Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hari sudah semakin sore, langit sudah beranjak semakin gelap. Arga masih berkutat di kantornya. Masih ada dua berkas yang harus ia periksa sebelum ia bisa pulang dengan tenang tanpa kerjaan yang tertunda. Saat jam di tangannya menunjukkan pukul 6.30 sore, semua pekerjaan sudah tuntas ia selesaikan. Arga bergegas untuk meninggalkan kantor. Sesaat sebelum ia melajukan motor, sebuah notifikasi dari ponselnya berdentang. Arga pun segera mengambil ponsel yang berada dalam saku kemejanya.
“Hai, Ga. Apa kabar? Aku lagi di Jakarta. Ada waktu buat ketemu?
Satu pesan yang membuat Arga cukup terkejut tak percaya. Arga memilih mengabaikan pesan itu. Ia segera melajukan motornya.
Meski tatapannya fokus pada setir dan jalanan di hadapan, namun pikiran Arga melayang pada si pengirim pesan. Aleena … ada apa denganmu? Desis Arga pelan. Aleena, satu nama yang masih melekat erat dalam hatinya. Meski Aleena sudah sengaja meninggalkannya, dengan alasan tak mampu menolak perjodohan yang dilakukan orangtuanya.
Arga yakin, ada sesuatu yang tidak baik sedang terjadi dengan Aleena. Karena dari lima tahun yang lalu, sejak perpisahan itu terjadi, Aleena tak benar-benar meninggalkannya. Ia akan selalu datang lagi dan lagi menghubungi Arga untuk sekadar menumpahkan keluh kesah. Dan Arga, dengan suka rela akan selalu ada untuk Aleena, mendengar setiap cerita yang Aleena bagi padanya. Karena baginya, dengan cara itu ia tak akan pernah kehilangan Aleena. Meski begitu, Arga tak pernah berharap untuk dapat bertemu lagi dengan Aleena. Karena jarak mereka yang terpisah cukup jauh, dan juga karena Arga ingin menghargai pasangan Aleena saat ini.
Arga tiba di rumahnya dengan pikiran yang masih melayang kepada Aleena. Pikiran dan hatinya mulai menabuh gendrang peperangan. Hatinya yang rindu berat kepada mantan kekasih yang masih dicintainya mendesak untuk menjawab ajakan Aleena. Hitung-hitung mengakhiri rindu yang sudah bertahun kau tanggung, Arga. Ketemu lah sebentar! Bisik hati kecilnya. Jangan!! Inget! Dia istri orang, Ga! Lu kan udah janji nggak akan ada pertemuan lagi sama dia! kini logikanya berteriak. Dan Arga semakin bingung untuk menjawab pesan Aleena.
Sementara Arga sedang berperang dengan pikiran dan batinnya, Aleena menunggu balasan Arga dengan harap-harap cemas. Ada rindu yang sama besarnya dengan apa yang Arga rasakan. Aleena tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Bahkan salah satu tujuannya meminta ijin kepada sang suami untuk ke Jakarta selain bertemu dengan kakaknya adalah karena ia ingin bertemu dengan Arga.
Aleena baru saja kembali ke kamarnya setelah membuat sebotol susu untuk sang buah hati yang tiba-tiba saja terbangun. Arga … lihatlah! Namamu melekat pada malaikat kecilku, gumam Aleena. Tak lama kemudian ia mendengar notifikasi pesan berdentang.
‘Besok sore, jam 5 aku tunggu di kafe biasa.’
Sebuah balasan dari Arga akhirnya ia terima. Aleena begitu berbinar membaca balasan pesan dari Arga. Hatinya terasa menghangat dan berbunga. Rasanya, ia ingin segera memutar waktu lebih cepat.
****
Hari ini Arga ijin pulang lebih cepat dari kantor. Semua tanggung jawabnya sudah ia rapihkan lebih cepat dari biasanya. Sebelum menuju ke kafe, Arga memilih untuk ke pemakaman sang ibu lebih dulu.
Arga menatap pusara di hadapannya dengan tatapan yang begitu sendu. Penyesalan terbesar sejak kepergian ibunda adalah karena ia tak berhasil mempersunting Aleena, sang kekasih, menjadi istrinya. Padahal ibunya sudah sangat merestui hubungan mereka. Namun Arga yang saat itu memilih fokus untuk merawat ibunya dan berambisi agar sang ibu segera pulih dari sakitnya, selalu mengabaikan permintaan ibu untuk segera menikahi Aleena. Jika mengingat masa-masa itu dada Arga terasa begitu sesak.
“Bu, kemarin Aleena datang lagi ke Jakarta. Setela lima tahun nggak ketemu, dia minta untuk ketemuan. Dan aku bilang sore ini kita ketemu. Ibu kangen nggak sama Aleena? Calon mantu yang disayang banget sama ibu, hehehe.” Ucap Arga pelan di hadapan pusara sang ibu. Seolah ia sedang bercerita seperti biasa saat ibunda masih ada di sisinya.
Ibu adalah satu-satunya orang tua yang ia miliki. Sang ayah meninggal di hari kelahirannya. Dan sepanjang hidupnya itulah, satu-satunya tempat cerita terbaik untuk Arga adalah sang ibunda. Arga menjadi saksi mata bagaimana ibu berjuang seorang diri merawat dan membesarkannya. Maka, ketika sang ibu jatuh sakit, fokus Arga hanya satu; kesembuhan ibu. Tidak lagi terpikir olehnya untuk segera menikahi Aleena. Meski ia tahu, Ibu begitu menyayangi Aleena dan ingin mereka segera menikah.
“Hari ini, Arga mau ketemu Aleena ya, Bu. Cuma mau sedikit melepas rindu. Ibu pasti tau, serindu apa Arga sama dia, ya kan? Arga janji, nggak akan menghancurkan kebahagiaan Aleena dengan keluarga kecilnya. Nggak akan merebut Aleena dari siapapun. karena, secinta apapun Arga sama dia, pada akhirnya jodoh dia bukan Arga. Ya, kan? Dan Arga janji, ini adalah pertemuan terakhir Arga sama dia. Setelah ini Arga janji akan melepaskan dia. Ibu ikhlaskan? Pasti Ibu juga nggak mau melihat Arga kaya gini terus, kan?” lanjut Arga dengan mata yang sudah hampir basah.
“Bu, Arga pamit, ya. Nanti Arga ke sini lagi. Arga akan ceritakan ke Ibu apa saja yang terjadi dari pertemuan Arga dengan Aleena.” ucap Arga sambil mengusap pelan batu nisan sang ibu. Setelah menabur bunga dan mengirimkan do`a, Arga pun beranjak meninggalkan pemakaman sang Ibu.
Tepat jam lima sore, Arga tiba di kafe yang dijanjikan. Arga memilih meja di bagian outdoor dekat taman kecil dan juga panggung live music. Tempat favorit ia bersama Aleena tiap kali ke kafe tersebut. Arga memesan secangkir Americano coffe dan sepotong roti bakar keju untuk menemaninya menunggu Aleena. Sepuluh menit berlalu, dan Arga bisa menangkap Aleena memasuki kafe. Dengan sigap Arga memesan ice cappuccino late dan juga roti coklat kesukaan Aleena kepada witers yang kebetulan lewat di samping mejanya.
Aleena tiba di hadapannya. Mengenakan kaos navy dipadukan rok levis selutut dengan bordir bunga di pinggirannya. Rambutnya yang sebahu dibiarkan terurai, dan dipermanis dengan jepit rambut kecil berwarna pink di sisi kanan. Cantik, manis, masih seperti dulu, bisik hati Arga saat melihat Aleena duduk di depannya.
“Hai! Kok bengong? Ada yang aneh sama penampilan aku?” tanya Aleena memanggil fokus Arga kembali.
“Eh, sorry. Enggak ko. Perfect. Masih sama seperti dulu.” jawab Arga yang masih memandang Aleena begitu lekat. Aleena merasa salah tingkah dengan tatapan Arga.
Tak lama kemudian seorang pramusaji datang mengantarkan pesanan Arga untuk Aleena.
“Masih inget aja.” gumam Aleena sambil tersenyum.
“Apapun tentang kamu. Semua masih diingat dengan sangat baik.” jawab Arga sambil menatap Aleena dengan begitu lekat.
“Ngomong-ngomong aku laper, tau! Roti ini doang kayanya enggak cukup deh!” ucap Aleena sambil mencondongkan badan kedepan dan setengah berbisik. Arga tertawa melihat dan mendengar tingkah Aleena.
“Bakso malang pak kumis, deket kampus, mau??”
“Ah … mana bisa nolak! Ayo!”
“Habiskan dulu itu. Kopi dan roti itu enggak mungkin mengisi penuh kapling perut kamu, kan?” ledek Arga disusul dengan tawa renyahnya.
“Tau aja, ih!”
“Ya taulah! Apa yang aku enggak tau soal makanan dan minuman favorit kamu? Bahkan segala sesuatu tentang kamu masih sangat tahu!”
Aleena tersipu mendengar jawaban Arga.
“Ngomong-ngomong kenapa Arga junior enggak diajak?”
“Dia lagi asik main sama sepupuhnya. Dan aku … cuma mau quality time sama kamu sore ini.”
“Mas Harry? Dia tau kamu ketemu aku?”
“Ya gak lah! Dia juga lagi sibuk dengan kerjaannya di Kalimantan. Makanya aku ijin ke dia untuk ke Jakarta.”
“Terus ibu sama siapa di Surabaya kalau kamu tinggal ke sini?”
“Ada bude Laras. Aku udah titip ke beliau. Semenjak bapak nggak ada, Ibu jadi males pergi jauh-jauh. Kalau Ibu mau ikut, pasti udah ku ajak.” Jelas Aleena.
“Ga, kangen nggak sama aku?” tanya Aleena setelah mereka saling terdiam beberapa saat.
“Harus dijawab?” Arga balik bertanya. “Udah abis, kan? Ayo ke pak kumis!” Ajak Arga sambil beranjak dari kursinya dan menarik tangan Aleena dengan lembut.
“Ini helmnya.” Ucap Arga sambil menyodorkan helm yang ia bawa khusus untuk Aleena.
“Helm ini masih kamu simpen?” tanya Aleena tak percaya.
“Iyalah! Banyak kenangannya. Sayang kalau dibuang apalagi dikasih orang. Ayo, keburu tutup nanti.” Ajak Arga yang sudah siap.
Mereka pun bertolak ke kedai bakso malang pak kumis yang berada di samping kampus. Hanya lima belas menit dari kafe, mereka pun sampai di kedai tersebut. Aleena memesan porsi bakso malang tanpa tahu, sedangkan Arga komplit seperti biasa. Sejak dulu Aleena selalu menukar tahu bakso atau gorengannya. Sangat bertolak belakang dengan Arga. Setelah menyapu bersih bakso milik masing-masing, mereka memutuskan untuk mampir kembali ke kampus. Sebuah gazibu di belakang fakultas Aleena menjadi pilihan mereka. Menikmati senja yang semakin beranjak sambil melihat para mahasiswa yang sudah bergegas pulang satu persatu.
“Na, kamu bahagia, kan selama lima tahun ini?” tanya Arga.
“Menurut kamu? Pasti kamu bisa ukur dari setiap cerita aku ke kamu selama ini, kan?”
“Iya, tapi setahun terakhir ini kamu nyaris menghilang, Na.” Ucap Arga sambil menatap Aleena. Ia mengembuskan napas sedikit berat. “Aku rasa, kamu mulai bahagia bersamanya, menikmati keluarga kecilmu.” Lanjut Arga. Meski disusul sebuah senyuman, ada gurat sendu dari wajah Arga yang tertangkap di mata Aleena.
“Kamu mau sampai kapan sendiri begini, Ga?” Tanya Aleena mengabaikan pertanyaan Arga.
“Enggak tau, Na. Aku enggak perlu jelaskan alasannya, kan?”
Aleena mengangguk menjawab pertanyaan Arga.
“Cintaku habis di kamu, Na. Sulit untukku menghadirkan orang baru. Aku pernah coba, tapi pada akhirnya gagal. Karena aku mencari kamu di dirinya. Jahat ya aku? Padahal sampai kapanpun aku nggak akan pernah menemukan kamu di orang lain, kan?” Jelas Arga tanpa Aleena minta.
“Maafin aku, Ga. Aku …”
“Bukan salah kamu, Na. Kamu enggak perlu minta maaf.” Arga cepat memotong ucapan Aleena. “Tugas kamu saat itu memang taat kepada Bapak. Aku paham kondisinya, sulit buat kamu menolak perjodohan itu di saat aku juga enggak bisa memastikan kapan bisa menikahimu. Karena emang saat itu fokusku adalah kesembuhan Ibu. Walau pada akhirnya … aku nggak bisa melihat ibu sembuh, dan aku pun harus kehilangan kamu.” Arga sebisa mungkin menekan emosinya agar matanya tak basah. Sementara Aleena yang berada di hadapan sedang menatapnya dengan mata yang mulai basah.
“Jangan nangis. Kamu tau titik kelemahanku, kan?” ucap Arga sambil menghapus titik air mata Aleena yang mulai membasahi wajah.
“Maafin aku karena enggak bisa memperjuangkan kamu saat itu, Ga. Dan maaf juga aku gak bisa hadir di hari pemakaman Ibu.”
“It`s ok, Na. Kamu enggak perlu minta maaf. Udah, aku enggak mau liat air mata kamu hari ini.” Jawab Arga sambil pelan menarik Aleena ke dalam rangkulannya. Perlakuan Arga justru membuat air mata Aleena semakin deras membasahi wajah.
“I miss you so badly, Ga.” Ujar Aleena nyaris berbisik. Dan Arga bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Aku pun sangat merindukanmu, Na. setiap hari, setiap waktu. Tapi aku bisa apa sekarang? Kamu sudah milik orang lain sekarang, jawab Arga dalam hatinya.
“Na, aku minta ini adalah pertemuan terakhir kita, ya.”
Aleena sontak mengangkat kepalanya. Mencari manik mata Arga demi menangkap sebuah keseriusan di sana.
“Mulailah belajar singkirkan aku dari kehidupanmu. Fokuslah sama keluarga kecilmu. Kamu tak perlu selalu ada untuk membuatku bahagia. Cukup kamu bahagia dengan apa yang menjadi milikmu saat ini, itu udah lebih dari cukup untuk membuat aku tenang dan ikut bahagia.”
“Arga … tapi, kan kamu tau aku …”
“Iya, aku tau. Makanya aku minta sama kamu, belajar melihat dan merasakan cinta dia secara utuh ke kamu, dan abaikan aku. Jangan cari aku lagi setelah ini. Bisa, ya?”
Permintaan Arga justru membuat air mata Aleena semakin sulit untuk berhenti. Perih hati Arga melihat Aleena menangis di hadapannya. Arga segera memeluk Aleena, memberikan sedikit ketenangan untuknya.
“Kesempatan untuk kita seperti dulu udah gak ada, Na. Sekarang yang perlu kamu lakukan adalah belajar mencintai dia dan melupakan aku. Anggaplah ini sebagai salam perpisahanku buat kamu. Please, jangan nangis lagi, aku enggak bisa lihat air mata kamu.” Dengan pelan Arga mengucapkan kalimat itu di telinga Aleena.
Setelah Aleena jauh lebih tenang, Arga mengajaknya pulang. Kali ini, Arga tidak memiliki keberanian untuk mengantar Aleena sampai depan rumahnya. Arga hanya mengantar Aleena sampai depan gang.
“Hati-hati, ya. Terimakasih untuk pertemuan hari ini.” kata Aleena sambil menyerahkan helm yang ia gunakan.
“Iya. Jangan lupa untuk selalu bahagia, ya. Aku pamit.” Arga langsung putar balik setelah melihat senyum Aleena melayang untuknya.
****
Bu, hari ini aku ketemu Aleena. Dia masih cantik seperti dulu. Tidak banyak yang berubah darinya. Dia pun masih menyimpan rasa yang sama denganku. Arga nyesel banget, Bu. Kenapa dulu Arga gak menuruti permintaan Ibu. Tadi Arga udah bilang sama dia, hari ini adalah pertemuan terakhir kita. Arga udah janji sama Ibu, kan? Arga tidak akan pernah menghancurkan kebahagian dia bersama keluarga kecilnya. Arga sedih banget, Bu. Ibu pasti tau, kan? Berat banget melepas dia, Bu. Arga masih sangat mencintai dia, Bu. Arga enggak tau, bagaimana caranya untuk tetap melangkah melanjutkan hidup sedangkan dunia Arga sudah hampa banget. Enggak ada Ibu, enggak ada Na, Arga nyusul Ibu aja kali, ya? Arga bingung, Bu. Pertemuan hari ini membuat Arga bahagia sekaligus hancur.
Tanpa disadari, Arga melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Hingga kemudian ia tersadar dengan suara klakson yang begitu panjang di perempatan lampu merah, lampu mobil yang menembaknya dari sisi kanan, hingga akhirnya tubuhnyanya melayang, terlepas dari kemudi motor, dan ia terbanting begitu hebat di atas aspal.
Sesaat kemudian Arga merasa kepalanya begitu basah. Badannya lemas tak mampu ia gerakkan. Ia hanya mampu mendengar sayu beberapa orang berteriak “darah … itu darah nya banyak banget!” Dan tak lama Arga melihat dengan samar sang Ibunda datang di antara kerumanan orang, dan mengulurkan tangannya kepada Arga.
“Ibu ….” Lirih Arga sambil tersenyum sebelum akhirnya ia terpejam untuk selamanya.