Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
JUDUL :
Pernikahan Adinda Pratiwi (Tiwi)
Bab 1. Perkenalkan Tiwi
Tiwi sekarang sudah duduk di bangku kuliah fakultas psikologi semester akhir, sedang membuat skripsi. Sebentar lagi Tiwi tamat kuliah. Tiwi kuliah di fakultas psikologi Yogyakarta. Tiwi sudah bercita-cita jadi psikolog sejak SMA. Untuk mengejar cita-citanya Tiwi di SMA membuka biro konsultasi di sekolah. Banyak teman SMA nya yang sudah dibantu Tiwi menyelesaikan masalah mereka.
Tiwi gadis cantik berjilbab itu, semenjak kuliah lebih suka pakai jilbab pasmina. Dia terlihat lebih cantik dari waktu SMA, dan lebih dewasa.
Hari ini Tiwi sedang menemui dosen pembimbingnya untuk minta tanda tangan agar bisa mendaftar untuk seminar hasil. Tiwi terlihat sibuk kesana kemari menemui dosennya.
Tiwi mengetuk pintu ruang dosennya.
“Assalamualaikum, permisi ibu...."
Pembimbing 1 Tiwi menjawab salam. “Waalaikum salam, masuk, Tiwi."
"Ibu, mau minta tanda tangan ibu untuk daftar seminar hasil."
"Baiklah, bawa kemari."
Setelah mendapatkan tanda tangannya, Tiwi permisi.
Tiwi keluar ruangan dan bertemu dengan teman satu angkatannya, yang juga sedang mengurus skripsi.
Nana nama teman Tiwi tersebut. Dia menyapa Tiwi. "Hai, Wi. Sudah kelar konsulnya, kapan sidang? Tiwi tinggal seminar hasil nggak?"
"Hai, Nana. Iya, tinggal seminar hasil. Nana sudah Konsul?"
“Konsul untuk proposal sudah, ini sekarang mau minta tanda tangan dan setelah itu daftar seminar proposal. Duluan ya, mau cari dosen dulu. Bye...."
"Oce, bye...."
Tiwi melangkahkan kakinya keluar gedung, menuju ruang yang lain. Mencari dosen pembimbing 2 nya. Setelah bertemu dosen pembimbingnya, Tiwi minta tanda tangan. Dan setelah dapat Tiwi kembali keluar ruangan.
Setelah mendapatkan semua tanda tangan, Tiwi mendaftar untuk seminar hasil. Tiwi dapat jadwal hari Selasa jam 10. Beberapa hari menjelang seminar hasil, Tiwi terlihat sibuk memperbanyak skripsinya, menyiapkan ini dan itu persiapan untuk seminar hasil. Mengantarkan skripsi jadi ke pembimbing 1 dan 2 serta ke penguji.
Di kost Tiwi malam ketika sedang siap-siap mau seminar hasil. Tiwi tidak lupa menelpon ayah, bunda.Bunda menelpon video call.
"Assalamualaikum, apa kabar Nak. Bagaimana persiapannya?"
"Wa’alaikum salam, Alhamdulillah persiapan sudah semua, Bunda. Tiwi sedang menyiapkan baju untuk dipakai besok."
"Mana anak gadis Ayah...."
"Ini Tiwi Ayah."
Tiwi melambaikan tangannya ke Ayah.
"Sudah siap semua untuk besok?" ujar Ayah.
"Aman. Tiwi tinggal nyiapin baju saja, yang lain sebagian persiapan seminar sudah dibantu teman-teman, tim sukses seminar hasil Tiwi."
Bunda berkata. "Okelah, selamat siap-siap. Tidur yang cepat. Biar fresh bangun pagi. Dan semoga lancar seminar hasilnya. Semangat...."
Ayah juga berkata. "Semangat.."
"Oke Ayah, Bunda. Jangan lupa doakan ya..." ujar Tiwi.
Ayah dan Bunda serempak. “Selalu Nak."
Bunda mengucap salam penutup. "Assalamualaikum...."
"Waalaikumsalam...."
Keesokan pagi.
Sebelum berangkat ke kampus, Tiwi ngechat group yang berisi Ayah, Bunda, Kak Arimi , suami kak Arimi dan dek Bima. Group lapor komandan namanya.
Isi chat Tiwi. Otw....
Bunda menjawab. Ttdj, semangat....
Ayah ikut nge chat. Semoga diberi kemudahan, lancar dan sukses selalu ya....
Kak Arimi ikut ngechat. Semog lancar dan sukses dek... Aamiin....
Tiwi membuka handphonenya sebelum keluar kamar.
Tiwi membalas chat. Terima kasih semua, Assalamualaikum....
Ayah menjawab salam Tiwi. Waalaikum salam, hati-hati.
Bunda ngechat. Ttdj....
Kak Arimi :ngechat. Tiati....
Suami kak Arimi ikut ngechat. Semangat....
Dek Bima tidak membalas, karena dia sekolah, handphone tidak dibawa.
Tiwi keluar kamar, menutup pintu kamarnya. Melangkah keluar kamar dengan kaki kanan dan membaca doa, setelah itu menghidupkan motornya. Berangkat menuju kampus. Sampai di kampus Tiwi langsung menuju ruang sidang seminar hasil, teman-teman dekatnya sudah menunggu di depan ruang sidang. Mereka memberi semangat ke Tiwi, ketika Tiwi memakai almamater untuk masuk ke ruang sidang. Lalu Tiwi minta doanya kepada teman-temannya. Kemudian waktunya sidang seminar hasil, Tiwi masuk ke ruang sidang, dengan memulai masuk ruangan dengan kaki kanan, membaca doa dan masuk ke ruangan sidang. Selepas seminar hasil, Tiwi sibuk memperbaiki skripsinya. Dua bulan kemudian, Tiwi wisuda.
Acara wisuda berjalan dengan khidmat, lalu acara foto–foto pun tiba. Tiwi sibuk foto-foto bersama teman–temannya, orang tuanya, adik dan kakak nya serta kakak iparnya. Tiwi sudah resmi menjadi sarjana psikolog sesuai idamannya selama ini. Peserta wisuda pun banyak yang berfoto bersama dan bersalam–salaman. Tidak lupa Tiwi dan keluarga berfoto bersama di studio. Selepas dari ruang wisuda, mereka makan siang di makanan seafood kesukaan Tiwi. Tiwi sangat suka aneka seafood. Selesai acara wisuda dan makan–makan, mereka kembali ke hotel tempat Tiwi dan keluarga menginap. Malamnya mereka keluar lagi untuk mencari makan malam. Mereka nginap beberapa hari di Jogyakarta. Mereka juga jalan–jalan ke objek wisata di Jogyakarta.
Tiwi sama halnya dengan anak muda lainnya, mereka suka posting status, IG, dan berbagai medsos lain yang mereka punya. Jadi Tiwi juga memposting foto–foto wisudanya, dan mendapatkan banyak ucapan selamat dari teman–teman Tiwi yang selain di kampus fakultas Psikologi Yogyakarta. Tiwi memiliki banyak teman, termasuk diantara mantan–mantan kliennya waktu SMA. Tiwi akrab dengan mereka.
Setelah satu minggu di Yogyakarta mereka kembali ke Bandung. Mereka sampai malam di Bandung. Malam itu Kak Arimi dan suami menginap di rumah orang tuanya. Keesokan siangnya baru penganten baru itu pulang ke rumah mereka.
Bab 2. Gani Gunawan
Amerika Serikat jam delapan pagi. Gani bersama orang tuanya berada di apartemen Gani.
Papi bicara ke Gani. “Gani, barang – barang sudah masuk semua?”
Gani menjawab. “Tinggal sajadah ini Pi. Bentar Gani mau sholat Dhuha dulu. Sajadah ini nanti masuk tas tangan Gani saja.”
Mami bicara. “Iya, sholatlah. Mami lagi nggak sholat. Papi sholat dhuha jugalah. Baru kita ke bandara.”
“Siap, jurangan...” ujar Papi.
Papi bercanda sambil mengikuti Gani mengambil wudlu. Lalu Gani menyilahkan Papi duluan, karena sajahnya kecil dan tinggal satu saja yang belum disimpan. Mami memperhatikan kedua laki–laki pujaan hatinya itu dengan banyak bersyukur di dalam hati dan mulutnya mengucapkan asma Allah termasuk sholawat kepada Nabi dan Alhamdulillah.
Selesai Papi sholat, mereka menunggu Gani sholat dengan doanya yang lumayan panjang. Lalu setelah Gani sholat, Gani meletakkan sajadah kecilnya ke dalam tas tangannya. Mami bicara dengan manja.
“Sudah satu minggu kita di Amerika ini, Gani juga sudah wisuda. Dan Gani itu kuliah Stanford University loh. Kampus bisnis yang lumayan terkenal loh. Apa nggak ada gadis islamnya? Dan ada yang cantik nggak sih? Ada yang nyantol nggak sih? Buat mantu... Kok Mami nggak dikenalin....”
Gani mendekati Mami.
“Banyak sih, Mi. Tapi ada satu bidadari surga. Bukan disini, di Indonesia. Doakan saja. Suatu saat Allah SWT menjodohkan bidadari cantik itu buat Gani dan jadi mantu Mami. Ya, MI.”
“Jadi selama ini anak Papi LDR ya? Kok nggak dikenalin ke kita selama di Jakarta. Ya, nggak Mi...” ujar Papi.
“Yang penting doanya saja, Aamin... Ayo, Pi, Mi. Kita ke bandara.”
Papi dan Mami menggangguk setuju.
Mereka sampai di Bandara Internasional San Jose (SJC) Amerika serikat, bandara terdekat dari lokasi apartemen Gani yang juga dekat dengan kampus Standford University. Lalu mereka masuk ke bandara dan berangkat menuju Jakarta, tempat tinggal mereka.
Selang beberapa lama, mereka sampai di Bandara internasional Soekarno–Hatta Jakarta. Supir mereka sudah menunggu kedatangan mereka. Lalu supir mengantarkan mereka ke rumah. Sebelum ke rumah, Mami bicara.
“Sebelum ke rumah kita makan siang dulu di Restoran kesukaan Gani bagaimana?“
“Boleh juga Mi. Udah kangen masakan kepitingnya....” ujar Gani.
Mami bicara ke supir. “Pak, kita ke restoran biasa ya....”
“Baik, Nyonya...” jawab Pak Supir.
Setelah satu minggu di rumah, pagi hari sebelum Papi dan Mami pergi kerja ke perusahaan mereka, Gani menemui orang tuanya di meja makan. Gani duduk di kursi.
“Pi, Gani kerja di perusahaan ya. Udah bosan seminggu di rumah tidak ngapa–ngapain....”
Mami yang sedang mengoleskan selai ke roti, untuk Papi dan kemudian ditambahkanya untuk Gani, melirik ke Gani.
“Nggak mau istirahat dulu, baru satu minggu loh pulang dari Amerika. Nnggak mau rileks–rileks dulu. Main kemana, gitu....”
Gani menjawab. “Udah kemaren muter–muter bareng Joni. Kemaren Gani sudah ke rumah Joni dan mutar–mutar Jakarta. Udah bosan di rumah, Mi. Mau langsung kerja saja. Siapa tahu ilmunya bisa diterapkan. Boleh ya....”
“Kalau Papi terserah Gani saja, kalau memang istirahatnya sudah cukup, ya nggak apa–apa. Atau mau Papi serahkan perusahaan anak cabang salah satu ke Gani atau mau langsung diserahkan perusahaan induk. Papi setuju saja, bagaimana?” ujar Papi.
Gani berpikir sebentar,lalu katanya. “Satu minggu Gani ikut Papi dulu deh, di perusahaan induk, baru setelah itu beri Gani kepercayaan untuk mengelola salah satu perusahaan anak cabang kita.”
“Boleh, nanti maunya anak cabang yang dimana?” ujar Papi.
Gani menjawab. “Yang menurut Papi banyak masalahnya juga boleh....”
Papi berkata. “Ada satu tapi di luar pulau Jawa.”
“Ya, boleh juga itu. Tapi nanti Gani pakai waktu ya, Pi.” Ujar Gani.
Papi mengambil roti dan jus yang diserahkan Mami.
“Ma kasih, Mi... Lalu maksud Gani bagaimana?”
Ujar Papi sambil makan, makanan yang diberikan Mami.
Gani bicara. “Misal di mana sih, rencananya Pi?”
“Di Kalimantan rencananya...” ujar Papi.
Gani menjawab. “Asal sinyal handphone bagus Gani mau, Pi.”
“Sinyal aman...” ujar Papi.
Gani bicara. “Ya, misal di Kalimantan itu selama tiga bulan atau paling lama enam bulan setelah itu pindah lagi ke perusahaan anak cabang yang lain juga boleh. Jangan menetap disana.”
“O, begitu. Papi setuju....” ujar Papi.
Mami ikut bicara. “Mami juga setuju... Jangan lama-lama jauh dari kami, sepi. Ya, Pi....”
“Sepi apanya Mi ? Mami selalu pergi tidak di rumah selalu pergi bareng Papi.” Ujar Gani.
Mami berkata. “Gani gitu ya, tetap sepi ya, Pi. Apa lagi kalau sudah punya cucu, enak pastinya. Betah deh, Mami di rumah.”
Papi bicara. “Papi juga, mau pensiun, Gani yang lanjutkan semua. Nah, itu. Nanti kalau bidadari itu sudah dilamar, siapa namanya? Kok tidak pernah dibawa kemari? Nah, kalau sudah nikah, perusahaan Papi serahkan semua ke Gani ya....”
Gani menjawab. “Siap Komandan....”
“Kenalin dong, yang mana calon mantu Mami ?” Pinta Mami.
Gani mendekati kursi orang tuanya, membuka handphone dan membuka IG. Gani bagaimana pun sibuk selama ini, dia selalu punya waktu untuk mengomentari berbagai postingan dari Tiwi di media sosial. Gani dan Tiwi berteman dari SMA, mereka satu SMA. Gani dulu pernah menyatakan cinta ke Tiwi, Gani butuh Tiwi waktu itu mengusir kesepiannya di rumah karena Papi dan Mami selalu sibuk. Sekilas Gani ingat dimana dia mulai dekat dengan Tiwi. Tidak disadarinya dia melamun mengingat masa SMAnya.
Mami dan Papi saling pandang. Lalu Mami menyenggol tangan Gani.
“Gani, yang mana bidadarinya.”
Gani baru tersadar.
“Ini bidadari itu, mohon doanya Papi dan Mami agar Allah SWT, Tuhannya bidadari itu mau menjodohkan Gani dengan bidadari itu. Doakan yang banyak ya, Mi, Pi. Gani mau mandi dan siap–siap ke perusahaan. Papi dan Mami duluan saja, nanti Gani menyusul.”
Ucap Gani mencium pipi Maminya dan mencium pipi Papinya.
Bab 3. Biantara
Bian menatap Bengkel miliknya, yang selama dua tahun ini sudah berkembang cukup pesat, sudah banyak pelanggan, tenaga kerja pun sudah ada sepuluh orang. Di hatinya dia banyak bersyukur. Bian telah memulai usaha itu dari nol, hanya modal awal yang diberikan Papanya. Walau Papa sebenarnya orang kaya, tapi ya, itu. Papa lebih memilih istri mudanya. Mama Bian yang dulu membalas Papa karena Papa menikah lagi dan Mama di madu. Mama sekarang sudah sadar, dan Mama tetap minta cerai ke Papa. Dan akhirnya Papa mengabulkan permintaan Mama. Walau Papa bilang sebenarnya dia masih mencintai Mama. Bian pun sekolahnya dibiayai oleh Papa. Mama sekarang sudah menikah lagi dan hidup bahagia dengan suami barunya. Paling lebaran Bian bertemu dengan Papa dan Mama serta keluarga tirinya, kalau Bian berlebaran ke rumah mereka. Tapi Bian tidak menyesali jalan hidupnya yang sudah dituliskan oleh Allah SWT.
Setelah cukup lama memandang bengkelnya, Bian bicara kepada Tono.
“Ton, kuncilah bengkel, kita pulang dulu. Istirahat, besok kita lanjut lagi.”
Tono menghentikan pekerjaannya di bawah mobil.
“Baik, Bos.”
Ucap Tono sambil keluar dari bawah mobil.
Bian menghidupkan motornya menuju rumahnya. Dari hasil bengkel, Bian sudah bisa membeli rumah kecil di pinggir kota Bandung. Rumah yang cantik, kalau libur Bian suka mendandani rumahnya. Mengecat, menanami tanaman, membuat pagar kayu. Dan lain sebagainya.
Bian sudah dua tahun tinggal di rumah itu, awalnya cuma ngontrak. Tapi yang punya menjual rumah itu dua bulan yang lalu. Kebetulan ada uang, karena bengkel sudah ramai, maka Bian membeli rumah itu. Bian juga aktif di masjid. Dia suka sholat berjamaah di masjid.
Sebenarnya Bian tahu, Rina anak tetangga sebelahnya yang baru tamat SMA itu menyukai Bian, dan Ibunya Rina sepertinya suka juga dengan Bian menurut hati Bian, tapi Bian pura–pura tidak tahu dengan semua kebaikan dan niat baik mereka untuk dekat dengan Bian dan mungkin lebih dari itu menurut Bian, ingin mempersuntingnya untuk Rina. Tapi kadang Bian berpikir jangan terlalu ke geeran.
Bian sejak kelas tiga SMA, tidak tertarik lagi dengan perempuan kecuali Tiwi, adik kelasnya yang cantik dan baik itu. Yang pernah menolongnya waktu kasus Papa tiba–tiba menikah dengan wanita lain. Dan Mama membalas perlakuan Papa dengan selingkuh dengan pria lain. Karena Mama tidak bersedia dimadu, dan Papa tidak mau menceraikan Mama. Waktu itu kacau sekali bagi Bian. Untung ada Tiwi yang membantu Bian dengan biro konsultasinya, si gadis psikolog muda itu. Walau tidak pernah bertemu langsung, mereka selalu bertemu di medsos. Bian berteman dengan Tiwi di Medsos. Tapi karena kesibukannya kadang dia suka tertidur begitu pulang dari bengkel dan banyak pekerjaan, jadi kadang Bian melewatkan beberapa momen yang dialami Tiwi, sehingga Bian kadang tidak mengomentari status Tiwi baik di WA, IG atau medsos yang lain.
Di kamar Bian ada lukisan gambar Tiwi berbaju SMA. Yang dimintanya temannya melukis waktu kuliah. Dan dia selalu mengajak lukisan itu bicara tiap pagi. Malam ini, Bian langsung tertidur pulas. Walau sudah punya sepuluh anak buah, tapi kadang Bian harus turun tangan sendiri. Dan malam ini Bian terlihat lelah sekali. Selesai sholat isya, masih menggunakan sarung dan peci, Bian langsung membaringkan tubuhnya di atas kasur di kamarnya.
Bab 4. Rumah Tiwi
Setelah satu bulan Tiwi di rumah, Ayah dan Bunda bercerita–cerita dengan Tiwi malam hari di ruang keluarga. Mereka sambil nonton dan main handphone.
Ayah memulai pembicaraan. “Nadin, Arum dan Lina juga sudah wisuda, Wi?”
Bunda berkata. “Iya, apa kabar mereka?”
“Teman–teman Tiwi sudah wisuda semua, Yah. Malah Arum sudah langsung kerja di perusahaan Papanya.” Ujar Tiwi.
“Apa rencana Tiwi selanjutnya? Bunda cuma nanya. Tiwi memang baru satu bulan lulus kuliah. Mau nyantai dulu juga nggak apa–apa.”
“Tiwi itu pengen nanti buka konsultasi khusus pernikahan, Bunda, Ayah. Nah, Tiwi mau adakan seminar se Jawa Barat saja dulu. Seminar gratis mengenai pernikahan. Diadakan di gedung pemuda masing–masing daerah dulu. Nanti baru merambat ke Jakarta dan kota lain.”
“Dimana saja rencananya di Jawa Barat sini ?” tanya Ayah.
“Tiwi sudah lihat–lihat data di sembilan kota terbesar di Jawa Barat dengan jumlah penduduk dan luas wilayah berdasarkan sensus penduduk BPS Jawa Barat Tahun 2020. Yaitu :
1. Kota Bekasi
2. Kota Bandung
3. Kota Depok
4. Kota Bogor
5. Kota Tasikmalaya
6. Kota Cimahi
7. Kota Sukabumi
8. Kota Cirebon
9. Kota Banjar
Nah, Tiwi mau lakukan seminar itu di sembilan Kota itu.”
Bunda juga ikut bertanya. “Apa saja yang akan Tiwi lakukan diseminar itu?”
Tiwi menguraikan idenya ke Ayah dan Bunda. “Tiwi beri nama seminar itu, “Menikahlah, jangan takut” Nanti diseminar itu ada pembicara tentang menikah kaitannya dengan kesehatan, termasuk kesehatan emosional, menikah dalam pandangan agama. Akibat kalau orang sudah mampu tapi tidak menikah, juga ada pengobatan herbal menjelang pernikahan, jadi setelah menikah Insya Allah bisa langsung punya keturunan. Pembicaranya seorang dokter, senior Tiwi, seorang kakak kelas SMA dulu yang membawakan menikah kaitannya dengan kesehatan, Tiwi yang membawakan masalah kesehatan emosional, seorang kyai dari pesantren tentang pandangan agama, dan herbalnya rencananya seorang penceramah terkenal. Bundakan jemaah fanatiknya, kalau bisa undang. Kalau nggak, Bunda saja yang ngeramu minuman herbalnya.”
“Butuh banyak dana itu Tiwi....” ujar Ayah.
“Iya, lumayan Ayah. Makanya Tiwi mau buat proposalnya dulu. Kalau untuk pembicaranya nggak usah dibayar, jadi Bunda saja deh, jadi nggak perlu bayar Bunda. Dan tidak susah menyesuaikan jadwalnya, ya, nggak, Ayah ?”
“Buatlah proposalnya dulu, nanti mau diajukan kemana proposalnya ?” tanya Ayah.
“Rencana ke Perusahaan–perusahaan yang ada di Bandung saja.”
“Untuk kota Bandung, makan–minumnya biar dari cateringan Bunda saja. Boleh ya, Yah?” ujar Bunda.
Ayah tersenyum.
Ya, boleh. Sebenarnya uang kita itu ada. Tapi sebagian tidak boleh dipakai untuk biaya menikahkan Tiwi, kalau sudah ketemu jodohnya. Tapi lihatlah dulu, buat saja proposalnya dulu. Mungkin Ayah dan Bunda bisa bantu. Walau nggak semua, sepertinya, ya kan, Bunda?”
“Iya, sih.....” ujar Bunda.
Tiwi berkata. “Nggak apa–apa, nanti Tiwi cari donatur saja. Jangan terlalu dipikir. Ayah, Bunda. Ayah, kalau dalam suatu gedung besar ya gedung pemuda atau apalah namanya bukan hotel, kalau di hotelkan mahal. Itu kira-kira muat berapa orang ya? Untuk maksimal diundang, rencana peserta seminar gratis ikut seminar.”
“Tergantung luas gedungnya, Wi.... Kalau gedung pemuda disini muat sekitar 1000 deh sepertinya.” Ujar Ayah.
“Oke, nanti Tiwi buat proposalnya. Nanti tolong ayah koreksi ya...” kata Tiwi.
“Oke.” Kata Ayah. Kemudian Ayah bereaksi seperti orang baru ingat sesuatu. “Oiya. Maksimal banget dua tahun lagi atau minimal sesudah sembilan kota besar di Jawa Barat Tiwi menikah ya. Nanti Ayah carikan jodoh, misal ada yang melamar ke Tiwi dan Tiwi suka juga boleh....”
Tiwi menjawab. “Oke, Bos....”
Bunda ikut mengacungkan jempol.
Bab 5. Seminar yang bertema “ Ayo, jangan takut menikah.”
Tiwi sibuk menyiapkan untuk seminarnya, membuat proposal. Menyiapkan materi. Dari proposal yang dibuat, yang dibutuhkan untuk makan dan minum peserta seminar, Tiwi membuat seminar itu pesertanya sekitar 1.000 orang untuk satu kota di satu gedung. Untuk transport dan makan–minum pembicara dan juga untuk nginap kalau kota yang jauh dari Bandung dan memberi sedikit ucapan terima kasih ke kyai yang jadi nara sumber. Jadi satu tempat dibutuhkan biaya sekitar 50.000.000,- Untuk delapan kota, satu kota tidak dihitung, ditanggung Ayah dan Bunda. Jadi butuh semua dana 400.000.000,-
Tiwi dan timnya telah datang ke perusahaan–perusahaan besar dan kecil mengajukan proposal. Akhirnya seminar terlaksana. Dimulai dari Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Depok, Kota Bogor, Kota Tasikmalaya, Kota Cimahi, Kota Sukabumi, Kota Cirebon, Kota Banjar.
Sesuai harapan Tiwi dan teman –teman, peserta seminar banyak, walau tidak semua tempat sampai seribu orang. Seminar juga hidup. Banyak pertanyaan. Dan terjadi banyak tanya jawab. Seperti waktu seminar di Bekasi, ada yang bertanya mau menikah tapi tidak punya uang, ada juga di lokasi lain yang bertanya memang kalau tidak menikah kesehatan akan terganggu? Ada juga yang bertanya Apa pentingnya minum–minuman herbal untuk kesuburan? Ada juga yang bertanya pernikahan dengan ta’aruf itu bagaimana? Itu adalah pertanyaan yang banyak ditanyakan. Ada juga yang bertanya kepada pembicara, karena pembicaranya muda–muda. Mereka ada yang bertanya ke Tiwi. Apa Mbak Tiwi sudah menikah? Tiwi bilang belum, tapi dia akan segera menikah selesai seminar ini, dia akan melakukan ta’aruf dengan pilihan orang tuanya. Ada dari peserta seminar yang ikut seminar di Bogor, iktu lagi di Cirebon. Dia sengaja menyusul Tiwi ke Cirebon. Laki–laki itu menyerahkan proposal tentang dirinya ke Tiwi. Laki-laki itu mengajaknya ta’aruf. Kalau Tiwi setuju, Laki–laki itu ingin melamar Tiwi. Tiwi jadi bingung menanggapinya. Untung ada Bunda, kata Bunda. Proposalnya diterima dulu ya, tapi Tiwi belum bisa sekarang, masih ada beberapa pekerjaan yang harus dilakukannya.
Tiwi dan teman–teman tidak lupa selalu memposting semua kegiatan mereka. Gani, Bian dan teman–teman media sosial Tiwi yang lain jadi tahu setiap yang Tiwi lakukan.
Bab 6. Kalimantan – Jawa Barat, Bandung
Gani yang selalu mengikuti media sosial Tiwi jadi tahu kalau Tiwi mengadakan banyak seminar di Jawa Barat dan tahu apa juga tema seminarnya. Gani langsung terbang dari Kalimantan ke Kota Bandung, dia membawa satu stafnya untuk bertanya di seminar Tiwi. Sebelum berangkat, Gani telah lembur mempersiapkan agar perusahaan bisa ditinggal–tinggal Gani selama Tiwi mengadakan seminar.
Di seminar, Gani meminta staf Gani bertanya yang sudah diarahkan Gani. Bertanya menikah tanpa pacaran itu bagaimana tekniknya dalam islam? Kyai menerangkan, bisa dengan tetap berteman dan kalau berani lamar langsung. Atau bisa juga salah satunya dengan ta’aruf. Kalau sudah sreg bisa lamar langsung. Dengan ta’aruf, baiknya perkenalkan diri dan keluarga ke pihak perempuan. Staf Gani juga bertanya bagaimana cara perkenalakan diri kepada pihak perempuan yang ditaksir dan keluarganya? Pak Kyai menerangkan banyak cara. Salah satunya bisa dengan proposal yang isinya mengenalkan tentang diri sendiri. Lalu bisa juga menjumpai keluarga atau orang terdekat untuk saling kenal satu sama lain. Lalu pihak laki–laki dan pihak perempuan harus bertemu langsung didampingi pihak keluarga, kemudian kalau sreg di hati langsung lamaran dan menikah.
Setelah seminar di Kota Bandung itu, Gani memutuskan kembali ke Kalimantan tanpa harus bertemu Tiwi. Di Kalimantan, Gani membuat proposal perkenalan dirinya. Lengkap. Itu dilakukannya tetap dengan mengendalikan perusahaannya. Lalu Gani juga sudah bertanya dengan Tiwi seminar di Bogor dimana? Dan kapan waktunya. Tiwi karena memang berteman dengan Gani di media sosial, menjawab semua pertanyaan Gani.
Seminar di Bogor, kali ini satu hari sebelum seminar, Gani sudah terbang ke Bogor dan menginap disana. Hari seminar yang dinanti–nantikan Gani, Gani tidak masuk ke ruang seminar. Gani menunggu diluar, sampai seminar usai. Gani telah membungkus proposal ta’arufnya dalam map dan dimasukkan ke dalam amplop dengan rapi. Gani menimbang–nimbang proposalnya dan meletakkannya di mobil yang sengaja di sewanya.
Di lain tempat.
Biantara biasa disapa Bian sudah bersiap–siap ke tempat seminar Tiwi. Bian ingin melihat Tiwi dan kalau bisa menyapanya dan kalau berani malah melamarnya. Sudah beberapa kali Bian ingin datang ke seminar Tiwi, tapi ada–ada saja halangannya. Seminar di kota pertama sampai ketiga, pas hari mau ke seminar Tiwi, Bian ada–ada sakitnya. Bian sengaja memberikan pekerjaan pada anak buahnya dan berpikir apa pun yang terjadi biarlah, Bian ingin bertemu Tiwi. Setelah Tiwi tamat kuliah, memang Bian dan Tiwi satu kota. Tapi Bian belum punya keberanian untuk bertemu Tiwi.
Kali ini adalah kota keempat dimana Tiwi seminar, dan Bian sudah menyewa mobil untuk ke tempat Tiwi, tapi lagi–lagi mobil yang disewanya yang sudah ditesnya kemaren waktu minjam mobil, mogok pula. Sebenarnya hati Bian mulai berdesir, bagaimana pun Bian anak yang taat beragama. Apa ini ada pertanda Bian dan Tiwi tidak berjodoh? Begitu selintas pikiran yang ada di depan benak Bian. Lalu pikiran itu ditepis Bian, mungkin ini sebuah ujian cinta. Pikir Bian dalam hati. Bian pun menyewa mobil yang lain. Karena mobil mogok itu, Bian jadi terlambat berangkat. Tapi Bian sudah bertekad akan berangkat. Lalu Bian mengendarai mobilnya ke Kota Bogor menuju lokasi Tiwi seminar.
Kita kembali ke Gani yang sedang menunggu seminar selesai di mobil sewaannya.
Cukup lama menunggu, seminar pun selesai. Sudah lewat tengah hari. Gani melihat peserta seminar keluar ruangan. Gani segera turun dari mobil, menuju orang yang bubar. Tiba–tiba Gani disalip oleh seorang pria yang membawa buket bunga. Pria yang nyalip perjalanan Gani tadi menuju ruang seminar yang sudah sepi dari kerumunan orang peserta. Mereka sedang melepas spanduk. Pria tadi menghampiri Tiwi. Dari tempat Gani berdiri, Gani bisa mendengar percakapan mereka.
“Assalamualaikum, Tiwi. Udah kelar ya? Pesawat aku delay tadi. Padahal aku sudah pagi–pagi sekali dari Yogjakarta. Ini untuk mu....”
Tiwi menoleh dan bicara. “Hai, Rudi. Kamu datang juga. Bukannya kamu lagi banyak proyek. Terima kasih ya, udah datang.”
“Apa yang bisa dibantu nih?” ujar Rudi.
“Kita udah kelar, udah semua guys? Kita pulang.”
“Nggak ada yang ketinggalankan?” kata bunda.
Tiwi dan yang lain melihat berkeliling dan lalu berkata.
Tiwi bicara. “Udah aman Bun. Oya, Bun. Rudi. Teman satu fakultas Tiwi dari Yogyakarta dulu.”
Tiwi mengenalkan Rudi ke Bundanya. Rudi menyalami tangan Bunda, Bunda menyambut uluran tangan Rudi.
“Rudi, Bunda....”
“Bundanya Tiwi....” ujar Bunda.
Gani yang mendengar pembicaraan Tiwi jadi lega, karena ternyata yang datang cuma seorang teman buat Tiwi dan jadi bisa lihat dari dekat Bundanya Tiwi. Walau dipostingan Tiwi, Gani sering melihat wajah Bunda Tiwi.
Lalu semua keluar ruangan, Gani telah duluan keluar ruangan. Gani bersembunyi di belakang pintu keluar ruangan menunggu Tiwi dan rombongan keluar ruangan. Kebetulan sekali Tiwi berjalan di belakang sekali, jadi Gani mudah untuk nyamperinnya. Ketika Tiwi sudah keluar ruangan, Gani berjalan di belakang Tiwi. Gani menarik sedikit pasmina Tiwi ke belakang karena Gani tidak ingin menyentuh Tiwi, nanti Tiwi pasti marah begitu selalu pikir Gani. Karena Tiwi anaknya terlihat alim dengan jilbab. Itu yang selalu Gani lakukan kalau ingin bicara dengan Tiwi waktu SMA. Kali ini pun Gani menarik Pasmina Tiwi, karena sekarang jilab Tiwi berbentuk Pasmina bukan lagi segi empat seperti waktu SMA dulu. Gani menarik pasminanya dengan lembut, tapi tetap membuat Tiwi tertengadah kepalanya. Lalu Tiwi memutar badannya ke belakang.
“Gani....”
Tiwi bisa mengenali Gani dengan cepat, karena walau lama tidak jumpa, mereka tetap berteman di media sosial. Gani yang disapa Tiwi senyum kecil.
“Assalamualaikum... Apa kabar, Wi....?”
Tiwi tersenyum.
“Baik, kamu langsung dari kalimantan?”
“Iya, di Bogor ini sudah nginap dari kemaren. Mau kalau aku antar pulang ke hotel. Mobil aku disana?”
Gani menunjuk mobil sewaannya. Tiwi mengangguk.
“Boleh, ayo aku bilang dengan tim yang lain.”
Di lain tempat.
Bian baru sampai di tempat seminar, Bian melihat Tiwi dan timnya menuju pulang. Beberapa orang belum bisa masuk ke mobil sewaan Gani. Tiwi dan tim seminar biasanya menyater mobil sendiri, tapi tadi mobil itu mendadak rusak setelah mengantar mereka jadi supirnya membawa mobil ke bengkel dan belum datang juga. Melihat tidak muat mobil Gani, Bian cepat keluar dari mobilnya.
“Assalamualaikum....”
Tiwi dan rombongan melihat yang memberi salam.
Bunda yang paling dekat dengan Bian, Bian menghampiri Bunda.
“Assalamualaikum Tante, Saya Bian teman Tiwi. Wi, apa kabar ?”
“Eh, Kak Bian... Alhamdulillah, sehat kak....”
Gani dalam hati. Aduh siapa lagi ini? Tapi sepertinya tidak begitu dekat. Baguslah.
“Butuh bantuan, Wi?” Tanya Bian.
“Eh, iya. Kami mau ke hotel. Mobil sewaan kami tadi sudah mengantar kami disini masuk bengkel dan belum balik juga. Apa kak Bian tidak keberatan kalau teman Tiwi dr. Hani dan Rudi naik mobil kakak?” Tanya Tiwi.
“Tidak, sama sekali tidak keberatan.”
Gani berteriak dalam hati, yes! Tiwi dan juga Bundanya naik mobil Gani. Alhamdulillah semoga pertanda baik.
Mereka berjalan menuju hotel di kota Bogor. Bunda yang melihat kejadian siang menjelang sore ini dimana Tiwi banyak dikunjungi pria–pria dan Tiwi lebih memilih naik di mobil bersama Gani mulai senyum–senyum sendiri. Bunda berkata dalam hati, mungkin Tiwi ada hati dengan pria yang bernama Gani ini. Tidak berapa lama mereka sampai di hotel. Gani membukakan pintu untuk Tiwi, Bunda dan pak Kyai sudah turun duluan. Ketika Tiwi mengucapkan terima kasih, Gani yang sudah banyak bershalawat dalam hatinya tadi waktu nyetir, mengambil map yang sudah disiapkannya. Lalu memberikan ke Tiwi.
“Tiwi, tolong dipertimbangkan ya, proposal taarufku, baca ya....”
Tiwi wajahnya bersemu merah. Mengambil map pemberian Gani. Setelah semua turun, termasuk di mobil Bian. Bian mengambil buket bunga yang sudah disiapkannya. Lalu berlari mengejar Tiwi.
“Tiwi, sebentar....” ujar Bian.
Tiwi memutar badannya.
“Iya, kak Bian.”
Bunda dan yang lain menoleh ke Bian. Gani dan Rudi juga.
Bian mulai bicara. “Mungkin agak lancang. Terimalah buket bunga ini dan mau kah kamu ta’aruf dengan aku? Aku... aku... ingin melamarmu....”
Seketika Tiwi dan yang lain terkejut. Bunda juga cemas apa yang akan dikatakan Tiwi. Rudi yang dari Yogyakarta pun datang karena ada hati dengan Tiwi, kaget sekali karena sudah kedahuluan orang lain. Gani tidak kalah kaget mendengar perkataan Bian, walau Gani sudah paham kalau Bian sepertinya juga naksir Tiwi.
Twi memandang satu persatu ke orang yang ada di halaman parkiran itu. Ke Bunda dulu, ke Pak Kyai, dr. Hani lalu ke Rudi dan cukup lama ke Bian. Lalu memandang lagi ke Bunda dan Pak Kyai seakan mohon restu. Lalu ke Bian. Setelah cukup lama lalu Tiwi bicara.
“Kak, maaf. Aku sudah di ta’aruf orang lain.”
Lalu memandang ke Gani dan tersenyum.
Bian terhoyong badannya ke belakang beberapa langkah. Demikian juga halnya dengan Rudi. Mereka sangat kaget. Gani bingung ingin bereaksi apa. Karena tadi ketika Tiwi mengatakan sudah dita’aruf orang lain, Tiwi tersenyum kepada dia.
Bunda bicara.
“Tiwi ta’aruf dengan siapa sayang?”
“Dengan Gani, Ma.”
Gani langsung sujud syukur. Walau belum tentu Tiwi mau dengannya tapi setidaknya itu pertanda bagus, puji syukur Gani dalam hati.
Pak Kyai ikut bicara. “Mudah–mudahan ta’arufnya lancar dan sampai ke jenjang pernikahan ya, Tiwi.”
Tiwi menganggukan kepala.
Bab 7. Proses Ta’aruf
Di rumah, di ruang keluarga. Tiwi, Ayah, Bunda, Dek Bima, Kak Arimi dan suami juga ada. Mereka membaca proposal diri Gani yang diberikan ke Tiwi juga dalam proposal itu ada bercerita tentang keluarga Gani, orang tua dan keluarga besar Gani. Lengkap beserta semua kebiasaan Gani dan keluarga besar. Orang tua Gani juga berkunjung ke rumah orang tua Tiwi. Bertemu Tiwi dan orang tuanya. Gani dan Tiwi juga bertemu lagi dan bercerita–cerita ditemani orang tua mereka. Tiwi banyak bertanya dengan Allah termasuk diantaranya sholat istikharah untuk menentukan menerima Gani sebagai suami atau menolaknya.
Setelah berdiskusi dengan orang tua, dan juga sudah berdiskusi dengan Kak Arimi dan juga sudah banyak sholat yang disholat itu bertanya dan diskusi dengan Alllah SWT. Tiwi menerima lamaran Gani.
Bab 8. Pesta pernikahan Tiwi
Pesta pernikahan Tiwi dan Gani dilakukan di dua tempat. Bandung dan Jakarta. Karena orang tua Gani juga ingin putra semata wayangnya menikah di pestakan di Jakarta. Di pesta pernikahan tersebut Tiwi juga mengundang anak panti asuhan dan yatim piatu se Bandung, agar ikut berbahagia dan makan enak bersama mereka. Untuk ke kondangan mereka anak–anak tersebut telah pula disiapkan baju ke pesta lengkap dengan sepatu atau sandalnya.
Setelah menikah, Tiwi ikut Gani pindah ke Jakarta. Sesuai perkataan Papi Gani, kalau Gani menikah maka semua perusahaan mereka diserahkan ke Gani. Orang tuanya mau pensiun menikmati hidup. Keliling dunia dan mengemong cucu kalau Gani dan Tiwi punya anak kelak.
S e l e s a i