Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Pesta Perak
0
Suka
17
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku tak pernah membayangkan sebelumnya akan sampai di titik ini. Mengarungi bahtera rumah tangga bersamamu, tak pernah terpikirkan olehku. Memimpikannya saja aku tak berani. Aku takut kecewa. Kamu terlalu sempurna di mataku.

Dua puluh lima tahun. Ternyata sudah seperempat abad sejak pertemuan pertama kita yang telah lalu. Semua masih terbayang jelas di ingatanku. Rasa-rasanya baru kemarin kamu datang ke rumah bersama Ustad Hamid. Kemeja biru bergaris putih vertikal, celana panjang hitam, dan sepatu kulit coklat mengkilat dengan lubang-lubang kecil yang membentuk motif melingkar di pinggirnya. Tentu aku ingat detil-detil itu karena aku hanya bisa memandangi sepatumu. Sore itu, aku sama sekali tak berani mengangkat wajahku. Aku tak punya nyali untuk melihat wajahmu, menatap matamu. Aku takut jatuh cinta.

Cerita tentangmu sudah kudengar sebelumnya dari istri Ustad Hamid yang tak lain adalah guru mengajiku. Kuterima selembar foto dirimu. Teduh. Ada keteduhan dalam sorot mata cekung seorang laki-laki berbaju koko dalam foto itu. Sejumput jenggot hitam di dagu menjadi penyeimbang wajahmu yang terkesan kalem. Namun rasa kagumku muncul bukan karena penampilan fisikmu semata. Diceritakannya mengenai salat lima waktumu yang tak pernah tak tepat waktu, mengenai bacaan al quranmu yang merdu, dan akhlakmu yang selalu terjaga. Tak ada yang meleset. Selama dua puluh lima tahun ini, aku menjadi saksi untuk semua itu. 

Dulu gambaran suami ideal bagiku adalah seorang yang bisa kujadikan imam dalam tiap salatku. Ternyata aku salah. Aku justru jarang mengucapkan “amin” pada akhir bacaan al fatihahmu. Aku juga jarang berdiri satu saf di belakangmu. Namun aku tak pernah menyesal. Kau lebih dari sekadar ideal. Tiap kali adzan mulai berkumandang, kaucium keningku kemudian pamit menuju musola tak jauh dari rumah. Bahkan saat udara subuh begitu menggoda untuk tetap mendekapku dalam selimut, kemantapan langkahmu tak berkurang sedikitpun.

Hatiku tentu saja berbunga-bunga ketika seminggu kemudian kaudatang kembali ke rumah dan menanyakan kesediaanku untuk menjadi istrimu. Kau menjatuhkan pilihan padaku. Sebenarnya bisa saja langsung kujawab “iya” hari itu juga. Menjadi ibu dari calon anak-anakmu, siapa yang tidak mau? Bukan cuma aku. Banyak wanita-wanita di luar sana yang ingin menjadi istrimu. Namun kuturuti saja apa kata istri Ustad Hamid untuk menimbang terlebih dahulu. Semalaman aku salat istikharoh kemudian berdoa, meminta petunjuk-Nya yang menciptakan manusia berpasang-pasangan. Keyakinanku tidak berubah. Bahkan semakin dipikir malah semakin mantap. Kamu adalah laki-laki yang kuyakini sebagai calon pasanganku, yang akan membimbingku meraih bahagia di dunia dan akhirat.

Dua puluh lima tahun yang lalu, impianku menjadi kenyataan. Dengan lancar kau mengucapkan ijab kabul di hadapan penghulu. Dan, tak terasa kita telah sampai pada usia perak pernikahan kita.

Malam ini ijinkan aku bernostalgia. Jauh-jauh hari telah kurencanakan semuanya. Meja makan sudah penuh dengan masakan yang kusiapkan sedari pagi. Rica-rica ayam, sayur bening, gurame asam manis, dan ayam bakar beserta lalapannya tertata cantik di atas meja. Tak lupa beberapa pijar lilin menggantikan penerangan lampu di ruang makan.Romantis bukan? Ya, walaupun aku tahu, pasti kau akan berkeberatan dengan semua ini. Kau selalu bilang padaku untuk bisa menahan diri, jangan menghambur-hamburkan makanan, masih banyak orang yang lebih membutuhkan. Tapi untuk hari ini, ku mohon kau mau memaklumi. Bukankah tidak setiap hari, tidak setiap bulan, dan tidak setiap tahun kita merayakan pesta perak ini? 

Dari ibumu aku tahu tentang resep-resep rahasia makanan kesukaanmu. Nyatanya memang benar, kau selalu lahap memakan masakanku. Bahkan kau pernah bilang, makin hari rasa masakanku makin mirip dengan buatan ibumu. Semata-mata kulakukan itu semua agar kau semakin betah di rumah. Belakangan ini kesibukan membuatmu sering pulang telat.

Apa kamu masih ingat lagu yang sedang mengalun ini? Ah, bagaimana kamu akan lupa? Sudah pasti kau masih mengingatnya. Kamu termasuk orang yang jarang mendengarkan lagu-lagu. Hanya ada beberapa keping CD musik yang kaupunya. Itupun karena aku yang meminta maka kamu membelinya. 

Di awal-awal tahun pernikahan kita, hari-hariku selalu merah muda. Sore-soreku adalah mengelilingi jalanan kota bersamamu. Entah itu untuk melihat air mancur di taman, atau sekadar duduk-duduk di bangku taman sambil melihat anak-anak kecil yang sedang berlarian. Di sepanjang jalan kauputar lagu Endless Love dari Diana Rose dan Lione Richie. Kamu tahu kalau aku sangat menyukai lagu itu. Aku selalu punya impian mengenai kehidupan cinta seperti di dalam film-film romantis. Dan kamu membuat impian itu menjadi kenyataan. 

Jangan sampai terlena. Boleh saja mendengarkan lagu-lagu cinta, namun jangan sampai membuatmu lupa diri. Lebih baik habiskan waktu senggang untuk membaca tilawah atau mendengarkan bacaan al quran, begitu katamu. Itulah yang membuatku semakin jatuh cinta padamu. Aku tak salah telah menjadikanmu sebagai imamku, bukan?

Telepon genggamku bergetar. Ada nama yang kukenal. Ada suara yang familiar. Anakku.

“Happy anniversary.”

“Terima kasih sayang. London apa kabar?”

“London lagi kayak ABG. Labil banget. Sebentar hujan sebentar lagi terang. Papa mana Ma?”

“Papa masih di kampus. Mungkin, sebentar lagi pulang.”

“Ah, papa. Sejak jadi Dekan makin sibuk saja. Nanti Lila telepon lagi kalau papa sudah pulang ya, Ma. Muaah.”

Sebuah ciuman menggantung di udara, mendarat pada sebuah foto di dinding. Lihatlah. Gadis kecil berseragam hijau itu sudah bukan kanak-kanak lagi. Betapa waktu cepat sekali berlalu. Dulu dia selalu menangis tiap kaupamit berangkat mengajar. Tapi sekarang, siapa yang akan menyangka, Kalila kecilku berada ribuan kilometer jauhnya untuk mengejar cita-citanya. Dia ingin menjadi dosen, sama sepertimu.  

Satu jam kemudian telepon genggamku kembali bergetar. Nama Kalila muncul lagi di layar. Aku memilih untuk tidak mengangkatnya. Kuambil semangkuk sup bening. Kusesap kuahnya. Enak. Rasanya memang seperti yang kuharapkan. Nyaris tak ada bedanya dengan masakan ibumu. Hanya saja, kuah sup beningku tak lagi panas. Dingin. Semua terasa dingin. Kulihat jendela masih terbuka. 

Aku bangkit dari dudukku, berjalan menuju jendela lantas menutupnya. Mungkin dinginnya malam ini terbawa oleh angin dari luar sana. Gelap. Di luar langit begitu gelap. Kamu belum pulang.

Beberapa hari yang lalu, seseorang mengajakku bertemu di sebuah cafe. Aku tak mengenalnya. Aku pun tak punya firasat apa-apa. Perempuan muda berleher jenjang itu duduk dengan anggun di hadapanku.

Sebulan yang lalu, aku tak bisa berhenti tersenyum. Pipiku terasa hangat. Ada aliran darah bahagia di balik kulit wajahku. Bik Darmi, pembantu rumahku menghampiriku dengan gulungan kertas putih.

“Buk, ini tanggalannya kok dibuang ke keranjang sampah? Padahal tahunnya masih belum habis.”

Kuraih gulungan kertas dari tangan Bik Darmi. Sebuah kalender yang masih baru. Selembar kalender dari Toko Emas Pandawa, secarik nota merah muda dan potongan kertas putih di atas mejaku. Ada gambar desain kalung pada kertas itu. Cantik sekali. Bersulur-sulur seperti tanaman rambat. Ah, kau tak pandai menyembunyikan sesuatu dariku. Ini pasti kejutanmu untukku. Seperti halnya kejutan-kejutan yang sering kauberikan padaku. Aku begitu yakin, ini adalah hadiah untuk ulang tahun pernikahan perak kita.

Sayangnya aku salah sangka. Dan prasangkaku terlalu baik. Kalung itu bukan untukku. Sebentuk leher yang jenjang yang mengenakannya. Kamu pasti tahu perempuan itu. Dia adalah mahasiswi bimbinganmu bukan?

Selama ini aku tak pernah berani bertanya. Aku mengusir segala prasangka sebelum sempat hinggap di pikiranku. Aku takut dengan kenyataan yang aku tak siap untuk menerimanya. Tapi perempuan ini, perempuan yang umurnya tak jauh beda dengan Kalila, anakmu, datang menemuiku. Berani-beraninya dia bilang padaku, bahwa kalian saling mencintai. Dia meminta izinku untuk menjadi istri keduamu. 

Di mana kamu? Mengapa tak kudengar itu dari mulutmu sendiri? Kenapa? Setelah dua puluh lima tahun, kenapa harus ada perempuan lain? Apakah cinta memang punya kadaluarsa?

Istri Ustad Hamid pernah bilang untuk jangan mencintai sesuatu melebihi cintaku pada sang pencipta. Semua hanyalah titipan-Nya. Kita tidak pernah benar-benar memiliki sesuatu. Aku pun tahu, laki-laki boleh menikahi beberapa wanita asal bisa bersikap adil pada istri-istrinya. Tapi semua tak semudah kata-kata. Apakah ini ujian untukku?

Telepon genggamku kembali bergetar. Nama Kalila kembali muncul di layar. Belum sempat kujawab dia sudah mencecarku dengan pertanyaan.

“Ma, papa sudah pulang kan? Papa mana, Ma? Aku mau ngobrol sama papa.”

Walau terasa berat, akhirnya keluar juga kata-kata dari mulutku. Kucoba berbicara setenang mungkin. “Papa..belum pulang, sayang.”

Atau mungkin tak akan pernah pulang seperti beberapa malam terakhir. Tadinya kuharap kau akan menyangkal omongan perempuan itu, tapi ternyata kau malah mengiyakan. Aku sadar, di dunia ini tidak ada yang benar-benar kumiliki. Semua hanyalah titipan. Mungkin sudah saatnya aku untuk mengembalikan.

Kupandangi selembar surat permohonan cerai yang baru kutandangi. Makin lama makin terlihat samar. Air mataku menggenang. Setelah dua puluh lima tahun, sampai juga aku di titik ini. Lilin-lilin telah habis. Semua menjadi gelap.

Yogyakarta, Agustus 2015

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
The Escaped Wife
Aditya Prajana Putri Prasetyowati
Komik
Bronze
A Warm Detour
Padithana
Skrip Film
Semoga Sampai
Rainzanov
Cerpen
Pesta Perak
Suryawan W.P
Novel
Friendship
alviiswari
Skrip Film
Breath & Brave (Script)
Putriyani Hamballah
Flash
Sepatu untuk Alin
Lirin Kartini
Flash
Berdoa yang Sederhana Saja
Sulistiyo Suparno
Skrip Film
xoxo mystery
Tiwul
Flash
Menikah
(Nur) Rohayati
Skrip Film
Andai Aku Boleh Memilih (Sebuah Skenario Film)
Imajinasiku
Cerpen
Peluru di Kepala Pacarku
Mahalawan
Cerpen
Bronze
Kado Spesial
Syauqi Sumbawi
Cerpen
Gibah Syariah
Adine Indriani
Cerpen
Di Penghujung Jalan
oktaviani difa
Rekomendasi
Cerpen
Pesta Perak
Suryawan W.P
Cerpen
Sampai Bertemu di Garis Finis
Suryawan W.P
Cerpen
Kenangan Akan Selalu Sama
Suryawan W.P
Cerpen
Bronze
Ratri Menari
Suryawan W.P
Cerpen
Yang Fana Adalah Kamu
Suryawan W.P
Cerpen
Kemboja Kelopak Empat
Suryawan W.P
Cerpen
Lelaki Jambu Air
Suryawan W.P
Cerpen
Bronze
Restu Majene
Suryawan W.P
Cerpen
Apakah di Luar Hujan Sudah Reda?
Suryawan W.P
Cerpen
Akhir Bahagia
Suryawan W.P
Cerpen
Gelembung Sabun
Suryawan W.P
Cerpen
Bronze
Tentang Burung dan Pohon Kersen
Suryawan W.P
Cerpen
Surat untuk Ding Jun
Suryawan W.P
Cerpen
Pergi ke Bulan
Suryawan W.P
Cerpen
Kejutan
Suryawan W.P