Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Aku mau kita cerai,” ucap Aydin tegas pada perempuan di hadapannya.
Luna yang tidak pernah berpikir akan berpisah dengan suaminya itu mendadak merasa lemas. Pikirannya kosong, ia tidak tahu harus bagaimana menanggapi kalimat talak dari lelaki yang ia cintai. Kata yang tidak pernah terlintas di benak Luna, mengingat usia pernikahan mereka baru seumur jagung, lebih tepatnya tiga bulan.
“Kenapa?” tanya Luna pada akhirnya.
Aydin menghela napas. Berat untuknya menceraikan perempuan yang sangat ia cintai ini. Namun, ia juga tidak sanggup terus menerus menghadapi identitas Luna. “Aku nggak sanggup lagi, Lun. Aku butuh hidup normal.”
Air mata jatuh seketika di pipi Luna. Pada akhirnya, inilah yang terjadi. Akhir dari hidupnya, kehilangan cinta.
“Aku akan minta pengacara kirim surat perceraian kita,” ucap Aydin lagi sebelum akhirnya pergi meninggalkan Luna.
Perempuan berambut hitam terurai itu merasakah perih yang luar biasa. Dadanya terasa sesak. Ia pikir lelaki yang menjadi suaminya itu adalah jodohnya, cinta sejati yang akan menenamani sampai akhir hayat. Menerima Luna apa adanya tanpa syarat. Nyatanya, tidak. Lelaki yang ia cintai itu tetaplah manusia, tidak akan bisa menerima Luna sepenuhnya.
“Ah!” Luna menjerit. Ia memegang kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. Ini bukan pertama kalinya Luna merasakan sakit kepala, ia sering mengalami. Bahkan terlalu sering.
***
“Kamu serius mau cerain Luna?” tanya Bram pada Aydin yang tidak percaya membaca surat perceraian di depannya. Sedangkan yang ditanyai sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang diketiknya. Ia tampak fokus, tak menghiraukan pertanyaan sahabatnya. “Kamu yakin, Din? Ingat loh. Luna nggak bisa stres.” Bram memberi peringatan pada Aydin.
Smartphone di samping Aydin berdering. Ia langsung mengambil dan melihat nomor telepon yang tertera. Entah dari mana nomor tak beridentitas itu, ia menggeser tombol hijau di layar ke atas.
“Halo?” sapa Aydin.
“Selamat siang, dengan saudara Aydin?” Begitu suara dari seberang menyapa.
“Selamat siang, iya benar saya sendiri,” sahut Aydin mendengar suara yang asing.
“Kami dari kantor polisi.” Pemanggil yang rupanya polisi itu menjelaskan tujuannya menelpon. Aydin mengeryitkan alis mendengar penjelasan tersebut.
Setelah selesai bicara lewat telepon, Aydin menutup laptop dan mengambil kunci mobilnya. Kemudian meninggalkan ruangan, membuat Bram kebingungan.
***
“Saya beneran nggak tahu apa-apa, Pak! Dia duluan yang mulai!” Friska berdiri sembari menggebrak meja dengan emosi. Beberapa polisi yang ada di sana dibuat terkejut olehnya. Termasuk perempuan yang ada di sampingnya, yang baru saja berkelahi dengannya.
“Bapak lihat sendiri? Gimana temperamennya perempuan ini?” provokasinya pada polisi.
Friska yang tidak terima langsung menjabak rambut perempuan tersebut. “Apa kamu bilang? Nggak ngaca? Hah!” Terjadilah perkelahian di antara mereka. Friska dan perempuan tersebut saling menjambak rambut.
Aydin yang baru datang, menghela napas begitu menyaksikan istrinya Luna sedang bertengkar dengan perempuan lain. Baru saja ia tinggal semalam, tidak bertemu hingga pagi ini, Luna sudah berubah dengan identitas lain. Memang benar kata Bram. Ia tidak bisa meninggalkan istrinya itu sendiri, apalagi membuatnya tertekan.
Aydin menemui polisi. Menyelesaikan masalah yang dibuat oleh identitas lain Luna, Friska. Perempuan dengan gaya rambut cepol ini memiliki karakter tomboi dan penuh temperamen. “Mau sampai kapan kamu kayak gini?” tanya Aydin pada Friska ketika berjalan keluar dari kantor polisi. “Nggak bosan bolak-balik kantor polisi?” tanya Aydin lagi melihat Fsika mengabaikannya.
“Aku nggak akan kayak gini kalau dia nggak mancing.”
Aydin menahan lengan Friska ketika perempuan tersebut berniat pergi ke arah yang berbeda darinya.
“Mau kemana?”
Friska menepis lengan Aydin. “Kamu itu Adik aku! Nggak usah sok ngatur!” bentak Friska sebelum pergi meninggalkan Aydin.
Aydin menghela napas, pada akhirnya ia mengikuti Friska, berjaga-jaga jika dia akan membuat masalah. Friska adalah sosok yang paling kuat dalam identitas lain Luna. Sosok yang paling tidak bisa ditentang dan dapat melakukan apa pun yang ia inginkan. Dan apa yang dilakukan Friska tidak bisa dilakukan Luna. Friska tidak mengenal Aydin sebagai suaminya, karena pertama kali Aydin mengenalkan dirinya pada Friska sebagai adik.
***
Luna terbangun dari tidur siangnya. Ia mengedarkan pandangan. Menatap setiap inci ruangan. Rupanya ia sedang berada di ruangan kantor suaminya. Luna duduk, menurunkan kakinya dan melihat penampilannya sendiri. Ia tidak ingat bagaimana ia bisa berpenampilan seperti ini, memakai kaos oblong dan celana jeans. Luna mencoba mengingat apa yang terjadi. Tapi, yang ia ingat terakhir kali saat dia ada di ruang tamu malam itu, Aydin meminta untuk bercerai. Lagi-lagi ia meneteskan air mata. Pikirannya berkecamuk, Luna tidak terima dengan keputusan Aydin.
Segera ia menghapus air matanya, kemudian ke meja kerja di ruangan tersebut. Masih terpajang fotonya berdua dengan Aydin. Bukankah itu artinya Aydin masih mencintainya, lalu mengapa Aydin ingin menceraikannya? Luna mulai merasa bersalah ketika ia mengingat alasan Aydin menceraikannya. Aydin yang ingin hidup normal. Lagi-lagi Luna menangis, tidak seharusnya ia melibatkan Aydin dalam hidupnya. Karena dirinya, Aydin tidak bisa hidup normal. Luna terjatuh, rasa sakit di dadanya membuncah, tubuhnya lemas.
***
Aydin memasuki ruangan. Rasa lelah setelah meeting hampir seharian benar-benar menguras engerginya. Melihat sang istri tidak ada di tempat, membuatnya khawatir. Terlebih ia masih ingat bagaiman sosok Friska menguasai tubuh Luna terakhir kali. Ia pun berbalik berniat mencari Friska.
“Daddy!” Seorang perempuan bernada manja memeluknya erat. Aydin yang menyadari itu membalas pelukannya, mengusap kepala belakang perempuan tersebut. “Daddy kemana aja? Kei kangen,” rajuknya sembari mendongak menatap Aydin.
“Aku baru selesai meeting.” Aydin memberi pengertian.
“Huh! Kenapa Kei nggak diajak sih!” Perempuan dengan model rambut kepang dua ini memasang wajah cemberut, membuat Aydin gemas melihatnya. Identitas lain yang menyerupai anak-anak pada Luna memang membuat Aydin tidak bisa kesal. Ia tidak akan bisa melihat sisi manja Luna, kecuali pada diri Kei.
“Aku kerja, bukan main, Kei.” Aydin mencoba melepas pelukan Kei, tapi perempuan tersebut menolak.
“Nggak mau, Kei masih kangen.” Kei menolak melepas pelukannya.
Bukannya melepas, Kei malah mempererat perlukannya. “Daddy, Kei pusing.” Kei tiba-tiba mengeluh, lalu tubuhnya merosot. Untungnya Aydin sigap menangkapnya, yang akhirnya ia menggendong Kei. Kei tersenyum bahagia dengan perlakuan Aydin dan melingkarkan lengannya di leher Aydin. Aydin membaringkan Kei di sofa.
“Apanya yang pusing?” tanya Aydin sembari mengelus kepala Kei lembut.
“Nggak tahu, tiba-tiba aja Kei pusing, Dad,” keluhnya.
Aydin mengambil smartphone di saku jas. “Udah makan?” tanya Aydin yang dibalas dengan ekspresi Kei mengatup rapat mulutnya. Aydin mengangguk paham sembari menggeser layar mencari aplikasi delivery makanan. “Aku udah pesan makanan. Kamu tunggu di sini, aku mau mandi.” Kei yang berbaring langsung bangun.
“Ikut .…” Kei merengek.
“Katanya pusing? Istirahat aja, ya?” Aydin mendorong tubuh Kei hingga berbaring lagi.
“Oke.” Kei pasrah. Kemudian mengambil smartphonenya dan bermain game.
Aydin menggeleng melihat identitas anak-anak Kei. Baru saja ia bertemu Friska, sekarang ia bertemu Kei. Apa yang membuat perubahan Luna ke identitas lainnya begitu cepat? Aydin mulai berpikir tentang hal itu. Biasanya Luna akan dikuasai identitas lainnya tidak dalam waktu singkat. Semakin bingung dengan identitas istrinya, Aydin memutuskan ke kamar mandi yang ada di dalam ruangan tersebut untuk mengguyur tubuhnya.
Setelah selesai mandi, barulah ia makan bersama Kei. Kei langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan begitu melihat makanan yang tersaji. Aroma dari makanan yang dipesan Aydin membuatnya mual dan ingin muntah. “Daddy, buang aja. Kei nggak mau makan,” ucapnya menjauhkan tubuhnya.
“Kei, kamu belum makan. Ini enak kok kayak biasanya.”
Kei menggeleng. “Nggak daddy, Kei nggak mau.”
Aydin mengambil piring, disendok makanan tersebut, disodorkan ke Kei. Kei menggeleng. “Kei.” Aydin mengubah ekpresinya lebih dingin. Wajahnya menunjukkan jika dirinya tidak ingin dibantah. Melihat perubahan ekspresi daddynya, Kei menurunkan tangan. Aydin menyuapi Kei dengan nasi rendang. Baru saja makanan itu masuk mulut, Kei langsung merasa mual. Ia berlari ke kamar mandi untuk memuntahkannya.
***
Aydin dan Kei pulang ke rumah setelah dari rumah sakit dengan perasaan berbeda. Aydin merasa bahagia karena istrinya ini sedang mengandung buah hati mereka. Sementara Kei merasa bingung dan takut dengan kehamilan yang baru ia ketahui. Pikirannya yang masih anak-anak membuat Kei tidak siap dengan kenyataan yang terjadi. Ia masih anak-anak, tapi ia akan memiliki anak. Bagaimana mungkin?
“Kei.” panggil Aydin. Kei yang melamun sejak tadi menghentikan langkahnya, berbalik menatap daddynya. Aydin sudah duduk di sofa.
“Sini,” perintahnya sembari menepuk paha. Mengisyarakatkan Kei untuk duduk di pahanya. Kei bergeming, kemudian berjalan ke arah Aydin. Duduk di pangkuan suaminya itu. “Kamu kenapa bengong gitu dari tadi?” tanya Aydin.
Kei menghela napas dan berkata, “Daddy, Kei masih kecil. Gimana mungkin Kei akan punya anak?” tanyanya bingung.
Aydin mengelus kepala Kei sembari menjelaskannya pelan-pelan, “Kamu ingat status daddy sama kamu apa?” Kei mengangguk meski ia tidak terima jika sudah menjadi istri di usianya sekarang. “Aku suami kamu. Jadi wajar kalau kamu hamil. Meskipun kamu masih kecil, bukan berarti kamu nggak bisa hamil. Kamu perempuan, iya, kan?”
Kei mendengkus. “Dasar pedofil,” ucapnya yang membuat Aydin meledak dalam tawa.
Tidak bisa Aydin pungkiri, karakter Kei yang masih anak-anak membuatnya kebingungan dengan hubungan mereka. Untungnya, Kei menerima jika dia dan Aydin adalah pasangan suami istri. Kei selalu menganggap Aydin adalah pedofil, karena menikahi anak kecil seperti dia.
Aydin menggendong Kei. Reflek perempuan itu mengalungkan tangannya pada Aydin. Dengan manja, ia menyandarkan kepalanya di bahu Aydin. Aydin membawa Kei ke kamar dan merebahkannya. Meminta Kei untuk tidur. Kei menurut. Perempuan yang merasa dirinya masih berumur sepuluh tahun itu memejamkan mata. Layaknya anak kecil ia mudah tertidur setelah mendengar dongeng dari Aydin. Aydin mengelus kepala Kei, berharap Luna bisa kembali ke tubuhnya.
***
Luna membuka matanya pelan. Lagi-lagi ia tidak ingat dengan apa yang sudah terjadi. Dan kini ia ada di kamarnya sendiri. Ia bangun dan meregangkan pelan tubuhnya. Tetiba ia menutup mulut dan buru-buru ke kamar mandi. Ia muntah-muntah padahal tidak ada yang dimuntahkan. Luna merasa lemas, kepalanya pusing, dan perutnya mual. Setelah lama di kamar mandi, akhirnya ia keluar. Diusapnya keringat di dahi. Ia merasa ada yang tidak beres dengan dirinya pagi ini.
Setelah bergulat dengan pikirannya sendiri. Luna mengambil sweater yang bergantung di tembok, lalu keluar. Luna mencari penjual sayur yang biasa keliling di komplek perumahan. Setelah menemukannya, ia bergabung dengan ibu-ibu komplek. Luna membeli buah jeruk yang masih kuning.
“Mbak Luna beli jeruk nih?” tanya salah satu ibu yang berdandan menor.
Luna mengangguk. “Iya, Bu,” jawab Luna sopan.
“Pak Aydin sibuk ya, Mbak, jarang banget saya lihat di rumah,” ceplos ibu tersebut. “Hati-hati loh, Mbak. Jaman sekarang rame pelakor. Jangan-jangan ….” Ibu tersebut sengaja menggantungkan kalimatnya untuk membuat Luna menduga-duga. Tidak ingin berlama-lama, Luna segera membeli jeruk dan pamit pulang.
Bisa ia dengar bagaimana ibu-ibu rumpi membicarakannya selama perjalananan. “Kalau istri kayak Luna, pasti deh Pak Aydin punya simpanan.” Begitulah Luna mendengarnya.
“Iyalah, pasti. Cantik nggak, bodi tripleks, nggak kerja lagi, apa yang mau dibanggain.” Luna menghela napas mendengar setiap ocehan ibu-ibu yang masih saja terdengar. Obrolan mereka terus menggema di telinganya. Memenuhi pikiran Luna dan membuatnya tertekan.
***
Aydin sedang meeting bersama Bram dan Ciko. Ketiganya sedang mendiskusikan proyek selanjutnya. Di saat semua sedang sibuk membaca proposal, pintu tiba-tiba terbuka. Mengejutkan mereka yang sedang memeras otak.
Aydin dan kedua sahabatnya kompak menoleh ke orang yang berani membuka pintu. Rupanya perempuan cantik melenggang masuk. Rambut yang diikat tinggi menunjukkan leher jenjangnya. Dress pendek di atas lutut dengan leher berbentuk v dan lengan seperempat menampakkan kulit mulusnya tanpa cela. Ia tampak glamor dengan warna serba merah mencolok, termasuk warna high hell dan tasnya. Selena duduk di pangkuan Aydin, mengalungkan kedua tangannya di leher Aydin seperti perempuan penggoda. Mengabaikan dua laki-laki yang juga ada di sana.
“Honey, kapan kamu nikahin aku?” ucapnya tiba-tiba.
Bram dan Ciko saling berpandangan, kemudian kompak mengedikkan bahu. Aydin bingung dengan pertanyaan mendadak dari Selena.
“Kapan kamu cerai sama Luna?” tanyanya lagi. Bram dan Ciko menyimak, mengamati sahabatnya dengan identitas lain dari istrinya.
Selena, identitas lain Luna yang berprofesi sebagai model ini memiliki karakter agresif dan aktif. Ia sering menjadi model majalah. Karakter ini mengenal Aydin sebagai selingkuhannya. Selena menganggap dirinya sebagai kekasih Aydin. Selena tidak tahu tentang Luna, ia hanya tahu jika Aydin memiliki istri bernama Luna.
“Honey, kenapa diam aja sih?” Selena mulai merajuk. “Kamu nggak mau nikahin aku?” tanyanya lagi.
Aydin mengusap lehernya. Ia melirik temannya yang hanya nyengir. Bagi mereka ini terdengar lucu. Selena adalah Luna. Luna adalah Selena. Jika Aydin menceraikan Luna kemudian menikahi Selena, bukankah melepas berlian kembali ke berlian. Alias orang yang sama. Tidak mendapat jawaban dari Aydin, Selena dibuat kesal sendiri.
“Oke, kalau kamu nggak mau nikahin aku,” ucapnya yang membuat Aydin mengeryitkan alis. “Aku bakal kasih ini ke Luna.” Selena mengeluarkan test pack dengan dua garis merah dari tasnya.
Ciko dan Bram berusaha sekuat mungkin menahan tawa. Aydin merasa frustrasi sendiri menghadapi Selena. Ia pun mengambil dan melihat test pack Selena. “Kamu hamil?” tanyanya padahal ia sudah tahu jika istrinya ini memang hamil.
“Hm. Aku test pack barusan karena aku nggak ingat kapan terakhir haid,” jelasnya. “Kamu akan nikahin aku kan?” desak Selena.
“Selena-”
Belum selesai Aydin bicara, Selena memotong. “Okay. Kamu nggak mau nikahin aku. Itu artinya Luna harus tahu,” ucapnya kemudian pergi.
Ciko dan Bram langsung meledak dalam tawa. Benar-benar lucu dengan kehidupan Aydin bersama Luna yang memiliki banyak identitas.
***
Luna sedang berada di toko oleh-oleh. Kali ini ia berniat membeli jajanan khas untuk sahabatnya yang sedang berkunjung. Karena sibuk dengan pekerjaannya, sahabatnya ini memintanya membelikan oleh-oleh. Kebetulan ini waktunya makan malam, jadi sembari menunggu suaminya yang tiba-tiba mengajak makan malam, ia mencari oleh-oleh. Saat membuka smarthphone, ada pesan yang belum ia baca dari nomor yang tidak dikenal.
Kamu harusnya sadar, jika Mas Aydin tidak mencintaimu.
Lihatlah, aku sedang mengandung anaknya.
Bagaimana denganmu.
Begitulah tiga isi pesan berturut-turut itu. Luna merasa rapuh, dirinya hancur begitu melihat pesan tersebut. Terlebih orang itu menyertakan gambar test pack dan hasil usg. Luna merasa lemas. Tubuhnya perlahan merosot dan terduduk di lantai. Lagi-lagi ia menyalahkan dirinya sendirinya. Pantas saja suaminya ingin bercerai, ada wanita lain di dalam rumah tangga mereka. Aydin pasti lebih memilih perempuan tersebut dari pada Luna.
***
“Luna," panggil Aydin melihat istrinya yang sedang memilih oleh-oleh. Namun, yang dipanggil mengabaikannya, dan lewat begitu saja.
Aydin menahan lengan perempuan tersebut. Perempuan tersebut menoleh dan bertanya, “Iya?”
Aydin terkejut. Ia mengamati perempuan tersebut dari ujung rambut sampai ujung kaki, tidak ada yang berbeda dari penampilan Luna. Tapi mengapa ia tidak mengenalinya? Sejauh ini Luna memiliki empat kepribadian dalam dirinya. Dan semuanya mengenal Aydin. Lalu kenapa perempuan ini tidak mengenal Aydin? Mungkinkah ini kepribadian baru?
“Maaf, ada apa ya?” tanyanya lagi.
Aydin tersadar. Rupanya Luna sudah membentuk identitas lain dengan kepribadian baru. “Kamu beneran lupa sama aku?” tanya Aydin.
Perempuan tersebut mengeryitkan alis kemudian beralih mengedarkan pandangan, toko sedang sepi. Lalu beralih lagi menatap Aydin.
“Maaf, kamu siapa ya? Sepertinya kita baru bertemu hari ini,” jawabnya.
Aydin mengela napas. Sudah seharusnya ia mendampingi Luna. Belum genap ia mengatakan cerai pada Luna beberapa hari yang lalu. Sudah berapa banyak identitas lain muncul dalam diri Luna? Dan sekarang istrinya ini membentuk identitas baru.
“Kita sering ketemu. Mungkin kamu lupa. Aku Aydin,” ucap Aydin sembari tersenyum mengulurkan tangan.
“Oh, ya? Maaf, aku nggak ingat. Aku Jovanka.”
***
Aydin mengamati perempuan yang sedang tidur di ranjangnya. Berharap bukan identitas lain dari Luna yang bangun pagi ini, tapi Luna itu sendiri. Ia harus meluruskan hubungannya dengan Luna. Untuk kebaikan Luna sekaligus janin yang ada dikandungannya. Aydin sudah berkonsultasi dengan psikolog. Psikolog tersebut mengatakan, untuk kesembuhan Luna dibutuhkan obat-obatan dan psikoterapi. Luna juga butuh psikiater untuk menangani permasalahan jiwanya.
Mengingat kini Luna sedang hamil, tidak mungkin bagi perempuan di hadapannya mengonsumsi obat-obatan. Jadi, setidaknya Luna harus menjalani psikoterapi.
Aydin tidak ingin permasalahannya dengan Luna berlarut terlalu lama. Salah satu penyebab identitas lain sering muncul adalah stres yang dialami Luna. Itulah mekanisme pertahanan diri Luna dalam menangani stresnya, menjadi identitas lain. Ini juga penyebab hadirnya Jovanka, identitas baru yang ia temui kemarin malam. Aydin khawatir penyakit dissociative identity disorder akan mempengaruhi perkembangan psikologis anaknya nanti.
Luna membuka matanya pelan, Aydin tersenyum menyambutnya.
“Daddy!” seru Kei sembari memeluk Aydin.
Sepertinya Aydin harus lebih bersabar menunggu kembalinya Luna. Mendampinginya setiap saat adalah cara terbaik untuk menjaga Luna.