Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Petualangan Gagal Total Si Raden Jatuh dari Abad ke-19
0
Suka
21
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Namaku Raden Mas Jatmiko Wicaksono, seorang bangsawan muda dari Jawa Tengah di tahun 1890-an. Orang bilang hidupku enak karena aku anak priayi, tapi sebenarnya membosankan. Bayangkan, setiap hari harus mendengar guru Belanda bercerita tentang betapa “maju”-nya negeri mereka, padahal mereka bahkan belum tahu nikmatnya mandi dua kali sehari. Aku hanya bisa mengangguk sopan sambil berpikir, “Kalau mereka maju, kenapa wajahnya selalu merah seperti kepiting rebus?"

Suatu sore, sahabatku Sastro datang dengan wajah berseri-seri seperti menemukan harta karun. Ia bilang ada seorang ilmuwan Belanda bernama Van der Plank yang membuat “mesin ajaib” di rumahnya. Katanya, benda itu bisa mengirim seseorang ke masa depan. Aku tertawa mendengar omongannya. “Masa depan? Wong kita aja belum punya listrik yang layak!” Tapi karena rasa ingin tahuku besar—dan karena tidak ada tontonan menarik selain ayam adu—aku ikut saja.

Di rumah Van der Plank, kami disambut oleh pria Belanda berkumis tebal dan aroma tubuh yang bisa membuat kucing pingsan. Di tengah ruangannya berdiri sebuah cermin bundar berputar dengan cahaya biru yang berkilat-kilat. Katanya, itu mesin waktu ciptaannya. Aku terpaku. “Boleh saya coba, Tuan?” tanyaku. Sastro mencubit lenganku keras-keras sambil berbisik, “Kowe edan, Mik! Nanti awakmu ilang!” Tapi rasa penasaran mengalahkan akal sehat. Aku melangkah mendekat, menyentuh permukaan cermin itu, dan… PRAAAK!

Semuanya gelap. Lalu aku mendengar suara aneh: klakson, deru mesin, dan teriakan orang. Saat mataku terbuka, aku berdiri di tengah jalan besar yang penuh dengan benda bergerak cepat tanpa kuda. Orang-orang berpakaian aneh, sebagian berbicara sendiri sambil menatap benda kecil di tangan mereka. Aku berpikir mungkin aku tersesat di negeri jin. Seorang sopir mobil berteriak, “Mas, mau mati ya?! Minggir dong!” Aku meloncat ke trotoar dan melihat papan besar bertuliskan: Museum Nasional Indonesia – Jakarta.

Aku hampir jatuh saking kagetnya. Jakarta? Bukankah dulu namanya Batavia? Aku berjalan masuk ke museum, berharap menemukan jawaban. Tapi yang kulihat malah membuat darahku berhenti mengalir sejenak. Di dinding pameran terpampang fotoku dengan tulisan: “Raden Mas Jatmiko Wicaksono (1869–hilang misterius tahun 1892).” Aku mendekat, menunjuk wajah di foto itu, dan berteriak, “Aku tidak hilang! Aku di sini!” Penjaga museum menatapku dengan wajah bingung. “Mas cosplay, ya? Kostumnya keren banget! Mau ikut lomba drama sejarah?” katanya santai.

Aku belum sempat menjelaskan apa-apa, tiba-tiba dia menyerahkan formulir dan menyeretku ke aula besar. Rupanya sedang ada lomba drama komedi sejarah nasional. Aku entah bagaimana malah terdaftar sebagai peserta. Mereka mengira aku aktor yang memakai kostum bangsawan kuno. Aku cuma bisa pasrah. Di aula itu, orang-orang sibuk berlatih dialog. Ada yang berpakaian prajurit, ada yang jadi tokoh pahlawan, dan ada yang rambutnya dicat hijau seperti daun sirih.

Seorang perempuan muda berambut pendek menghampiriku. “Halo, Mas! Kostummu keren banget, asli banget, kayak dari abad ke-19!” katanya kagum. Aku ingin bilang “ya karena memang dari abad itu,” tapi aku urungkan. Dia memperkenalkan diri sebagai Nisa, sutradara drama itu. Katanya, tema lomba kali ini adalah ‘bangsawan Jawa yang terjebak di zaman modern’. Aku tercekat. “Bangsawan Jawa? Zaman modern? Itu… aku sekarang!” Tapi Nisa malah tertawa. “Wah, Mas udah mendalami perannya banget nih.”

Kami mulai latihan. Aku disuruh memerankan bangsawan gagap teknologi. Ketika mereka menyuruhku berpura-pura bingung melihat mikrofon, aku benar-benar bingung. “Ini pipa apa yang bisa bunyi? Ada petirnya di dalam?” teriakku spontan. Semua pemain tertawa sampai berguling-guling. “Lucu banget Mas-nya!” kata mereka. Padahal aku serius. Aku sadar mereka mengira semua reaksiku adalah akting yang luar biasa.

Setelah latihan, Nisa mengajakku ngopi di sebuah tempat yang katanya “kafe hits”. Aku duduk, menatap gelas kaca yang penuh cairan hitam wangi. “Ini kopi?” tanyaku. “Iya, Mas. Versi modern. Namanya latte.” Aku menyeruput sedikit. Rasanya seperti kopi dicampur sabun, tapi aku pura-pura menikmati. Nisa tertawa melihat ekspresiku. “Mas, tadi aktingnya natural banget. Kayak bukan akting.” Aku menjawab pelan, “Memang bukan.” Ia menatapku heran. “Heh? Kamu serius banget, ya.”

Aku memandangi lampu kota yang berkelip. “Zaman sekarang... Belanda masih menjajah?” tanyaku hati-hati. Nisa hampir tersedak kopinya. “Mas, kita udah merdeka sejak 1945!” Aku terdiam. Jadi Indonesia sudah merdeka. Aku tertawa kecil. “Akhirnya juga bebas. Luar biasa.” Nisa tersenyum bingung. “Mas, kalau kamu beneran dari masa lalu, aku bakal percaya deh. Kamu ngomongnya kayak sejarawan hidup.” Aku hanya menatapnya lama, merasa hangat di dada.

Hari lomba tiba. Aku memakai pakaian kebesaranku yang, kebetulan, memang asli. Penonton memenuhi aula besar. Saat tirai dibuka, aku melangkah ke tengah panggung. Lampu sorot menyilaukan mataku. Aku mulai bicara spontan, tanpa naskah, karena aku benar-benar tidak tahu teksnya. “Namaku Raden Mas Jatmiko Wicaksono. Aku bukan aktor. Aku datang dari masa lalu,” kataku lantang. Penonton tertawa kecil, mengira ini bagian dari skenario. “Dulu kami dijajah, disuruh tunduk, disuruh diam. Tapi lihatlah kalian sekarang. Bebas bicara, bebas tertawa, bahkan bebas bercanda tentang sejarah. Itu luar biasa.”

Semua mulai hening. Aku melanjutkan, “Dulu kami berjuang dengan bambu runcing. Sekarang kalian berjuang dengan pikiran, dengan kemalasan yang harus dikalahkan. Tapi kadang penjajahan bentuk baru masih ada—dari waktu, dari diri sendiri.” Penonton terpana. Lalu panitia di belakang panggung berteriak, “Bagian lucunya mana, Mas?” Aku reflek menjawab, “Lucunya, sampai sekarang aku masih belum tahu cara pakai Wi-Fi!” Dan sontak seluruh aula meledak tertawa.

Setelah pertunjukan, kami menang juara satu. Nisa menepuk bahuku sambil tertawa. “Mas, kamu aktor terbaik! Penonton ketawa sekaligus nangis.” Aku hanya tersenyum. “Mungkin karena aku tidak berakting.” Malam itu aku duduk di taman dekat museum, menatap bintang yang sama seperti yang kulihat di masa lalu. Di tanganku ada brosur lomba, dan di belakangnya tertulis: Pameran Teknologi Van der Plank – Mesin Waktu dan Ilmu Pengetahuan Kolonial.

Aku tercekat membaca nama itu. Van der Plank! Orang yang mengirimku ke sini! Aku segera berlari ke arah pameran. Di dalam gedung besar itu, di tengah ruangan, berdiri mesin yang sama persis seperti dulu. Seorang penjaga berkata, “Mesin ini ditemukan di reruntuhan rumah tua di Jawa Tengah, peninggalan ilmuwan Belanda abad ke-19.” Aku menyentuh permukaannya perlahan. Sinar biru berputar lembut, seolah mengenaliku.

“Mas, kamu ngapain?” suara Nisa memecah keheningan. Aku menoleh dan melihatnya berdiri di ambang pintu, napasnya terengah. Aku tersenyum. “Aku harus pulang, Nisa.” Ia mengernyit. “Pulang ke mana? Rumahmu di mana, sih?” Aku menatap matanya dalam-dalam. “Ke tempat di mana sejarah belum selesai ditulis.” Nisa ingin menahanku, tapi aku sudah melangkah ke dalam cahaya.

Tiba-tiba semuanya berputar lagi, cepat, hingga mataku tak bisa melihat apa-apa. Saat kubuka mata, aku kembali di rumah Van der Plank. Sastro menatapku bingung. “Mik! Awakmu tadi ilang satu detik! Kowe ngelakoni opo?” Aku tersenyum lebar. “Ceritanya panjang, Sastro. Tapi singkatnya… masa depan kita luar biasa.”

Sastro menggaruk kepala. “Kowe ngomong opo, to? Aku ora mudheng.” Aku menepuk bahunya. “Tenang, nanti kau mengerti. Yang penting, bangsa kita akan merdeka. Dan orang-orang masa depan… mereka bisa menertawakan sejarah tanpa melupakannya.”

Sastro menatapku heran. “Kowe yakin?” Aku hanya tertawa. “Sangat yakin. Sekarang ayo ngopi, aku punya resep baru dari masa depan. Namanya… latte.”

Dan sejak hari itu, aku tahu satu hal penting: kadang sejarah tidak harus selalu diceritakan dengan tangisan dan darah. Kadang, tawa adalah cara terbaik untuk mengingat perjuangan, agar kita tak lupa betapa beratnya jalan menuju kebebasan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Petualangan Gagal Total Si Raden Jatuh dari Abad ke-19
alvent theovano
Komik
DY! Mr. Sleepyhead
Cindy Saraswati
Komik
Bukan Komikus
Novellette
Komik
Bronze
KEMBAR SIAL
Agam Nasrulloh
Komik
Keuntungan Banjir di APOLO77, Jackpot Gampang Didapat di Tahun 2025
apolo77
Cerpen
Naskah Orang Mabuk
Kusuma Bagus Suseno
Cerpen
Celana Dalam yang Hilang
Nadya Wijanarko
Komik
Bronze
AFTER MARRIAGE
Agam Nasrulloh
Cerpen
Bronze
Indekos
Nisa Dewi Kartika
Komik
Alice and friends
Kyota Hamzah
Cerpen
Bronze
Dravoryans: Kota Goblin, Monumen Es, dan Ranjau yang Dilupakan
Darian Reve
Cerpen
Hari-hari Sial buat Linda
Kiara Hanifa Anindya
Komik
Idol Patah Hati
baerea
Flash
Obrolan Mengancam
Saifan Rahmatullah
Flash
Bronze
BONIE!!!
Deeta Pratiwi
Rekomendasi
Cerpen
Petualangan Gagal Total Si Raden Jatuh dari Abad ke-19
alvent theovano