Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Petang Desember di Simpang Panam
2
Suka
4,929
Dibaca

Ini hari ke dua puluh tiga bulan Desember, Januari sebentar lagi datang, dan aku sepertinya akan menunggumu lagi tahun depan. Selalu begitu.

Desember. Akhir tahun yang pucat, seperti tahun-tahun kemaren hujan turun tak tentu waktu: Pagi, siang, sore, atau petang hari. Hari ini pun demikian, hujan selalu tumpah saat aku kembali menunggumu di Simpang Panam, tempat kamu pamitan dulu. Hujan yang membuat murung pedagang es tebak yang hampir ketiduran menunggu pembeli yang nyaris mustahil. Hujan yang mengakibatkan banjir akan kembali menyerbu kota kita.

Aku selalu ingat kalimat perpisahan yang kamu ucapkan di simpang ini, “tunggu aku di sini pada akhir tahun,” itulah saat terakhir kali kita bertemu. Maka, jika Desember tinggal sisa-sisa, aku akan bergegas kembali ke kota ini. Menanti janji. 

Aku menatap langit yang sendu, serupa hatiku yang kelabu. Desember sebentar lagi usai dan aku kembali mendapati hari yang itu-itu juga: kehampaan. Padahal kau tahu, sejak namamu mampir di kepalaku, aku bahkan tak mampu lagi mengeja nama lelaki lain.

“Kau melakukan pekerjaan sia-sia,” protes Andini, ia teman sekantorku yang selalu menyambut dengan pelukan hangat setiap aku kembali dari kota ini dan menemui kehampaan. Setelah lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan di sebuah kantor yang bergerak di bidang Farmasi, aku pindah ke kota lain. Andini jadi teman yang baik sekaligus kakak buatku, aku hampir menuruti semua masukan darinya seperti aku patuh kepada Ibu, kecuali anjurannya untuk tidak lagi menunggumu.

“Barangkali dia sudah menikah, punya anak dan melupakanmu,” tambah Andini. “Berhentilah kembali ke kota itu kalau hanya untuk mengulangi ritual yang sama.”

Tapi aku memang keras kepala, aku tetap memaksa mengunjungi kota ini dan bersegera menuju Simpang Panam. Tak peduli saat itu sedang hujan. Aku suka hujan. Saat kecil dulu, aku selalu menantikan momen mandi hujan bersama kawan-kawan di halaman rumah, kami bermain kapal-kapal yang dibuat dari kertas, saat kapal-kapal itu tenggelam dan basah, kami akan menggantinya lagi dengan yang baru. Saat dulu aku sakit karena kelamaan mandi hujan, tak terbesit sedikitpun marah sama hujan, tidak dendam, dan tetap mencari-cari kesempatan jika hujan kembali datang. Bagiku hujan teman bermain yang mengasyikkan, lalu buat apa pula aku harus kalah oleh hujan karena menunggumu?

Di simpang ini dari tahun ke tahun tak banyak yang berubah, masih sama saat kita dulu kuliah. Sebuah kedai nasi orang Minang tetap eksis berdiri si sisi kanan simpang, puluhan orang keluar masuk untuk memenuhi isi perut, pemiliknya seorang bapak tua berkopiah yang selalu ramah dalam memberikan pelayanan. Bengkel yang berada persis disampingnya juga masih senantiasa buka hingga larut malam, kau ingat? kita dulu pernah menambal ban di situ, saat sepeda motormu bocor setelah kita menonton konser band Peterpan pada salah satu akhir pekan.

Namun, yang paling menarik perhatian dari simpang ini tentu saja sebuah gereja. Letaknya yang strategis membuat gereja ini seakan jadi ikon di jalan ini. Halamannya cukup luas, dipenuhi bunga-bunga yang senantiasa dihinggapi sebangsa capung, sedangkan di sudut halaman berderet-deret pepohonan palem yang menambah kerindangan di sekitar itu. Sebentar lagi Natal akan tiba dan gereja ini semakin bersolek indah.

Jika ada yang berubah dari simpang ini, maka itu adalah kemacetannya. Kau pasti ingat keadaan di Simpang Panam dulunya, kendaraan berjalan teratur dan lancar meski tak ada lampu lalu lintas di simpang ini. Pernah suatu kali pemerintah merancangnya, bukannya mengurai kemacetan, malah tambah ruwet. 

Simpang Panam jadinya berisik. Pembangunan gedung pencakar langit satu per satu mulai tumbuh. Ruko-ruko yang entah untuk urusan apa dikebut pengerjaanya.

Begitu cepatkah waktu? Waktu mampu menyihir kondisi tempat ini, tapi tidak dengan ingatanku. Tujuh tahun lalu kita bertemu, rasanya baru sebentar saja, namun seringkali waktu memang menipu.

Perjumpaan yang tak di sengaja pada suatu pagi yang cerah, di dalam busway yang mengantarku ke tempat kuliah. Mata kita berserobok secara kebetulan, tapi hanya sebatas itu saja, tak ada senyuman atau sapaan kata.

Entah apakah itu rencana Tuhan, pagi berikutnya kita kembali bertemu di tempat yang sama. Aku sudah mendapatimu duduk di kursi bagian belakang, belum banyak penumpang ketika itu dan aku memilih duduk di bagian depan, dan sama seperti kemarin tidak ada interaksi apa-apa di antara kita.

Waktu melaju, tanpa kerap kita sadari, hampir setiap hari kita berada pada bus yang sama, tapi kita menjalani hari seperti itu-itu juga. Kita masih tak saling mengenal nama masing-masing, tak juga tujuan hendak ke mana.

Hingga tibalah pada suatu hari kita terpaksa harus duduk berdekatan, bukan karena aku menyengaja, tapi karena itulah satu-satunya bangku yang kosong. aku duduk, memperhatikan aktivitas para penumpang lain lalu mencoba sedikit berbasa-basi dengan tersenyum kepadamu, tak ada sahutan atau balasan, hanya ada sepasang mata yang menghujam, sambutan yang begitu dingin.

Busway terus bergerak, membawa orang ke berbagai tempat, penumpang silih berganti naik-turun. Aku memilih mengambil buku dari dalam tas, melanjutkan membaca buku puisi Saiban yang baru sampai halaman 14.

“Suka baca puisi?” sebuah suara mengagetkanku.

Aku menoleh sejenak, sedikit kaget karena orang yang bertanya adalah orang yang begitu dingin menyambutku saat duduk di dekatnya, ya, kamu.

“Hanya sedikit,” aku menjawab singkat.

“Sudah baca berapa buku puisi?”

“Tidak terlalu banyak, aku lebih suka membaca novel biasanya.”

“Berarti kamu suka membaca sastra?”

“Begitulah,” aku menjawab pendek.

Berawal dari itu, berbagai obrolan di antara kita muncul begitu saja, kamu bercerita banyak hal tanpa aku minta. Sikap yang begitu kontras saat pertama kali aku duduk di sebelahmu. Dari ceritamu aku tahu, kamu adalah seorang mahasiswa di salah satu kampus swasta, beda kampus denganku. Kamu juga mengaku suka sastra, lebih-lebih puisi, kamu bisa dengan mudah melafalkan nama-nama penyair terkenal semisal Sapardi Djoko Damono, Goenawan Moehammad, Sutardji Calzoum Bachri, hingga Joko Pinurbo.

Hari-hari selanjutnya kita semakin sering bersama, kamu sering mengajakku ke berbagai tempat, kadang ke perpustakaan wilayah, berkunjung ke toko buku untuk sekedar beli satu-dua buku baru, atau sesekali menghadiri pembacaan puisi di Taman Budaya.

Mungkin karena kita punya kesukaan yang sama dan aku merasa cocok denganmu. Aku kerap setuju saja dengan ajakanmu. Namun ada hobimu yang tidak pernah aku sukai, yakni menonton sepakbola. Pernah suatu kali kamu mengajakku menonton pertandingan sepakbola di Stadion Rumbai. Aku ikut saja, meskipun selama ini aku tak pernah menyukai sepakbola, bahkan aku sering ribut dengan saudara lelakiku saat ada siaran langsung pertandingan di televisi. Sepakbola adalah kata yang tidak pernah masuk dalam kamus kehidupanku, bagiku itu olahraga aneh. Bagaimana mungkin 22 orang di tengah lapangan memperebutkan satu bola dan saling berusaha menendang ke gawang lawan, tak jarang terjadi adu jotos antar pemain atau penonton, yang paling sadis, ada yang meninggal hanya karena menonton pertandingan sepakbola. Benar-benar aneh.

Denganmu aku seperti menemukan sebuah dunia baru yang membuatku senantiasa bergairah, seperti apapun aku tak suka pada sepakbola, aku tak pernah bisa menolak ajakanmu. Seolah-olah ada perasaan yang menggerakkan untuk itu, sebuah perasaan yang terus tumbuh seiring berjalannya waktu, sebuah perasaan yang tak pernah bisa aku beri nama.

Semenjak kejadian menonton di stadion itu, kamu semakin sering mengajakku ke lapangan sepakbola. Mulai dari pertandingan antar kampus sampai klub kebanggaan di kota ini. Namun, lapangan yang paling sering kita kunjungi adalah lapangan yang berada di sudut kota. Lapangan itu biasa saja, beberapa tempat masih terdapat bagian yang tidak rata, di sekelilingnya banyak pohon-pohon besar menjulang tinggi yang senantiasa memberikan kesejukan. Disitulah kita kita sering duduk, memperhatikan segerombolan para bocah berlatih sepakbola di sebuah SSB, di situ kamu sering berkisah. Bahwa di lapangan itulah, kakimu nyaris patah, yang membuatmu tak lagi bisa lagi bermain bola hingga sekarang.

“Saat aku sedih, aku sering ke lapangan ini.” Ceritamu suatu hari.

‘Untuk apa?”

“Untuk mengenang luka-luka selama bertahun-tahun.”

“Bukankah itu hanya akan membuat luka-luka lama kembali menganga?”

“Justru dengan berkunjung ke sini aku bisa sedikit mengubur kesedihan, dan saat berada di sinilah aku leluasa menulis puisi.”

Setahun setelah perkenalan kita, kamu akhirnya wisuda. Sementara aku masih memulai untuk menyelesaikan proposal penelitian, karena kita memang beda angkatan. Lalu terjadilah perpisahan itu, kamu memutuskan untuk pulang ke tempat yang jauh, dan di simpang inilah terakhir kali kita bertemu, kau berjanji akan kembali pada akhir tahun, Desember yang biasanya selalu dihiasi gerimis. Lalu di tahun ini akankah kamu kembali?

***

Senja usai, malam dengan bayangan hitam perlahan-lahan mulai mendominasi. Lampu-lampu jalan kota mulai di hidupkan. Semuanya perlahan berubah. Tapi aku masih masih di sini, menunggumu janjimu bersama gerimis yang tetap betah jatuh satu-satu.

Kalau sudah begini, kadang aku ingat kata Andini. Barangkali dia ada benarnya. Mungkin saat ini kamu sudah tak mengingatku lagi. Kamu sudah punya penghidupan lain. Tinggal pada sebuah rumah hangat yang di dalamnya mengalirkan banyak cinta. Di rumah itu kamu sudah menjadi suami dari seorang wanita serta ayah dari anak-anak yang lucu, dan sosokku terhapus begitu saja dari ingatanmu.

Ini sudah tahun kelima, entah sampai tahun ke berapa aku sanggup menunggu.

***

Catatan: Simpang Panam adalah sebuah tempat di Pekanbaru. Bagian yang menyebutkan di situ ada gereja hanyalah fiktif. Digunakan untuk penguat cerita.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Bronze
Mei
Sitikamilapdmanagara
Cerpen
Petang Desember di Simpang Panam
Romi Afriadi
Novel
RESTU
Han
Novel
Cinta dalam Cerita
Sayidina Ali
Skrip Film
Peppermint Chocolate
Egi Arganisa
Novel
Bronze
FRIENDZONE
Nopi ayu nika S.
Novel
Gold
Strawberry Cheesecake
Bentang Pustaka
Novel
Athaara
Shafiyah
Novel
Bronze
Hello, mr. Arthur
mayasyafii
Skrip Film
JATUH CINTA ANTARA BANDUNG DAN JOGJA
Mario Matutu
Novel
Gold
Keki
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
GA
Riyana
Novel
Gold
Little Women
Mizan Publishing
Novel
Gold
The Kite Runner
Mizan Publishing
Novel
Basket Case
Alina Fresila
Rekomendasi
Cerpen
Petang Desember di Simpang Panam
Romi Afriadi