Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pertanda
Pernahkah kamu merasa ada sesuatu di dalam hatimu, namun tidak bisa keluar? Tak lega rasanya meski sudah berulang-ulang kali coba pikirkan. Lalu tanpa terduga sampailah pada momen acak, namun sanggup jelaskan isi hati itu walau tanpa bahasa. Pernahkah kamu merasakannya?
10.05
“Ranum, kau bilang kemarin nggak bisa tidur, tapi kenapa masih tampak segar-segar saja kau ini?”
“Aku minum kopi 2 gelas, plus kakak nggak lihat kantung mataku yang hitam ini?”
“Ah, kantung mata apanya? Nggak kau lihat kantung mata si Dewi? Menggantung ahahahah….”
“Tuhan Yesusku. Masih pagi sudah menggosip. Btw, bajumu bagus banget, kak. Cantik warnanya.”
“Ish…baru sadar kau cantik aku? Ahahaha….bajuku ini walaupun warna biru muda terang norak kaya gini, tapi pacarku yang beli dua hari lalu. Mahal lagi. Nanti mau dinner kami di Plataran Dharmawangsa, makanya kupake sekarang," jelasnya dengan alis naik turun dan wajah ceria.
“Ish…romantisnya.”
“Iyalah. Kau juga cari yang romantis, yang banyak uangnya. Kita wanita mandiri ini harus dapat yang sepadan.”
“Amin. Aku lanjut kerja dululah ya kak. Laporan pembukuanku masih banyak yang belum selesai.”
“Ya, udahlah. Anak-anak finance ini memang paling rajin dari dulu. Nggak ada libur-liburnya. Ya, udah aku mau ke kantin, mau titip makanan nggak?”
Ranum menggeleng. Rosaria Tambunan memutar bola mata sambil berlalu sebab Ranum, sahabatnya, benar-benar sedang tak bisa diganggu. Teman satu divisinya yang lain jarang ada di kantor, termasuk dia sendiri. Jadi, jika sedang di kantor, dia akan segera berlari ke ruangan Ranum untuk berbincang-bincang.
Bulan Desember memang bulan-bulan di mana divisi finance super sibuk mengurus laporan tutup buku dan lain-lainnya. Beberapa tingkat lebih sibuk dari bulan-bulan biasa. Sedangkan Rosaria dari divisi marketing, santai-santai saja, sebab target penjualan tahunan mereka sudah tercapai.
Ranum menggleng-gelengkan kepala begitu Rosaria tak tampak lagi. Sungguh santai hidup sahabatnya itu, pikirnya. Namun bekerja dengan target penjualan juga bukanlah pekerjaan yang mudah. Bekerja di balik komputer, bermain dengan angka-angka, laporan, Vlookup, Hlookup, Pivot Table dan sederet rumus-rumus excel lainnya adalah pekerjaan yang menjanjikan dan stabil, begitulah prinsip Ranum hingga akhirnya terjebak di divisi finance.
“Mbak Num Num….”
Ranum yang tengah asyik mengetik di komputer, menoleh ke arah suara. Dewi bersender di pintu baru saja kembali dari toilet dengan wajah lelah dan pucat.
“Masih diare?” tanya Ranum. Tak hanya pada wajah Dewi yang lemah, perhatiannya juga tertuju pada celana high waist Dewi yang berwarna biru muda cerah, sama persis seperti warna baju Rosaria.
“Masih, Mbak. Aku malu bolak-balik toilet terus.”
Dewi masuk dan langsung tiduran di sofa. Ranum menyuruhnya minum obat Diatab namun tak dihiraukan. Ia asik tidur sambil memegangi perut. Tak berapa lama tiba-tiba ia bangkit lagi. Sambil izin ke toilet lagi, Dewi pun berlari keluar. Ranum kembali menggeleng-gelengkan kepala.
13.30
Lalu-lalang orang masuk dan keluar kantin menyambut Ranum yang baru saja sampai. Detik ia masuk, banner salah satu tenant warung baru tertangkap oleh matanya. Warung Ayam Geprek Pak Biru. Tulisannya begitu besar dengan banner biru muda terang. Ranum mengucek-ucek mata, memastikan apakah benar banner itu berwarna biru. Sebab sangat asing sekali rasanya warung ayam geprek dengan banner biru muda terang.
Biru muda terang sudah lima kali tertangkap oleh matanya. Dua dari pakaian teman kerjanya, satu kotak pensil di atas meja pak satpam yang dilewatinya ketika hendak ke kantin. Satu lagi Tas ransel anak magang yang menyapanya di gerbang. Warna yang entah kenapa tiba-tiba mengusik fokus.
Menurut pengalamannya di finance, ini adalah pola aneh yang terus-terus terjadi. Pola yang pasti akan menghasilkan kesimpulan. Namun, karna tak ada angka, penjelasan, bukti transaksi dan lain-lain, maka tak ada juga rumus apa pun yang akan simpulkan.
19.05
Di dalam busway menuju kosan untunglah ia dapat tempat duduk setelah 2 halte berlalu. Kakinya sudah sangat pegal karena harus berpegangan pada gantungan tangan sambil memegang tote bag berisi sepatu yang dibeli online. Sekaligus menggendong tas ransel di depan badan yang berisi laptop kantor. Sementara tujuannya masih ada tujuh halte lagi.
Begitu duduk ia bersender dengan kaki berselonjor. Rambutnya diikat cepol sampai ke atas agar kepala nyaman menempel di sandaran kursi. Mata ia pejamkan setelah menarik dan membuang nafas dalam. Seluruh badannya pun rileks. Mata terutama, sebab tak lagi harus menangkap warna-warna.
Satu halte berlalu.
Di halte ke dua, suara berisik teriakan ibu-ibu dari pintu yang terbuka, penuhi seisi busway. Ranum membuka mata dan terkejutlah ia. Gerombolan ibu-ibu memakai baju biru muda terang berebutan masuk. Senam Sehat, Senyum Sehat, tulisan berwarna putih itu tercetak jelas di belakang baju, diikuti dengan nama salah satu perusahaan asuransi jiwa swasta di Jakarta.
Mulut Ranum sedikit menganga saat gerombolan serbu seisi busway yang semua kursinya hampir kosong. Hanya tiga kursi termasuk kursinya yang terisi. Ia menatap langit-langit busway melayangkan tanya, pertanda apa ini? Di jam segini? Lalu kembali ia pejamkan mata, masih dengan suara-suara dari gerombolan ibu-ibu jadi soundtrack perjalanannya.
20.05
“Dih, apaan, sih,” ucap Ranum sedikit kesal.
Deodoran yang baru saja ia ambil tutupnya berwarna biru muda. Malam ini, baru dia sadari ternyata banyak sekali barang-barang di kamar kosannya berwarna biru muda. Mulai dari gayung dan ember di kamar mandi, teko plastik dan dispenser, hingga sarung bantal yang baru saja sampai dari laundry. Tidak pernah ia rencanakan membeli barang-barang dengan warna khusus. Hanya membeli sesuai dengan kebutuhan dan yang tampak di etalase saja.
Lalu mengapa warna-warna ini penuhi harinya hari ini? Mengapa mereka semua baru tampak jelas sekarang? Kemana mereka selama ini? Pikirannya penuh tanya, namun wajahnya datar dan kesal sambil tangan oles deodoran ke ketiak.
Drrt…Drrt. Handphonenya bergetar.
Pesan masuk dari ibunya terlihat di pop up layar. Sebenarnya sudah ada beberapa pesan dari ibunya yang masuk dari tadi. Namun, ia malas membaca karena topik yang selalu dibicarakan selalu sama. Jodoh.
Jangankan ibunya yang jauh di Magelang sana, ia sendiri pun ingin sekali bertemu jodoh di usia pertengahan kepala tiga ini. Jadi topik doa setiap hari di renungan pagi dan malam. Jadi pokok doa tiap kali beribadah hari Minggu ke Gereja. Kadang sampai berurai air mata memohon petunjuk.
Segera setelah ia klik pesan itu ada sebuah foto yang masih kabur. Telunjuknya otomatis menekan tombol unduh. Begitu warna hijau penuhi putaran unduh, lebih-lebih terkejutlah Ranum. Matanya membelalak kala seorang pria yang wajahnya akrab namun sedikit asing, terpampang agak kabur di layar sedang memeluk kucing kesayangan Ranum. Bukan wajah itu yang buat terkejut, tapi kaos yang dipakainya.
Berwarna biru muda terang polos.
Ibu jari Ranum bergetar kala usap layar demi mencari penjelasan dari ibunya tentang siapa pemuda itu.
Ini Rafael anaknya bu Noni, tetangga kita. Dulu waktu kecil kalian suka main bareng, ingat g Num?
Read
Dia lagi main ke rumah. Baru pulang dari Jerman. Oleh-olehnya banyak.
Read
Fael minta nomormu katanya kangen mau ketemu. Nanyain juga kamu sudah punya pacar atau belum.
Read
Tadi sudah ibu kasih nomormu, bentar lagi mau ditelpon. Asyiik mama sebentar lagi punya mantu.
Read
Bukan lagi hanya ibu jari Ranum yang bergetar dan bibirnya tersenyum, namun juga hatinya. Degup jantung tak mau kalah dengan isi kepala, dendangkan sinyal-sinyal biru muda terang yang satu hari ini usik aktivitas. Inikah kesimpulan dari banyak pola-pola yang muncul?
Tengah asyik memperhatikan foto dan membaca ulang isi pesan, ringtone handphonenya berbunyi. Ranum refleks melempar handphone kala melihat foto pria yang sama, bersedekap penuh percaya diri dengan senyum menawan muncul di bawah nomor Whatsapp. Namun, di foto kali ini ia berkemeja biru muda terang, lengkap dengan dasi biru tua bermotif.
Ia mundur sambil menutup mulutnya yang menganga dengan telapak tangan hingga tak sadar telah menabrak dinding. Lalu tertangkap oleh matanyalah sebuah buku tebal bersampul kain berwarna biru muda di atas meja, yang tersusun rapi vertikal bersama buku-buku lainnya. Di punggung buku itu tertulis Alkitab dengan warna huruf putih. Buku yang sudah lama tak pernah ia baca dan bawa ke Gereja, sebab di dalam handphonenya sudah terinstall versi elektronik. Ranum memegang dada sambil menengadah. Hatinya serukan pertanyaan yang tak bisa dibahasakan dengan kata.
Lalu, ketika handphone itu kembali berbunyi oleh nomor dan foto yang sama, jantungya berhenti bergemuruh seketika. Ia tenangkan nafas, coba cari dan sambungkan semua pola. Perlahan tenang dan nyaman kini ia rasakan.
Diambilnya handphone itu dari lantai dan menarik nafas panjang. Sebelum menekan tombol hijau, ia layangkan senyum penuh arti kepada Tuhan lewat langit-langit kamar kosannya.
***