Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam itu tak seperti biasa.
Aku bermimpi tentang seseorang yang sudah tiga tahun tak kujumpai. Tiba-tiba, dia hadir begitu nyata. Anehnya, mimpi itu terus berulang.
Ia berdiri di depan rumah tua yang gelap. Cahaya bulan redup membuat tubuhnya tampak semakin kurus. Matanya sayu, bibir mengering. Napasnya bergetar. "Tolong aku, Bar…" suaranya lirih, hampir tertelan angin malam. Tangannya terulur, tapi saat kucoba meraihnya, tubuhnya terseret semakin jauh ke dalam kegelapan. Lalu lenyap, menyisakan kesunyian yang menusuk.
Aku tersentak. Dia—Askira. Teman SMA sekaligus cinta pertamaku.
---
Pagi itu, dosen menerangkan materi dengan penuh semangat, tangannya bergerak-gerak sambil sesekali mengetik di laptop yang terhubung ke proyektor. Namun, semua itu hanya terdengar sayup di telingaku. Aku duduk diam, menatap layar putih di depan kelas, tapi yang kulihat bukan barisan slide, melainkan wajah Askira. Pucat, matanya basah oleh ketakutan.
Aku menggigit bibir, mencoba mengusir bayangan itu, tapi rasa dingin tiba-tiba menjalar ke tengkuk. AC memang terlalu dingin, tapi tubuhku justru terasa panas. Jari-jariku menggenggam pena erat, sementara kertas di meja tetap kosong. Aku bahkan tak tahu topik apa yang sedang dibahas.
Sebuah tepukan di pundak membuatku tersentak.
"Eh…" Aku menoleh, mendapati Anton menatap layar dengan serius.
"Fokus, bro!" katanya.
Aku menghela napas dan mengangguk, meski pikiranku tetap melayang jauh.
Beberapa jam setelah kuliah berakhir, aku berjalan menuju parkiran motor. Anton berlari kecil mengejarku.
"Baskara!" panggilnya.
Aku hanya menoleh sekilas dan terus melangkah.
"Mau langsung balik ke kos?" tanyanya, merangkul pundakku.
"Iya, gue mau istirahat."
"Yakin nggak nongkrong dulu? Gue traktir kopi."
Aku menggeleng. "Enggak deh."
Anton mengernyit. "Tadi di kelas lu kenapa? Nggak biasanya bengong gitu."
Aku menghela napas. "Gue udah beberapa kali mimpiin mantan."
Anton langsung antusias. "Mantan yang mana? Pertama, kedua, atau ketiga?" godanya.
Aku menatapnya datar. "Cuma satu. Cinta pertama gue. Askira."
Anton menaikkan alis, senyum meledek. "Ohh, belum move on, ya?"
"Bukan itu." Aku menggeleng. "Dia minta tolong. Kelihatan sedih… lebih dari itu, kayak ketakutan."
Anton mulai serius. "Maksud lu?"
"Dia udah nikah, dijodohin sama orang tuanya. Tapi di mimpi gue, dia kayak nggak bahagia. Seperti lagi nahan sesuatu."
Anton mendecak. "Ah, mungkin lu aja yang nggak terima dia ninggalin lu."
"Gue yakin ada sesuatu." Aku menatap kosong. "Tapi gue nggak tahu apa. Soalnya gue nggak pernah denger kabarnya lagi."
Anton mengangkat bahu. "Yaudah, coba tanya temen yang lain. Siapa tahu ada yang masih komunikasi sama dia."
Aku mengangguk pelan. Mungkin itu ide bagus. Atau mungkin… aku harus mencari tahu sendiri?
Setibanya di parkiran, mataku menangkap sosok yang familiar. Seorang perempuan baru saja turun dari motornya. Aku mengenalnya.
"Hellen?" panggilku.
Gadis itu menoleh, sedikit terkejut sebelum tersenyum. "Kak Baskara, ya?"
Aku mengangguk. Anton di sampingku ikut memperhatikan.
"Kamu kuliah di sini juga?" tanyaku.
"Iya, Kak. Kakak juga?"
"Iya," jawabku singkat, lalu ragu sejenak. "Hellen, boleh nanya sesuatu? Maaf kalau agak lancang."
Hellen mengangguk, menatapku penuh rasa ingin tahu.
"Kamu pernah ketemu Kak Askira di kampung?"
Anton langsung tersenyum paham.
Hellen tampak berpikir, lalu wajahnya berbinar. "Oh, Kak Askira yang cantik itu ya?"
Aku mengangguk, meski ada sesuatu yang mengganjal di dadaku. Semua orang tahu Askira sudah menikah.
"Terakhir aku ketemu sebelum ke sini," kata Hellen, "dia lagi hamil, Kak. Akhirnya penantiannya terkabul juga. Dulu sempat ada gosip kalau dia mandul, tapi ternyata nggak benar."
Aku terdiam. Ada rasa lega, meskipun lewat orang lain.
"Tapi…," Hellen ragu, "sejak hamil, tubuh Kak Askira makin kurus. Aku nggak tahu dia sakit atau nggak, cuma… dia nggak secantik dulu. Mungkin karena faktor kehamilan."
Aku terkejut. Mendadak mimpi itu terasa bukan sekadar bunga tidur. Ada sesuatu yang ingin disampaikan kepadaku.
"Ada kontaknya nggak? Atau sahabatnya, Tika?" tanyaku, teringat sahabat dekat Askira.
Hellen mengeluarkan ponsel. "Ada, Kak. Sebentar ya."
Aku buru-buru bersiap mencatat saat Hellen menyebutkan nomornya pelan-pelan.
"Makasih ya, Hellen," ucapku.
Hellen mengangguk lalu pergi menuju gedung kampus. Aku menghela napas lega. Setidaknya, sekarang ada jejak untuk mencari tahu lebih jauh.
Anton melipat tangan di dada. "Bas, emang kenapa sih sama mantan lu itu? Ada yang aneh?"
Aku memasukkan ponsel ke saku celana dan meraih helm. "Gue pastiin setelah Tika bisa dihubungi."
Anton mengerutkan kening, jelas belum puas. Tapi aku tak ingin menjelaskan apa pun sebelum benar-benar tahu kebenarannya.
Tanpa berkata lagi, aku menyalakan motor. Anton masih menatapku penuh rasa ingin tahu saat motorku melaju keluar dari kampus.
Setibanya di kos, aku menjatuhkan tubuh ke kursi, melempar tas ke lantai, lalu menatap langit-langit. Kamar ini kecil, penuh tumpukan buku di meja belajar, dan jendelanya hampir selalu kututup tirainya. Udara terasa pengap, bercampur aroma kopi yang sudah dingin.
Dadaku sesak. Aku mencoba meyakinkan diri kalau ini cuma perasaan berlebihan. Tapi… mendengar Askira hamil dalam kondisi makin kurus? Alarm di kepalaku berbunyi.
Ponsel di tanganku terasa lebih berat. Keringat dingin mengalir di tengkukku. Ada sesuatu yang salah. Aku bisa merasakannya.
Dan yang paling mengganggu? Aku masih mendengar suara lirihnya dalam mimpiku.
"Tolong aku, Bar…"
Suaranya begitu nyata. Seolah dia ada di sampingku, memanggil dengan sisa tenaga yang hampir habis.
Aku meraih ponsel, jemariku gemetar saat mencari nomor Tika.
Tut… Tut…
Nomornya aktif. Penasaran dan cemas bercampur jadi satu.
"Halo…" Suara khas dan tegas terdengar dari seberang.
"Halo, ini Tika?" tanyaku memastikan.
"Iya, ini siapa?"
"Baskara. Gimana kabarnya?" Aku berusaha terdengar santai.
"Oh, Bas! Baik. Lu gimana?"
"Baik, Tik. Gue mau nanya… gimana kabar Askira?"
Hening sejenak.
"Askira ya…" Tika terdengar ragu. "Gue nggak tahu kabarnya sekarang, Bas. Dia udah nggak tinggal di desa."
Aku tersentak. Jadi aku benar-benar kehilangan jejaknya?
"Oh gitu… Semoga dia baik-baik aja," gumamku, menutupi kekecewaan.
"Dia sekarang tinggal di rumah mertuanya, di desa sebelah. Terakhir gue ketemu dia tiga hari lalu… kondisinya memprihatinkan."
Jantungku mencelos.
"Maksudnya?" tanyaku, suara sedikit bergetar.
Tika menarik napas. "Warga bilang dia kena guna-guna. Tubuhnya kurus banget. Jauh dari Askira yang dulu. Gue tanya, dia sendiri nggak tahu pasti. Katanya cuma sering mimpi buruk, terus ngerasa kayak ada yang ngawasin dia setiap malam."
Aku menelan ludah. Punggungku tiba-tiba terasa dingin.
Askira hamil… tapi makin kurus? Itu nggak masuk akal.
Gambarannya langsung muncul di kepalaku—matanya yang dulu berbinar, tubuhnya yang dulu sehat. Aku nggak bisa membayangkan dia dalam kondisi menyedihkan seperti yang Tika bilang.
Perutku mendadak terasa mual. Tiba-tiba, firasat buruk yang selama ini cuma seperti kabut tipis di pikiranku berubah menjadi badai yang menghempasku dengan kasar.
"Oh iya, Bas… Kedua orang tua Askira udah meninggal. Sebulan lalu, adiknya juga meninggal."
Aku tersentak. "Apa?"
Seperti hantaman keras ke dada. Aku benar-benar nggak tahu kabar itu. Napasku memburu, seolah paru-paruku tiba-tiba terlalu kecil untuk menampung udara.
"Bas, lu masih bisa bertelepati, kan?" Tika melanjutkan. "Gue senang lu hubungi gue, karena gue yakin cuma lu yang bisa tahu kondisi Askira sebenarnya. Dia nggak punya ponsel, dan tiap gue ke rumahnya, dia selalu bilang jangan sering datang. Mertuanya… sinis banget. Nggak ramah ke siapa pun, termasuk ke Askira."
Aku mengepalkan tangan.
"Dia sering mimpiin lu, Bas," suara Tika semakin pelan. "Dia bilang, dalam mimpinya, lu datang menemuinya. Dan di sana, dia merasa bahagia banget. Katanya, cuma lu yang bisa nolong dia."
Jantungku berdegup kencang. Aku langsung teringat mimpiku yang terus berulang.
"Selamatkan Askira, Bas. Sebelum terlambat." Suara Tika mendesak. "Gue bakal cari info sebanyak mungkin. Gue harap lu bisa nolong dia… dan bayinya."
Bayinya.
Kata itu menusukku.
Aku menutup mata, menahan gelombang emosi yang mendesak keluar. Dada terasa sesak, seolah ada tangan tak kasat mata yang mencengkeramku kuat-kuat.
"Gue nggak tahu harus mulai dari mana," suaraku parau.
"Ada satu hal lagi yang harus lu tahu, Bas."
Tika menurunkan suaranya, seperti takut seseorang bisa mendengar. "Suami Askira sering pergi lama. Kadang berbulan-bulan. Aneh banget, setiap dia pulang, pasti ada orang meninggal di sekitar situ. Sekarang kehidupannya bergelimang harta… tapi semuanya terasa janggal."
Aku merinding.
"Itu belum semuanya," Tika berbisik. "Gue nggak bisa pastiin ini benar atau nggak, tapi beberapa warga pernah lihat sesuatu di sekitar rumah mertuanya."
Aku menelan ludah. "Sesuatu?"
"Bayangan hitam. Bukan manusia."
Aku terdiam.
"Malam-malam, ada yang suka lihat sosok tinggi besar berdiri di depan rumah mereka, tapi pas dicek, nggak ada siapa-siapa. Dan kalau lu tanya ke warga, mereka lebih milih diem. Mereka takut, Bas."
Aku mencengkeram ponsel erat.
"Bas…" suara Tika semakin pelan. "Gue nggak mau nebak-nebak, tapi ada yang bilang, suaminya bukan orang biasa. Lu ngerti maksud gue, kan?"
Aku terdiam lama.
Aku memang mengerti. Dan itu justru semakin membuat semuanya terasa salah.
Setelah percakapan itu aku menutup telepon. Tapi suara Askira masih bergema di kepalaku.
Mimpi itu. Guna-guna. Orang-orang yang meninggal di sekitar suaminya. Bahkan suaminya yang bukan orang biasa.
Ini bukan kebetulan. Ini terlalu aneh.
Aku duduk di tepi kasur. Tiba-tiba, kenangan menyeruak.
Askira yang dulu—gadis dengan tawa renyah dan mata berbinar saat bercerita tentang impian kecilnya.
"Gue pengen punya keluarga kecil yang hangat, Bar. Suami yang baik, anak-anak yang manis. Kayak di drama-drama gitu."
Dia tertawa, menepuk bahuku. "Jangan iri ya, lo bakal tetap gue ajak main ke rumah nanti."
Tapi sekarang? Impian itu berubah jadi neraka.
Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungku yang kacau. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi satu hal yang pasti—Askira butuh aku.
Malamnya, aku kembali bermimpi. Tapi kali ini lebih jelas. Askira berdiri di ambang pintu rumah tua itu, matanya memerah, bibirnya bergerak-gerak tanpa suara. Aku mencoba mendekat, tapi tubuhku seolah tertahan. Lalu, bayangan lain muncul di belakangnya. Sesosok pria berjas hitam, wajahnya samar, tapi aku bisa merasakan tatapannya menusuk tajam ke arahku. "Jangan ikut campur." Suaranya terdengar dalam benakku. Saat itu juga, aku terbangun dengan keringat dingin membasahi punggungku.
Saat terbangun, aku merasakan hawa dingin merayap di tengkuk, mataku menangkap sesuatu di luar sana—sesuatu yang seolah mengawasi dari kejauhan. Napasku memburu, tapi aku memaksakan jemariku mengetik pesan itu. Jantungku berdetak kencang saat menekan tombol kirim.
Batinku meyakinkan bahwa...
"Anton, gue harus kembali ke kampung. Ada sesuatu yang belum selesai."
Titik-titik tanda Anton sedang mengetik muncul. Napasku tertahan menunggu jawabannya.
Tapi sebelum pesannya muncul—
Ponselku mati.
Tanpa peringatan. Tanpa sebab.
Aku menatap layar hitam itu, sementara hawa dingin makin menusuk kulitku. Lalu, samar-samar, dari arah jendela, terdengar suara napas panjang dan berat.
Aku tidak sendiri di kamar ini.
***