangnya mengambang di atas senyuman kemenangan.

“Benar, Tuan. Pak Kyai sudah mau menerima kita, dan saya menjamin Tuan akan didoakan!” jawab si ajudan.

“Ini berita yang menggembirakan. Lawan politik kita sungguh berat karena seorang petahana. Tidak mungkin kita bisa menang dengan merubah-rubah peraturan. Kita tidak mempunyai kekuasaan di sana. Benar katamu, Ajudan, kita harus memikat hati Kyai itu dan mencitrakan diri sebagai seorang yang agamis,” seru orang itu dengan antusias.

“Namun … Tuan akan disebut populis oleh rombongan pendukung lawan. Memakai agama sebagai alat politik bisa memiliki efek negatif terhadap elektabilitas,” sanggah si ajudan, dengan air muka yang menunjukkan keraguan.

“Ah, persetan! Itu lain cerita. Sini, dekatkan telingamu, biar kuberi tahu!” orang itu menyeru dengan geram. Sejurus kemudian, kepala si ajudan mendekat sambil menyondongkan telinganya. Orang itu menarik daun yang menempel di sana sampai berwarna merah. Si ajudan meringkuk.

“TOLOL! TADI OTAKMU ENCER, MENGAPA SEKARANG MEMBEKU!” hardiknya. Bulu kumisnya gemetar terkena dengusan. “Junaidi, kamu kan tahu kalau isu seperti itu hanya berlaku di kalangan terpelajar saja. Itu pun tidak sepenuhnya bersih. Lihatlah baik-baik persentase demografi di negeri ini! Orang-orang yang sekolah hanya segelintir dari keseluruhan rakyat kita, Junaiidiiiiiiii. Jangan mau ditakuti oleh gembar-gembor horor di media sosial dan berita semacam itu! Kebanyakan dari mereka masih bisa terbujuk rayu oleh penampilan sandiwara semasa kampanye. Ayo lah, siapkan saja serangan fajar, koordinasi ulang dengan para investor di belakang kita. Sekalian saja suruh mereka untuk menyiapkan pelicin Pak Kyai. Tahu sama tahu saja!” tambah orang itu dengan kesal.

“Baiklah, Tuan,” jawab si ajudan lirih. Dia merasa tidak enak hati karena si Tuan memanggil namanya, pertanda bahwa dia sedang marah besar.

*

Iring-iringan mobil sedan hitam berjalan perlahan ketika sampai di pintu gerbang pesantren. Di sana sudah ada ribuan santri menyambut kedatangan mereka. Rebana ditabuh. Alunan sholawat Thalaal Badru menggema. Kaca mobil belakang tempat orang itu berada dibuka lebar lebar. Dia duduk sendirian sedangkan ajudannya duduk di depan bersama supir. Dia melambaikan tangannya dengan riang. Tak lama mobil itu berhenti di parkiran.

Saat masih berada di dalam mobil, Si Ajudan membalikan badannya lalu berkata, “Tuan, sebagai pemikat hati dan agar tidak dianggap kampanye bansos, saya mewanti-wanti, agar uang satu koper dari para investor dijadikan sebagai infak atas nama Tuan kepada pesantren saja,”

“Ya, ya, aku sudah tahu, jangan mengajariku perihal remeh seperti itu!”

“Baik, Tuan.”

Orang itu memandang tajam spion tengah. Dia sibuk merapihkan posisi peci agar tidak miring. Si ajudan turun duluan lalu membukakan pintu untuknya. Mereka berjalan beriringan. Orang itu kembali memasang wajah ceria kepada para santri. Pak Kyai sudah menunggu mereka di depan pintu rumahnya. Lalu, beliau mempersilakan tamu-tamunya itu masuk.

Wangi-wangian yang berasal dari bukhur menyeruak mengisi seluruh ruangan. Ada suasana yang hangat dan menyejukan di ruangan yang penuh kaligrafi itu. Terlebih, sikap Pak Kyai yang bermurah senyum kepada mereka membuat susana semakin syahdu. Juru kamera yang dibawa oleh orang itu sibuk menangkap panorama yang hangat ini.

Mereka semua duduk di sofa setelah dipersilakan Pak Kyai. Namun, sampai saat ini, belum ada sepatah kata pun yang terucap. Di luar sana, para santri sudah kembali ke pondoknya masing-masing. Seketika keheningan membekukan suasana. Hanya ada suara bandul dari jam besar yang bersuara dengan lantang. Semua orang seperti terserap kesadarannya mendengar ketukan itu.

Rasa kantuk yang hebat membebani kelopak mata. Seperti kru pertunjukan teater yang hendak bergelayut menutup tirai di panggung. Sekuat mungkin mereka menjaga kesadaran agar tidak tertidur. Tiba-tiba saja, mereka terperanjat oleh suara Pak Kyai, “ekheemm …” lalu, Pak Kyai melanjutkan kata-katanya untuk mencairkan suasana, “Tuan-tuan, silakan dicicipi hidangannya, jangan sungkan-sungkan!”

Mereka langsung menuruti perintah itu, dengan rasa malu dan canggung, mereka membuka toples berisi kacang almond dan memakannya dengan lahap. Ada juga yang membuka kaleng kue kering. Sedangkan tamu utama hanya menyesap sedikit kopi di depannya. Kemudian, si tamu utama itu pun menyampaikan maksud dan tujuannya.

Pak Kyai memperhatikan pembicaraan itu dengan raut wajah yang sangat teduh. Setiap kata yang terucap dari mulut si tamu tidak pernah diremehkannya. Meskipun, setiap kata-kata dari orang itu mengandung bualan yang berbau politik. Pak Kyai tetap mendengarkan dengan penuh perhatian, seolah-olah setiap pernyataan si tamu adalah bagian dari suatu perenungan mendalam.

"Tuan-tuan sekalian," ujar tamu utama dengan nada serius, "kami hadir di sini bukan hanya untuk meminta dukungan moral dari Pak Kyai, tetapi juga untuk menunjukkan komitmen kami terhadap kesejahteraan umat. Kami berjanji, jika terpilih, kami akan melaksanakan program-program yang bermanfaat bagi masyarakat, termasuk di pesantren ini."

Pak Kyai tersenyum lembut dan mengangguk. "Kami di sini," jawabnya, "selalu berdoa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Namun, ingatlah bahwa niat yang tulus dan tindakan yang konsisten adalah kunci dari segala keberhasilan."

“Akan saya ingat baik-baik amanat Pak Kyai,” kata si Tamu utama. Dia melihat ke sekeliling, lalu mengangguk kepada ajudannya itu. Si Ajudan paham dengan kode dari Tuannya itu, dia langsung menyuruh anak buahnya untuk membawakan santunan dan meminta izin untuk pamit setelah uang itu diserahkan. Pak Kyai Basyir pun mengizinkan rombongan tamunya itu untuk pamit.

*

Seluruh siaran berita di televisi dipenuhi dengan kabar heboh tentang salah satu calon kepala daerah yang berhasil meraih dukungan dari Kyai Basyir. Hal ini membuat elektabilitasnya melonjak drastis, menjadikannya calon yang paling “di-elu-elukan” oleh warga. Seperti yang telah diperkirakannya, dengan mendekati Kyai Basyir, dia sudah mengamankan setengah dari kemenangan

Sekarang dia hanya tinggal menunggu dengan menjaga sikap. Terus menutup wajahnya dengan kedok di depan kamera. Si Ajudan mendapatkan komisi besar atas prestasinya itu. Tanggal pemilihan sudah semakin dekat. Amplop-amplop pengalih suara mulai dia siapkan. “Pokonya, aku harus menang di pemilihan ini!” tekadnya.

Hari demi hari bergulir begitu saja, dan tibalah hari pemilihan itu. Menurut perhitungan suara, orang itu—yang mendapat dukungan dari Kyai Basyir—memimpin dengan perolehan 45 persen. Seluruh kotak suara belum dibuka, namun, dia sudah merasa di atas angin. Tak ada yang harus ditakutkan, meski lawan politiknya adalah barisan petahana.

Benar saja, sampai penghitungan selesai, dia menjadi pemenang di pemilihan ini, dengan memperoleh 65 persen suara. Dia sangat girang. Uang semakin dihambur-hamburkan. Pesta tiga hari tiga malam dia adakan. Hanya untuk sekedar merayakan kemenangan.

“Hahahaha … Kekuasaan … Jabatan … Kekayaan … Semuanya sekarang ada di genggamanku!”

*

Kini, dia telah lama menjabat—empat tahun lima bulan. Musim pemilihan semakin dekat, dan dia berencana untuk mencalonkan diri kembali, ingin menjabat untuk periode kedua. Ajudannya memberikan saran, "Tuan, bagaimana kalau kita kembali mendatangi orang alim? Kali ini, harus yang lebih tinggi tingkatannya dari Kyai Basyir. Bagaimana kalau kita menemui ulama-ulama di Timur Tengah? Bukankah kita sudah menguasai seluruh media? Citra diri kita sudah terbangun dengan baik. Dengan sentuhan akhir ini, kita bisa memastikan kemenangan untuk kedua kalinya tanpa kesulitan sedikit pun!"

“Atur saja jadwalnya!” perintahnya, tanda setuju dengan usul ajudannya itu. Dia terkekeh membayangkan kemenangan dan perpanjangan kekuasaan.

Beberapa hari kemudian, jet pribadi melesat ke Timur Tengah, membawa si pejabat, ajudan, beberapa anak buah, awak media, dan seorang penerjemah. Perjalanan itu terasa singkat. Di bandara, sebuah limusin sudah menunggu. Mobil itu segera membawa mereka menuju seorang sufi yang sangat terkenal di wilayah tersebut.

Cuaca terik tanpa awan. Sepanjang jalan, hanya gurun pasir dan gunung berbatu yang terlihat. Debu beterbangan di udara. Pohon-pohon kurma berjajar di pinggir jalan. Si pejabat memandang sekeliling, memperhatikan pemandangan tandus. Di kejauhan, terlihat sebuah pemukiman, dan mobil itu bergerak menuju ke sana.

Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah bangunan sederhana yang terbuat dari tanah liat. Ajudan turun lebih dulu dan membukakan pintu. Si pejabat keluar, dahinya mengerut. Dari pintu kayu bangunan tersebut, seorang pria muncul untuk menyambut mereka dan mempersilakan masuk. Pria itu berperawakan tinggi dan kurus, mengenakan jubah putih yang longgar. Giginya tampak putih bersih, tersembunyi di balik jambang yang menutupi sebagian wajahnya.

Isi ruangan itu terasa tidak asing. Seperti ruangan Kyai Basyir. Lengkap dengan jam besar yang ada di sudut ruangan. Saat mereka duduk, keheningan yang pernah mereka rasakan di rumah Kyai Basyir kembali terasa. Jam besar di sudut ruangan berdetak dengan irama yang sama, seakan-akan waktu sedang diputar ulang. Sang sufi, dengan tenang, memandang para tamu yang terlihat canggung. Si pejabat, yang biasanya penuh percaya diri, kini merasakan tekanan yang tak biasa.

"Apa yang bisa kami bantu, Tuan?" tanya sang sufi dengan suara lembut namun penuh wibawa.

Si pejabat, setelah mengumpulkan keberanian, mulai berbicara dengan nada yang hati-hati. "Saya datang dari negeri yang jauh, membawa harapan agar Tuan mendoakan kami, agar negeri kami makmur, dan agar saya bisa terus melayani rakyat dengan sebaik-baiknya."

Sang sufi tidak langsung menjawab. Ia menutup matanya sejenak, seolah-olah sedang mendengarkan sesuatu yang hanya bisa didengarnya. Kemudian ia membuka matanya kembali, menatap si pejabat dengan sorot yang dalam.

"Ketahuilah, Tuan," ujarnya perlahan, "kekuasaan itu bukanlah hak, melainkan amanah yang berat. Siapa yang meminta kekuasaan, akan diberi beban yang tak terhingga. Jika engkau memintanya hanya untuk kepentingan diri sendiri, maka engkau akan binasa oleh beban itu."

Kata-kata itu menusuk hati si pejabat, tetapi ia berusaha menutupi kegelisahannya. "Saya hanya ingin yang terbaik untuk rakyat saya," jawabnya, mencoba terdengar tulus.

Sang sufi tersenyum tipis, seakan melihat melalui topeng yang dikenakan si pejabat. "Rakyatmu adalah cerminan dirimu. Jika engkau memimpin dengan kejujuran, mereka akan menjadi rakyat yang jujur. Jika engkau memimpin dengan kepalsuan, maka rakyatmu akan tersesat dalam kepalsuan itu."

Si pejabat menelan ludah, merasa seperti sedang diadili. Suasana ruangan semakin mencekam, seakan setiap kata yang keluar dari mulut sang sufi menambah beban di pundaknya. Sang ajudan, yang biasa merasa nyaman di samping Tuannya, kini juga merasa takut.

"Apakah Tuan bersedia mendoakan saya?" akhirnya si pejabat bertanya, suaranya gemetar.

Sang sufi menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku akan berdoa, tetapi bukan untukmu, melainkan untuk rakyatmu. Semoga mereka selalu dilindungi dari pemimpin yang lalai akan tanggung jawabnya."

Si pejabat merasa darahnya berhenti mengalir. Kata-kata itu seperti pisau yang mengoyak jiwanya. Ia tahu, di hadapan sang sufi, topengnya telah terbuka, dan tidak ada tempat untuk bersembunyi. Sekonyong-konyong penglihatan mereka menjadi kelabu. Dimensi ruang telah pecah. Menjadi serpihan-serpihan kaca. Tabir telah terbuka dan mereka kembali mendengar suara bandul dari jam besar di kediaman Kyai Basyir. Waktu tidak pernah beranjak. Mereka pun masih di sini dan belum mengucapkan sepatah kata pun. Dan ketegangan semakin pecah ketika si empu rumah berkata sambil tersenyum, “bagaimana rasanya menjadi penguasa yang dzalim, Tuan-tuan sekalian?”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Pietist
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Beban di Pundak Pak Darmawan
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Serigala yang Terpisah dari Kawanan
awod
Cerpen
Bronze
Ibu Jangan Tinggalkan Adek
Yona Elia Pratiwi
Cerpen
Zaman Membara
Cléa Rivenhart
Cerpen
Bronze
Delusi
Nisa Dewi Kartika
Cerpen
99.99% Headshot
Veron Fang
Cerpen
Bronze
Musthofa
Sri Wintala Achmad
Cerpen
Bronze
Cegukan
Andriyana
Cerpen
Mamamia
Lany Inawati
Cerpen
Bronze
Kisah Untuk Eko
MHD Yasir ramadhan
Cerpen
Bronze
Tidak Ada Tutug Oncom di Neraka
Imas Hanifah N.
Cerpen
Bolehkah Aku Hidup Di Belakang Gigimu?
Sabrina Sabila Dwi Hikmah
Cerpen
Bronze
Conversation with Me
hyu
Cerpen
Seorang Asing
Billy Yapananda Samudra
Rekomendasi
Cerpen
Pietist
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Semestaku yang Porak-poranda Karenamu
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Tempat Kerja Papa
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Kujang
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Botol Surat
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Simulasi Mati
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Makhluk Tanah
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Cerita Calon Koruptor
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Kematian Arifin Shuji
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Cinta Buta
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Balada Cinta Gila
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pemangsa Paling Kejam
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Pada Hari Minggu yang Cerah
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Tugas Akhir
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Sabda Pasar
Galang Gelar Taqwa