Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
PERSAHABATAN YANG CULAS
0
Suka
721
Dibaca

Ruang rapat senat mahasiswa, yang biasanya riuh dengan diskusi panas tentang acara kampus atau perdebatan sengit mengenai alokasi dana, kini terasa pengap, sesak oleh kekecewaan yang menggantung di udara. Gya, ketua geng dan ikon fesyen di antara teman-temannya, menyandarkan punggungnya pada kursi putar berlapis kulit sintetis yang usang. Rambut panjangnya yang dicat pirang keemasan, seringkali menjadi pusat perhatian, kini tampak sedikit kusam di bawah cahaya lampu neon yang berkedip-kedip, seolah ikut merasakan energi negatif yang menyelimuti. Di depannya, layar laptop menampilkan deretan angka yang memilukan: Indeks Prestasi (IP) semester genap Gya adalah 2.7. Angka itu bukan hanya sekadar deretan digit; itu adalah vonis yang lebih berat daripada sekadar kegagalan akademis. Itu adalah ancaman nyata terhadap impian mobil baru Mercedes-Benz C-Class warna putih yang sudah ia idamkan setengah mati, hadiah dari Papanya jika IP-nya mencapai minimal 3.5. Lebih buruk lagi, angka itu berpotensi mengirimnya ke "neraka" yang paling ia takuti: dipindahkan ke kampus cabang di kabupaten, jauh dari gemerlap kehidupan kota Mataram yang ia cintai.

"Dua koma tujuh?" suara Gya tercekat, terdengar lebih seperti erangan daripada pertanyaan. Matanya yang tajam menelusuri deretan mata kuliah yang nilainya banyak sekali C, seolah mencoba menemukan kesalahan sistem atau konspirasi dosen yang tidak menyukainya. Tapi tidak ada. Itu murni hasil dari kemalasannya, dari malam-malam yang dihabiskan di kafe kekinian atau pusat perbelanjaan, bukan di depan buku.

Di sampingnya, Yanti, dengan kacamata berbingkai tebal yang sedikit melorot di hidungnya, menghela napas berat. IP-nya sedikit lebih baik dari Gya, yaitu 2.8, namun masih jauh dari kata memuaskan. "Aku juga... dua koma delapan. Gila. Mana berani aku pulang bawa rapot ini," bisiknya, suaranya lesu. Jemarinya bermain-main gelisah dengan ujung hijabnya yang modis, namun tak mampu menyembunyikan gurat kecemasan di wajahnya. Yanti, meskipun bagian dari geng Gya, memiliki ambisi akademis yang sedikit lebih realistis, namun tetap saja terbawa arus pergaulan.

Rani, yang duduk di seberang mereka, memiliki ekspresi paling putus asa. Rambut pendeknya yang dicat merah burgundy seolah kehilangan kilaunya. Ia baru saja melihat IP-nya: 2.75. Wajahnya yang ceria, biasanya penuh dengan tawa renyah, kini terlihat muram. "Habislah aku. Mama pasti mencak-mencak. Disuruh fokus belajar, malah sibuk urus *event* kampus sama Gya." Ada nada tuduhan halus dalam ucapannya, meskipun ia tahu Gya tidak pernah memaksanya. Mereka bertiga memang sama-sama terseret dalam pusaran kegiatan non-akademis yang memikat.

"Jangan menyalahkan *event* kampus, Ran. Kita memang kurang belajar," Gya mendengus, mencoba mengalihkan pembicaraan dari rasa bersalahnya sendiri. Ia tahu betul, kegiatan kampus hanyalah alasan. Prioritasnya memang bukan buku.

Keheningan yang canggung menyelimuti mereka. Suara desingan pendingin ruangan yang berlebihan terdengar seperti bisikan menakutkan. Masa depan akademis mereka di ujung tanduk. Gya membayangkan dirinya terdampar di kampus di pinggiran kota, jauh dari teman-temannya, dari Sagara kekasihnya, dari semua kemewahan yang ia kenal. Kengerian itu mencengkeram hatinya.

Tiba-tiba, mata Rani berbinar. Ada sepercik harapan yang menyala di balik keputusasaannya. "Aku punya ide!" serunya, suaranya sedikit lebih kencang, memecah keheningan.

Gya dan Yanti menoleh, pandangan mereka penuh tanda tanya. "Apa?" Gya bertanya skeptis.

"Khanza!" Rani berkata, seolah nama itu adalah kunci pembuka semua masalah mereka. "Khanza! Si kutu buku berjilbab itu! Dia kan pintar banget. IP-nya selalu sempurna, empat koma nol terus!"

Seketika, ekspresi Gya berubah jijik. "Khanza? Kamu bercanda, Ran? Khanza yang 'cupu' itu? Yang suka pakai kacamata tebal dan rok panjang norak itu? Ogah!" Gya menggelengkan kepalanya kuat-kuat, seolah ide Rani adalah penawaran paling menjijikkan yang pernah ia dengar. Baginya, Khanza adalah antitesis dari segala hal yang ia junjung tinggi: gaya, status sosial, dan pesona. Khanza adalah bagian dari "golongan lain" yang tidak layak berinteraksi dengannya.

"Gya, kita butuh bantuan, serius!" Yanti ikut menimpali, menyadari betapa putus asanya situasi mereka. "Daripada pindah ke kampus cabang, mending kita telan gengsi sedikit. Khanza itu kan emang jagonya segala mata kuliah. Ingat waktu dia bantu anak-anak di mata kuliah Statistik? Semua langsung pada naik nilainya."

Gya mendengus, memainkan cincin berlian di jari manisnya. "Iya, tapi... kan, aneh aja. Kita 'kan geng yang paling hits di kampus. Masa iya, minta bantuan sama dia? Nanti apa kata orang?" Kekhawatiran terbesar Gya adalah citra. Ia membangun citra kesempurnaan dan kemewahan yang tak boleh ternoda. Bergaul dengan "si cupu" Khanza akan merusak segalanya.

"Kita kan gak akan jadi temenan beneran sama dia, Gya," Rani mencoba meyakinkan, nadanya sedikit memohon. "Kita cuma manfaatkan dia buat jadi tutor. Privat, khusus buat kita. Lagipula, siapa yang tahu kalau kita belajar sama dia? Kita bisa di rumahmu, kan? Lebih privat."

Gya mengerutkan kening. Memanfaatkan. Kata itu terdengar jauh lebih masuk akal dan sesuai dengan egonya. Jika hanya memanfaatkan, berarti tidak perlu mengakui keberadaan Khanza secara sosial. Sebuah rencana yang licik, tapi mungkin satu-satunya jalan keluar.

"Tapi... dia jangan sampai mikir kita jadi temenannya beneran, ya," Gya menekankan, dengan ekspresi tegas yang tidak bisa ditawar. "Dia cuma tutor. Titik. Gak boleh ikut nongkrong bareng kita, gak boleh nyampur sama pergaulan kita. Dia tetap di 'level'nya, dan kita di 'level' kita."

Yanti dan Rani saling pandang, sedikit merasa tidak nyaman dengan kekejaman dalam nada suara Gya, tapi mereka terlalu putus asa untuk membantah. Mereka mengangguk pelan.

"Oke," Gya akhirnya setuju, meski masih dengan nada enggan yang jelas. "Kalian yang urus dia. Tawar dia. Tapi jangan terlalu baik juga. Dia kan cuma kita pakai. Ingat itu." Matanya menyipit, memandang layar laptop yang masih menampilkan angka 2.7, seolah angka itu adalah musuh yang harus ia taklukkan dengan segala cara, termasuk cara yang tidak etis. Mobil baru, citra sosial, dan kehidupannya di Mataram, semuanya bergantung pada gadis "cupu" bernama Khanza. Rencana licik itu pun dimulai, sebuah rencana yang akan mengubah segalanya, jauh lebih dari sekadar nilai akademis.

Keesokan harinya, Rani dan Yanti berhasil membujuk Khanza. Dengan iming-iming traktiran gratis—sesuatu yang dilakukan Rani tanpa sepengetahuan Gya—Khanza akhirnya setuju. Khanza, dengan sifatnya yang tulus dan tidak tegaan, merasa senang bisa membantu. Ia tidak sedikit pun mencurigai niat tersembunyi Gya dan teman-temannya. Bagi Khanza, membantu teman adalah bentuk ibadah dan berbagi ilmu, tidak peduli siapa teman itu.

Sesi belajar pertama dimulai di rumah Gya, sebuah rumah megah bergaya modern minimalis yang terletak di salah satu komplek perumahan elit di Mataram. Ruang tamu yang luas dengan sofa-sofa empuk berwarna krem dan meja marmer besar menjadi "medan perang" baru bagi Gya dan teman-temannya. Khanza datang tepat waktu, membawa setumpuk buku tebal dan pena warna-warni. Ia mengenakan gamis sederhana berwarna biru laut dan jilbab senada yang menutupi dada, kontras dengan gaya Gya yang selalu tampil dengan pakaian branded terbaru. Kacamata minus tebal bertengger di hidungnya, menambah kesan kutu buku yang melekat padanya.

Sejak awal, Gya sudah menunjukkan sikap dingin dan menjaga jarak. Saat Yanti dan Rani menawarkan berbagai minuman dingin—mulai dari jus jeruk segar, teh lemon dingin, hingga kopi susu kekinian—Gya menyela dengan suara datar, "Khanza, kamu mau air mineral saja, kan? Lebih sehat." Tanpa menunggu jawaban, ia segera meminta ART-nya membawa sebotol air mineral dingin khusus untuk Khanza, sementara yang lain menikmati minuman pilihan mereka. Khanza hanya tersenyum tipis, mengangguk, dan menerima air mineral itu tanpa protes sedikit pun, seolah sudah terbiasa dengan perlakuan semacam itu.

Sagara, kekasih Gya, seringkali berada di rumah saat sesi belajar berlangsung. Ia mahasiswa semester akhir dari jurusan Teknik Sipil yang sedang menyelesaikan skripsinya, dan terkadang ia memanfaatkan suasana tenang di rumah Gya untuk belajar atau sekadar bersantai di dekat mereka. Awalnya, Sagara tidak terlalu memperhatikan kehadiran Khanza. Baginya, Khanza hanyalah "teman Gya yang kalem" yang membantu belajar. Namun, seiring berjalannya waktu, Sagara mulai mengamati.

Khanza mengajar dengan sabar, menjelaskan konsep-konsep rumit dengan bahasa yang mudah dimengerti. Ia tidak pernah mengeluh meski Gya dan teman-temannya seringkali sulit memahami atau bahkan malas-malasan. Ketika Gya sibuk membalas pesan di ponselnya, atau Yanti dan Rani asyik bergosip di tengah penjelasan, Khanza hanya tersenyum maklum dan dengan tenang mengulang kembali materinya. Ia memiliki wawasan yang luas, tidak hanya di bidang akademis, tetapi juga tentang isu-isu sosial, budaya, dan bahkan sedikit politik. Setiap kali ia berbicara, kata-katanya penuh dengan makna dan kebijaksanaan, jauh dari obrolan dangkal yang seringkali mendominasi percakapan Gya dan gengnya.

Sagara, yang pura-pura fokus pada laptopnya, secara diam-diam mendengarkan. Ia terkesan. Sangat terkesan. Khanza tidak hanya cerdas, tetapi juga tulus dan berempati. Ia tidak pernah menghakimi, selalu mencari cara terbaik untuk membantu. Sagara mulai membandingkan Khanza dengan Gya. Gya memang cantik, modis, dan punya selera humor yang bagus, tapi seringkali sombong, egois, dan kurang sensitif terhadap perasaan orang lain. Ia ingat bagaimana Gya seringkali meremehkan orang lain di depan umum, atau bagaimana ia bisa bersikap sangat dingin jika sesuatu tidak sesuai keinginannya.

Suatu sore, saat sesi belajar sedang berlangsung, Gya mengeluh tentang nilai dosen yang dianggapnya tidak adil. "Gila ya, dosen itu. Sudah tahu aku anak Pak Hadiprana, kok masih berani kasih nilai B?! Harusnya A dong, minimal!" keluhnya, meletakkan pena dengan kasar.

Khanza, yang baru saja selesai menjelaskan integral tak tentu, menoleh dengan senyum lembut. "Mungkin... kita perlu introspeksi, Gya. Nilai itu kan cerminan usaha kita. Kalaupun merasa kurang adil, mungkin ada hal yang bisa kita perbaiki dari diri kita sendiri. Lagipula, dosen kan punya penilaian objektif. Mereka tidak melihat siapa orang tua kita, tapi seberapa jauh kita memahami materi."

Kata-kata Khanza, yang diucapkan dengan begitu tenang dan tanpa pretensi, menusuk hati Sagara. Ia melihat Gya mendengus, tidak terima. Tapi Sagara tahu, Khanza benar. Gya memang terlalu sering mengandalkan nama besar ayahnya.

Benih-benih keraguan terhadap Gya mulai tumbuh di hati Sagara. Ia mulai melihat celah di balik kecantikan dan gaya hidup mewah Gya. Semakin sering ia melihat interaksi Gya dengan Khanza, semakin ia merasa tidak nyaman dengan sikap Gya yang merendahkan. Sagara bertanya-tanya, apakah Gya benar-benar pasangan yang cocok untuknya? Apakah ia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan seseorang yang menilai orang lain dari penampilan dan status sosial?

Perpecahan internal Sagara semakin mendalam. Ia mulai diam-diam berharap sesi belajar Khanza akan berlangsung lebih lama, hanya untuk bisa mendengar wawasan Khanza yang mendalam, atau melihat senyum tulusnya yang tidak pernah dibuat-buat. Tanpa disadarinya, Khanza, gadis yang dianggap "cupu" oleh kekasihnya, perlahan-lahan mulai mengukir tempat di hatinya, menantang semua asumsi yang pernah ia miliki tentang kecantikan dan nilai sejati seorang perempuan.

Sore itu, mendung menggantung di langit Mataram, membuat suasana di ruang tamu rumah Gya terasa sedikit lebih redup dari biasanya. Sesi belajar sudah berlangsung hampir tiga jam, dan energi Gya, Yanti, serta Rani sudah mulai terkuras. Buku-buku berserakan di meja, dan sisa-sisa minuman serta camilan terhampar di mana-mana. Hanya Khanza yang masih tampak segar, matanya tetap jernih di balik kacamata, menjelaskan materi dengan penuh semangat.

Tiba-tiba, suara azan Zuhur berkumandang dari masjid di kejauhan. Khanza melirik arlojinya. "Maaf, teman-teman," katanya dengan sopan, "boleh saya izin sebentar untuk shalat Zuhur?"

Gya, yang sedang asyik memainkan ponselnya, mengangkat kepala sekilas. "Shalat? Sekarang?" tanyanya, nada suaranya terdengar malas. "Ini kan lagi nanggung belajarnya, Za. Nanti saja, setelah selesai semua."

Yanti dan Rani mengangguk setuju, meskipun ada sedikit rasa sungkan di wajah mereka. Mereka tahu Khanza adalah seorang muslimah yang taat.

Khanza tersenyum lembut. "Waktu shalat itu kan harus diutamakan, Gya. Lagipula, kan sebentar saja. Nanti saya balik lagi kok." Ia mencoba menjelaskan dengan tenang.

"Ah, ribet banget," Gya mendengus. "Udah deh, gak usah. Kita kan lagi ngejar IP. Nanti malah putus konsentrasi."

Khanza tidak mendebat. Ia hanya menghela napas pelan, mengangguk, dan dengan kalem membereskan bukunya. "Baiklah, kalau begitu, saya pamit sebentar. Saya cari mushola di sini ya." Ia berdiri, bersiap mencari tempat yang layak untuk melaksanakan ibadahnya.

Sagara, yang sedari tadi menyaksikan interaksi itu dari sudut ruangan, tiba-tiba merasa haus. Ia memang ingin ke toilet juga. "Aku ke toilet dulu ya," katanya, lalu berjalan melewati ruang tamu menuju bagian belakang rumah. Di sana, terdapat sebuah mushola kecil dan toilet yang biasa digunakan oleh ART dan tamu.

Beberapa saat kemudian, Sagara keluar dari toilet. Saat melewati area mushola, ia melangkah pelan, tanpa suara. Pintu mushola sedikit terbuka, memperlihatkan cahaya samar dari dalam. Dari celah itu, Sagara tak sengaja melihat siluet Khanza sedang berwudhu.

Pandangan Sagara terpaku.Khanza, tanpa kerudung dan kacamatanya, adalah sosok yang sama sekali berbeda dari "gadis cupu" yang selama ini ia kenal. Rambut legamnya yang panjang terurai indah, basah oleh air wudhu, membingkai wajah kuning langsat yang bersih. Bulu mata lentiknya, yang biasanya tersembunyi di balik bingkai kacamata tebal, kini terlihat jelas, berkibar anggun setiap kali ia mengedipkan mata. Ada ketenangan yang luar biasa terpancar dari wajahnya, aura kesucian yang membuat Sagara merasa seperti sedang menyaksikan pemandangan yang paling murni dan tak ternilai.

Air menetes dari ujung jari-jarinya yang ramping saat ia membasuh tangan, bibir, dan wajahnya. Gerakan-gerakannya begitu halus dan penuh penghayatan. Sagara melihat bagaimana Khanza menyeka wajahnya dengan telapak tangan, matanya terpejam, seolah sedang berkomunikasi dengan sesuatu yang lebih tinggi.

Sagara merasa napasnya tertahan. Ia tidak pernah membayangkan bahwa di balik penampilan sederhana Khanza, ada kecantikan yang begitu alami dan memukau, kecantikan yang jauh lebih dalam daripada polesan kosmetik mahal atau pakaian branded yang selalu Gya kenakan. Kecantikan Khanza adalah kecantikan yang berasal dari dalam, dari ketulusan hati dan kesalehannya.

Ia menyadari bahwa Gya, dengan segala kemewahan dan kecantikannya yang mencolok, tidak pernah memberinya perasaan sedalam ini. Gya terlalu sibuk dengan penampilan luar, dengan citra yang ingin ia pertahankan. Sementara Khanza, dengan kesederhanaannya, memancarkan pesona yang tak tertandingi.

Sebuah bisikan halus terlintas di benak Sagara, sebuah pikiran yang muncul begitu saja namun begitu kuat, mengukir janji di lubuk hatinya: *Gadis seperti Khanza ini... dia yang lebih cocok menjadi ibu dari anak-anakku kelak. Bukan Gya yang dangkal itu.*

Pikiran itu mengguncang Sagara. Ia sadar, hubungannya dengan Gya mungkin hanya sebatas penampilan dan kesenangan semata. Ia tidak pernah melihat Gya dengan mata yang sama, tidak pernah merasakan kedalaman emosi seperti yang ia rasakan sekarang saat melihat Khanza. Kecantikan Khanza yang tak terduga, ditambah dengan kesalehan dan ketulusan hatinya, telah membuka mata Sagara pada sebuah kebenaran yang pahit: bahwa ia mungkin telah salah dalam memilih pasangan.

Sagara bergegas menjauh, takut ketahuan telah mengintip. Jantungnya berdebar kencang. Ia kembali ke ruang tamu dengan pikiran kacau, memandang Gya yang sedang tertawa lepas dengan teman-temannya. Tawa Gya terdengar hampa di telinga Sagara. Ia kini melihat Gya dengan mata yang berbeda, mata yang telah dibuka oleh cahaya kesucian Khanza. Perasaannya pada Gya runtuh, digantikan oleh kesadaran yang dingin dan menyakitkan. Sementara itu, Khanza, tidak menyadari dampak besar kehadirannya pada Sagara, dengan tenang menyelesaikan shalatnya, bersiap untuk kembali melanjutkan sesi belajar, membawa serta ketulusan hatinya yang akan terus menerangi kegelapan di sekitar Gya.

Minggu-minggu berlalu dengan intensitas tinggi. Sesi belajar bersama Khanza menjadi rutinitas wajib bagi Gya, Yanti, dan Rani. Meskipun Gya tetap mempertahankan sikap dingin dan cenderung memanfaatkan, Khanza tidak pernah menunjukkan tanda-tanda keberatan. Ia terus mengajar dengan sabar, membimbing mereka melalui setiap konsep sulit, dan memotivasi mereka ketika semangat mulai kendor. Sagara, yang kini menjaga jarak emosional dengan Gya, seringkali hanya duduk di dekat mereka, sibuk dengan skripsinya, namun telinganya selalu mencuri dengar setiap penjelasan Khanza, semakin mengagumi kebijaksanaannya.

Akhirnya, semester yang penuh perjuangan itu berakhir. Hari pengumuman nilai tiba, membawa ketegangan yang mencekam. Ketiganya berkumpul di kantin kampus, mata mereka terpaku pada layar ponsel, menunggu hasil yang akan menentukan nasib mereka.

Ketika portal nilai akhirnya terbuka, jeritan kegembiraan melengking dari ketiganya.

"Astaga! Aku dapat 3.3!" Gya berteriak histeris, melompat-lompat dan memeluk Yanti serta Rani. Senyum lebar menghiasi wajahnya, senyum yang begitu tulus karena ia merasa impiannya untuk mendapatkan mobil baru sudah di depan mata. Vonis kampus di kabupaten telah dihindarinya.

"Aku juga 3.3, Gya!" Yanti tak kalah gembira, matanya berkaca-kaca.

"Dan aku... tiga koma nol! Tiga koma nol, Gya! Rani! Ini mukjizat!" Rani menangis bahagia, memeluk kedua temannya dengan erat. 

Sukacita mereka meluap-luap. Mereka tahu, semua ini berkat Khanza. Tanpa bimbingan dan kesabaran gadis berjilbab itu, mereka tidak akan pernah mencapai angka-angka ini. 

"Kita harus merayakan ini!" Gya berseru, semangatnya membuncah. "Bagaimana kalau kita liburan 'healing' ke air terjun Jeruk Manis di Lombok Timur? Aku sudah lama ingin ke sana. Pemandangannya indah banget, cocok buat *refreshing* setelah pusing sama buku."

Yanti dan Rani setuju dengan antusias. Ide itu terdengar sempurna. Melepas penat di alam yang indah, jauh dari keramaian kampus. 

"Oh iya, Gya," Rani tiba-tiba teringat. "Bagaimana kalau kita ajak Khanza juga? Kan semua ini berkat dia. Setidaknya sebagai ucapan terima kasih?"

Mendengar nama Khanza, wajah Gya yang tadinya berseri-seri, seketika berubah masam. Senyumnya pudar, digantikan oleh kerutan di dahi. "Khanza? Nggak, nggak perlu!" suaranya terdengar tajam, membuat Rani dan Yanti terkejut.

"Tapi Gya, kan dia yang bantu kita..." Yanti mencoba membela.

"Nggak perlu! Itu kan cuma kewajiban dia sebagai tutor!" Gya memotong dengan cepat, nada suaranya meninggi. "Kita kan sudah kasih dia ongkos taksi, terus sering traktir dia makan juga kan waktu itu? Lagipula, dia kan beda alam sama kita. Nanti malah jadi kaku liburannya. Dia kan gak suka tempat-tempat *clubbing* atau kafe yang asyik. Nanti dia malah gak nyaman."

Alasan Gya terdengar dibuat-buat. Sebenarnya, Gya tidak ingin Khanza bergabung karena takut citranya akan rusak. Ia tidak ingin orang lain melihatnya bergaul akrab dengan "gadis cupu" seperti Khanza, apalagi di tempat umum seperti destinasi wisata. Status sosial adalah segalanya bagi Gya, dan Khanza adalah anomali yang harus disingkirkan dari lingkaran sosialnya.

Rani dan Yanti terdiam, merasa canggung. Mereka tahu Gya tidak akan mengubah pikirannya. Akhirnya, mereka mengangguk pasrah.

Beberapa hari kemudian, Rani memberanikan diri menelepon Khanza. "Za, aku mau kasih tahu, nih," Rani memulai dengan nada hati-hati, "kita mau liburan ke Jeruk Manis. Mau ikut nggak?"

Khanza, yang sedang membaca buku di kamarnya, tersenyum. "Wah, asyik banget. Kapan?"

"Uhm... itu... Gya bilang, dia mendadak harus nemenin Papanya ke Jakarta. Jadi, rencana liburannya dibatalkan sementara," Rani berbohong dengan suara yang sedikit bergetar karena rasa bersalah. "Mungkin lain kali ya, Za."

Khanza terdiam sejenak. "Oh, begitu ya. Ya sudah, tidak apa-apa. Sampaikan salamku untuk Gya dan semoga Papanya cepat urusan di Jakarta." Suara Khanza terdengar tulus, tanpa sedikit pun kecurigaan.

Setelah menutup telepon, Rani merasa bersalah luar biasa. Ia tahu ia baru saja mengkhianati Khanza, gadis tulus yang telah begitu banyak membantu mereka. Namun, ia tidak berani menentang Gya. Kekuasaan Gya dalam geng terlalu besar.

Gya, yang mendengarkan percakapan itu dari jarak dekat, tersenyum puas. Rencananya berhasil. Khanza telah disingkirkan dari acara liburannya. Ia merasa berhasil mempertahankan citra sosialnya, tanpa menyadari bahwa setiap tindakan egoisnya telah mengikis sedikit demi sedikit jiwanya, dan merobek jalinan persahabatan yang mungkin bisa ia dapatkan. Pengkhianatan Gya terhadap Khanza bukanlah akhir, melainkan awal dari serangkaian peristiwa yang akan memaksanya menghadapi konsekuensi dari kedangkalannya, dengan cara yang paling menyakitkan.

Meskipun Khanza tidak diundang, rencana liburan ke air terjun Jeruk Manis tetap berjalan. Gya, Yanti, dan Rani berangkat menggunakan mobil mewah Gya, sebuah SUV putih yang baru saja didapatnya sebagai hadiah atas kenaikan IP-nya. Jalanan berkelok-kelok menuju Lombok Timur, menawarkan pemandangan sawah hijau dan perbukitan yang menjulang. Mereka tertawa, berfoto, dan menikmati kebebasan yang mereka rasakan, jauh dari hiruk pikuk kota dan tuntutan akademis.

Setelah puas shopping di mall epicentrum, mereka memutuskan untuk singgah di sebuah kafe tepi pantai di daerah Senggigi. Suasana kafe remang-remang, diiringi musik santai dan deburan ombak. Tanpa berpikir panjang, Gya memesan beberapa botol wine. Mereka tertawa, bercanda, dan minum hingga larut malam. Gya, yang merasa euforia atas IP-nya dan kebebasan yang ia rasakan, mengabaikan peringatan Yanti dan Rani untuk tidak terlalu banyak minum.

"Sudah, nanti biar aku yang nyetir," Gya berseru, dengan nada sedikit cadel karena pengaruh alkohol. "Aku kan paling jago nyetir!"

Meskipun Yanti dan Rani khawatir, mereka terlalu lelah dan mabuk untuk berdebat. Mereka membiarkan Gya mengambil kemudi. Malam itu gelap gulita, jalanan yang berliku menuju Lombok Timur minim penerangan. Ditambah lagi, gerimis mulai turun, membuat aspal menjadi licin.

Gya, dengan efek alkohol yang mengaburkan pandangannya dan rasa percaya diri yang berlebihan, memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia merasa tak terkalahkan. Namun, di tikungan tajam sebelum melewati air terjun Jeruk Manis, saat mobil melaju menuruni bukit, Gya terlambat mengerem. Ban mobil selip, dan dalam sepersekian detik yang mengerikan, Gya kehilangan kendali.

Mobil putih yang baru saja ia banggakan itu menabrak pembatas jalan dengan keras, berguling beberapa kali, dan akhirnya berhenti dengan posisi terbalik di pinggir jurang yang tidak terlalu dalam. Suara benturan, jeritan, dan pecahan kaca memecah kesunyian malam.

Ketika Gya membuka matanya, ia merasakan sakit yang luar biasa di seluruh tubuhnya. Kepalanya pusing, dan ada bau anyir darah. Ia melihat Yanti dan Rani tergeletak tak sadarkan diri di kursi penumpang. Dengan sisa tenaga, Gya mencoba keluar dari mobil yang ringsek itu. Ia berhasil merangkak keluar, tubuhnya penuh luka gores dan memar. Kakinya terasa sakit luar biasa.

Beruntung, ada pengendara lain yang lewat dan segera memberikan pertolongan. Mereka dilarikan ke RSUD Selong, rumah sakit terdekat di Lombok Timur.

Keesokan harinya, Gya terbangun di ranjang rumah sakit. Kakinya terbungkus gips, kepalanya diperban, dan banyak luka gores di sekujur tubuhnya. Ia merasakan sakit fisik yang perih, namun rasa sakit di hatinya jauh lebih mendalam.

Orang tuanya, yang seharusnya menjadi orang pertama yang menjenguk, hanya bisa menelepon. "Maaf ya, Sayang," suara Papanya terdengar buru-buru di telepon. "Papa ada pelanggan penting dari Surabaya yang tidak bisa diabaikan. Mama juga harus menemani. Nanti kalau Papa sudah pulang, Papa langsung jenguk, ya. Kamu istirahat saja."

Gya merasa seperti dihantam batu. Orang tuanya, yang selalu sibuk dengan bisnis dan status sosial mereka, tidak bisa datang menjenguk putri satu-satunya yang sedang terbaring lemah. Janji mobil mewah dan fasilitas kelas atas selalu ada, tapi perhatian dan kehadiran mereka terasa begitu langka.

Yanti dan Rani, yang juga mengalami luka ringan, sempat menjenguk Gya sekali, sehari setelah kejadian. "Gya, maaf ya, kami harus pulang. Jauh banget dari Mataram ke sini. Orang tua kami juga sudah khawatir," kata Yanti, dengan wajah yang masih pucat. Rani hanya mengangguk setuju. Mereka membawa beberapa buah tangan dan kemudian pergi, meninggalkan Gya sendirian di kamar rawat.

Yang paling menyakitkan adalah Sagara. Kekasihnya, yang selama ini selalu ada untuknya, tidak pernah datang. Teleponnya tidak diangkat, pesannya tidak dibalas. Sagara menghilang begitu saja, seolah-olah kecelakaan Gya adalah akhir dari segalanya. Gya merasa ditelantarkan, ditinggalkan sendirian dalam penderitaannya.

Malam itu, Gya tidak bisa tidur. Rasa sakit di kakinya terasa tumpul dibandingkan dengan rasa sakit di hatinya. Ia memandang langit-langit kamar rumah sakit yang putih dan kosong, air matanya menetes tanpa henti. Ia teringat semua perbuatannya. Sikap sombongnya, materialistisnya, kedangkalannya, dan bagaimana ia meremehkan orang lain. Ia teringat Khanza, gadis yang selalu ia anggap "cupu," gadis yang ia manfaatkan, gadis yang ia bohongi agar tidak ikut liburan.

Apakah semua ini karma? Apakah ini balasan atas semua perbuatan buruknya? Gya menangis tersedu-sedu, menutupi wajahnya dengan bantal. Rasa kesepian mencengkeramnya dengan kejam. Ia merasa begitu terasing, begitu tidak berharga. Semua yang ia banggakan—kecantikan, kekayaan, popularitas—ternyata tidak ada gunanya saat ia terbaring lemah dan membutuhkan dukungan. Orang-orang yang selama ini ia anggap "teman dekat" meninggalkannya. Orang tua yang ia banggakan sibuk. Kekasih yang ia cintai menghilang.

Ia merenungi makna persahabatan sejati. Apakah persahabatan yang ia miliki selama ini hanya didasarkan pada kepentingan dan penampilan? Apakah ia sudah terlalu jauh tersesat dalam kehidupannya yang dangkal?

Di tengah tangis dan penyesalannya, Gya merasakan sebuah titik balik. Sebuah kesadaran yang menusuk hati: ia telah salah. Sangat salah. Ia ingin berubah. Ia ingin menjadi pribadi yang lebih baik, yang tidak menilai orang dari penampilan atau status sosial. Ia ingin menemukan makna sejati dalam persahabatan, yang ia yakini tidak akan pernah ditemukan dalam kehidupan yang selama ini ia jalani. Penyesalan itu menjadi api yang membakar egonya, membuka ruang bagi benih-benih empati dan ketulusan untuk tumbuh di dalam hatinya yang selama ini beku.

Pagi hari di RSUD Selong terasa lebih dingin. Gya terbangun dengan mata bengkak dan kepala yang terasa berat, sisa-sisa tangis semalam masih membekas. Tubuhnya masih nyeri, namun sakit di hati jauh lebih mendominasi. Ia merasa kosong, hampa, ditinggalkan. Pandangannya kosong, menatap keluar jendela, pada awan mendung yang berarak pelan, seolah mencerminkan perasaannya. 

Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar di pintu kamarnya. Gya tidak menoleh, berpikir itu mungkin perawat atau petugas kebersihan. Namun, suara lembut menyapa, "Assalamualaikum, Gya." 

Suara itu. Suara yang begitu familiar, namun tidak ia harapkan akan didengarnya di sini. Gya memutar kepalanya perlahan. Di ambang pintu, berdiri seorang gadis. Jilbabnya berwarna krem lembut, menutupi dadanya dengan anggun. Gamisnya berwarna senada, membalut tubuhnya dengan sederhana namun elegan. Kacamata tebalnya bertengger rapi di hidung, namun kali ini, ia tidak terlihat "cupu". Justru, ada aura ketenangan dan kebaikan yang memancar dari dirinya. 

Itu Khanza.

Gya tidak bisa berkata-kata. Air matanya kembali menggenang, namun kali ini bukan karena kesedihan atau penyesalan, melainkan karena haru. Khanza, gadis yang selama ini ia remehkan, ia bohongi, ia manfaatkan—justru ia yang datang menjenguknya di saat-saat terpuruknya.

Khanza melangkah masuk, membawa bingkisan buah-buahan dan sebuah tas berisi makanan ringan serta buku-buku. Ia meletakkan bingkisan itu di meja samping ranjang Gya, kemudian duduk di kursi yang diletakkan di samping ranjang. 

"Bagaimana keadaanmu, Gya? Semoga cepat pulih ya," kata Khanza, suaranya lembut dan penuh perhatian. Matanya menatap Gya dengan tulus, tanpa sedikit pun penghakiman.

Gya hanya bisa mengangguk lemah, bibirnya bergetar, mencoba menahan tangis yang kembali mendesak. "Khanza... kamu... kenapa kamu di sini?" suaranya serak. 

Khanza tersenyum tipis. "Aku dengar kabar dari Rani. Dia bilang kamu kecelakaan. Aku langsung ke sini begitu tahu. Untungnya, rumahku di Kelayu tidak terlalu jauh dari Selong. Cuma sekitar setengah jam perjalanan."

Kelayu. Gya tahu Kelayu adalah sebuah desa di Lombok Timur, dekat dengan Selong. Gya tidak pernah tahu Khanza berasal dari sana. Ia hanya tahu Khanza kuliah di Mataram.

"Aku... aku minta maaf, Za," Gya akhirnya bisa bicara, air mata mengalir deras di pipinya. "Aku... aku sudah berbohong padamu. Tentang Papa ke Jakarta itu... itu semua bohong. Aku tidak mau kamu ikut liburan."

Khanza hanya menatapnya, mendengarkan dengan sabar. Ia tidak menyela, tidak menghakimi. Ada ketenangan luar biasa yang terpancar dari dirinya.

"Aku minta maaf atas semua sikapku selama ini, Za," Gya melanjutkan, isakannya semakin keras. "Aku sombong, aku materialistis, aku jahat padamu. Aku cuma memanfaatkanmu. Aku... aku pantas menerima semua ini." Gya menundukkan kepalanya, merasa sangat malu dan bersalah.

Khanza perlahan meraih tangan Gya yang tidak diinfus, menggenggamnya dengan lembut. "Sudah, Gya. Jangan bicara begitu. Allah tidak suka kalau kita berputus asa. Setiap musibah itu pasti ada hikmahnya. Mungkin ini cara Allah untuk menyadarkan kita, untuk membuat kita melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda."

Kata-kata Khanza, yang begitu menenangkan dan penuh kebijaksanaan, bagaikan embun penyejuk di hati Gya yang gersang. Tidak ada kemarahan, tidak ada dendam, hanya ketulusan dan empati yang luar biasa. Gya membandingkan ketulusan ini dengan "teman-teman dekat"nya yang hanya datang sekali, dengan orang tuanya yang sibuk, dan dengan kekasihnya yang menghilang. Hanya Khanza yang datang, tanpa pamrih, tanpa tuntutan.

"Aku... aku merasa sendirian, Za," Gya berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. "Semua orang ninggalin aku."

"Kamu tidak sendirian, Gya," Khanza berkata lembut. "Ada Allah yang selalu bersamamu. Dan ada teman-teman yang peduli. Nanti juga teman-teman sekelas yang lain akan datang menjenguk. Aku sudah kasih tahu mereka."

Kata-kata itu membuat Gya semakin terharu. Ia mengangkat pandangannya, menatap wajah teduh Khanza. Ada kilatan harapan di mata Gya. Ia merasakan beban berat yang selama ini menekan dadanya perlahan terangkat. Di hadapan Khanza, Gya merasa bisa menjadi dirinya yang rapuh, tanpa topeng kesombongan.

Dengan sisa tenaganya, Gya mencoba bangun sedikit dan memeluk Khanza erat-erat. Ia membenamkan wajahnya di bahu Khanza, menangis sejadi-jadinya, menumpahkan semua penyesalan, rasa sakit, dan kesepian yang ia pendam. Aroma lembut deterjen dan parfum khas Khanza menenangkan Gya.

"Kamu mau jadi sahabatku, kan, Za?" tanya Gya di sela-sela isakannya, suaranya terdengar memohon, penuh dengan harapan akan sebuah permulaan baru. Ini bukan lagi permintaan yang didasari kepentingan, melainkan kerinduan tulus akan persahabatan sejati, sebuah permata yang selama ini ia abaikan. Khanza membalas pelukan Gya, mengusap punggungnya dengan lembut, seolah tanpa kata-kata ia telah mengatakan, "Tentu saja." Di balik kerudung kesederhanaannya, Khanza telah membawa cahaya yang menembus kegelapan hati Gya, menawarkan pengampunan dan kesempatan kedua yang sangat ia butuhkan.

Pelukan Gya terasa begitu erat, sarat dengan penyesalan dan harapan. Khanza membalas pelukan itu dengan kehangatan yang tulus, seolah semua perlakuan buruk Gya di masa lalu tidak pernah terjadi. Saat Gya melepaskan pelukan, wajahnya masih basah oleh air mata, namun ada ketenangan baru yang mulai terpancar.

"Tentu saja, Gya," Khanza menjawab pertanyaan Gya dengan senyum lembut. "Aku senang kalau kita bisa berteman baik."

Gya merasa lega yang luar biasa. Sebuah beban besar terangkat dari pundaknya. "Aku... aku janji akan berubah, Za. Aku akan belajar jadi orang yang lebih baik. Tidak sombong lagi, tidak meremehkan orang lain." 

Khanza mengangguk. "Aku yakin kamu bisa, Gya. Setiap orang punya potensi untuk berubah ke arah yang lebih baik. Yang penting kemauan dan niatnya." Ia kemudian menyodorkan sebotol air mineral kepada Gya. Gya tersenyum miris, teringat dulu ia hanya memberikan air mineral kepada Khanza, sementara ia sendiri minum jus. Sekarang, air mineral itu terasa begitu manis. 

"Oh iya, Gya," Khanza tiba-tiba berkata, seolah teringat sesuatu. "Mungkin kamu kaget kalau tahu, orang tuaku juga kenal dengan Papamu. Papa dan Mamaku itu sebenarnya pejabat tinggi daerah di Lombok Timur, dan mereka juga pengusaha sukses di sini. Kebetulan, salah satu bisnis Papa itu penyuplai mutiara terbesar di daerah ini, jadi mereka sering berinteraksi dengan Papamu, pengusaha mutiara di Mataram."

Pengungkapan itu membuat Gya terkesiap. Matanya membulat sempurna. Ia tidak pernah sedikit pun menduga. Khanza yang sederhana, yang selalu ia anggap "cupu" dan dari "golongan bawah," ternyata berasal dari keluarga yang tidak kalah berada darinya. Ia merasa seperti ditampar kenyataan yang paling pahit dan memalukan. Selama ini, ia menilai Khanza dari penampilannya yang bersahaja, dari jilbab dan kacamata tebalnya, tanpa pernah melihat siapa Khanza sebenarnya. Kekayaan dan status sosial Khanza yang tersembunyi, kontras dengan kesederhanaan penampilannya, adalah bukti nyata dari kedangkalannya sendiri.

"Kamu... kamu serius, Za?" Gya bertanya, suaranya nyaris berbisik, tidak percaya.

Khanza mengangguk, senyumnya tidak berubah. "Iya, Gya. Memang kenapa? Aku hanya merasa tidak perlu memamerkan apa yang kami punya. Aku lebih nyaman hidup sederhana. Aku ingin orang-orang menilai aku dari ilmuku dan kepribadianku, bukan dari harta atau jabatan orang tuaku." 

Kata-kata Khanza menghantam Gya. Betapa ironisnya. Gya, yang selalu mengagung-agungkan penampilan dan harta, justru telah mengabaikan "mutiara" sejati di hadapannya. Khanza adalah contoh nyata bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh apa yang ia kenakan atau seberapa banyak yang ia miliki, melainkan oleh hati dan kebijaksanaannya. 

"Mungkin ini juga hikmah dari kecelakaanmu, Gya," Khanza melanjutkan, suaranya penuh empati. "Alam itu punya caranya sendiri untuk memberikan pelajaran. Jeruk Manis memang indah, tapi kalau tidak hati-hati, bisa berbahaya. Apalagi kalau pulang malam dan mengendarai mobil dalam kondisi tidak fit. Sebenarnya, ada banyak tempat wisata di Lombok Timur yang lebih cocok dan aman untuk pemula, Gya. Misalnya, Pantai Pink di Sekaroh, atau Bukit Selong dengan pemandangan sawah terasering yang menakjubkan. Tapi, semua itu butuh riset yang cukup, tidak bisa asal pergi saja. Kita tidak boleh meremehkan hal-hal yang tidak kita ketahui, Gya. Termasuk orang lain." 

Nasihat Khanza, yang diucapkan dengan begitu bijak, menancap dalam di hati Gya. Ia sadar, tidak hanya ia meremehkan orang lain, tapi ia juga meremehkan pentingnya persiapan dan pengetahuan dalam segala hal. Kecelakaan itu bukan hanya karena ia mabuk, tapi juga karena ia tidak melakukan riset, ia merasa bisa mengendalikan segalanya, sama seperti ia merasa bisa mengendalikan hidup dan orang-orang di sekitarnya.

Tak lama kemudian, pintu kamar Gya kembali terbuka. Orang tuanya, Mama dan Papa Hadiprana, masuk dengan langkah terburu-buru. Wajah Mama Gya terlihat pucat, sementara Papa Gya, meskipun berusaha terlihat tenang, tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran di matanya. Mereka bergegas menghampiri Gya, memeluknya dengan erat, menumpahkan rindu dan kekhawatiran yang sempat tertunda.

"Sayang, maafkan Mama, Papa," Mama Gya berbisik, suaranya bergetar. "Kami langsung ke sini begitu tahu urusan di bisnis denga klien dari Surabaya sudah selesai. Maaf kami telat menjengukmu."

Gya membalas pelukan mereka, kali ini dengan perasaan yang berbeda. Rasa kesepiannya telah hilang, digantikan oleh kelegaan dan penerimaan. Ia tidak lagi merasa marah atau kecewa atas keterlambatan mereka. Hatinya telah melunak.

Ia mengangguk lemah, memandang Papa dan Mamanya, lalu beralih menatap Khanza yang tersenyum di sampingnya. Gya kini tahu, pelajaran hidup yang baru ia dapatkan jauh lebih berharga daripada mobil mewah atau status sosial. Ia telah menemukan "mutiara" dalam hatinya, sebuah permata yang selama ini tersembunyi di balik kerak kesombongan dan kedangkalan.

Gya memejamkan mata sejenak, menerima semua pelajaran yang telah ia alami. Ia siap memulai babak baru dalam hidupnya, dengan perspektif yang lebih matang, hati yang lebih empatik, dan pemahaman yang lebih dalam tentang arti persahabatan sejati dan nilai diri. Perjalanan menuju pribadi yang lebih baik memang baru saja dimulai, dan Gya tahu, ia tidak akan lagi meremehkan siapa pun atau apa pun yang ada di hadapannya, karena ia telah menemukan bahwa cahaya sejati seringkali terpancar dari tempat-tempat yang paling tidak terduga.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
PERSAHABATAN YANG CULAS
ari prasetyaningrum
Cerpen
satu halaman sejuta pengalaman
Dwi Ramadhani
Cerpen
Bakpau
Flaww
Cerpen
Lovely Family
choiron nikmah
Cerpen
Bronze
Matahari Senja di Tepi Danau
Lely Saidah Al Aslamiyah
Cerpen
Bronze
Mandi Lumpur
spacekantor
Cerpen
Bronze
Peluk Hangat Bapak
nindia
Cerpen
Bronze
Permainan (Part 1)
Geovania Loppies
Cerpen
Bronze
Jadi Diri Sendiri Aja, Ta...
angin lembah
Cerpen
Basket
shirley
Cerpen
Bronze
Cegukan
Andriyana
Cerpen
Bronze
Pending Apologize (Sintas Universe)
Keita Puspa
Cerpen
Dua Jendela
Dhiyaunnisryna
Cerpen
Bronze
Maghdiraghar Nyurathala
JWT Kingdom
Cerpen
Bronze
30
Desynata Purnamasari
Rekomendasi
Cerpen
PERSAHABATAN YANG CULAS
ari prasetyaningrum
Cerpen
ANTARA ANDIKA, ANNISA DAN AMALIA
ari prasetyaningrum
Cerpen
PATAH HATI DI UJUNG ADAT
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH TERPAUT DI DERMAGA CINTA
ari prasetyaningrum
Cerpen
BERLIAN YANG TERCAMPAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH PUTIH DARI HINDUSTAN
ari prasetyaningrum
Cerpen
TERTAWAN SANG KETOS
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
PETAKA BONEKA TERKUTUK
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
JODOHKU, IBU SATU ANAK
ari prasetyaningrum
Cerpen
PRING IRENG HUTAN LARANGAN
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
RAHIM TERLARANG
ari prasetyaningrum
Cerpen
RESEP KEDUA AYU
ari prasetyaningrum
Cerpen
Bronze
KAU KHIANATI AKU, KUBATALKAN PERNIKAHAN
ari prasetyaningrum
Cerpen
KASIH SEMUSIM LALU
ari prasetyaningrum
Cerpen
PELANGI USAI BADAI
ari prasetyaningrum