Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Siapa yang kau benci? Ini hanya quiz sederhana di mana kau bisa memainkannya tanpa membutuhkan kecerdasan. Kau hanya perlu ‘menaruh nyawamu’ dan mempertaruhkannya di sana. Menarik bukan?
Tubuh Danar terhempas keras membentur tembok. Ia merasa tulang punggungnya seperti remuk, tapi kewarasannya dibuat lebih sekarat lagi.
Bukan hanya ia sendiri, tapi keempat temannya yang lain, Nico, Bayu, Sarah, dan juga Khaira, semua dari mereka seolah dibuat gila dengan apa yang baru saja mereka lihat. Hanya sebuah tatapan mengerikan telah berhasil membuat pemuda itu sampai terdorong keras seperti tadi.
Dibanding kekuatan super, ini lebih mirip disebut kekuatan mistis, dari makhluk yang entah harus mereka sebut apa. Ia sedang duduk santai di atas meja sambil memainkan kakinya. Wujudnya memang manusia biasa seperti mereka, seorang gadis remaja yang lebih muda berusia sekitar 15 tahunan. Tapi yang mereka yakini, ia adalah jelmaan dari iblis, hantu, atau semacamnya.
“Siapa di antara teman kalian ini yang kalian benci?” Pertanyaan profokatif dari gadis misterius itu jelas menginginkan mereka untuk terpecah belah. Yang lain sama murkanya, tapi reaksi agresif Danarlah yang membuatnya bernasib seperti tadi.
Mereka berdiri di dalam aula sebuah rumah dengan membentuk setengah lingkaran. Rumah tua menyeramkan dengan cahaya temaram dari lilin-lilin yang mengapung di atap-atap ruangan tempat mereka berada sekarang. Seperti itu adalah ruangan persembahan, dengan meja bertaplak putih yang diduduki gadis hantu tadi sebagai pusat di mana jiwa yang terpilih nanti akan dikorbankan.
Mereka sedianya sedang memenuhi peraturan pertama, di mana mereka datang ke rumah tua itu pada malam hari, untuk menantang dan bersenang-senang dengan peraturan yang kedua. Seperti apa kata gadis hantu itu sebelumnya, mereka hanyalah sekumpulan anak muda yang suka bermain, karena itu mereka datang ke tempat mengerikan ini. Ia hanyalah tuan rumah yang menyajikan apa yang menjadi kesukaan para tamunya.
Dan permainan di mulai.
“Kita ikutin aja apa maunya. Ngga sulit kan?" wajah songong Bayu menatap bergilir keempat temannya yang lain. "Biar saya yang mulai duluan. Orang yang saya benci…." Ia berlagak seperti berpikir, tapi bibirnya jelas menunjukan senyuman miring.
"Nico...."
Cih, seperti yang diharapkan, bajingan seperti Bayu bisa dengan mudahnya mengutarakan kebencian pada orang lain. Bukan, tapi pada saudaranya sendiri. Entah apa salah Nico padanya sampai ia harus membencinya seperti itu. Nico yang tak pernah mencoba mencari masalah dengannya. Dalam hati, temannya yang lain membuat gerutu.
Serupa sihir, sebuah benda tiba-tiba muncul di atas kepala di tengah-tengah mereka, dan kilat menyerang Bayu.
“Aaaaaaaaghh!” teriakan Bayu memecah gendang telinga teman-temannya yang lain. Di bahu tangan kirinya yang mengenakan jaket itu, kini terdapat robekan yang miring memanjang hingga ke bawah sikutnya, membuat goresan merah dengan sedikit cairan kental berwarna serupa yang merembas keluar dari sana.
Pisau?! Semua tercengang. Benda itu kembali melayang ke atas ke tempat di mana ia pertama kali muncul.
“Biar aku peringatkan, kalian harus menjawabnya dengan hati-hati.”
Gejolak ketakutan seketika mendidih di benak mereka. Apa jawaban yang salah, dan apa jawaban yang benar kalau begitu?
“Kamu! Giliran kamu untuk menjawab,” hantu itu menunjuk Danar. Membuatnya langsung memejam sial. Akan lebih baik kalau ia melihat yang lain lebih dulu sebagai percobaan. Pemuda itu menghela napas berat.
“Bayu.…” sebutnya.
Mata Danar sudah awas menatap pada pisau di atas untuk bersiaga. Dan pisau sama sekali tak bergerak dari tempatnya.
Aman! Danar langsung membuat senyuman lebar kegirangan, bersama Sarah, juga yang lain. Tanpa menunggu ditunjuk oleh hantu itu, Sarah dengan percaya diri menghadapkan wajahnya ke depan menyuarakan jawabannya.
“Bayu!”
Clear! Nama Bayu terus disebut oleh orang berikutnya. Nico, kemudian Khaira.
Wwzzz! Pisau melesat cepat. Menyusul suara teriakan yang menggema dari mulut gadis itu. Menyarangkan luka robek di tangannya.
Apa?! Kenapa?! Wajah anak-anak itu seketika syok tak percaya. Bukankah ‘Bayu’ adalah jawaban yang benar? Kenapa ini tidak bekerja untuk Khaira?
Hey, ini bukan sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban mutlak seperti halnya matahari terbit dari arah mana. Tentu sifatnya subjektif dan akan menghasilkan jawaban yang berbeda-beda tergantung masing-masing orang.
“Baiklah, mereka yang terluka adalah mereka yang sedang berbohong,” gadis hantu itu menjelaskan dengan telunjuknya yang menunjuk santai, lalu tertawa puas cekikikan sambil menggoyangkan kakinya.
Mencekakan semua yang ada di sana. Karena tampaknya mustahil bagi mereka. Apa gunanya pula bagi Bayu untuk berbohong? Khaira juga!
Di saat hampir dari mereka semua menatapnya, Bayu yang mulai ringkih menahan sakit malah melirikan tajam matanya ke arah hantu itu. Lain lagi dengan Nico yang menatap Khaira yang saat ini juga tengah menatap Bayu.
“Baiklah, kita mulai dengan pertanyaan kedua,” lanjut gadis itu menepuk kedua tangannya ke tengah membuat posisi mengatup.
Otot tegang di kedua mata masing-masing dari mereka kini kompak menuntun ke arah yang sama. Lagi?! Kejutan yang tadi saja belum habis menguras emosi mereka.
Ketegangan jelas kian menjadi setelah ada dari mereka yang terluka karena permainan bodoh ini. Ini beresiko, tapi mereka bahkan tak bisa mengelak dari situasi yang ada. Pintu yang mereka kepung untuk berlomba keluar dari rumah itu telah terkunci rapat. Pun jendela yang coba mereka pecahkan namun tak membuat lubang sama sekali. Retakan kecil saja tidak. Mereka benar-benar terjebak di sana.
“Kalian akan terluka karena pisau di atas," telunjuknya menunjuk tepat ke arah yang dituju, "yang harus kalian lakukan adalah memilih, siapa di antara teman kalian yang kalian inginkan untuk menggantikan kalian menerima luka itu. Sama seperti sebelumnya, kalian harus menjawab dengan jujur,” gadis hantu itu tersenyum.
Pucat wajah anak-anak itu, seperti napas mereka terhenti sejenak direnggut oleh permainan iblis itu. Semakin ke sini, pertanyaan menjadi semakin ekstrem.
“Ini omong kosong kan?” dengan tatapan bengis bersama senyuman kecut, Bayu melirik hantu itu lagi.
Hantu itu mengedikan bahunya.
“Sebutkan namanya!” titahnya.
Tatapan Bayu kini melirik ke arah Nico. Cukup lama ia berkutat dengan pikirannya sendiri. Berbanding terbalik dengan sebelumnya di mana ia tampak begitu percaya diri, ia yang sekarang menggigit bibir ragu-ragu.
“Danar....”
Nama itu yang justru keluar dari mulut Bayu. Membangkitkan amarah orang yang namanya disebut.
Sialan itu! gumam Danar marah. Matanya seketika was-was menatap pisau di atas mereka yang dirasa siap untuk melukainya.
Wzzzzz! Pisau itu meluncur cepat menyobek jaket hingga menembus kulit perut Bayu. Jeritan yang kedua kalinya dari pemuda itu diiringi ketercengangan dari yang lain.
Aneh, kenapa pisau itu malah kembali mengincar Bayu dan bukannya Danar?
Sementara keterkejutan Danar tidak berlangsung lama, karena senyuman puas yang berubah memulas bibirnya kini.
“Kenapa malah kaya gini?!” suara Sarah marah, menagih penjelasan. Ini tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Bukankah mereka bisa menghibahkan luka yang mengancam mereka pada yang lain?
“Lanjutkan bila kalian ingin tahu.”
Wajah frustasi dari anak-anak itu menyeruak. Danar kembali merasakan kesialan tatkala dirinya yang lagi-lagi ditunjuk untuk membuat jawaban berikutnya. Dan nama yang disebutkan pun tetap sama seperti sebelumnya.
"Bayu!"
Kali ini tak salah sasaran, pisau itu jelas menyerang Bayu. Membuat senyum puas menyeruak seketika di bibir Danar. Pemuda itu menyelesaikan kontan balas dendamnya setelah tadi namanya disebut.
Nama Bayu kembali disebutkan oleh Sarah, dan Nico kala tiba giliran mereka memilih. Teriakan demi teriakan kesakitan pun terus terdengar dari orang yang sama. Benar-benar kejam!
Napas Khaira engap-engapan melihat kondisi Bayu saat ini. Hingga gilirannya tiba, Khaira terdiam cukup lama. Menatap bergilir teman-temannya, di mana pandangan terakhir kembali ia sematkan pada Bayu.
Mata gadis itu memejam, "Aku sendiri...."
Gadis Bodoh! Umpatan dalam hati itu sama-sama diserukan oleh Bayu juga Nico.
Dan pisau itu pun menyerangnya, menggoreskan luka.
Sudah ada 2 luka di tubuh Khaira, dan 5 luka di tubuh Bayu. Sementara untuk tiga yang lain masih aman tanpa cacat.
“Sudah dua pertanyaan dan kamu belum melakukannya dengan benar. Lakukanlah dengan baik, hmp?” gadis hantu itu berjongkok duduk, datang khusus membuat peringatan istimewa pada Bayu yang sudah roboh karena banyaknya luka yang membuat karya di tubuhnya saat ini.
Bayu menatap nanar sosok hantu itu, di mana mata mereka kini berada dalam garis yang sama.
“Dan sekarang adalah pertanyaan terakhir.” Hantu itu kembali ke tempatnya semula. “Berbeda dengan yang sebelumnya, kali ini tidak ada hukuman. Kalian hanya perlu memilih, siapa di antara kalian, orang yang harus dikorbankan untuk mati di rumah ini agar kalian bisa keluar dari sini.”
Gila! Benar-benar iblis! Pertanyaan macam apa itu?! Khaira meneriakan amarahnya. Ia hendak menerjang hantu itu, tapi kejadian yang sama yang terjadi pada Danar sebelumnya kembali terulang. Tubuh Khaira dengan cepat terhempas ke belakang, keras membentur tembok. Dirinya terkulai sambil meringis kesakitan.
Kemarahan sudah menguasai Bayu dan juga Nico. Saat bermaksud menghampiri gadis itu karena cemas, tubuh mereka malah sama-sama terkunci di tempat.
“Permainan belum selesai. Kalian belum boleh meninggalkan tempat kalian,” hantu itu berbicara yang membuat gigi Bayu menggerigit marah. Dirinya benar-benar tak berdaya untuk menolong Khaira sekarang.
“Ayo kita selesaikan dengan cepat. Sebutkan namanya!”
Dua suara untuk Bayu dari Danar dan Sarah. Napas panjang terdengar keluar dari mulut Nico. Dirinya sudah akan menjawab kalau saja hantu itu tidak lebih dulu menginterupsi dengan memanggil nama gadis yang belum beranjak dari tempatnya tadi roboh.
“Khaira, giliran kamu mejawab,” jari telunjuknya bergoyang menunjuk gadis itu.
Khaira terhenyak. Tubuhnya belum pulih, pun pikirannya. Setelah sedari tadi berupa keras menutup kupingnya, menangkal suara-suara kegilaan yang bermunculan, di detik-detik terakhir ia malah lengah dan mendengar jelas namanya disebut.
Gadis itu mengangkat kepalanya dan menggeleng dengan tegas. Ia tak akan menjawab. Tidak akan pernah!
“Begitukah?” hantu itu memiringkan kepala bertanya menggoda.
Sejurus kemudian, pisau yang melayang di atas kepala mereka seketika melesat cepat mendarat mengancam leher Khaira. Nyaris tak berjarak. Mata Khaira seketika melotot kaget.
“Bagaimana dengan sekarang?”
Khaira menahan napas dengan kepala yang dipaksa mendongak. Kedua ujung matanya melirik ke arah benda yang hanya sebagian bisa ia lihat. Dirinya bahkan bisa mendengar suara jantungnya sendiri saking kencangnya berdebar. Sampai pisau itu sempat membuat irisan tipis di lehernya, Khaira baru membuka mulut.
“Aku… Aku sendiri, puas!” Khaira berteriak emosional dengan matanya yang mulai lembab, sekalipun tidak ada air mata yang jatuh di sana.
Mengantarkan tatapan keterkejutan di mata teman-temannya padanya.
Begitu bodoh. Begitu naif.
“Khaira… jawaban kamu unik. Kamu memiliki dua pilihan kematian sekarang. Antara mati oleh pisau itu, atau mati karena vote dari diri kamu sendiri.”
Benar, keduanya memiliki makna yang sama saja. Hanya Khaira lebih memilih jawaban yang membuatnya bisa bernapas sedikit lebih lama lagi.
Begitu tiba giliran Nico memilih, mata gadis itu menatap dengan putus asa. Ia tahu namanya tak akan disebut, tapi kenapa ia justru merasa lebih takut?
“Nico berhenti… jangan kamu jawab, jangan kamu jawab!” Khaira memohon, meneriakan suaranya di akhir kalimat. Ia tahu sulit bagi Nico untuk tidak menjawab, karena ancamannya adalah seperti apa yang terjadi padanya sebelumnya. Ia hanya tak ingin berpangku tangan dan mencoba apa yang ia bisa. Itu berhasil menggoyahkan Nico, tapi tidak dengan keputusan terakhirnya. Pemuda itu memejamkan mata, mengulum bibir, menyesap tekanan dahsyat yang mau tak mau harus dikeluarkannya.
“Maaf….” dirinya menggumam, “Bayu.…”
Hening. Seperti ini sudah selesai, tapi tak pernah menyuguhkan kelegaan. Mengantarkan nyawa temannya sendiri pada kematian, itulah rupa mereka sekarang.
Bayu tertunduk dalam, sementara kedua tangannya mengepal kuat berupaya menekan gemetarnya yang meradang. Gilirannya memilih, tapi itu tak berarti apa-apa. Sudah ada 3 vote untuknya.
“Kamu tetap mempunyai hak untuk memilih,” Gadis hantu itu mengingatkan.
…
“Aku… Aku sendiri….” napas Bayu bergetar.
Gadis hantu itu tersenyum samar.
“Baiklah, semua sudah diputuskan. 4 suara untuk Bayu,” ia mengumumkannya pada semua.
Hantu itu lalu kembali menghampiri Bayu. Dengan kedua tangannya yang ia taruh ke belakang, ia sedikit membungkuk, berpura-pura sopan, mempermainkannya.
“Maaf… tapi kamu harus lenyap sekarang.”
Kepala Bayu mendongak, tersenyum miring bersama tatapannya yang tajam tanpa gentar. Hingga akhir, dirinya tak sudi mengaku kalah.
Ngga boleh… ngga boleh…! Gumaman itu terdengar dari mulut Khaira.
Sebuah gulungan angin topan tetiba muncul di depan Bayu. Membuat mata pemuda itu membeliak. Angin kencang yang bahkan sudah mengibarkan rambut dan membuat sekujur tubuhnya meremang.
Ia mencoba bertahan. Tapi kemudian matanya pun ia pejam. Pasrah. Pemuda itu terdorong ke belakang, menggelinding jatuh ke lubang tangga yang mendadak terbuka.
“Bayuuuuuu!!!” Khaira meneriakan suaranya, berlari melompat ke tempat pekat menelan pemuda itu.
“Khaira, jangaaaaan!” Nico berteriak mencoba menghentikannya.
Sia-sia, keduanya telah lenyap dari ruangan itu.
*****
Semua terasa gelap untuk sesaat.
Bayu mulai membuka matanya. Dirinya sudah terbaring di sebuah lantai beton. Luka yang menjalari tubuhnya masih terasa begitu baru, begitu nyeri. Membuatnya seakan tak bisa bergerak saking sakitnya.
Ia menemukan sosok Khaira yang juga terbaring tak jauh darinya.
“Hasil seleksi menunjukan kalau kalian bukan orang yang berhak mati di rumah ini. Jadi kalian bisa pergi.”
Suara dari gadis hantu itu seketika membuat Bayu segera bangun mencari sosoknya. Meski ujungnya harus mengaduh karena luka di tubuh yang seperti tertekan.
Ada! Sosok itu berada di atas sana, duduk dengan kedua kaki yang ia selonjorkan di antara lubang selusur tangga, di ruang yang menjadi penghubung lantai dasar rumah itu. Yang berarti mereka sedang berada di ruang bawah tanah sekarang.
Khaira yang kini juga sudah menegakan badannya dibuat tercengang dengan ucapan hantu itu. Bukannya mereka berdua yang harusnya mati?
“Kalian lupa dengan peraturan kedua yang membawa kalian datang kemari?”
Soal peraturan konyol yang menjadi urban warga setempat, kalau hanya orang jahat yang akan mati di rumah ini? Ah, apa itu benar-benar nyata?
Bukankah menarik? Bagaimana rasa takut dan terjepit tidak pernah gagal menunjukan kuasanya. Membuka topeng terdalam seseorang hingga menampilkan sosok asli mereka yang sebenarnya. Monster atau setan.
Kontradiksi datang dari mereka yang sebelumnya begitu ingin melarikan diri, kini malah menolak, sekalipun disuruh pergi. Tidak tanpa tiga temannya yang lain, tegas Bayu yang langsung diangguki Khaira. Membuat hantu itu jengkel.
“Memang menyusahkan berurusan dengan orang-orang yang tidak masuk seleksi," gadis hantu itu menggeleng frustasi. "Lagipula kenapa kalian harus peduli pada orang-orang jahat itu? Dua dari mereka adalah penggila sex dan bermuka dua. Sementara Nico, dia adalah orang yang sudah menyuruh kamu menjadi orang jahat, sampai kamu harus menjalani hidup yang merepotkan seperti sekarang. Kenapa harus susah payah mengurusi orang seperti itu?” hantu itu menatap bingung keduanya.
Namun ada wajah lain yang dibuat lebih kebingungan. Khaira yang tak paham maksud dari perkataan hantu itu tadi. Soal Nico yang menyuruh menjadi orang jahat, pada Bayu? Kenapa?
“Bagaimanapun kalian harus tetap pergi.”
Sambil mulai berdiri, hantu itu lalu menembus tangan tangga dan melesat cepat ke arah Bayu. Berhenti tepat di depan wajahnya. Sosoknya berubah mengerikan. Wajahnya rusak, kering penuh keriput, dan rambutnya beruban putih terurai kusut.
“Pergi!” teriak hantu itu.
Seperti ditiup angin kencang, tubuh Bayu dan Khaira kemudian terhempas menembus ruang dan terlempar keluar dari rumah tua itu.
*****
Bayu dan Khaira tercengang mendapati diri terlempar dan kini sudah berada di halaman belakang rumah itu.
Bayu dalam posisinya yang terduduk di tanah berumput tampak kesulitan untuk bangun, Khaira yang menyadarinya langsung berusaha membantu. Dirinya sendiri memang turut terluka tapi tak separah Bayu.
"Kamu ngga pa-pa?" tanya Khaira dengan raut cemas.
Melihat ekspresi itu membuat Bayu sedikit tersenyum.
"Kamu sendiri terluka. Perlu ngekhawatirin orang?"
Khaira berpaling kecil seraya menggigit bibir.
Mereka kini sudah sama-sama berdiri. Mata Bayu menatap tajam rumah itu, sementara Khira memperhatikannya.
"Bukannya kamu harus ngejelasin sesuatu?"
Pertanyaan itu membuat Bayu menoleh pada Khira.
"Soal yang dikatakan hantu itu... kenapa Nico harus menyuruh kamu jadi orang jahat? Apa maksudnya?"
Tatapan tajam Bayu berubah goyah. Ia membuang muka.
"Makhluk itu cuman bicara omong kosong. Lagipula bukan waktunya kita bicara hal ngga penting kaya gini," Bayu beranjak meninggalkan Khaira mendekati rumah itu.
Cara bicara dan tingkah lakunya kembali songong dan menyebalkan seperti sebelumnya. Tapi Khaira tak terpengaruh. Entah bagaimana, hati kecilnya bisa mengenali Bayu, kalau ia tak seburuk kelihatannya. Tak seburuk apa yang dipikirkan orang-orang terhadapnya.
Lagipula bila benar Bayu adalah seorang bajingan, ia tak akan susah-susah untuk mencoba kembali masuk ke rumah tua itu menyelamatkan tiga temannya yang lain. Seperti sekarang.
Baru saja mendekati pintu belakang untuk menerobos masuk, Bayu sudah terpental. Tak peduli pintu atau jendela, ia terus-terusan terhempas jatuh. Seperti ada kekuatan mistis yang menghalangi.
“Lukai aku!” Khaira menyodorkan sebuah pisau lipat ke hadapan Bayu yang masih terduduk di tanah. Membuat Bayu langsung melotot.
“Kamu bilang kamu mau masuk lagi ke rumah itu,” setelah dengan susah payah meminta Bayu untuk berhenti karena tahu bisa membahayakan nyawanya, pada akhirnya Khaira menyerah dengan tekad kuat Bayu.
“Kamu perlu menjadi jahat untuk bisa masuk ke sana,” tak ada yang bisa dilakukan Khaira selain membantu Bayu mencapai tujuannya sekarang.
Bayu langsung menggeleng, “Ngga ada jaminan itu akan berhasil. Gimana kalau aku gagal sementara kamu udah terlanjur terluka?”
“Aku udah terlanjur terluka. Menambah satu luka lagi pastinya bukan masalah. Kita perlu mencoba apa yang kita bisa. Kamu perlu aura negatif. Mungkin ini ngga bertahan lama, karena itu begitu kamu melakukannya, kamu harus langsung segera lari ke rumah itu. Percaya aku Bay, kamu tahu aku orang yang cerdas.”
Bayu tersenyum hambar. Bahkan di saat seperti ini Khaira masih bisa bercanda menunjukan kenarsisannya. Sekalipun Bayu tidak pernah meragukannya. Khaira memang orang yang sigap dan penuh persiapan. Melihatnya menyimpan pisau lipat yang diyakininya untuk berjaga-jaga, sudah menunjukan bagaimana Khaira yang sebenarnya.
Bayu mencoba, di mana pisau itu sudah berpindah tangan ke tangannya sekarang. Ia menghela nafas panjang dan berusaha keras mendorong pisau itu bergerak.
“Aaaagh… Aku ngga bisa!” Bayu menggeleng kuat, menjauhkan tangannya yang tengah memegang pisau itu dari tangan Khaira.
Khaira tersenyum samar. Ia rasa ini memang terlalu sulit untuk lelaki penipu sepertinya.
“Kamu memang bodoh….” Khaira menggumam. Berikutnya gadis itu menarik tangan kanan Bayu yang memegang pisau, menumpuk tangannya di atas tangan Bayu, membuat kekuatan untuk menarik pisau itu membuat garis di punggung tangannya sendiri. Bayu langsung terbelalak. Khaira tertunduk menahan nyeri.
“Bayu, sekarang!” Khaira mengangkat kepalanya, menatap Bayu dengan sorot mata elang. Menularkan energi keyakinan, di mana Bayu kini mengangguk dan berlari pergi. Tak ada waktu untuk melanjutkan keterkejutan. Atau pengorbanan Khaira akan sia-sia.
“Tolong berhasillah!” Bayu memohon dalam hati, kakinya yang sigap berlari kemudian melompat menuju kaca jendela, sementara matanya memejam menumpu harap.
*****
Nico sedang terbaring tak berdaya di atas meja bertaplak putih dengan kedua tangannya yang masing-masing terikat tali. Tubuhnya pun sudah penuh dengan luka sayat. Begitu Bayu berteriak memanggil namanya, wajah Nico menoleh, mulai menampakan secerca harap.
“Bayu, tolong saya….” Nico memohon dengan matanya yang sudah basah oleh air mata.
Gadis hantu itu kini sudah menjelma menjadi sosok yang amat mengerikan. Rambut panjangnya yang terurai kusut bersama wajahnya yang rusak. Seperti sudah membusuk dan nyaris tak berbentuk. Lebih mengerikan dari yang ia lihat saat di ruang bawah tanah sebelumnya.
Bayu ketakutan, tapi dirnya tak berniat mundur. Ia lekas menghampiri Nico, berupaya memotong tali yang mengikat lengannya dengan pisau lipat milik Khaira yang masih ia genggam. Tapi angin kencang seketika menghempaskan tubuhnya hingga ia terpental jatuh.
“Jangan ikut campur!” teriak hantu itu padanya.
Bayu berusaha bangkit secepatnya, melawan angin yang masih menghalangi pergerakannya.
“Saya mohon, lepasin dia, tolong!” pinta Bayu sungguh-sungguh.
“Jangan harap!!!”
Sebuah pisau kemudian muncul di langit-langit. Moncongnya mengarah pada Nico yang kini rupanya sudah berhasil melepaskan diri dari ikatan berkat tali robek hasil dari potongan Bayu sebelumnya.
Dan pisau itu pun meluncur miring ke bawah menyerangnya.
JJBB! Pisau itu menancap di perut Bayu yang melompat sekuat tenaga menjadi tameng.
*****
Saudara? Mereka bahkan tak memiliki hubungan darah. Bayu dan juga Nico.
Bayu hanya seorang anak yatim piatu sejak ia SMP. Ia kemudian dirawat dengan penuh kasih oleh ayah Nico, sahabat baik almarhum ayahnya, hingga mereka dikenal orang luar sebagai saudara sepupu.
Pribadi Bayu yang hangat dan juga cerdas menarik orang-orang di sekitar Nico untuk datang padanya, termasuk gadis yang Nico sukai. Merebut ayah, teman-temannya, bahkan gadisnya, bagi Nico Bayu hanyalah seorang penjahat munafik.
“Kamu mau saya gimana?” tanya Bayu di tengah-tengah pertengkarannya dengan Nico kala itu.
“Kamu itu cuma seorang bajingan, jadi tetaplah menjadi bajingan!”
Dan seperti itulah Bayu kemudian memilih menjalani hidupnya begitu mereka masuk ke perguruan tinggi. Karena rasa bersalahnya, juga rasa terima kasihnya.
“Dasar manusia bodoh… dasar manusia bodoh…!” Khaira menangis haru, kala Bayu membuka matanya yang sudah terpejam begitu lama. Terbaring di ranjang putih dengan selang infus di hidungnya. Ia selamat.
Segera setelah mendapatkan tusukan itu, ia dilarikan ke rumah sakit untuk menjalani operasi.
Dan Nico, pemuda itu juga ada di sana. Dalam keadaan selamat. Hantu yang sudah menerornya hilang begitu saja selepas kejadian Bayu yang tertusuk itu.
Maaf? Terima Kasih? Tak ada kata semacam itu yang keluar dari mulut Nico tatkala bicara pada Bayu. Dalam langkahnya yang pelan dengan kepala sedikit tertunduk saat datang menghampiri ke ranjangnya, Nico hanya mengucapkan satu kalimat singkat. Beberapa kata yang sudah cukup untuk menyampaikan semua.
“Berpura-puralah menjadi orang baik.” Nico berpaling, lalu pergi.
Sementara Bayu yang dibuat terperanjat, mulai menunjukan lengkungan tipis di bibirnya. Ia tersenyum.
Ia kira dirinya tidak perlu lagi mengenakan topeng. Ia bisa menjadi dirinya sendiri lagi mulai dari sekarang.
Dan soal rumah kutukan itu, entah kenapa Bayu merasa rumah itu seperti sengaja dihadirkan untuk menolongnya, membawa Nico pada sedikit kepedulian terhadapnya. Biarpun pada kenyataannya, rumah itu tetaplah rumah yang sudah memakan 2 kehidupan temannya yang lain, Sarah dan juga Danar. Jasad keduanya ditemukan tergeletak di halaman belakang rumah itu.