Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Sialan!”
Benda itu berputaran setelah tangan Rian menampar kepalanya. Terdengar suara bib bib sebelum roda di bawahnya bergerak mundur. Lalu layar kecil yang bertugas membuat ekspresi pun menampakkan dua mata memicing tajam dengan mulut terbuka.
“Pelanggaran memukul benda publik. Denda 20 Wires!”
“Oh, bagus. Terima kasih untuk pelayanannya.” Rian mengarahkan gelang di tangan kiri ke alat scan di sebelah robot. Terdengar suara bib bib lalu uangnya berkurang 100 Wires, seharusnya hanya 80 Wires.
Dari pintu di belakang robot tersebut, datang kakek bongkok yang berjalan dengan bantuan tongkat. “Maafkan dia, Nak. Nanti akan kuperbaiki.”
“Kau selalu bilang begitu dari kemarin.” Rian menunjukkan komponen kecil yang terbungkus plastik di tangannya. “Aku minta CPU milik CyberChips, kenapa yang ia ambil justru kapasitor? Dia tolol sekali, tak mengerti perkataanku!”
Kakek itu mendekati robot berkepala TV bertubuh logam kotak yang bertugas sebagai pelayan. Diketuk-ketuknya kepala TV itu beberapa kali lalu bergumam. “Ada programnya yang sedikit masalah. Aku harus memperbaikinya nanti.”
“Aku menyarankan agar kau beli baru.”
Kakek itu lekas menggeleng. “Rian, apa kau tahu betapa bangganya aku saat berhasil membuat robot ini? Semua orang kini bangga menghasilkan sesuatu dari teknologi kecerdasan buatan, sedangkan aku membuat kecerdasan buatan itu sendiri.”
Wajah Rian cukup masam untuk dipandang. “Menurut pendapatku, dia sama sekali tidak cerdas,” katanya tanpa segan seraya menunjuk robot pelayan toko di hadapannya.
Si kakek tampak cukup terluka. “Terserahlah.” Ia tak ingin lanjut berdebat lagi. Tubuh bongkoknya berjalan lambat ke deretan rak lalu mengambil CPU keinginan Rian.
Pemuda itu meletakkan plastik berisi kapasitor tadi dan menukarnya dengan CPU pemberian si kakek.
“Perlu kukembalikan 20 Wiresmu?”
Awalnya Rian menatap robot itu penuh kebencian, tapi ketika ia memandang kondisi toko dan kondisi pemiliknya, Rian menggelengkan kepala.
“Simpan saja untuk makan.”
Mendengar itu, si kakek tersenyum tulus. “Kau selalu jadi orang baik di zaman gila ini, Rian.”
“Itu didikan ayah.” Rian melambaikan tangan ketika ia melangkah keluar dari pintu toko.
Debu tebal segera menyambutnya. Baru beberapa langkah, mata Rian sudah perih saat ada dua truk tentara melintas dengan angkuhnya. Beberapa buah kerikil melesat ke dalam toko butut kakek tadi lalu terdengar omelan.
“Pelanggaran memukul benda publik. Denda 20 Wires!”
Rumah-rumah berdiri di atas tanah tandus berpasir. Udara menggantung pekat membawa hawa panas dengan partikel-partikel asing yang entah apa namanya. Beberapa orang yang tidak kuat atau belum terbiasa, maka wajib mengenakan masker saat berjalna-jalan di tempat ini.
Begitu pula Rian, setengah wajah ke bawah harus tertutup kain tebal agar penyakit paru-parunya tidak kambuh.
Sedih rasanya melihat dunia hari ini.
Di sekeliling Rian, tempat tinggal penduduk dibangun dengan setengah hati. Tembok retak bercat kusam sebagai dinding dengan genteng berlumut sebagai atap, itu yang cukup beruntung. Kalau kurang keberuntungan, seperti yang sering terlihat di daerah pinggiran, bahkan rumah untuk tempat berteduh pun agak miring berdirinya.
Di depan, tampak robot canggih berbentuk manusia sedang memegang sapu. Ia berjalan mondar-mandir memungut sampah apa saja yang terlihat. Namun, Rian tahu bahwa itu adalah pengalihan. Rian amat sangat tahu kalau robot itu bisa mengeluarkan senjata dari dadanya dan menembak orang tanpa rasa bersalah. Itu seperti kejadian 4 tahun lalu saat ada seorang wanita ketahuan mencuri roti dari seorang kaya yang berjalan-jalan di sini. Orang kaya itu tahu rotinya dicuri dan ia langsung memerintah robot pembersih untuk membunuh wanita tadi di tempat.
Rian menggertakkan gigi saat mengingat kejadian itu.
Beberapa meter ke depan, ia tiba di persimpangan. Jika belok kanan maka akan sampai ke Gedung Serikat, tempat orang-orang “terhormat” tinggal dan “mengasuh” kota ini.
Mereka adalah utusan dari ibu kota untuk memastikan penduduk kota makan cukup. Walau pada kenyataannya penghuni Gedung Serikat memperlakukan mereka dengan cara “yang penting makan”.
Rian belok kiri, berjalan melewati beberapa rumah reyot, bertemu robot humanoid eror yang menganyunkan kaki dengan tubuh tengkurap, melewati gunungan sampah tempat pembuangan, lalu belok kiri lagi dan sampailah ia di rumah kecil terhimpit dua rumah agak besar.
Ia bahkan harus miringkan badan untuk bisa melewati himpitan dua rumah agak besar, baru setelah itu ia sampai di hadapan pintu kayu usang yang tak bisa lagi dikunci. Rian mendorongnya perlahan.
“Ah, kau sudah pulang!” Ayahnya menyambut dengan wajah gembira. “Ada kabar baik!”
Rian masih berdiri di pintu, termenung.
Tanpa menunggu jawaban anaknya, sang ayah sudah melanjutkan. “Ibumu bilang kalau dia sebentar lagi akan pulang bawa roti panggang. Dia baru saja menghubungiku.”
“Begitu?” Rian melangkahkan kaki masuk rumah. “Ini CPU pesananmu.” Ia menyodorkan plastik kecil berisi komponen sebesar ruas jari kepada ayahnya.
Pria itu menghampiri Rian, menatap CPU berbungkus plastik di tangan anaknya seperti melihat harta karun.
“Sungguhkah ini?”
“Aku bahkan ragu, apa kau yakin? CyberChips sudah bangkrut sejak sepuluh tahun lalu, ini barang usang.”
Sang ayah menyambar CPU itu tanpa berkedip. “Tak peduli usang atau baru, semua itu tergantung dari pemakainya,” tegasnya.
Ayahnya lalu berlari-lari menuju ruang kerja. Rian mengikut dari belakang.
Terlihat robot setengah jadi dengan dada terbuka. Itu adalah robot berwujud manusia sempurna dengan proporsi dan anatomi yang pas. Ayahnya membuat robot perempuan, dan Rian tak tahu dia belajar seni dari mana, tapi yang jelas robot itu memiliki wajah yang amat sangat cantik dengan rambut panjang hitam halusnya.
“Oh, ada sedikit karat.” Ia lalu mengambil sebotol alkohol di ujung meja lalu menuangkannya banyak-banyak. Setelah itu bagian karatnya ia gosok menggunakan sikat gigi usang. “Kau tadi bertemu ibumu di tengah jalan?”
Rian masih terpana dengan robot di hadapannya, ia menjawab tidak terlalu fokus. “Tidak ada, tak ada ibu di jalan.”
“Kau ingat kemarin bilang apa?”
Kini Rian menoleh, menatap ayahnya. “Memang bilang apa?”
Masih sibuk menggosok CPU, lelaki itu berkata dengan senyum terkembang. “Dia bilang akan memasukkanmu ke sekolah teknologi. Kau tahu, di ibu kota ada banyak sekolah semacam itu yang memiliki reputasi bagus. Kami akan pikirkan biayanya.”
Wajah Rian tertunduk, ada sedikit raut kesedihan di sana yang tampak terlalu nyata. “Tak perlu pikirkan itu, kita bahkan kesulitan untuk makan.”
Ayahnya hanya tertawa sebagai tanggapan.
Ayah Rian adalah seorang lulusan terbaik dari salah satu sekolah teknologi ternama. Menurut ayahnya, dengan perkembangan dunia sepesat ini, orang-orang harus bisa mengimbangi dengan belajar teknologi.
Ide brilian ayahnya mampu menciptakan robot Polisi Bersih—begitu dia menamakannya, itu adalah robot pembersih jalan yang bisa mengeluarkan senjata dari dadanya. Ia mempresentasikan hasil karya itu kepada Gedung Serikat dan diterima dengan tangan terbuka. Itu terjadi dua puluh tahun silam, saat aku bahkan belum jadi janin.
Namun, memang sudah jadi rahasia umum bahwa Gedung Serikat diisi dengan banyak “tikus”. Ada seseorang yang memanfaatkan kesempatan untuk menusuk ayah Rian dari belakang dan menjadikannya kambing hitam atas suatu hal. Hal ini membuat ayah Rian pun diusir.
Para elit Gedung Serikat berkata seandainya ayahnya tidak punya konstribusi besar, maka ia sudah pantas dihukum mati. Rian tak tahu detail dari kejadian itu karena ayah dan ibunya hanya bercerita sampai sana.
Ayahnya juga sering bercerita bahwa setelah pengusiran, dua tahun kemudian ia bertemu dengan ibunya dan mereka menikah di tanah terbengkalai ini.
Maka tak perlu diherankan mengapa ada orang jenius di tanah yang terbuang. Memang dunia kejam, bahkan otak brilian ayah Rian pun disia-siakan.
“Rian, bisakah aku minta tolong?”
Lamunan Rian seketika buyar. “Ya?”
Ayahnya tersenyum lebar. Ia menggaruk kepalanya yang tertutup rambut tebal tak terurus. “Tolong sempurnakan program perasaan. Aku yakin kau bisa. Hanya tinggal sedikit saja yang perlu diberi sentuhan agar robot ini bisa benar-benar hidup seperti manusia.”
Tanpa merubah ekspresi, Rian duduk di kursi empuk sebelah ayahnya lalu menghidupkan komputer. Ia mencari file program untuk membuat perasaan dari si robot dan segera mengotak-atiknya.
Lima belas menit berselang, ayahnya menggumam.
“Ibumu pasti akan senang sekali melihat ini. Setelah itu, kita harus merayakannya.”
“Ya, Ayah.”
Lima menit kemudian.
“Rian, belum selesai? Kalau begitu aku pasang dulu CPU ini.” Ayahnya melihat-lihat benda kecil itu di tangannya untuk memastikan tak ada karat tertinggal. “Masih ada sedikit karat, tapi posisinya susah sekali. Ah, biarlah.”
Rian tak menyahut.
Dua jam berselang, program itu akhirnya telah selesai Rian sempurnakan. Ia memberitahukan ini kepada ayahnya yang duduk di ruang tamu bertema secangkir kopi.
“Sudah selesai? Kau memang berbakat.” Ia menutup koran kusut dua hari lalu yang tadi dibacanya. “Baiklah, mari mulai proses sentuhan akhir.”
“Maaf, tapi aku harus keluar,” kata Rian setelah melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 15.15.
Ayahnya memandang ke arah yang sama. “Ke mana?”
“Ke makam.”
Lelaki itu mengangguk maklum. Dia tahu jadwal Rian untuk pergi ke makam yaitu pada sore hari ke lima belas setiap bulan.
Akan tetapi, Rian masih belum beranjak. “Ibu belum pulang?” tanyanya.
Sang ayah menggeleng pelan.
“Belum memberimu kabar? Telpon atau mengirim pesan?”
Ayahnya kembali menggeleng. “Mungkin malam nanti, sepertinya dia pergi terlalu jauh untuk rotinya. Kau tahu toko roti enak di sekitar sini?”
Kini Rian yang menggeleng.
“Nah, ibumu pasti tahu.” Sambil tertawa, lelaki itu masuk ke ruangannya untuk melanjutkan robotnya.
Rian kembali meninggalkan rumah dan kini harus melalui jalan yang agak mendaki. Di sebelah sini debu bukannya lebih mending, justru makin parah. Itu disebabkan oleh pabrik besar yang Rian kurang tahu memproduksi apa, tapi yang jelas pabrik itu berada persis di pinggir jalan.
Beruntung makam yang ia tuju masih agak jauh dari sini.
Setelah melewati pendakian, pemukiman di sini menjadi cukup jarang. Rian mampu sedikit menikmati udara segara dari balik penutup wajahnya.
Ia lantas berbelok ke pemakaman umum yang terdapat dua robot penjaga berjubah hitam. Mereka bertugas menyambut setiap pendatang yang ada.
Rian melangkah ke makam yang berada tepat di ujung kanan, berada di bawah pohon kering hampir mati. Ia menatap batu nisan tersebut, tertulis nama “Martina” di sana.
“Dunia sungguh sudah gila, kalau kau masih bisa melihat.” Rian jongkok di sebelah pusara, mengusap batu nisan. “Aku ingin kau melihat ini semua, tapi sepertinya lebih menenangkan di sana.”
Ia menatap batu nisan sampai cukup lama, sebelum tiba-tiba air mata menetes tanpa disuruh.
“Kalau ada yang harus kubenci sekarang, itu ayahku. Kalau ada yang harus disayang, itu juga ayahku. Dia yang membunuhmu dengan robot ciptaannya sendiri hanya karena roti, tapi dia juga orang terakhir yang kupunya di dunia.”
Rian menundukkan kepala, menyembunyikan air matanya agar tidak dilihat dunia. “Aku ingin segera tidur di sampingmu, semua ini benar-benar gila.”
Isak Rian terdengar makin keras, tapi tak ada yang bisa ia lakukan selain menundukkan kepala.
***
Malam hari, Rian baru sampai di rumah.
Rian tahu ayahnya terlalu sibuk sampai lupa menghidupkan lampu depan. Namun, ini sudah jadi hal biasa.
Pemuda itu masuk rumah disambut dengan pemandangan biasa yaitu kata berantakan. Ia tak terlalu mempedulikannya karena sejak dari luar tadi sudah terdengar seruan-seruan semangat dari sang ayah.
Menyadari Rian sudah pulang, lelaki itu berseru.
“Rian, cepat kemari dan lihatlah!”
Anak itu masuk ke ruang kerja sang ayah dan terbelalak melihat robot cantik tadi menoleh ke arahnya. Lalu robot itu tersenyum dan melambaikan tangan.
Rian tak mampu membendung rasa haru yang menyeruak di dada. Kakinya bahkan sampai gemetar ketika tetes-tetes air mata mengalir di pipi.
“Bagaimana, bukankah ini hebat? Ayahmu menciptakan robot yang punya kesadaran, perasaan, dan bahkan lebih canggih dari milik Gedung Serikat!” Lelaki itu melompat-lompat girang. “Beri salam pada anakku dan biasakan itu.”
Robot tadi berhenti melambaikan tangan, sebagai gantinya ia membuka mulut. “Selamat datang, Rian.”
Rian semakin sedih mendengarnya. Suara itu benar-benar seperti manusia asli.
“S-siapa namanya?” tanya Rian terbata.
“Aku sudah memutuskannya sejak lama.” Rian pun sudah mampu menduga siapa namanya. “Kuberi nama Martina karena dia memang Martina istriku.”
Rian jatuh berlutut, menutup wajahnya dengan dua tangan. Sungguh ia tak tahu lagi mana yang waras dan mana yang gila saat ini.
Di sana ayahnya masih mengoceh dengan tawa dan tangis bersamaan. Robot itu dipeluknya erat-erat.
“Bukankah sejak dulu kau ingin memakai tubuh baru? Aku sudah buatkan, kau hidup lagi sekarang dan kita bisa berkumpul seperti dulu!”
Rian bertanya-tanya, kapan gilirannya untuk menjadi gila seperti lelaki jenius ini?
Tidak ada ibu yang membeli roti. Tidak ada keinginan ibu yang ingin Rian pergi ke sekolah teknologi kemarin. Rian tahu semua itu tak akan bisa kembali, ibunya sudah pergi sejak 4 tahun lalu.
“Ayah … sadarlah ….”
Dan ayahnya masih tertawa-tawa.