Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ruang rapat senat mahasiswa, yang biasanya riuh dengan diskusi panas tentang acara kampus atau perdebatan sengit mengenai alokasi dana, kini terasa pengap, sesak oleh kekecewaan yang menggantung di udara. Gya, ketua geng dan ikon fesyen di antara teman-temannya, menyandarkan punggungnya pada kursi putar berlapis kulit sintetis yang usang. Rambut panjangnya yang dicat pirang keemasan, seringkali menjadi pusat perhatian, kini tampak sedikit kusam di bawah cahaya lampu neon yang berkedip-kedip, seolah ikut merasakan energi negatif yang menyelimuti. Di depannya, layar laptop menampilkan deretan angka yang memilukan: Indeks Prestasi (IP) semester genap Gya adalah 2.7. Angka itu bukan hanya sekadar deretan digit; itu adalah vonis yang lebih berat daripada sekadar kegagalan akademis. Itu adalah ancaman nyata terhadap impian mobil baru Mercedes-Benz C-Class warna putih yang sudah ia idamkan setengah mati, hadiah dari Papanya jika IP-nya mencapai minimal 3.5. Lebih buruk lagi, angka itu berpotensi mengirimnya ke "neraka" yang paling ia takuti: dipindahkan ke kampus cabang di kabupaten, jauh dari gemerlap kehidupan kota Mataram yang ia cintai.
"Dua koma tujuh?" suara Gya tercekat, terdengar lebih seperti erangan daripada pertanyaan. Matanya yang tajam menelusuri deretan mata kuliah yang nilainya banyak sekali C, seolah mencoba menemukan kesalahan sistem atau konspirasi dosen yang tidak menyukainya. Tapi tidak ada. Itu murni hasil dari kemalasannya, dari malam-malam yang dihabiskan di kafe kekinian atau pusat perbelanjaan, bukan di depan buku.
Di sampingnya, Yanti, dengan kacamata berbingkai tebal yang sedikit melorot di hidungnya, menghela napas berat. IP-nya sedikit lebih baik dari Gya, yaitu 2.8, namun masih jauh dari kata memuaskan. "Aku juga... dua koma delapan. Gila. Mana berani aku pulang bawa rapot ini," bisiknya, suaranya lesu. Jemarinya bermain-main gelisah dengan ujung hijabnya yang modis, namun tak mampu menyembunyikan gurat kecemasan di wajahnya. Yanti, meskipun bagian dari geng Gya, memiliki ambisi akademis yang sedikit lebih realistis, namun tetap saja terbawa arus pergaulan.
Rani, yang duduk di seberang mereka, memiliki ekspresi paling putus asa. Rambut pendeknya yang dicat merah burgundy seolah kehilangan kilaunya. Ia baru saja melihat IP-nya: 2.75. Wajahnya yang ceria, biasanya penuh dengan tawa renyah, kini terlihat muram. "Habislah aku. Mama pasti mencak-m...