Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Jatuh ke Tidur
Raka menghempaskan tubuhnya ke kasur, napasnya tersengal seolah ia baru saja berlari maraton. Hari itu adalah neraka yang berwujud tiga dimensi: email-email yang tak henti-hentinya masuk, panggilan telepon dari klien yang menuntut hal-hal di luar nalar, dan yang paling parah, pertengkaran sengit dengan rekan kerjanya, Bima, yang memuncak di depan seluruh departemen. Kata-kata pedas terlontar, tuduhan tak berdasar melayang, meninggalkan Raka dengan rasa pahit di lidah dan denyutan tak nyaman di pelipis. Beban pekerjaan dan kekesalan itu kini seperti batu bara panas yang mengimpit dadanya, membakar setiap sel syarafnya. Ia memejamkan mata, berharap kegelapan yang pekat akan memberinya pelarian singkat, sebuah jeda dari hiruk-pikuk yang mencekiknya. Namun, bahkan dalam kegelapan kelopak matanya, bayangan wajah Bima dengan seringai meremehkan masih menari-nari, disertai dengung samar suara sang atasan yang memperingatkan mereka berdua.
Ia tidak tahu berapa lama ia terlelap, tetapi tiba-tiba, Raka tersentak. Bukan karena suara alarm atau dering telepon, melainkan oleh sensasi aneh yang menerpa indranya. Ia tidak berada di apartemennya yang minimalis, tidak di atas kasur memory foam-nya yang empuk. Ia berdiri tegak di tengah ruang tamu yang asing, namun sekaligus sangat akrab. Jantungnya berdebar, bukan karena ketakutan, melainkan karena kebingungan yang mendalam.
Ini adalah rumah lamanya. Rumah masa kecilnya yang sudah lama ditinggalkan, yang kenangan-kenangannya seharusnya sudah terkunci rapat dalam album foto dan kotak memori yang berdebu. Dinding-dindingnya yang dulu dicat krem hangat kini mengelupas di sana-sini, menampakkan lapisan plester yang usang. Tirai jendela yang dulu cerah kini kusam, tertutup debu tebal yang entah sudah berapa lama menumpuk. Perabot usang—sofa beludru hijau tua yang dulu tempat ia sering tidur siang, meja kopi kayu jati dengan ukiran naga yang kini retak di beberapa bagian—semuanya diselimuti lapisan debu tebal, seolah tak tersentuh tangan manusia selama berabad-abad. Aroma yang menusuk hidungnya adalah bau apak, perpaduan antara lembap, jamur, dan sesuatu yang lebih tua, lebih busuk, seperti bau kenangan yang membusuk.
Raka melangkah hati-hati, suara kresek dari debu di bawah telapak kakinya terdengar memekakkan dalam kesunyian. Ia menoleh ke arah jendela, berharap melihat pemandangan taman belakang yang dulu rimbun dengan pohon mangga dan jambu. Namun, yang ia lihat hanya kegelapan samar, seolah malam telah membungkus seluruh dunia di luar sana. Dan kemudian, kesadaran itu menghantamnya, menusuk seperti jarum es.
Ada yang salah. Suasana terlalu sepi. Bukan sepi yang damai, seperti sepinya perpustakaan atau museum yang ditinggalkan. Ini adalah sepi yang mencekam, sepi yang mematikan, seolah udara itu sendiri menahan napasnya, enggan mengeluarkan suara sekecil apa pun. Bahkan dengungan listrik yang biasa ia dengar di apartemennya pun lenyap. Satu-satunya suara adalah detak jantungnya sendiri yang kini mulai mempercepat iramanya, memukul-mukul rusuknya dengan irama tak beraturan. Ia melangkah ke arah dapur, mencari secangkir air, namun keran air pun kering.
Pandangannya kemudian jatuh pada jam dinding tua yang menggantung miring di dinding ruang keluarga, tepat di atas perapian yang tak pernah digunakan. Bentuknya klasik, dengan angka Romawi dan jarum jam yang ramping. Raka mendekat, dan pupil matanya membesar. Jarum jam itu berhenti. Tepat di angka 03:00. Ia mencoba mengabaikannya, mungkin jam itu memang sudah rusak. Tapi kemudian, ia melihat jam tangan lamanya yang biasa ia letakkan di meja samping telepon putar. Ia meraihnya, dan sekali lagi, jarumnya membeku di angka 03:00. Ia menoleh ke jam kakek besar yang berdiri kokoh di sudut lorong, jam yang dulu selalu berdentang setiap jam. Diam. Jarumnya menunjukkan 03:00.
Sensasi dingin merayapi tulang punggungnya, bukan dinginnya suhu ruangan, melainkan dinginnya teror yang perlahan menyergap. Ini bukan mimpi biasa. Mimpi biasanya memiliki logika yang melompat-lompat, adegan ...