Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Perpustakaan Bayangan - Perpustakaan yang Menyimpan Hari-Hari yang Tidak Pernah Terjadi
1
Suka
32
Dibaca

Ada tempat di pinggir kota, di mana cahaya matahari tidak pernah benar-benar menyentuh tanah.

Bangunannya tua, berlumut, dan berdiri di antara dua toko kosong yang sudah lama tutup.

Tidak ada papan nama, tidak ada tanda kehidupan, hanya jendela kaca buram yang selalu memantulkan langit malam.

Mereka yang tinggal di sekitar situ menyebutnya Perpustakaan Bayangan.

Bukan karena di sana gelap, tapi karena tempat itu hanya buka setelah matahari terbenam.

Tidak ada yang tahu siapa pengurusnya, atau dari mana semua buku di sana berasal.

Dan seperti semua hal aneh di dunia, kebanyakan orang memilih untuk pura-pura tidak tahu.

Kecuali satu orang.

Namanya Ziva.

Ziva datang pertama kali karena mimpi.

Dalam mimpinya, ia melihat dirinya duduk di meja kayu panjang, dikelilingi rak-rak tinggi penuh buku tanpa judul.

Setiap buku di sana terasa hidup, berdenyut pelan seperti jantung yang sedang menunggu dibaca.

Dan di ujung ruangan itu, berdiri seorang pria dengan kacamata tipis dan tatapan yang terlalu tenang untuk manusia.

“Kamu datang untuk mencari hari yang tidak pernah terjadi?” tanyanya dengan suara serak pelan.

“Atau… hari yang ingin kamu ulangi?”

Ziva tidak sempat menjawab. Ia hanya membuka buku di depannya. Dan ketika halaman pertama terbuka, dunia berganti warna.

Keesokan paginya, ia bangun dengan napas terengah, keringat dingin di dahi, dan perasaan yang aneh sekali. Bau kayu tua dan debu buku lama masih tertinggal di ujung jarinya, seolah semua yang dialaminya itu bukanlah mimpi.

Beberapa hari kemudian, Ziva menemukannya.

Perpustakaan itu benar-benar ada.

Ia berdiri di depan bangunan itu saat sore hampir habis.

Langit berwarna tembaga, burung-burung terbang pulang, dan suara lalu lintas terdengar samar dari kejauhan.

Pintu perpustakaan tertutup rapat, tapi cahaya kuning redup merembes dari celahnya, seperti seseorang sedang menunggu di dalam.

Ziva ragu beberapa detik, lalu mengetuk.

Tidak ada jawaban.

Tapi kemudian, engsel tua berdecit pelan, dan pintu itu terbuka sendiri.

Angin dingin keluar perlahan.

Ziva melangkah masuk.

Bagian dalamnya tidak seperti yang ia bayangkan.

Bukan ruangan besar dan suram, melainkan lorong panjang dengan dinding kayu dan rak-rak sempit yang terus berbelok, seolah tidak ada ujungnya.

Buku-buku di sana disusun rapi. Semuanya tanpa judul, tanpa nama pengarang, tanpa tahun terbit.

Hanya kertas putih dan simbol-simbol kecil di punggungnya, seperti kode yang hanya bisa dibaca oleh seseorang yang tahu caranya.

Ziva menyusuri lorong itu dengan langkah hati-hati.

Setiap langkah menimbulkan gema kecil.

Hingga ia tiba di meja kayu yang sama seperti di mimpinya.

Dan di sana, pria itu menunggunya.

Dengan kacamata tipis, rambut sedikit berantakan, dan mata yang seolah menyimpan seluruh kesedihan dunia.

“Kamu datang juga,” katanya tenang. “Kupikir kamu hanya akan terus bermimpi.”

Ziva menatapnya tak percaya. “Apa tempat ini nyata?”

“Lebih nyata dari yang kamu kira,” jawabnya. “Setiap buku di sini menyimpan satu hari yang tidak pernah terjadi. Hari yang mungkin seharusnya ada, tapi tak sempat terwujud.”

Ziva menelan ludah. “Kenapa aku bisa ke sini?”

Pria itu menatapnya lama, sebelum menjawab pelan. “Karena kamu menyesal.”

Ia menunjuk salah satu rak di sebelah kanan.

Rak itu lebih gelap dari yang lain, dan hanya ada satu buku di sana. Sampul putih dengan tulisan kecil di punggungnya, “Hari Ketika Aku Tidak Pergi dari Rumah.”

Ziva menatapnya.

Tenggorokannya mengering. Ia tahu persis hari itu.

Hari ketika ia memutuskan untuk pergi dari rumah, bertengkar dengan ibunya, dan tidak pernah kembali hingga berita kecelakaan itu datang.

“Buku itu milikmu,” kata pria itu pelan. “Setiap manusia yang datang ke sini membawa satu hari yang tidak pernah mereka biarkan hidup.”

Ziva memegang buku itu. Hangat. Seolah buku itu memiliki nadi sendiri.

Ketika ia membuka halaman pertama, huruf-huruf di dalamnya menyala lembut, seperti cahaya bulan yang menetes di permukaan air.

“Hati-hati,” suara pria itu terdengar dari jauh.

“Membaca buku itu berarti memasuki hari yang lain. Dan di hari lain, kamu mungkin tidak akan kembali menjadi dirimu yang sama lagi.”

Tapi kata-kata itu sudah terlambat.

Dunia di sekitar Ziva mulai berputar.

Gelap.

Lalu terang.

Ziva berdiri di depan rumahnya sendiri.

Bukan rumahnya yang sekarang, tapi rumah kecil di gang sempit tempat ia tumbuh dulu.

Langitnya cerah, aroma masakan ibunya tercium dari dapur.

Ia melihat dirinya sendiri dari kejauhan. Versi muda, dengan rambut dikuncir dan seragam SMA masih rapi.

“Aku kembali…” bisiknya. “Tapi bukan ke masa lalu. Ini… dunia lain.”

Ia berjalan masuk.

Dan di ruang tamu, ibunya sedang menatapnya dengan senyum hangat. senyum yang sudah lama hilang dari ingatannya.

“Ziva, kamu nggak berangkat hari ini?” tanya sang ibu. “Katanya mau ketemu temanmu.”

Ziva menatapnya lama.

Hari itu… adalah hari ketika ia seharusnya pergi.

Hari ketika ia meninggalkan rumah dengan amarah, dan saat sore, ibunya meninggal dalam kecelakaan di pasar.

Namun kali ini, ia tidak melangkah ke luar.

Ia tersenyum kecil, menahan air mata.

“Aku nggak jadi berangkat, Bu,” katanya pelan. “Aku cuma ingin di rumah.”

Sang ibu tersenyum lega.

Dan sore itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya yang panjang dan penuh penyesalan, Ziva kembali makan bersama ibunya.

Tawa kecil terdengar di dapur, dan waktu berhenti sebentar untuk memberi ruang bagi kebahagiaan yang terlambat datang.

Namun malamnya, Ziva melihat sesuatu yang terasa tidak wajar.

Di kaca jendela kamarnya, bayangannya tidak sempurna.

Separuh wajahnya memudar, seperti tinta yang mulai larut di air.

Rambutnya hanya terlihat di sisi kanan, sementara sisi kirinya perlahan menghilang, menetes seperti kabut yang kehilangan bentuk

Dan ketika ia menyentuh permukaan kaca itu, jari-jarinya menembus bayangan itu tanpa rasa.

“Kamu bukan lagi milik dunia ini,” suara pria dari perpustakaan bergema di kepalanya. “Setiap kali kamu memilih satu hari yang tidak pernah terjadi, sebagian dari dirimu akan hilang dari hari yang seharusnya ada.”

Ziva terdiam.

Dadanya terasa sesak. Bukan karena takut, tapi karena ia mengerti.

Ia tahu apa yang sedang terjadi, dan apa yang harus ia bayar untuk hari ini.

Dengan langkah pelan, ia berjalan ke kamar sebelah.

Ibunya sedang tertidur di ranjang kecil, wajahnya tenang, napasnya teratur.

Cahaya lampu remang membuat bayangan di pipinya tampak hangat dan hidup.

Ziva berlutut di samping tempat tidur, menatap wajah yang selama ini hanya bisa ia kenang lewat foto.

Air mata jatuh, satu, lalu dua, membasahi sprei.

Sejak malam itu, Ziva tak pernah benar-benar tidur.

Ia hanya duduk di kamar kecilnya, memandangi tangan yang setengah tembus cahaya.

Setiap kali menatap jari-jarinya, ada rasa takut sekaligus damai. Seolah ia sedang menyentuh batas antara hidup dan kenangan.

Ia tahu dunia yang ia tempati sekarang tidak nyata. tapi apa artinya nyata, jika kebahagiaan di sini terasa lebih hidup daripada kenyataan itu sendiri?

Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa tenang.

Tidak ada rasa bersalah. Tidak ada kehilangan.

Hanya dirinya dan ibunya, hidup dalam keseharian sederhana yang ia pikir sudah takkan pernah kembali.

Namun kebahagiaan semu selalu tahu kapan harus menagih hutang.

Suatu malam, ketika Ziva duduk di meja makan, sendoknya terhenti di udara. Ia mendengar suara bisikan di telinganya.

“Kamu tahu, setiap kebahagiaan palsu menuntut harga yang nyata.”

Ziva menoleh.

Tidak ada siapa-siapa, tapi jendela di ruang tamu terbuka.

Di luar, langit malam bergoyang seperti lautan tinta. Dan di tengahnya berdiri siluet seseorang. Pustakawan itu.

Ia berdiri di ambang pintu. Tubuhnya dikelilingi cahaya lembut, wajahnya samar di bawah lampu yang redup.

“Sudah waktunya kembali,” katanya. “Di dunia ini, kamu tidak bisa menetap selamanya.”

Ziva berdiri, menatapnya dengan mata berair.

“Kenapa?” suaranya gemetar.

“Kenapa aku tidak boleh tinggal? Aku cuma ingin satu hari tanpa penyesalan! Satu hari di mana aku bisa memperbaiki semuanya!”

“Kamu sudah mendapatkannya,” jawab pria itu lembut.

“Dunia ini dibangun dari kehilanganmu. Jika kamu memaksa tinggal, hari yang seharusnya ada akan mulai terpecah.”

Sebelum Ziva sempat membantah, dunia di sekelilingnya mulai retak.

Langit berubah seperti kaca pecah. Merambat cepat. Memecah atap, dinding, bahkan udara di antara mereka.

“Tidak!” jerit Ziva.

“Jangan ambil ini lagi dariku!”

Namun yang tersisa hanya kegelapan.

Ziva terbangun di meja perpustakaan.

Keringat dingin menetes di pelipisnya, napasnya berat.

Buku di depannya sudah tertutup, tapi sampulnya kini retak seperti kaca yang pecah.

Ziva memejamkan mata, menahan air mata.

“Jadi… bahkan kebahagiaan yang kubayangkan pun akan hilang.”

“Tidak hilang,” jawab pustakawan itu. “Hanya dikembalikan ke tempatnya.”

Ia menyodorkan secangkir teh hangat.

Aroma melati memenuhi ruangan yang sunyi.

Ziva menatap cangkir itu, lalu bertanya dengan suara hampir berbisik,

“Kalau aku membaca buku lain… apa aku bisa melihat versi diriku yang lain?”

Pustakawan itu terdiam lama.

“Bisa. Tapi semakin banyak yang kamu baca, semakin tipis batas antara siapa diri kamu yang sebenarnya.”

Ziva terdiam.

Ia menatap barisan buku di rak.

Masing-masing bersinar redup, memanggilnya seperti cahaya kunang-kunang.

Di punggung salah satu buku ia membaca tulisan samar:

“Hari Ketika Aku Tidak Pergi dari Rumah - Telah Dibaca.”

“Hari Ketika Aku Mengatakan ‘Ya’.”

“Hari Ketika Aku Menunggu Sedikit Lebih Lama.”

“Hari Ketika Aku Tidak Menyerah.”

Ia menyentuh buku kedua. “Hari Ketika Aku Mengatakan ‘Ya’.”

Sebuah arus hangat menyambar ujung jarinya. Cahaya dari buku itu merayap naik. Dunia bergetar sekali lagi.

Kali ini Ziva berada di taman kampus.

Udara sore lembut menyapu rambutnya, sementara cahaya matahari menembus sela-sela daun pohon besar di atasnya, menorehkan pola keemasan di rerumputan.

Di depannya berdiri seorang pria.

Tersenyum canggung, tapi hangat.

Dion.

Nama itu membuat dadanya bergetar aneh.

Ia tak mengenal siapa pun bernama Dion. Tapi ada sesuatu di matanya yang terasa terlalu akrab.

“Jadi, jawabanmu?” tanya Dion, dengan nada setengah gugup.

Ziva memandang ke bawah.

Suara detak jantungnya menggema di kepala.

Dan tiba-tiba ia mengerti. Di dunia aslinya, inilah hari ketika ia menolak seseorang yang mencintainya. Bukan karena tidak ingin, tapi karena takut.

Takut membuka diri lagi setelah kehilangan ibunya.

Hari yang selalu ia sesali.

Tapi di dunia ini, ia memutuskan menjawab dengan hal yang berbeda.

“Ya,” katanya pelan.

Sore itu mereka berjalan pulang bersama.

Percakapan kecil. Tawa yang ringan.

Segalanya terasa… damai.

Namun di tengah jalan, Ziva melihat pantulan dirinya di kaca toko.

Dan di sana, bayangannya tidak lagi sama.

Ada garis halus yang memisah wajahnya, seperti ia sedang menjadi dua orang sekaligus.

“Setiap kali kamu memilih versi baru, sebagian dirimu tertinggal di versi lama,” suara pustakawan itu bergema lembut.

“Berapa banyak versi dirimu yang ingin kamu buang demi menebus hari yang tidak pernah terjadi?”

Malamnya, Ziva kembali ke perpustakaan.

Ia menatap pustakawan itu dengan mata kosong.

“Kenapa kamu biarkan aku terus membaca kalau akhirnya semua ini menyakitkan?”

Pria itu tersenyum samar.

“Karena ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan, Ziva. Hanya bisa dialami.”

“Yaitu?”

“Bahwa hidup tidak akan pernah sempurna, bahkan di versi terbaik sekalipun.”

Ziva menggigit bibirnya. Antara ingin marah, atau sekadar menangis.

“Lalu apa gunanya semua buku ini? Kalau pada akhirnya ini membuatku kehilangan diri sendiri?”

“Gunanya… adalah untuk mengingat.” Katanya pelan. “Bahwa bahkan hari yang tidak pernah terjadi pun masih bisa menumbuhkan penyesalan baru.”

Beberapa hari berlalu.

Ziva mulai membaca buku lain, satu demi satu.

Hari ketika ia tidak menyerah.

Hari ketika ia menulis surat untuk ibunya.

Hari ketika ia memilih kuliah seni, bukan akuntansi.

Setiap kali membaca, ia hidup di dunia yang baru.

Setiap kali kembali, bayangannya di kaca semakin samar.

Sampai suatu malam, ia membuka buku yang tidak punya judul sama sekali.

Halaman pertamanya kosong.

Namun di baris kedua, tertulis satu kalimat kecil:

“Hari Ketika Aku Bertemu Pustakawan Itu.”

Ziva memandang pria di depannya.

Ia belum membuka buku itu, tapi hatinya sudah tahu:

“...Ini tentangmu, kan?”

Pustakawan itu tersenyum tipis. “Kamu mulai mengingatnya.”

Ziva menggigil.

“Jadi aku… pernah mengenalmu sebelumnya?”

“Bukan hanya mengenal,” jawabnya pelan.

“Kamu adalah satu-satunya yang menulis buku ini.”

“Menulis?”

“Perpustakaan ini bukan tempat menyimpan hari yang tidak pernah terjadi, Ziva. Ini adalah tempat menyimpan hari yang tidak sempat kamu jalani. Dan aku… hanyalah penjaga hari-harimu yang hilang.”

“Apa yang sedang terjadi?”

Pustakawan itu menatapnya dengan tatapan yang tenang.

“Kamu sudah membaca terlalu banyak, Ziva. Dunia mulai kesulitan menentukan di mana kamu seharusnya berada.”

Ziva menatap sekeliling.

Setiap buku yang pernah ia baca kini terbuka, menampilkan versi dirinya.

Ada Ziva yang masih bersama ibunya,

Ziva yang hidup bahagia bersama Dion,

Ziva yang memilih karier berbeda.

Mereka semua menatapnya kembali.

Ratusan versi dirinya, dengan ekspresi yang berbeda-beda. Ada yang menangis, ada yang tersenyum, ada yang kosong.

“Aku… jadi siapa sekarang?” bisiknya, lirih.

“Kamu,” kata sang pustakawan pelan, “adalah setiap versi yang pernah menyesal.”

Ziva menatap buku di tangannya.

“Kalau aku berhenti membaca… mereka semua akan lenyap?”

“Mereka tidak akan lenyap,” ujarnya lembut.

“Mereka akan kembali menjadi bagian dari diri kamu. Seperti seharusnya sejak awal.”

Hening.

Ziva menatap puluhan bayangan dirinya yang kini mulai pudar.

Satu per satu, mereka mulai mendekat. Menyatu ke dalam tubuhnya.

Setiap kali satu versi dirinya menyatu, ia merasakan sekelumit emosi yang dulu ia hindari. Rasa kehilangan, ketakutan, cinta, kebanggaan, bahkan rasa bersalah yang terlalu dalam.

Semua datang sekaligus, menyesakkan tapi nyata.

“Sakit,” ucap Ziva, menahan tangis.

“Kenapa semuanya harus sesakit ini?”

Pustakawan itu menatapnya lembut.

“Karena kamu akhirnya belajar mencintai hari yang benar-benar terjadi.”

Tiba-tiba, suara gemuruh besar mengguncang perpustakaan.

Rak-rak ambruk, buku-buku terbuka dengan cahayanya yang mulai meredup, dan lantai mulai retak, mengungkap sesuatu di bawahnya.

Laut kenangan, luas dan berkilau seperti cermin.

Ziva memandang pustakawan itu.

“Kalau perpustakaan ini hilang… kamu juga akan hilang, bukan?”

Ia tersenyum tipis.

“Aku hanyalah sisa dari hari yang tidak pernah terjadi, Ziva. Tugasku hanya menunggu kamu untuk cukup berani menutup buku-buku ini.”

Air matanya jatuh.

“Lalu siapa kamu sebenarnya?”

Pustakawan itu menatapnya lama.

Dengan pandangan yang begitu hangat, begitu familiar, seperti seseorang yang pernah ia tangisi tapi tak pernah ia kenang.

“Aku adalah orang yang kamu lupakan di hari ketika kamu seharusnya mati.”

Ziva membeku. “Apa maksudmu?”

“Hari itu, kamu hampir menabrak bus di jalan utama. Tapi aku mendorongmu. Aku yang mati, kamu yang hidup. Sejak saat itu, sebagian jiwamu tidak pernah berhenti merasa bersalah. Maka perpustakaan ini terbentuk. Tempat bagi bagian dirimu yang ingin menggantikan hidupku dengan hidup yang lebih ‘seharusnya’.”

Ziva jatuh berlutut, air matanya deras.

“Jadi selama ini… semua ini ada karena aku tidak pernah menerima kenyataan itu?”

Ia mengangguk.

“Dan sekarang, kamu harus memilih. Tetap tinggal di sini bersama semua ‘hari yang tak pernah terjadi’ atau menutup semuanya, kembali hidup dengan kehilangan yang sebenarnya.”

Ziva memandangi laut kenangan yang berkilau di bawahnya.

Dalam pantulan air, ia melihat semua versi dirinya tersenyum. Bukan senyum Bahagia. Tapi senyum yang mengerti. Yang menerima.

Ia menatap pustakawan itu sekali lagi.

“Kalau aku menutupnya, kamu akan benar-benar hilang?”

Pria itu tersenyum. “Ya. Tapi jangan sedih. Aku sudah cukup lama menunggumu untuk mengucapkan selamat tinggal.”

Ziva menggigit bibir, menahan tangis yang memanas di dada.

Ia membuka buku kosong itu, menuliskan satu kalimat:

“Terima kasih, untuk hari yang tidak pernah terjadi.”

Kemudian ia menutupnya.

Seketika, perpustakaan runtuh dalam cahaya putih.

Semua suara menghilang, kecuali desiran lembut seperti hujan yang jatuh di jendela.

Ketika Ziva membuka mata, ia sudah berada di kamar tidurnya yang nyata.

Cahaya pagi menembus tirai.

Di meja, ada secangkir teh Melati. Hangat, Uapnya naik perlahan, aromanya persis seperti di perpustakaan itu..

Ia tersenyum kecil.

Tangannya masih bergetar, tapi kini tidak tembus cahaya lagi.

Ia hidup.

Benar-benar hidup.

Ia menatap ke luar jendela, melihat orang-orang berjalan. Dan untuk pertama kalinya, tidak ada penyesalan yang menahannya.

Ia menutup matanya, mendengar hujan mulai turun pelan.

Entah kenapa, suara itu membuat dadanya hangat.

Dan di antara bunyi hujan yang lembut, ia seolah mendengar suara yang familiar berbisik:

“Akhirnya kamu kembali, Ziva.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Bronze
Merah Putih, Satu Hati , Satu Desa
muhamad jumari
Cerpen
Perpustakaan Bayangan - Perpustakaan yang Menyimpan Hari-Hari yang Tidak Pernah Terjadi
Fredhi Lavelle
Novel
Bronze
Tiga Cinta
silvi budiyanti
Novel
Melawan bentuk
blue
Skrip Film
TERNAMA NAMA
M Teguh Gumilar
Flash
Bronze
Bisa Kurang?
Reyan Bewinda
Skrip Film
Semua Masih Sama
Syeihan Gus Sajad
Flash
CATATAN JURNALIS DARI KAMBOJA
DENI WIJAYA
Skrip Film
Aku Butuh Ayah
riri puspa
Novel
Di Antara Kelahiran dan Kematianku, Ada Kamu sebagai Hidup
Rafael Yanuar
Skrip Film
Stepping On The Last Day
Sarwono
Novel
Big Dream Princess
Sukma Maddi
Novel
Bronze
Menjelajah Luka
Lada Ungu
Skrip Film
SATU KATA CINTA
Bayu Adityo Prabowo
Flash
Rindu Rumah
Rahmawati
Rekomendasi
Cerpen
Perpustakaan Bayangan - Perpustakaan yang Menyimpan Hari-Hari yang Tidak Pernah Terjadi
Fredhi Lavelle
Cerpen
Kalender Terbalik
Fredhi Lavelle
Cerpen
AfterChat
Fredhi Lavelle
Cerpen
Taman di Atap Sekolah
Fredhi Lavelle
Cerpen
Hujan yang Tak Pernah Turun di Hari Selasa
Fredhi Lavelle
Novel
Benang Takdir
Fredhi Lavelle