Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku adalah selembar kertas tipis yang dilipat tiga kali. Sekarang, aku terjebak di dalam dompet tua berbau apek. Di sini sangat gelap. Hanya ada setitik cahaya di ujung resleting yang agak berlubang termakan usia. Itu pun sangat kecil dan tidak berguna untuk melihat apa yang terjadi di luar.
Sebelum semuanya berakhir di sini, sekitar sepuluh jam yang lalu, aku ingat pria berwajah kotak yang muram itu memungutku di atas trotoar. Mungkin ia memungutku karena kasihan. Karena aku tertimpa batu dan berdebu dan disengat cahaya siang matahari dan sebagainya. Ia mengangkatku dan membersihkan debu-debu yang bisa dibersihkan dari wajahku. Ia menatapku agak lama, menggeleng, dan melipatku tiga kali.
“Aku akan membawamu ke atas gedung mal, lantai paling atas,” katanya ketika memasukkanku ke dalam dompet, “di sana, kita akan terbang bersama malam ini.”
Lantai paling atas gedung mal? Pasti yang dimaksud Eureka Mall. Satu-satunya pusat perbelanjaan modern di kota ini yang memiliki 50 lantai. Aku tahu semua itu karena berasal dari sana dan dibuang ke jalanan oleh seorang penulis kurang terkenal yang tidak jadi menulis draft karena stuck dan buru-buru naik bus.
Tunggu dulu. Lantai 50? Terbang? Mungkinkah pria ini ingin mengakhiri hidup? Siapa pria ini sampai-sampai membuat keputusan senekat itu? Aku bertanya-tanya sendiri cukup banyak di dalam kegelapan dompet tua.
Ketika pikiranku berkecamuk dan semakin bercabang, tampak dua ujung jari–telunjuk dan jempol pria ini–membuka resleting. Wajah muram itu kembali menatapku. Ia mengambilku dan menaruhku di atas meja kayu.
Bintang-bintang terang menguasai langit malam ini. Sebagian berkedip-kedip. Ada dua buah satelit yang terbang berpapasan dari arah berbeda.
Di atas sini, suasana serba temaram. Berkas-berkas cahaya yang singgah hanya berasal dari bulan berbentuk oval. Pria ini mengeluarkan lilin putih dan pulpen dari saku. Lalu ia menyalakan lilin di ujung meja sehingga sekitarku agak terang.
Terdengar suara kendaraan melintas di bawah sana. Ada juga suara besi yang dipukul-pukul di kejauhan.
Rupanya lantai 50 ini baru setengah jadi. Masih ada ember, helm kuning, papan-papan kayu bersandar, dan tumpukan bambu yang ditinggalkan oleh pekerja konstruksi. Dinding berbahan bata ringan sudah terpasang di dua sisi bersebelahan. Karena ini ruang terbuka, udara malam terasa dingin menusuk. Mungkin ini musim kemarau. Ujung tubuhku berkelepak kedinginan dan tangan kasar itu mencegahku agar tidak terbang tertiup angin yang sebentar-sebentar menyergap kami.
“Belum waktunya terbang, kawanku,” kata pria ini yang mulai menganggapku sebagai kawan, “aku harus menulis suatu pesan dulu sebelum kita terbang. Pesan yang sangat penting.”
Wajahnya yang hanya diterangi lilin itu agak ragu ketika ingin menulis. Mungkin pikirannya masih kosong. Aku paham bagaimana sulitnya memulai kalimat pertama. Seorang penulis yang bukunya laku keras sekalipun, ketika suatu hari berkunjung ke toko peralatan tempat aku dijual, pernah mengeluhkan masalah yang sama ke kasir. Kukira inilah yang disebut dengan langkah pertama yang berat.
Pria ini mendongak ke langit. Seolah-olah inspirasi berasal dari atas sana. Cukup lama. Setelah ia menatapku kembali, wajahnya yang kotak itu tersenyum dan mulai menulis dengan lancar. Ini pengetahuan baru untukku. Mungkin benar kalau inspirasi itu memang berasal dari langit malam penuh bintang.
Ia sangat berhati-hati saat menulis pesan di tubuhku. Aku terkesan padanya karena memahami betapa tipisnya aku. Kalau banyak menekan, pasti berlubang dan punggungku tidak lagi bisa dipakai untuk menulis. Kalimat-kalimatnya memiliki panjang yang bervariasi. Namun, untuk menulis satu kalimat, ia menaruh koma agak berlebihan. Aku tidak tahu ia sedang menulis apa karena tidak mungkin bisa melihat huruf-huruf yang menempel di tubuhku sendiri dengan jelas.
Setelah hampir selesai, kedua bola matanya agak berkaca-kaca. Ia meniupku agar tinta yang menyatu di tubuhku cepat kering.
“Aku tidak tahu apakah ada yang akan membaca pesan ini. Kuharap kau menyampaikan pesan ini kepada orang yang tepat. Kalau bisa, jangan polisi lalu lintas, gelandangan, preman, atau orang yang berjalan tergesa-gesa. Mereka tidak akan pernah tahu betapa berat menanggung penderitaan setelah membunuh suatu keluarga karena terpaksa karena kelaparan dan menjadi buronan. Aku harap kau bisa memahamiku. Di tempat ini, aku ingin mengalami penderitaan yang sama dengan keluarga itu. Semoga kelak di alam kematian mereka memaafkanku.”
Aku yakin setelah pria ini bertemu dengan keluarga itu di alam baka, meskipun dimaafkan, mereka akan menghujaninya dengan sumpah serapah. Bagaimanapun sebelum mati, kukira, mereka masih ingin melanjutkan kehidupan normal.
Begitulah. Kemudian pria ini melipatku menjadi pesawat kertas dengan sayap-sayap cukup simetris di atas meja. Beberapa kali ia melakukan uji coba menerbangkanku cukup rendah di depan dinding agar tidak jatuh. Beberapa kali pula, mulutku membentur bata ringan.
Setelah aku bisa terbang mulus, ia membawaku ke tepian gedung yang belum dipasangi bata ringan. Di bawah sana, lampu-lampu dan kerlip kendaraan yang bergerak tampak sangat kecil. Ia memegang pangkal tubuhku yang sudah jadi pesawat dengan tangan kanan. Udara dingin berbalut angin malam membuat ujung sayapku berkelepak ringan.
Pria ini mengambil napas begitu panjang. Lalu, ia menarikku ke belakang dan mendorongku dengan tenaga maksimal seperti anak panah yang melesat dari busur. Setelah terbang cukup lama di udara, jauh di belakang sana, pria itu melompat dan jatuh dengan posisi kepala di bawah. Walau aku terbang lebih dulu, aku yakin dia yang mendarat lebih dulu.
Hanya selang beberapa saat, pria itu membentur trotoar. Orang-orang yang berjalan di sekitarnya menjerit kaget. Kerumunan dengan pria itu sebagai pusat perhatian membentuk semacam lingkaran. Di udara, aku masih terbang membelah angin malam dengan anggun. Ke mana aku menuju. Aku tidak tahu.
Aku terbang dan berputar-putar ke bawah sekitar satu menit. Akhirnya angin malam membawaku ke gedung sebelah. Mungkin itu bangunan apartemen lantai sepuluh. Kurang jelas juga. Di teras sempit itu, seorang gadis kecil yang memakai piyama sedang berdiri memandangi langit. Ketika jarak kami memendek, ia menyadariku dan menatap kedatanganku lekat-lekat. Ia memiringkan kepala saat menatapku.
Aku mendarat tepat di sebelah kakinya. Kemudian, ia mengangkatku dan berusaha membacaku dengan susah payah. Ia mengeja huruf-huruf di tubuhku yang terlalu sulit untuk dipahaminya.
“Ayra, jangan keliaran di luar. Ayo cepat tidur,” terdengar suara dari dalam ruangan di balik pintu yang terbuka.
“Besok kan hari Minggu, Ma.”
“Pokoknya masuk dan tidur. Kalau tidak nurut, besok tidak jadi beli es krim.”
“Iya, Ma. Ayra mau es krim.”
Gadis kecil itu membuangku ke keranjang sampah dan lari ke dalam ruangan. Pintu itu kemudian tertutup dan menyisakan kegelapan di luar. Sekali lagi, aku terjebak di dalam wadah yang gelap. Aku jadi kepikiran, apa yang dirasakan pria itu beberapa detik sebelum kepalanya membentur trotoar?
***