Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Darmadi menghentikan motornya tepat di garis batas parkir sebuah rumah makan padang. Bagian depan menghadap utara, sepatbornya menoleh ke arah kiblat. Posisi motornya seumpama mayit saat akan dikuburkan. Setelah mengunci setangnya dua kali, dia melangkah masuk ke dalam rumah makan yang belum terlalu ramai itu. Maklum belum masuk jam makan siang, dan sejatinya Darmadi juga tidak suka kalau obrolan soal bisnis dikelilingi khalayak yang tak berkepentingan.
Di sudut yang tidak terlalu menarik, dua orang yang menunggunya terlihat tengah menyantap masing-masing seporsi nasi padang yang asapnya masih mengepul, tanda kalau nasinya memang baru diangkat dari dandang.
“Maaf, sudah lama, ya?” sapa Darmadi, “Biasa, pagi-pagi ada saja deal yang harus cair,” lanjutnya.
“Gak apa-apa, Mas, ini juga baru mulai makan. Deal-nya lancar?” sambut lelaki berkemeja kotak-kotak biru.
“Ya, lumayan buat jajan dua-tiga hari.”
“Mas!” seru Darmadi kemudian kepada seorang pramusaji. Walaupun berlabel warung makan padang, Darmadi tahu kalau pegawainya orang Jawa semua. Pemiliknya juga.
“Mau pesan apa, Pak?” tawar pramusaji itu.
“Pakai kembung balado satu, sama tambah perkedel satu,” pesan Darmadi, “kuahnya banyakin, ya, Mas,” tambahnya.
“Minumnya, Pak?”
“Air putih saja.”
“Biasanya pesan rendang, Mas?” tanya kolega berbaju biru itu. Namanya Sangaji, panggilannya Ngaji. Bagi Darmadi, Sangaji adalah salah satu informan, penghubung, atau apapun sebutannya. Sangaji sendiri menganggap dirinya adalah murid Darmadi, tak lain karena dia ingin punya karier dan reputasi sehebat mentornya itu.
“Pagi tadi si Hartono ngajak sarapan daging, sekarang ikan saja, lah,” jawab Darmadi. Sangaji juga pasti tahu, nama yang barusan dia sebut tak lain adalah petinggi di salah satu instansi pemerintahan kabupaten.
“Oalah, pantesan,” sambut Sangaji.
“Oh, iya, kenalkan ini Mas Dahlan,” sebut Sangaji mengenalkan orang yang duduk di sampingnya. Laki-laki berkaca mata dan berwajah santun itu mengulurkan tangan. Tak ragu, karena dia menyantap makanannya dengan sendok. Tangannya bersih. Darmadi menyambutnya dengan genggaman dan senyuman mantap. Melalui pesan pendeknya, Sangaji sudah menyampaikan kalau orang itu adalah pebisnis muda yang punya hubungan dengan “orang penting” di kota ini.
“Mas Dahlan, ini orang hebat yang saya sebut bisa bantu keperluan Mas Dahlan,” sebut Sangaji kepada lelaki berkaca mata, mulai mempromosikan reputasi Darmadi.
Sangaji memang bicara fakta. Di antero dunia bisnis dan birokrasi kota ini, nama Darmadi sudah masyhur. Melalui jaringannya Darmadi bisa menjadi penghubung, pelobi, penawar harga atau apapun namanya. Banyak orang yang sukses dengan jasa blantiknya itu. Namun walaupun sudah senior, Darmadi masih merendah dengan menyebut dirinya sebagai “calo” saja.
Ya, calo.
Darmadi memulai dunia percaloannya sejak masih muda. Diawali jasa birokrasi remeh di kantor Samsat dan Satlantas, membantu para pencari jalur cepat untuk membayar pajak kendaraan, membuat SIM atau ikut sidang tilang. Berbekal banyak kenalan dan saudara di lembaga-lembaga itu, kariernya sebagai calo mandiri berjalan mulus. Darmadi hanya perlu mendistribusikan imbalan jasa yang dia dapat kepada operator dan para petingginya secara proporsional. Sisanya, pendekatan personal menjadi andalan Darmadi untuk menjalin kontrak tak tertulis dengan mereka.
Pasar pelanggan Darmadi meluas ke pengurusan izin-izin. Surat domisili, referensi lurah, sampai SKCK bisa dia fasilitasi, yang semakin mengasah pengalamannya sebagai makelar ulung.
Tak berhenti di situ, peruntungan Darmadi semakin moncer ketika mulai merambahkan diri menjadi makelar jual beli rumah dan tanah. Kota kecilnya ini punya banyak lahan kosong. Semakin dekat ke arah dataran tinggi, makin banyak lahan terbuka yang masih berupa kebun dan sawah.
Mulai dari membantu orang-orang desa menjual rumah atau kebunnya, yang biasanya untuk melunasi utang, Darmadi mulai bertemu dengan beberapa orang berduit. Melalui mereka inilah Darmadi bisa membuka lahan garapan yang lebih lebar lagi, yaitu bisnis pengembang properti.
Tugas Darmadi sangat mudah dan sesuai keahliannya. Dia cukup melobi para pemilik tanah di desa-desa, mendapatkan harga yang pas (mahal versi orang desa, sangat murah versi pemodal), hingga mengurus segala surat-suratnya. Atas jasanya itu Darmadi bisa mendapat dua keuntungan: Imbal jasa dari para pebisnis, serta uang terima kasih dari orang-orang desa yang sudah dibantunya menjual tanah mereka dengan harga “mahal”. Untuk keuntungan kedua, Darmadi memilih menolak, atau kalaupun diterima sepenuhnya dia gunakan untuk membelikan barang-barang kebutuhan si empunya tanah. Tidak, itu bukan balas budi atau bentuk empati, Darmadi hanya sedang membeli modal sosial agar namanya semakin dikenal. Esok atau lusa, si empunya tanah akan mempromosikan namanya jika ada warga desa lain yang butuh dijualkan tanah atau rumahnya.
Lapangan basah tapi receh di kantor Samsat dan Satlantas sudah lama dia tinggalkan dan Darmadi serahkan ke anak buahnya saja. Dia hampir tak mengambil sepeserpun dari lahan bisnis itu. Niatnya murni membantu orang-orang yang mencari jasa penghubung dan anak-anak muda yang butuh pekerjaan. Mulia sekali, bukan?
Di luar itu, pada usianya yang sudah menginjak kepala empat, kariernya masih terus melaju. Dengan tantangan yang semakin besar tentu saja. Para pebisnis itu ternyata bukan hanya mengincar tanah di desa-desa, namun juga lahan di tengah kota. Pemukiman warga atau area pertokoan yang dimiliki banyak individu ingin juga mereka sikat untuk dibangun pusat bisnis milik pribadi: Hotel dan pusat perbelanjaan.
Para pebisnis yang sudah dekat mulai memperkenalkan dirinya dengan orang-orang di instansi pemerintahan, mulai dari para petinggi kantor dinas hingga orang-orang yang berada di ring satu kantor pusat pemerintahan kabupaten. Semua jaringan itu tak lain hanya untuk membisikkan misi Darmadi: Birokrasi sudah kami pegang, urusan lokasi di lapangan tolong kamu selesaikan.
Darmadi mengerti.
“Bahkan mal yang ada di belakang warung padang ini, Mas Darmadi ini lho yang bisa tembusin harganya,” puji Sangaji. Laki-laki di sampingnya hanya tersenyum sambil mengangguk. Entah kagum atau basa-basi saja.
“Saya tidak sehebat itu, Mas Dahlan,” sanggah Darmadi, “makanya saya minta ketemu di sini, sekalian bisa saya kasih tahu kalau saya juga ada gagalnya. Warung padang ini satu-satunya bangunan yang tidak tembus saya lobi. Sampai angka berapapun, pemiliknya gak mau lepas.” Bagi Darmadi, sedikit merendah adalah basa-basi paling ampuh untuk menjaring mitra bisnis.
“Oh, pantesan lokasinya aneh sekali ya, Pak,” sebut Dahlan yang seolah baru tersadar kalau warung makan padang itu berdiri canggung di tepi jalan utama kota, tepat di depan mal besar yang baru berdiri satu tahun terakhir.
“Bahkan dengan risiko penjualannya bakal turun drastis akibat orang-orang lebih memilih ke mal, si pemilik tetap memilih bertahan.” Darmadi lanjut menceritakan, “Yang punya warung makan bilang ke saya, ‘Nanti kalau saya sudah mati, coba Mas Darmadi tawarkan harga lagi ke anak saya.’”
Sangaji dan Dahlan hanya menyambutnya dengan beberapa anggukan sambil meneruskan kunyahan nasi padang yang kuah santannya lumer-lumer di bibir mereka.
“Jadi, Mas Dahlan, apa yang bisa saya bantu?” Darmadi memulai bisnisnya.
“Jadi begini, Pak,” mula Dahlan setelah minum seteguk air dan mengelap mulutnya, “saya mau beli tanah kuburan.”
“Tanah kuburan? Mau dibangun apa, Mas? Perumahan atau pertokoan?” cecar Darmadi. Dia seperti melihat prospek baru yang menjanjikan. Selama ini, dia tidak pernah mengira ada orang yang mau mengincar tanah kuburan sebagai lahan bisnis. Selain tidak etis, tentu saja apa yang nanti berdiri di sana bisa jadi bangunan angker. Namun barangkali seiring semakin menyempitnya lahan di tengah kota, tanah kuburan pun mulai jadi pilihan.
“Enggak, Pak, bukan untuk didirikan bangunan. Saya mau dapat tanah itu untuk dijadikan kuburan,” kata Dahlan yang sontak meruntuhkan angan-angan Darmadi.
“Lho, kuburan kan memang buat kuburan, Mas,” timpal Darmadi, “Tinggal bayar ke pengelolanya saja.”
“Itu dia masalahnya, Pak.”
“Apa masalahnya?”
“Saat ini ibu saya sedang sakit keras dan dirawat di rumah sakit. Sepertinya umurnya gak lama lagi. Ibu pesan, kalau sampai tutup usia Ibu minta dimakamkan di samping kuburan Bapak,” cerita Dahlan dengan mata agak berkaca.
“Lalu?” Darmadi mulai tidak sabar.
“Tanah di samping kuburan Bapak sudah ada yang pakai.”
Mengingat sepak terjangnya selama ini, membeli sepetak tanah kuburan, walaupun belum pernah, bagi Darmadi hanyalah pesanan remeh yang seharusnya bisa Sangaji tangani sendiri. Namun kalau dirinya saja belum pernah, apalagi si Ngaji itu. Darmadi mencoba maklum, dan memutuskan untuk melayaninya sendiri. Toh, status pelanggannya yang punya hubungan dengan “orang penting” itu bisa bermanfaat buatnya nanti.
“Kuburannya terawat, gak?” tanya Darmadi.
“Tidak, Pak, tinggal nisan dan tanah yang mulai ditumbuhi rumput. Karena saya juga sering mengurus makam bapak dan mbah saya yang ada di sampingnya, saya lihat sepertinya makam itu tidak pernah didatangi siapa-siapa.”
“Ok, kalau begitu sih pasti bisa saya bantu,” ucap Darmadi berjanji. “Tapi kita harus lihat lokasinya dulu,” lanjutnya. Kunjungan ke lokasi sejatinya hanya untuk menaikkan nilai tawar. Dia tahu pasti, ini perkara mudah.
“Baik, Pak, habis ini kita bisa langsung ke sana,” ajak Dahlan. “Tolong bisa dibantu ya, Pak Darmadi. Soal biaya buat saya gak ada masalah,” lanjutnya memohon. Darmadi membalasnya dengan anggukan dan senyum yang sangat meyakinkan.
Karena kota itu tak begitu luas dan tak pula macet, belum menginjak 15 menit mereka sudah sampai di lahan pemakaman yang dimaksud. Setelah memarkir kendaraan, mereka pun masuk ke area kuburan. Nisan dan tanah berjajar. Ada yang hanya berupa gundukan tanah, ada yang dilapisi keramik, bahkan ada yang didesain lebih cantik dengan bebatuan dan ditanami beberapa tumbuhan segar. Terawat.
Darmadi kenal area pemakaman ini. Dia sering melewatinya, tapi dia lupa kapan terakhir memasukinya. Semakin mereka berjalan ke tengah lahan pemakaman, semakin Darmadi masuk ke ruang-ruang kenangan yang sudah lama tidak dia kunjungi. Tapak demi tapak, langkah hati-hati mereka diwarnai loncatan-loncatan kecil menghindari nisan yang kadang berada di ruang yang tidak terduga. Darmadi mencoba menelusuri ingatannya, kapan bulan puasa terakhir dia datang ke pemakaman ini.
“Itu kuburan bapak dan mbah saya,” tunjuk Dahlan seraya mencabut Darmadi dari benam kenangannya.
Ketika mereka mendekat ke tanah yang dituju, segalanya terpampang jelas: Kontradiksi. Dua makam yang dilapisi keramik bersih dengan warna senada tampak apit berdampingan. Makam bapak dan kakek Dahlan. Terhormat. Di sampingya, segunduk tanah makam dengan rerumputan dan nisan kayu yang sudah digerogoti rayap benar-benar merusak pemandangan kedua makam indah tadi. Sangat tidak terawat. Tidak terhormat.
Namun yang melintas di benak Darmadi tidaklah demikian. Belai-belai kenangan kini berubah menjadi bilah-bilah hujaman yang menikam rasa sakitnya. Seperti ada sebuah cangkul yang berhasil menggali kembali sebidang luka yang lama dan jauh terpendam di dalam hatinya.
Gundukan pusara dan rimbun ilalang itu seperti melambaikan tangan kepadanya, melayangkan ucapan salam yang begitu mengiris dadanya. Seketika lisan dan sendinya disayat kelu. Angin siang itu bertiup gemulai, namun entah mengapa cukup mampu membuat tumpuan Darmadi lunglai. Sebelum limbung, dia diselamatkan oleh pertanyaan yang mengusik wibawanya.
“Pak Darmadi kenapa? Kok, pucat begitu?” tanya Dahlan khawatir.
“Ah, saya gak kenapa-kenapa, kok.” Mata Darmadi kembali beralih ke kuburan itu.
Secara nalar, tanah makam itu mudah saja dibeli, bahkan terlampau mudah untuk makelar sekelas Sangaji sekalipun, karena keluarga penghuni makam jelas tidak pernah merawat kuburan itu. Janji adalah janji, yang telanjur Darmadi ucap dalam sesumbar yang jemawa tadi. Reputasi Darmadi dipertaruhkan di sini.
Darmadi memandang nanap pada nisan bertuliskan nama ibunya. Selembar daun jatuh tak jauh dari tempat dia berdiri dengan gemetar.