Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Perspektif
1
Suka
3,025
Dibaca

Aku membuka mataku secara perlahan lalu semakin merekatkan selimut yang sedari tadi menutupi tubuhku hingga sebatas leher saat tidur. Rasanya sulit sekali membuka mata kembali untuk menjalani kehidupan yang aku sudah tidak tertarik lagi untuk menjalaninya. Napasku terasa berat. Ingin aku melanjutkan tidurku saja meski aku tahu dalam tidur pun aku tak menjadi lebih baik, karena pasti akan kembali bermimpi bertema bencana alam. Beberapa saat aku kembali memejamkan mata dan mendekap selimutku yang rasanya membuat perasaanku sedikit lebih nyaman. Namun, aku tidak bisa kembali tidur. Rasanya otakku selalu mengajakku untuk terus berpikir memikirkan segala hal dari kejadian masa lalu maupun masa depan yang selalu aku takutkan. Aku mengambil napas dalam-dalam, lalu bergerak duduk sambil terus melekatkan selimut di kakiku. Kemudian aku mencari ponselku, “Ah! di bawah bantal rupanya,” gumamku.

Jam menunjukkan pukul dua siang. Ternyata aku sudah tidur selama delapan jam sejak pagi hari, karena aku tidak bisa tidur pada saat malam hari. Aku mengecek aplikasi WhatsApp-ku yang hanya ramai oleh grup-grup yang tak pernah aku berniat membukanya. Pesan pribadi pun aku yakin tidak ada. Siapa yang peduli denganku yang tidak menguntungkan ini? Namun, aku tiba-tiba terpaku, karena ternyata ada satu pesan masuk dari Ibu Kontrakanku. Aku mengernyitkan dahiku dan dengan perasaan tidak enak aku membuka pesannya, “Ada apa ini? Tumben sekali beliau menghubungiku."

Aku membaca pesannya secara perlahan, “Assalamualaikum, Mbak. Saya sudah dengar selentingan omongan yang tidak enak. Sekarang kalau memang biaya kontrakkannya dirasa mahal hanya buat bersihin kotoran kucing, silakan mbak cari saja yang lain dan cari yang murah. Mbak kan bayar kontrakan segitu juga sudah termasuk biaya air dan sampah.” Aku tertegun. Berusaha memahami pesan tersebut. Di luar kendaliku tanganku bergetar hingga membuat ponselku jatuh ke bantal, “Apa ini artinya aku di usir dari tempat tinggalku sekarang? Aku—di—usir..” pikirku. Napasku semakin berat. Jari-jari tanganku bergerak tak beraturan. Serangan panik kembali datang menghantamku. Tanpa tersadar ternyata air mata sudah menetes sejak tadi, “Apa salahku sehingga aku diusir?

***

Hari sudah malam aku masih saja terus sesekali terisak, meski aku sudah menyelesaikan masalah itu tadi sore. Rasanya masih sangat sesak mendapat sebuah fitnah yang tidak aku duga. Aku pikir menjadi seseorang yang sangat jarang keluar rumah akan terhindar dari masalah. Aku pikir dengan menarik diri dari dunia luar tidak akan ada yang berani menggangguku. Nyatanya, masih ada celah untuk menghancurkan hidup seseorang dari seorang tetangga yang sangat jail dan menarik kesimpulannya sendiri. Jahat. Kemudian aku teringat sesuatu yang membuatku meraba-raba bagian bawah bantal untuk mengambil ponselku. Segera aku mengirimkan sebuah pesan singkat pada seseorang bernama Fab di daftar kontak. “Aku lagi nangis nggak bisa berhenti.

Tunggu. Aku keluar dari ruangan dulu.” Dalam waktu singkat Fab sudah membalas pesan singkat dariku.

Tidak lama ponselku berdering dan aku segera mengangkatnya dengan suara tangisan yang kembali membesar, “Fab, aku nangis lagi..”

“Kamu nangis aja. Aku temani.” Di tempat yang berbeda Fab menjawab dengan langkah kaki yang tergesa. Kakinya yang panjang membuat ia cepat sampai pada tangga kantornya yang berada di bagian belakang. Ia lalu duduk menyender pada penyangga tangga dan lalu melepas ikatan rambutnya yang selalu ia gunakan untuk mengikat rambutnya yang agak gondrong. Beberapa saat ia hanya diam mendengarkanku menangis.

“Fab…”

“Iya, Na?”

“Kamu tahu alasanku menangis hari ini?” tanyaku yang masih sambil terisak. Tangisku sudah lebih reda.

“Kenapa, Na?”

“Seperti biasa. Aku menangis karena hal sepele.”

“Enggak, Na. Setiap hal yang kamu tangisi bukan hal yang sepele.”

“Aku nangis karena tahi kucing.”

“Hm, ini ada kaitannya dengan ceritamu sekitar dua minggu lalu tentang terasmu yang selalu jadi tempat kucing buang kotoran, ya?”

“Iya..” Aku kembali terisak tidak melanjutkan ceritanya.

“Na, kamu nangis aja dulu. Ceritanya nanti aja kalau kamu udah bisa cerita. Jangan dimatikan teleponnya, ya.”

“Fab…”

“Iya, Na?”

“Fab…”

“Iya, Na?”

“Fab, apa aku mati aja, ya?”

“Aku tahu kamu nggak akan melakukan itu, ‘kan?”

“Nggak tahu, Fab. Aku capek. Aku capek harus bela diri sendiri di sini. Setiap perkataan dan tindakanku selalu salah di mata orang di sekitarku. Kalau sudah begini, pasti aku ‘kan yang salah? Tidak mungkin orang lain yang salah. Aku pasti yang salah.”

“Kalau aku bilang semua perkataan dan tindakanmu benar, apa kamu percaya aku, Na?”

“Karena kamu temanku makanya kamu berkata begitu.”

“Loh, ada juga temanmu yang tidak berpikir sepertiku, tapi mereka juga temanmu.”

“Aku udah nggak punya teman lagi selain kamu, Fab.”

Fab terdiam. Terdengar tarikan suara napas di seberang sana.

“Fab..”

“Iya, Na?”

“Setelah kejadian tadi siang, malam ini aku makin kecewa lagi. Aku pikir orang tuaku paham denganku karena mereka selalu bilang mengerti dengan keadaanku.”

Fab terdiam tanpa berbicara apa pun dan selalu menunggu membiarkanku kapan pun aku ingin bicara.

“Tadi siang Ibu Kontrakanku menyuruh aku cari tempat lain aja. Dia bilang dengar dari omongan tetangga kalau aku bilang biaya sewa kontrakanku harganya mahal. Aku sangat kaget, kenapa omonganku bisa sampai ke Ibu kontrakan? Memang benar aku pernah bilang seperti itu saat aku kesal membersihkan terasku. Saat itu aku berkata, ‘Mahal-mahal bayar sewa hanya untuk membersihkan tahi kucing aja.’ Aku berkata begitu untuk diriku sendiri dan aku bicara di terasku sendiri. Aku ngedumel sendiri. Dan arti dari kata itu bukan bermaksud mengatakan kata mahal yang sebenarnya. Kamu masih ingat, kan? Aku pernah bercerita aku sangat menyukai tempat tinggalku yang sekarang, karena nyaman dan harganya pun terjangkau. Sungguh, aku sama sekali tak bermaksud mengatakan mahal dan itu hanya sebuah ungkapan aja dari penatnya aku yang harus membersihkan tahi kucing setiap hari di terasku.”

“Iya. Tanpa kamu jelaskan kalau aku berada di sana aku akan paham maksud keluhanmu.”

“Akhirnya dengan panjang lebar aku mengirimkan pesan panjang untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada beliau. Aku sedih karena aku pikir aku memiliki tetangga yang baik dan tidak mengusikku selama setahun ini. Namun, ternyata mereka diam-diam malah mengadukan sesuatu yang seharusnya tidak untuk diadukan. Aku jadi memiliki konflik dengan beliau. Meski aku sudah menjelaskannya dan beliau paham hingga pada akhirnya beliau yang meminta maaf atas itu semua. Aku heran, Fab. Aku salah apa pada mereka? Aku jarang keluar rumah. Aku tidak pernah mengusik mereka.”

“Seperti yang pernah aku bilang, Na. Kita memang hidup di tengah-tengah orang jahat.”

“Dan yang membuat aku semakin kecewa adalah saat aku mengadukan cerita itu kepada orang tuaku tadi sore. Mereka langsung datang ke rumahku untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Fab, aku tidak menyangka dengan reaksi mereka. Aku tahu mamaku sepertinya terlihat membelaku, tapi aku tahu di balik itu ia masih menganggap aku yang salah. Setelah aku menceritakan semuanya, papaku juga bukan malah membelaku dan bilang bahwa aku yang salah karena berbicara sembarangan. Dia bilang aku memang selalu berkata seenaknya tak peduli perasaan orang lain.”

Lagi-lagi aku kembali menangis mengingat kejadian sore tadi. Kali ini aku sesenggukan merasa sesak di dadaku.

“Na..”, lirih Fab yang sambil berjalan perlahan menaiki tangga.

“Aku sedih, Fab. Saat aku tersakiti karena orang lain, tapi orang tuaku malah menganggap aku yang telah menyakiti orang lain. Hanya karena sedari dulu aku orang yang berani berbicara, aku selalu dicap sebagai orang yang pemarah dan jahat. Aku pikir orang tua adalah tempat bersandar dengan nyaman ketika aku merasa dunia jahat terhadapku. Nyatanya, aku bahkan tak merasa aman dan nyaman.”

Fab kini sudah berada di rooftop kantornya. Ia berjalan mendekati sebuah bangku panjang yang satu-satunya tersedia di sana dan ia merebahkan dirinya di bangku itu. Wajahnya menatap langit tanpa bintang dengan bulan bulat sempurna yang terlihat bersinar terang di malam itu. Sesekali ia mengigit bibir bawahnya. Raut wajahnya cemas. Suaraku di ponselnya masih terdengar isakan tangis.

“Fab..”

“Iya, Na?”

“Aku cengeng banget, ya? Begini aja aku nangis. Masalah kecil semuanya jadi besar buat aku.”

“Na, menurutku lebih baik kamu begini. Sudah cukup kamu selalu merasa kuat dalam menghadapi apapun. Menangis bukan berarti kamu lemah. Kalaupun kamu memang merasa lemah pun ya tidak apa-apa. Bahkan, awan pun akan menumpahkan hujan jika ia tidak kuat lagi menanggung bebannya yang berat.”

“Fab..”

“Iya, Na?”

Aku kembali terdiam. Kali ini hanya ada suara sesenggukan saja. Aku berusaha untuk berhenti menangis.

“Fab, jangan bosan dengar ini, ya. Aku orang yang lemah. Aku nggak sekuat apa yang orang lihat selama ini tentang diriku.”

“Aku nggak janji ya, Na. Kamu tahu aku bukan seseorang yang mudah berjanji.”

“Salah satu hal yang aku suka dari kamu ya itu, Fab. Aku sudah terlalu sering mendengar orang berjanji padaku, tapi selalu berakhir dengan orang itu mengingkarinya.”

“Na, yang jelas kamu sadar ‘kan kalau aku selalu hadir di saat kamu merasa sulit ataupun sedih.”

“Makasih banyak, Fab. Aku ngga tahu harus balas kebaikanmu dengan apa.”

“Dengan kamu terus bertahan untuk hidup itu sudah suatu hal yang menyenangkan untukku. Aku tidak harus kehilangan teman sepertimu dengan cepat.”

Aku menarik napas dalam-dalam, “Fab, kamu mau tahu nggak bagaimana jawabanku pada hasil tuduhan itu?”

“Kirim ke aku hasil percakapannya. Aku mau baca.”

Fab segera membuka pesan masuknya.

[10.15, 9/11/2021] Ibu K: Assalamualaikum, Mbak. Saya sudah dengar selentingan omongan yang tidak enak. Sekarang kalau memang biaya kontrakkannya dirasa mahal hanya buat bersihin kotoran kucing, silakan mbak cari saja yang lain dan cari yang murah. Mbak kan bayar kontrakan segitu juga sudah termasuk biaya air dan sampah.

[16.11, 9/11/2021] NA: Astagfirullahaladzim salah paham, Bu. Untung ibu nanya dulu begini ke saya.

[16.13, 9/11/2021] NA: Malah saya sangat bersyukur bisa dapat kontrakan senyaman ini dengan harga terjangkau. Di luar sana banyak yang harganya lebih dari yang Ibu kasih dan tidak senyaman di sini. Sudah luar biasa enak di sini.

[16.20, 9/11/2021] NA: Memang benar saya ngomong mahal tapi bukan artian ke sana, Bu. Jadi, waktu itu saya ‘kan lagi kesal setiap hari kucing buang kotoran di teras saya. Sudah saya bersihkan, eh dikotorin lagi. Jadinya saya kebauan. Sampai saya manggil Papa saya buat tolong bantu membersihkan kotoran itu, karena setiap hari malah semakin banyak. Nah, sehabis itu saya memang ngomong, "Huh! Mahal-mahal bayar sewa hanya untuk membersihkan tahi kucing aja." Nah artian mahal di situ bukannya karena mengeluh itu biaya kontrakan kemahalan. Sama sekali bukan ke situ arahnya. Jatuhnya itu seperti misalnya kita membelikan mainan ke anak kecil, eh si anak malah mainan kardus bekas, kan kita pasti ngomong, "Huh! udah dibelikan mainan mahal-mahal malah lebih pilih main kardus.” Nah, bukan berarti ke mahal dalam arti terbebani, tapi cuma konsep ngedumel seperti itu.

[16.21, 9/11/2021] NA: Semoga ibu mengerti ya maksudnya saya ke mana. Lagipula kalau misalnya kontrakan kemahalan saya mana pernah ‘kan menunggak. Saya bayar pasti tepat waktu.

[16.25, 9/11/2021] NA: Nah, karena saya tetap mau bertahan di kontrakan ini maka dari itu saya cari cara dan jalan keluar bagaimana agar si Kucing tidak buang kotoran di teras saya lagi. Bukannya saya memilih keluar dari kontrakan ini dan lalu cari kontrakan lain ‘kan. Kalau memang benar katanya kemahalan, saya pasti sudah pindah, tapi nyatanya saya malah tetap bertahan dan cari solusi dengan usaha saya menutup tanaman pakai plastik dan menggantung pot-pot kecil tanaman saya. Dan yang terbaru saya menaburkan bubuk cabai dan kamper. Alhamdulillah beberapa hari ini kondisi sih sudah aman.

[16.50, 9/11/2021] NA: Bu, ibu marah ya jadinya? Saya boleh tahu siapa yang ngomong itu? Saya jadi kecewa karena disalah-pahami begini. Saya tahu Ibu dan Bapak orang baik. Jaman sekarang susah bertemu dengan orang baik.

[17.27, 9/11/2021] Ibu K: Saya tidak marah. Saya begitu karena dengar omongan kurang enak jadi begitu. Mba, saya mohon maaf kalau saya sudah salah paham.

[17.40, 9/11/2021] NA: Tidak apa-apa, Bu. Ibu jangan minta maaf ke saya. Ibu tidak salah, kok. Yang salah di sini yang menyampaikan ke ibu tanpa ngomong dulu memastikan kebenarannya ke saya atas ucapan saya yang disalah-artikan sama dia. Saya akan berusaha memaafkan dia yang ngadu ke ibu dan membuat kita jadi ada masalah. Semoga Allah balas kejahatannya. Allah maha Adil saya percaya itu. Dan begitu juga dengan ibu semoga Allah balas kebaikan Ibu dan Bapak karena telah memberikan saya tempat tinggal yang nyaman dengan harga yang cocok di kantong saya. Sehat selalu ya, Bu.

[17.56, 9/11/2021] Ibu K: Aamiin. Ya sudah, sekarang anggap saja sudah tidak ada masalah apa-apa ya, Mbak.

Fab langsung mengubah posisinya menjadi duduk di bangku itu dan dengan antusias Fab mengatakan, “Good Job, Na! Kamu menjelaskannya dengan sangat baik!” Puji Fab padaku.

“Aku butuh waktu dua jam lebih untuk memikirkan dan mengetik itu semua. Aku berusaha melawan rasa panik dan traumaku. Mungkin, aku sudah terbiasa membela diriku sendiri sejak dulu.”

“Lagi-lagi kamu berhasil melaluinya, Na.”

“Namun, tetap saja orang tuaku tidak mengapresiasi diriku yang berhasil menyelesaikan masalah itu. Mereka menyalahkanku. Aku sampai menangis sesenggukan lagi, tapi tetap bagi mereka aku yang salah. Sudah aku jelaskan juga akhirnya Ibu kontrakan yang meminta maaf karena beliau sudah salah paham. Dan-- di mata mereka tetap aku yang salah. Fab, bukan kah seharusnya mereka menyalahkan tetanggaku yang mulutnya tidak bisa dijaga itu? Bukan kah seharusnya mereka sebal dengan kelakuan tetanggaku yang usil itu? Kenapa mereka tidak melihat dari kacamataku? Aku bisa berusaha memahami keadaan orang tuaku dengan melihat dari sudut pandang mereka, tapi kenapa mereka tidak mau bahkan untuk sekali saja merasakan perasaanku dari sudut pandangku? Aku kecewa.”

Fab mengambil napas panjang, “Tidak semua orang bisa melakukan itu, Na. Orang tua juga bisa salah, karena mereka baru pertama kali menjadi orang tua, pun juga dengan kita yang menjadi anak juga baru pertama kali. Kita semua sama-sama belajar dan akan punya kesalahan. Kita tumbuh dengan cara berpikir dan pandangan yang berbeda-beda. Kalau orang tuamu tidak mengerti, setidaknya kamu yang bisa mengerti mereka. Kali ini ternyata kamu harus mengalah lagi dan berusaha memaafkan itu, ya. Na, kamu harus percaya kalau aku paham perasaanmu. Aku bisa melihat dari kacamatamu. Setidaknya, ada satu orang yang paham, ‘kan?”

“Iya. Ibu kontrakan sebenarnya juga paham, kok. Seperti yang pernah aku ceritakan padamu bahwa Ibu dan Bapak Kontrakan merupakan orang yang baik.”

“Lagian ada-ada saja ya kelakuan tetanggamu itu. Seburuk apa ya harinya hingga ingin berbagi hal buruk pada orang lain?” Fab menghela napas pelan, “Dia tidak tahu ya efek hasil dari menguping keluhan orang bisa berdampak buruk buat seseorang seperti ini.”

“Iya. Aku yakin suatu hari nanti dia akan dapat balasan yang setimpal. Aku juga nggak tertarik mencari tahu siapa orangnya, meskipun mudah diduga siapa orang tersebut. Dengan rumah kontrakan kecil yang berdempetan ini kalau aku ngomong dengan suara kecil, bukan kah tetangga sebelah rumah akan bisa dengar? Sekuat hati dengan perlahan aku akan memaafkan dan berusaha menghilangkan prasangka itu.”

“Oke kalau begitu kesimpulan malam ini adalah setiap orang bisa salah berucap, telinga kita juga bisa salah mendengar untuk menyimpulkan sesuatu, pun juga hati kita bisa jadi salah menduga perasaan orang lain. Jadi, mau tidak mau kita harus belajar menjadi seorang yang pemaaf, berusaha untuk tidak menjadi seorang pembenci dan juga memperbaiki diri sendiri. Aku suka kamu bisa belajar itu semua dengan keadaan mentalmu yang sangat memburuk di tahun ini. Namun, aku mau ngingetin kamu jangan terlalu sering memaksa dirimu sendiri, ya. Kalau tidak bisa secepat itu belajar, tidak apa-apa untuk berhenti sejenak. Kamu harus menyayangi dirimu sendiri lebih dari siapa pun. Oke?”

Aku tersenyum tipis, “Nggak janji, tapi oke lah! Terima kasih sudah dengerin ceritaku, bisa memakai kacamataku dan juga memberi aku penghiburan.”

“Na, mau lihat sesuatu yang kamu suka nggak?” tanya Fab sambil memotret pemandangan yang terhampar luas di hadapannya. Fab kembali merebahkan dirinya di bangku itu.

“Apa?”

“Lihat pesan masuk dariku. Aku baru saja kirim sebuah foto.”

Segera aku melakukan apa yang Fab katakan. Senyum tipis kembali menghiasi wajahku seakan semuanya telah terobati, “Bulan malam ini cantik, ya.”

***

Pagi ini aku tidak mengonsumsi Vitamin D-ku, karena aku akan keluar rumah lagi setelah tidak keluar selama seminggu. Matahari pagi memang menghangatkan dan bagus untuk tubuh, tapi sering kali aku tidak berani untuk melakukannya setiap hari. Aku punya alasan tersendiri untuk itu. Sehabis belanja pasokan untuk makanan dan menaruh seluruh belanjaanku ke dalam rumah, aku sengaja berjalan ke halaman parkir yang terdapat banyak tanaman hias dan tumbuhan lainnya yang dirawat sendiri oleh Bapak pemilik kontrakan. Sebenarnya aku suka keindahan alam dan melihat dunia luar, tapi aku tidak bisa sering menikmatinya seperti dulu lagi.

Kemudian aku bergegas untuk melakukan kebiasaanku setelah dari luar, yaitu mencuci kakiku dengan sendal jepit yang masih aku gunakan di halaman parkir itu. Hingga setelah selesai semuanya dan mencuci tangan pada akhirnya aku kembali berdiri. Lalu tepat di samping tembok keran air tersebut aku membaca catatan di sebuah kertas dengan tulisan huruf kapital yang tertempel di tembok. Dan entah perasaan apa itu -aku tertawa geli. Dengan segera aku mengambil ponselku dan memotret catatan itu -masih sambil tertawa tentunya.

Di seberang sana Fab yang baru saja memasuki pintu gedung kantornya mengecek ponselnya yang baru saja ada notifikasi satu pesan masuk.

NA : (mengirim sebuah foto). Fab, aku ketawa banget liat ini. Benaran cabainya sekarang nggak ada. Itu aku kirim foto tanaman cabainya juga. Hahahaha.

Fab membaca dengan suara pelan catatan di foto yang aku kirim, “Cabai kalau mau diambil pasti nggak ada. Dimakan kucing apa?”, sontak Fab pun tertawa. Fab segera meneleponku.

Dengan cepat aku langsung mengangkat telepon dari Fab, “Hahaha. Lucu banget, ‘kan? Mana nulisnya caps lock semua.”

Fab juga tertawa geli, “Receh banget ya kita pagi-pagi ngetawain ini. Kelakuan tetanggamu ada-ada aja memang!”

 “Yang bikin aku tambah ngakak adalah memang di sekitar sini itu banyak kucing. Aku langsung jadi berimajinasi sendiri bahwa memang kucing-kucing itulah yang memakan cabai itu. Juga aku membayangkan kucing kepedasan. Sereceh itu aku hari ini, Fab! Hahaha. Kok bisa, ya?”

“Sering-sering receh begini ya, Na! Hahaha. Memang lucu banget, sih!”

“Kayaknya nih ya catatan itu ditulis sama Bapak kontrakanku, deh. Setahuku memang beliau sendiri yang merawat tanaman-tanaman di halaman ini. Pernah loh, beliau membanggakan hasil tanamannya itu. Aku itu kagum banget dengan beliau yang rajin sekali dan bisa merawat tanaman dengan baik dan subur semua. Ya pasti aku kalau jadi beliau akan kesal juga sih, secara sudah aku rawat, tapi saat mau dipanen enggak ada hasilnya. Gemas nggak sih? Hahaha. Balik lagi, catatan kekesalannya itu lucu banget! Marah, tapi rasanya kok lucu.”

***

 “Fab, aku kaget banget dengar berita ini..” ucapku sembari semakin merekatkan ponsel di telingaku dengan tangan kiriku. Sebelah tanganku sambil menata barang belanjaanku yang baru saja aku beli pada rak dapur.

“Kenapa? Dari suaramu sepertinya itu mengejutkan sekali ya. Aku pakai earphone dulu. Maklum masih jam kerja.” Terlihat Fab masih duduk tegap menghadap layar komputernya.

“Masih ingat ‘kan tragedi sekitar empat bulan lalu yang aku nangis sesengukan cerita ke kamu kalau aku hampir diusir dari tempat tinggalku?”

“Hm, Yap!”

“Sampai sekarang aku tidak tahu juga siapa orang yang mengadukan hal buruk ke Ibu kontrakan. Ya aku hanya punya seorang tersangka aja sih sama orang itu.”

“Jadi?”

“Kaget banget tetangga sebelah rumahku ternyata sudah pindah dari seminggu yang lalu.”

“Oh jadi kamu baru tahu karena kamu memang jarang keluar rumah, ‘kan?”

“Iya. Hehehe. Fab, tapi bukan itu aja yang bikin aku kaget. Tadi aku habis belanja dari luar terus aku ketemu seseorang. Maaf ya aku pun nggak bisa bilang ke kamu dia siapa, tapi omongannya pasti benar. Dia bilang beritanya sangat menggemparkan dan sempat ramai juga di rumah itu. Saking aku terlalu mengurung diri, aku bahkan tidak tahu ada kejadian besar. Katanya, semua tetangga juga tahu, karena sudah jadi rahasia umum. Jadi, alasan mereka pindah itu karena ce--rai. Dan penyebabnya...” ucapku agak ragu.

“Apa? Asli ini kok jadi drama ya!”

“Aku nggak akan cerita apa penyebabnya ke kamu. Cukup sampai di aku aja. Maaf ya, Fab.”

“Oh oke. Sorry juga aku jadi kepo terbawa suasana. Hehehe.”

“Sumpah itu bahkan belum setahun, tapi balasannya sungguh.. Ah, aku tidak bisa berkata-kata lagi.”

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Perspektif
Nidaul Ainiyah
Cerpen
Bronze
Rumah Tanpa Pagar & Pintu
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
Benang Merah Kehidupan
Larasatijingga
Cerpen
Bronze
Tidak Ada Tutug Oncom di Neraka
Imas Hanifah N.
Cerpen
Maaf, aku terlambat tahu.
Fianaaa
Cerpen
Bronze
Lelaki Bermata Teduh Part-5
Munkhayati
Cerpen
Bronze
Pergi Dengan Angin
Viona fiantika
Cerpen
KALAU ADA YANG SULIT, KENAPA HARUS DIPERMUDAH?
Yunia Susanti
Cerpen
Lost In Translation (Karena kamus saja tidak cukup)
Lada Ungu
Cerpen
Perempuan Berambut Perak
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Cucuku Aina
cyara afnan
Cerpen
Wannabe
Zaki S. Piere
Cerpen
Bronze
Pemimpin Negeri Sipil
spacekantor
Cerpen
Bronze
Seni Olah Rasa
Wahyu Sandralukita Sari
Cerpen
Bronze
Sungguhan Teman?
Glorizna Riza
Rekomendasi
Cerpen
Perspektif
Nidaul Ainiyah
Cerpen
Someone I Loved
Nidaul Ainiyah
Cerpen
Gunung dan Kucingnya
Nidaul Ainiyah