Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Alisha terbangun dengan perasaan aneh. Ruangan kelas sudah gelap, hanya temaram cahaya jingga dari jendela yang mulai tertutup bayang malam. Hatinya mencelos ketika menyadari bahwa teman-temannya telah meninggalkannya. Lagi.
Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan tangis. Ini bukan pertama kalinya mereka memperlakukannya seperti ini. Mereka tahu dia tertidur, tapi tak seorang pun membangunkannya. Hanya teman sebangkunya yang biasanya peduli, tetapi kebetulan hari ini tidak masuk sekolah.
Alisha menghela napas panjang. Untunglah pintu kelas tidak dikunci. Dengan langkah hati-hati, ia keluar dari kelas, mendapati lorong sekolah yang sunyi. Hanya suara gemercik hujan yang mengisi kesepian itu. Hujannya tidak terlalu deras, tetapi cukup membuat jalanan basah. Ia melangkah menuju tangga, hendak mencari jalan keluar. Namun, sebelum ia sempat turun, matanya menangkap sesuatu di lorong sebelah kanan.
Sebuah jas hujan.
Tergantung di depan pintu laboratorium, basah kuyup seperti baru saja digunakan. Warnanya merah gelap, mencolok di antara bayangan temaram yang menyelimuti sekolah. Alisha mengerutkan keningnya. Tidak ada siapa pun di sekitar, dan seharusnya, jika seseorang berjalan ke sana dengan keadaan hujan, pasti ada bekas jejak kaki basah di lantai keramik. Namun, lantai itu bersih. Tidak ada satu pun jejak langkah.
"Apa ada seseorang di dalam lab?" gumamnya pelan.
Rasa ingin tahu mengalahkan ketakutannya. Dengan ragu, ia melangkah mendekat. Setiap langkah membuat bulu kuduknya semakin meremang. Jas hujan itu meneteskan air, membentuk genangan kecil di bawahnya. Entah kenapa, rasanya seperti… hidup.
Tangannya terangkat, hampir menyentuh permukaan jas hujan itu, ketika tiba-tiba—
Tok, tok, tok…
Suara ketukan. Dari dalam laboratorium.
Alisha terlonjak mundur. Jantungnya berdegup kencang. Matanya terpaku pada pintu laboratorium yang tertutup rapat. Ragu-ragu, ia meraih knop pintu dan mencoba membukanya. Terkunci.
Rasa dingin menjalari punggungnya. Ia menoleh kembali ke arah jas hujan merah itu.
Kosong.
Jas hujan itu sudah tidak ada di tempatnya.
Alisha membelalakkan mata. Detak jantungnya berpacu dengan kecemasan yang semakin menyesakkan dada. Apakah seseorang mengambilnya saat ia lengah? Tapi, bagaimana mungkin? Tidak ada suara langkah, tidak ada jejak air baru.
Tiba-tiba, suasana di sekelilingnya berubah. Lorong terasa lebih panjang, dan cahaya lampu semakin meredup. Angin dingin berembus, membawa bisikan samar yang seolah berasal dari dalam bayangan di sudut ruangan.
Lari!
Sebuah suara, entah dari mana asalnya, menggema dalam kepalanya. Tanpa pikir panjang, Alisha berbalik dan mulai berlari menuju gerbang sekolah. Tapi…
Langkahnya berat.
Ia merasa seakan berlari di dalam air, tubuhnya seolah ditarik ke belakang oleh sesuatu yang tak terlihat. Dari sudut matanya, ia melihat bayangan hitam melintas di dalam kelas-kelas kosong. Sosok-sosok samar berdiri di balik jendela, memperhatikannya dalam diam.
Air matanya mulai mengalir. Ini bukan ilusi. Sesuatu benar-benar sedang mengawasinya.
Sampai akhirnya ia tiba di gerbang sekolah, yang sudah digembok. Napasnya tersengal. Ia mencoba memanjat pagar, namun besinya yang basah membuat tangannya tergelincir. Rasa perih menjalar saat lengannya tergores besi berkarat. Dengan sisa tenaga, ia mencoba lagi.
Hujan semakin deras. Jalanan di luar sepi. Tidak ada siapa pun yang bisa menolongnya.
Saat ia hampir berhasil melewati pagar …
Brughh!
Sebuah tarikan kuat mencengkeram pergelangan kakinya, membuatnya jatuh dan membentur aspal dengan keras. Kepalanya berdenyut, darah mengalir dari pelipisnya. Dengan gemetar, ia menoleh ke belakang.
Seseorang berdiri di sana.
Sosok tinggi dengan jas hujan merah yang kini melekat pada tubuhnya. Wajahnya tak terlihat, hanya kepekatan yang kosong. Sosok itu perlahan berjalan mendekat, suaranya gemerisik seperti dedaunan yang terseret angin.
"Seharusnya… kau tidak melihatku, Alisha."
Lalu, hanya suara jeritan yang menggema di tengah hujan deras.
..
Langit pagi itu berwarna pucat, dengan sisa embun yang masih menempel di dedaunan pekarangan sekolah. Udara terasa sejuk, membawa aroma tanah basah yang samar. Regi dan Ravell melangkah santai melewati gerbang, menikmati momen tenang sebelum kelas dimulai.
Ravell, seperti biasa, selalu punya ide-ide segar yang tiba-tiba muncul di kepalanya. Ia menyenggol lengan Regi dengan penuh semangat.
"Gi, kayaknya seru kalau di sekolah kita ngadain LDKS di hutan, sambil camping gitu lho," ujarnya, matanya berbinar membayangkan petualangan seru di tengah alam bebas.
Regi menghela napas kecil, mengingat sesuatu yang membuat bulu kuduknya sedikit meremang. "Seru sih, Vell, cuman lo gak takut kejadian tahun lalu? Waktu kita adain malam kebersamaan di vila itu? Kebanyakan cewek pada kesurupan," balasnya, suaranya sedikit merendah saat mengingat bagaimana suasana malam itu berubah kacau.
Ravell mendengus, meski ada sedikit gelagat ragu di wajahnya. "Iya sih."
Obrolan mereka terputus saat mereka tiba di halaman sekolah. Pandangan mereka tertarik ke arah sebuah kerumunan kecil di dekat pos satpam. Orang-orang berkumpul, berbisik-bisik, wajah mereka terlihat tegang.
Regi dan Ravell saling bertukar pandang. Ada sesuatu yang tidak beres.
Di pos satpam, sekelompok siswa tampak berkumpul, saling berbisik. Ada sesuatu yang menarik perhatian mereka. Regi mempercepat langkahnya dan menerobos kerumunan.
Dua satpam berdiri di tengah, masing-masing memegang benda yang tampak lusuh dan basah. Sebuah jas hujan merah serta sepasang sepatu sobek dan kuyup. Keduanya tampak bingung dan gelisah.
“Ada apa?” tanya Regi.
Salah satu satpam menjawab, suaranya terdengar berat. “Siapa di antara kalian yang iseng menggantungkan dua benda ini di atas pagar sekolah tadi malam?”
Tidak ada yang menjawab. Semua terdiam. Siapa yang mau menyentuh benda seperti itu? Regi memperhatikan sepatu itu lebih dekat. Ada sesuatu yang terasa aneh, sebuah perasaan familiar yang tidak bisa ia abaikan. Namun, ada pula sesuatu yang hilang, tapi apa?
Beberapa menit ia mencoba mengingat, hingga tiba-tiba ia tersentak kaget. Mata membelalak, napas tertahan.
“Pak, itu sepatu milik Alisha. Saya masih ingat, dulu dia dibully teman-temannya hingga sepatunya dirobek.”
Satpam itu menegang, wajahnya berubah pucat. “Lho, jangan nakut-nakutin saya. Alisha itu kan sudah meninggal dua tahun lalu?”
Regi mengangguk pelan, masih sulit mempercayai apa yang baru saja ia katakan. Kenapa sepatu ini bisa ada di sini, mengingat Alisha telah lama tiada? Satu per satu siswa yang berkerumun mulai bubar, ketakutan menyelimuti mereka. Namun, Regi tetap diam di tempat, pikirannya masih berkecamuk.
Lalu terdengar bisikan halus, begitu dekat, begitu dingin.
"Kembalikan jiwaku."
Regi tersentak. Ia menoleh panik, mencari sumber suara. Namun, yang ia temukan hanyalah Ravell dan dua satpam yang masih berbicara di pos.
Matanya lalu tertuju pada koridor lantai tiga, lantai yang baru saja selesai direnovasi dan belum digunakan. Di sudut gelapnya, di antara bayangan temaram, berdiri sesosok makhluk mengenakan jas hujan merah basah.
Wajahnya samar, matanya kosong, dan senyumnya begitu mengerikan. Perlahan, ia mengangkat tangan dan melambai ke arah Regi.
Petaka jas hujan merah belum berakhir. Siapakah korban selanjutnya?
end.
...
;ⓒ lvyndla
— Senin, 10/2/2025