Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
Pertunjukan Air Mata
0
Suka
482
Dibaca

Pertunjukan Air Mata

Oleh : Ictos Gold 

Sinar matahari menyoroti dua puluh siswa. Meskipun kelas ini sedingin Antartika, semangat kami berkobar bagaikan api. Dua puluh siswa kompak berdiri. Beberapa dari mereka terkekeh sambil menyembunyikan hp. Bu Intan memandang kami dengan wajah berkerut.

Aku jalan santai melewati meja-meja kayu. Dengan dada yang busung, aku menghadap Sang guru. “Kami, kelas XI, MENOLAK razia henpon!” Tanganku mengepal dan memukul udara.

“SETUJU!” jeritan dua puluh lima siswa menembus tembok kelas.

“Gabisa, dong!” pekik Bu Intan. “Itu kan udah aturan sekolah!”

Tubuhku berputar. Saul mengarahkan kamera hpnya padaku. “Guys! Berapa banyak yang pake baju OSIS?!”

“DUA PULUH!” Jawab mereka serentak.

“Berapa banyak yang pake baju batik?!”

“SATU!” Dua puluh telunjuk mengarah pada Bu Intan.

“Siapa yang lebih banyak jumlahnya?!”

“KITA!” Kelas XI-5 menjerit. Saking kerasnya, lantai dan dinding berguncang.

“Yaudah! Yaudah!” Bu Intan mengangkat tangan. “Bu Intan bakal lakuin yang kalian mau! Asalkan razianya tetep jalan.”

Saul menepuk pundakku. “Apa ya enaknya, Caka? Apa kita suruh Bu Intan salto?”

Aku memejamkan mata. Sebuah bolam lampu muncul di atas kepalaku.

“Oooh! Gini!” Aku merogoh kantong, lalu mengangkat hpku. “Bu Intan boleh cek hp ku, tapi, kita juga boleh cek hp Bu Intan!”

Kawan-kawanku bersorak dan bertepuk tangan.

“Aman kok, Bu Intan,” bisikku diantara tepukan tangan yang bising. “Ini cuman buat konten.” Jempolku menunjuk kamera Saul yang berada di ujung kelas. Aku menyodorkan hp. Kening Bu Intan makin berkerut. Akhirnya, beliau menyodorkan hp dengan casing pink.

“NAH!” Aku langsung mematikan hp itu dan mengulurkan tangan kiri. “Sekarang, Ibu boleh kembalikan hpku, dan aku akan kembaliin hp Ibu.”

Para siswa kelas XI-5 menonton dengan mata membelo. Dengan ragu-ragu, Bu Intan mengembalikan hp ku.

“Nih, bu.” Aku mengarahkan hp pink padanya. Saat Bu Intan berusaha meraihnya…

“HAP!” Dengan satu lemparan kuat, hp Bu Intan melambung di udara.

Audiens menahan napas.

Gawai itu terjun bebas, seperti pesawat yang hilang kendali. Akhirnya, pesawat itu mencapai landing sempurna pada telapakku.

Penonton membanjiri aku dengan tepukan.

“Oke, oke. Nih.” Aku kembali menawarkan hp itu. Sebelum ujung kuku Bu Intan menyentuhnya, aku melompat ke belakang. “Ayo, Bu. Ambil, Bu!” Tanganku melambai-lambai. Beliau mengejarku, berusaha menggapainya.

“Sudah cukup, Caka!” Tina menjerit. Bukannya berhenti, aku menerbangkan hp itu kedua kalinya.

Layar hitamnya memantulkan sinar matahari dari jendela. Pesawat itu kembali terjun bebas. Aku mengulurkan tangan, meregangkan jari-jariku. Namun, pesawat itu berputar-putar, terselip di antara jemari, dan menghantam lantai.

Suara kaca retak, diikuti oleh keheningan. Kami semua memandangi retak putih di layar hitam.

Para siswa tersenyum. “Ooooh, Caka.” Salah seorang berdecak dan menggelengkan kepala. 

Dua puluh pasang mata menatap tajam ke arahku.

“Tanggung jawab, Cakaaaa!” seru Ken.

“Keterlaluan!” pekik Tina.

Kupingku menangkap istilah-istilah kebun binatang.

Bu Intan berjongkok, mengumpulkan kaca pecah yang dulunya adalah hp miliknya. Para siswi mengerumuninya.

“A-aku. Gue gak sengaja!” Aku tergagap “B-bantu gue, Saul!” Saul malah asik merekam kejadian itu.

Di ujung kelas, Ika berdiri mematung. Bibir merahnya membentuk garis.

Bel berdering. Audiens berbondong-bondong keluar.

Aku mendekati Ika yang berada di pojok kelas. “Ika, gue gak–”

Perempuan itu membuang muka. Dia melangkah keluar dari pintu.

***

Punggungku bersandar pada dinding hijau. Aku mencengkram dada kiri, berusaha mengendalikan napas.

“Bodoh, aku bodoh…”

Aku adalah seorang badut yang terpeleset kulit pisang. Anehnya, gak ada yang tertawa. Gagal. Uangku akan habis untuk menggantikan hp. Aku menghembuskan napas, mengusap-usap kening, membayangkan wajah Mama jika tahu.

“DI SANA!”

Sebuah telor meninju jidatku. Aku tersentak. Mataku terbelalak. 

“Apa ini?!” jeritku histeris. Wajah Mama buyar. Cairan kuning menetes dari alis. Sebelum aku dapat menoleh, tepung menyerbu wajahku. Aku meringis, mengorek butiran tepung dari mata.

“HAPPY BIRTHDAY, CAKA!”

Aku mengusap wajah dengan lengan seragam OSIS. Tiga orang mengepungku. Mereka memamerkan deretan gigi.

“Ayo! Satu, dua, tiga!” Saul memencet tombol merah di henponnya. Mereka menarik napas, mengangkat tangan, lalu bernyanyi.

Happy birthday, Caka! Happy birthday, Caka!” Keempatnya menepuk tangan mengikuti irama. Aku menganga, mengamati mereka satu persatu. “Selamat ulang tahun, Caka!” mereka berseru serentak.

“L-loh? Gue kira kalian marah sama gue?”

Mereka berhenti bernyanyi. “Karena?”

“Karena… gue dengan bodohnya mecahin hp Bu Intan.”

Mereka bertukar pandang, lalu terbahak-bahak. “Kenapa marah? Kita berempat kan solid.”

Bibirku melengkung, sedikit demi sedikit, mengikuti senyum mereka. Aku menghapus kerutan di wajahku “Kalian prank aku ya?! Emangnya gue kue ulang tahun, apa?!”

Aku menerkam Tom dan Feni, menyiprat kuning telor. Mereka kabur sambil cengengesan.

“Stop bentar, Caka!” Saul menghalangiku dengan kotak merah berpita emas. Aku berhenti di tempat dengan mata berbinar-binar. “Itu kado untuk gue, ya?”

 

“Iya, dong.”

“Yeeey! Kalian baik! Makasih guys!” Aku meraih kado itu. Tanganku merobek pita emas. Ada lapisan lagi di dalamnya. Tom menahan tawa. Aku menjitaknya.

“Buka lagi, Caka.” Aku terus merobek bungkusan ketiga, keempat. Akhirnya, bungkusan kardus yang kelima. Bentuknya persegi panjang.

“Apa ini?” Aku mengopek lakban dan mengeluarkan sebuah pulpen. “Woi, pulpen gua udah banyak.” Mataku menyipit, menyimak tombol dan charger. Ada yang aneh dengan pulpen itu.

Dalam sedetik, dunia hancur lebur. Jantungku mengumpat-umpat. Kok bisa-bisanya aku ga sadar? Suaraku tercekik. Mereka terkekeh. Saul, Tom, Feni, dan Dono mengeluarkan ‘pulpen’ serupa.

“W-woi, I-ini…” Mataku membentuk lingkaran sempurna. Perut bergejolak. “Kenapa lu pada ngasih gue ini?!”

“Tiup! Tiup! Tiup! Tiup!”

Pandanganku berputar-putar. Keringat dingin mulai membasahi jari-jariku. 

“Ayo, Caka. Lagi live, nih! Tiup aja!” Saul terus merekam.

Wajah Mama muncul kembali.

“Ayo, Caka!” mereka menempelkan bibir pada ujung pulpen. Jemariku bergetar, tak tega mengecewakan Saul. Kabur? Berkutik sedikit saja, aku akan pulang dengan babak belur.

Bibirku terbuka. Aku menghirup napas dalam-dalam.

***

Puluhan remaja duduk berderet di kursi lipat. Mereka mendekap buku bersalib emas. Pintu berderit, memecah keheningan. Ratusan mata memelototiku.

“Silakan masuk.” Sambil melangkah pelan, kak pengurus membawaku ke kursi kosong. Aku memasukan tangan kedalam jaket. 

Hanya bisa menunduk, menatap sandal. Seorang pendosa memasuki Rumah Tuhan.

“Halo teman-teman. Perkenalkan, aku Ika.”

Nafasku tertahan. Aku mendongak. Seorang gadis memegang mic di depan. Anggrek putih menjepit rambut hitamnya.

“Pernahkah kalian jatuh dalam godaan?” suara manisnya memukul jantungku. Dress putih menjuntai dari bahunya. Mataku mengamati matanya, hidungnya, dan bibir merahnya - bebas dari nikotin. Sedangkan aku?

“Mari kita bangkit berdiri dan nyanyikan lagu Di Muka Tuhan Yesus.”

Keluhan samar terdengar dari sekitarku. Kursi-kursi berderit. Puluhan remaja bangkit berdiri. Dentingan piano mengisi ruangan yang dingin.

Di Muka Tuhan Yesus…” Ika bernyanyi dengan merdu, diikuti oleh tuturan jemaat. Matanya menyapu pemandangan, jendela yang menampilkan hujan, Alkitab yang tergeletak di kursi, dan akhirnya, bertatap denganku.

“Betapa hina diriku.”

Dunia menghilang. Kami bertukar pandang.

“Kubawa dosa-dosaku.”

Aku terhanyut dengan wajahnya. Ika tergagap, pipinya memerah.

“Di muka Tuhan Yesus.”

Ujung bibirnya terangkat. Sebuah senyuman terlukis pada wajahnya. 

***

Awan-awan mendung mengawasi kami. Ika menghampiriku yang terduduk di kursi kayu.

“Kenapa senyum-senyum?” gumamku.

“Gak nyangka lu ke gereja.” Dia duduk di ujung kursi sambil menautkan alis. “Tumben ke sini.”

Jempolku mengusap sampul Alkitab. “Ika.”

“Kenapa, Caka?”

Tanganku mengeluarkan hp dari kantong. Aku memencet video perayaan ulang tahunku. Ika menonton dengan saksama. 

Awalnya, ekspresinya datar. Saat video itu berakhir, kami berdua saling menatap tanpa berkata-kata.

“Caka, mau sampai kapan lu bareng mereka?”

Wangi parfum menyeruak dari tubuhnya. Aku membuang muka dan mundur. Tidak pantas aku terlalu dekat. 

Ika menghela napas. Apakah dia kasihan denganku? Atau justru kecewa?

“Sebentar.” Ika meninggalkanku di ruangan itu. Dia kembali dengan sebuah pulpen dan kertas. 

Aku menoleh dengan lemas. “Apa ini?” 

“Tuliskan.” Dia meletakkannya di atas meja.

“Tulis apa?” nadaku datar.

Ika mendekat dan menatap mataku.

“Apa yang mereka lakuin pas kamu ultah?”

Wajahku memutih. Pulpen itu masih terasa di bibirku.

“Tulis.”

Ribuan pertanyaan menyesakkan kepala. Namun, aku terdiam dan menulis. Kado merah, kamera, tepung dan telur - masih membekas seperti pisau yang mencungkil daging.

“Sekarang, tuliskan nama kepsek.”

Jiwaku terhantam. Aku tahu kemana arahnya.

“T-tunggu, Ika.” Aku menjatuhkan pulpen itu.

“Memangnya lu gak capek? Terus-terusan jadi badut mereka?”

Aku menunduk, terdiam. Kukuku mencengkram jaket. Ini bukan pertama kalinya kami membahas hal ini.

“Ika… Pas aku gak naik kelas dulu, cuman mereka yang nemenin aku. Mereka udah kaya keluarga. “ Aku menahan air mata, malu jika dilihat Ika.

“Mereka selalu bilang, ‘hidup gausah terlalu serius. Hepi hepi aja.’ Jadi, ya… karena mereka aku bisa hidup bahagia.”

“Trus, sekarang, kamu bahagia?”

Kata-kataku habis. Pertanyaan Ika menggantung di udara. 

“Besok kan ada perayaan tujuh belas Agustus.” Ika memecah keheningan. “Langsung aja kamu duduk bareng temen-temenku, Pas jam istirahat, kita bawa suratnya ke ruang kepsek.” Sambil bangkit berdiri, dia melangkah ke arah pintu keluar.

“Kok kamu nggak shock?”

Perempuan itu berhenti, memiringkan kepala.

“Maksudku, kok kamu kaya udah tau harus ngapain?”

Ika tersenyum. “Belajar dari pengalaman.” Dia berbalik, keluar, dan menutup pintu.

***

Konfeti berhamburan. Speaker menggelegar. Ratusan remaja melompat-lompat mengikuti pukulan drum. Aku mencengkram kertas dari Ika dengan kuat-kuat.

“Caka!”

Namaku tenggelam oleh nyanyian vokalis. Aku menjinjit. Sekelompok murid melambaikan tangan dari kejauhan. Ika berdiri di samping mereka. Aku pun membalas.

Tanganku berusaha membelah lautan manusia berkaos merah putih. Tubuhku terjepit oleh kerumunan. Tiba-tiba, seseorang menyeretku.

“Caka!” Mereka memanggil lagi, tapi kali ini, dari suara yang kukenal. Aku melihat kebelakang. Tiga orang menghalangi. Saul tersenyum lebar dan merangkulku. “Lu mau kemana? Ikut bareng kami!”

Tubuhku membeku. Aku menyembunyikan kertas itu ke dalam kantong.

“Kertas apa tuh?” Feni melipat kedua tangannya. “Aaaah, pasti surat cinta, yaaaaa?”

Aku menggeleng-geleng. “B-bukan, kok…”

“Pasti buat Ika, ya?” Tom terkekeh. “Sini, kita anterin lu ke Ika.”

Kakiku terpaku di tempat. Jemari Saul menjepit kertas di kantongku dan mengeluarkannya. “Yuk, kita baca!”

Jiwaku melayang, lari entah kemana.

Mereka mengerumuni surat itu. Awalnya, ekspresi mereka jahil. Tanpa mereka sadar, aku sudah menyelinap di antara kerumunan. Terkencing-kencing. Dalam sedetik, Saul berteriak.

“CAKA!”

Saul mengejarku seperti anjing rabies. Dia menghalangiku dengan surat itu.

“Kenapa?” nadanya tersinggung. Terdengar walaupun seluruh aula dibungkus nyanyian. “Kenapa lu mau lapor kami ke kepsek?!”

Mereka bertiga menghalangiku lagi. Melotot.

“Nanti gue dihajar bokap gue.” suaranya memelas.

Dari ujung rambut sampai kaki, tiba-tiba aku mati rasa. “Ini buat kebaikan lo sendiri.” jawabku ketus.

Dari kejauhan, Ika sudah menunggu. Aku berlari, tapi Saul menahan kerahku. Aku tercekik.

“JANGAN!” Saul merenggut bajuku.

Tanganku menepis lengannya. “Lepas!” Aku berbalik menuju Ika. Saul mendorong dan membanting tubuhku. Tom dan Feni kabur terbirit-birit.

“Jangan cepu!” bisik Saul, membekap mulutku. “Gue gamau nyakitin lo!”

Aku menggigit tangannya. Saul menjerit kesakitan. Ratusan orang menengok. Satu aula berhenti bernyanyi. Pemain band menurunkan alat musik. Kami menjadi tontonan.

Aku terus menggeliat. “LEPAS! Muak, gua!” Sebuah tinjuan menghantam mataku. Aku menjerit histeris, membalasnya dengan tinjuan lebih kuat.

Leno, Ribka, Serah, Tina - semua orang yang kukenal melingkari kami. “TOLONG!” jeritku. Mereka menyaksikan, mengulurkan tangan, lalu merekam wajahku yang bonyok dengan hp.

“Woi!” Bu Intan membelah penonton. “Ada apa ini?!” Tangannya memisahkan kami.

Kami terjatuh, saling bertatap. Wajah merah, napas tak terkendali. Tatapan mata ingin saling membunuh. Di balik itu, hatiku hancur berkeping-keping. Perih setengah mati.

***

Bau obat mendampingi pintu-pintu rumah sakit. Pertanyaan-pertanyaan tak terhingga terpendam oleh suara langkah kaki. Aku berhenti di salah satu pintu yang berwarna biru. Gagang berputar, pintu terbuka. Seorang wanita terbaring di salah satu ranjang.

“Halo, Mama.”

Wanita itu membuka mata. “Caka!” Jarum-jarum menusuk tangannya yang lemas, tetapi wajahnya bersinar bagaikan matahari.

“Happy birthday, Caka! Sori Mami gak bisa ikut!”

Aku menggeleng-geleng. “Gak apa kok, Ma.” Jemariku mengelus tangan Mama.

“Jadi, siapa aja yang ngerayain ulang tahunmu, Caka?”

Aku menghela napas. “Aku gak ngerayain ultah, Ma. Sibuk belajar.”

“Belajar mulu! Hidup itu harus hepi hepi juga, dong!” Mama tertawa. Aku malas membalasnya.

“Ma…” sebuah senyum kupaksakan di wajahku. “Caka janji bakal dapet seratus buat Matematika.”

“Kenapa?”

Aku terdiam. “Biar Mama bangga.”

Mama cemberut. “Caka, Mama tau kamu kecewa sama Saul.”

Bibirku merapat. Hatiku menjerit-jerit tersiksa.

“Cuman, kamu juga butuh teman. Liat, kamu jadi sering menyendiri gitu!”

Aku tertawa. “Udahlah, Ma. Caka udah punya temen, kok!” aku bangkit dari kursi, berjalan ke arah pintu keluar.

“Siapa?”

“Mama!” Aku mengarahkan telunjuk pada Mama. “Dah, bye Ma. Caka mau ke toilet dulu.” Tanganku menggapai gagang pintu. Pintu setengah terbuka. Kaki kanan melangkah.

“Kamu yakin Mama selalu disini?”

Langkah berhenti. Waktu membeku. Udara menjadi hening. Aku mengepalkan tangan dan menahan napas.

“Ma… Tuhan bilang, Tuhan gak akan pernah ninggalin kita.”

“Iya,” jawab Mama.

“Terus, kenapa aku ngerasa kesepian?”

Mama menutup mulutnya.

“Sejak Caka dulu tinggal kelas, Caka jadi extrovert, punya banyak temen biar ga terlalu malu. Cuman… K-kok, C-caka masih ngerasa kesepian?”  Aku menyeka ujung mataku. 

Nafasku tertahan. Aku mengepalkan tangan. Akhirnya, aku bersuara.

“Ma, kenapa sih aku hidup?”

Mama menatapku lama. Air mata jatuh dari ujung mata. Satu, dua. Banjir. Tidak apa-apa kupikir. Tidak ada gunanya lagi. 

“Gak tau,” jawab Mama.

Aku mengangkat wajah. Terbata-bata. “A-apa?”

“Gak tau,” ulang Mama.

Kami terdiam. Hatiku seperti dicabik-cabik. Masa Mama gak tahu? Apa Mama lagi bercanda?

Mama menunjuk ke pintu. “Kamu akan ketemu jawabannya diluar sana,” Mama terkekeh. “Sana keluar, Mama mau tidur.”

Aku terdiam, berusaha memproses setiap perkataannya. Sama sekali tak paham.

Aku keluar dari kamar rawat Mama. Tanganku mendorong pintu.

“Janji ya, Caka! Seratus untuk nilai Mat!” Mama tersenyum, melambai padaku. Aku membalasnya.

Selama dua hari, aku begadang sampai tengah malam. Menatap layar dengan kosong. Tak ada satupun rumus matematika yang masuk ke otakku.

Kenapa aku hidup?

Hitam pekat. Cahaya layar laptop mencium wajahku. Napasku semakin berat. Baterai laptop habis. Layar mati. Gelap. Sunyi.

***

Dedaunan coklat rontok. Tawa canda terdengar samar, jauh dariku. Tanganku memegang buku Matematika dan pulpen.

Sekelompok siswa memakai kacamata tebal, membaca buku, tersenyum, tertawa.

“P-permisi…”

Mereka menoleh. Aku membungkuk.

“Boleh gak t-tolong…” Aku menelan harga diriku. “...a-ajarin aku Mat?

Mereka saling menatap, menghadap seorang perempuan. Aku mendongak, jantungku berdebar.

Ika tersenyum. “Caka, yuk belajar.” 

Mereka menyaksikan, mengulurkan tangan, dan membawaku masuk bersama mereka. Aku tidak tahu kenapa aku di situ.

Mereka membaca buku Matematika, menjabarkan rumus. Aku hanya menatap kosong. Mereka mengerutkan dahi, lalu berdiskusi.

“Caka, kamu belom paham?” tanya salah seorang. Aku menggeleng.

Mereka tersenyum. “Gapapa, ayo coba lagi.”

Mataku kosong. Kenapa mereka tersenyum? Kenapa mereka mengajariku dengan sabar? Kenapa?

***

Beberapa minggu kemudian, aku bertemu lagi dengan Mama. Mamaku terbaring di dalam kotak kayu.

“Halo, Mama.” Aku mencium keningnya. Sebuah senyuman terukir di bibirnya. 

Tanganku memegang lembar ujian Matematika “Caka berhasil dapet seratus, Ma… sesuai janjiku, Ma.”

Mama tidak menjawab, wajahnya putih seperti bunga-bunga yang mengelilinginya.

“Caka.”

Tanganku masih memegang ujung peti. Aku melihat kebelakang. Ika dan teman-temannya menghampiriku dengan pakaian serba hitam.

Termasuk Saul.

Tak ada satupun kata yang muncul di antara kami. Dentingan piano mengisi keheningan. Ekspresi datar. Namun, setitik air mengalir di pipiku.

Seketika, lupa bahwa kami pernah saling memukul, ingin saling membunuh. Saul melangkah, memelukku. “Maaf, Caka.”

Ika dan teman-temannya menonton. Air mataku mengering saat menyentuh bahu Saul. Aku membalasnya. Isakan dan hembusan AC mengisi ruangan.

***

Kantin dipenuhi tawa canda. Samar-samar. Matahari menyengat kulit. Kami menyendiri di ujung. Terdiam.

“Saul, gimana? Berhasil?” tanyaku lirih, bersandar pada tembok.

Saul menghela napas, menggeleng-geleng. “Gue udah coba berhenti. Susah.” Tangannya memegang pulpen itu. Asap mengepul dari ujungnya. “Masa gue harus ke konselor lagi?”

Aku menepuk pundaknya. “Gapapa. Kita coba lagi.”

“Sampai kapan?”

“Sampai kamu bisa.” Aku memasukan tangan kedalam kantong, mengintip kantin yang riuh dari balik kerumunan. Aroma nasi dan taman sekolah menyeruak. Mataku menyapu pemandangan, mencari si Anggrek Putih.

Saul menatapku bingung. Akhirnya, dia mengerti, tersenyum.

“Kalau lu? Udah ditolak?”

Wajahku memerah. “Gue mau coba dulu.”

Aku mengintip lagi. Ika keluar dari lorong, menenteng tas makan. Dia meletakkan sepiring nasi pada meja kantin.

“Dah, sana lu!” Saul mendorongku. Aku membusungkan dada, menghampiri Ika. Saul menonton. Tak terdengar satu pun kata antara aku dan Ika.

Aku kembali.

“Berhasil?” Saul tersenyum jahil.

Pipiku terbakar. “Kata Ika, ‘Jangan pacaran dulu. Anak SMA harus fokus belajar.’”

Saul terbahak-bahak. Beberapa guru menoleh curiga. Aku membekap mulutnya.

“Udahlah, Caka!” Saul meninggalkanku, menaiki tangga. “Pertemanan yang sehat itu lebih penting.”

Aku terdiam, mengangguk pelan. “Iya.”


Kami pun kembali pada kelas XI-5. Satu kelas menyapa, tertawa. Aku tersipu-sipu. Semua orang sudah tahu. Hari esok menunggu, menantikan pertunjukan berikutnya dari kami.

TAMAT

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
Pertunjukan Air Mata
Ictos Gold
Flash
Kelakar Radith
T. Filla
Cerpen
Pundak Perintis
Adam Nazar Yasin
Cerpen
Yang Dia Pilih Saat Dunia Ditawarkan
Siti Sulha Darmaini
Flash
THE UNSUNG MELODY
Flora Darma Xu
Cerpen
Bronze
Memahami
Daud Farma
Cerpen
Aku untuk Diriku Part 2
Dyah
Flash
Di Balik Mata Pisces: "Ketika Mimpi Bertemu Realita"
Alya Nazira
Flash
Lensa di Balik Tirai Dapur
INeeTha
Cerpen
Bronze
Reynald's Longing
Langitttmallam
Novel
Trilogi Trimatra: Cita Punca Prawira
elrena._
Flash
Bronze
Kata Mereka Akan Baik-Baik Saja
lidia afrianti
Cerpen
Tanah yang Ditinggalkan
Yovinus
Cerpen
Pemuda Di Kamar 17
Sucayono
Cerpen
Bantu Aku Mengeja "Tuhan"
dari Lalu
Rekomendasi
Cerpen
Pertunjukan Air Mata
Ictos Gold
Komik
Koi si Kapas
Ictos Gold
Komik
Eriga
Ictos Gold
Komik
Creamy & Rem
Ictos Gold