Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Semua orang mati.
Tiap-tiap dari mereka meninggalkan meja makan dengan piring kosong di atasnya. Kursi-kursi berderit kemudian menyepi, sendok dan garpu menyendu. Kepergian yang melayukan mawar-mawar merah di pusat meja.
Bagian yang ku ingat saat itu adalah hidangan utama, kalkun panggang, mengepul dalam nampan kayu. Botol anggur keluaran tahun 1947 mengisi masing-masing gelas, kecuali gelas milikku.
Aku tidak menggebrak meja, membentak, atau pun bersuara keras. Tidak sama sekali. Aku hanya memberi atensi intens pada pria tua di ujung meja. Kami saling bertukar rasa lewat pandangan hingga tekanan sunyi menyelimuti semua orang.
Suaraku yang ku pikir selembut sutra, membelai telinga-telinga mereka,
"Ayah, mengapa ... kau masih di sini?"
Beberapa sendok masih berdenting asik. Jam dinding kuno mendetak kesenyapan.
"Terus benapas setelah melakukan dosa, bukankah suatu penghinaan pada Tuhan? Aku tahu betapa religiusnya dirimu, Ayah. Rosariomu selalu menggantung di leher, bahkan saat melakukan itu. Ah, aku paham, kau hanya perlu sedikit dorongan untuk membersihkan diri. Aku tahu. Aku tahu kau pasti akan melakukannya. Aku tahu."
Wanita di sampingnya menunduk lebih dalam. Dia, salah satu yang memperhatikan seberapa kuat genggaman sang suami pada pisau makannya.
"Jiwamu ... sudah terlalu kotor. Sampai busuknya pun keluar dari mulut setiap waktu. Maafkanlah ibu. Dia jadi lebih pendiam semenjak akal sehatmu menghilang. Mungkin, itulah mengapa Tuhan mengirimku, sekadar mengingatkanmu akan siksa neraka, Ayah."
Mendadak meja berguncang singkat, seseorang di kursi sebelah kanan ayah mengebraknya. William, si putra tertua, mengambil semua sorotan sesaat.
"Sehari saja, Jeim. Sehari saja! Aku bosan mendengar omong kosongmu."
" ... Aneh tapi akan ku maklumi. Aku sedang menyadarkan ayah, malah kau yang marah. Ah, pastinya. Kita satu keluarga. Kebiasaan ringan tangan itu menjadi warisan genetik."
Sorot tajamnya hampir melahapku mentah-mentah, membuatku ingin mengakhirinya segera. Bukan karena takut, tetapi karena kegelapan di sekitar kami terlalu pekat untuk di abaikan begitu saja.
"Tenanglah, Will. Kau tidak mengetahui apa yang ku ketahui atau merasakan yang ku rasakan. Kau tidak pernah mengerti apapun tentang keluarga kita. Kau terlalu sibuk mencari donas—relasi di luar sana. Maaf, mulutku agak licin karena saus buatan Greig yang lezat. Aku adalah anak kesayangan mereka. Aku pantas mengatakan semua ini. Sebaiknya abaikan saja diriku. Omonganku tidak akan berguna selain bagi para pendos—domba-domba yang tersesat maksudku."
William membanting pisau. Manusia yang satu ini terlalu gampang menyerah. Ayah benar-benar mendidiknya dengan baik.
Aku memutar pandanganku pada daging di piring, ketika ayah membungkam mulut mati-matian hingga seluruh kulit muka memerah dan urat-urat tegang muncul di pelipis. Daging itu mengeluarkan cairan ketika ditekan pelan, tingkat kematangan steik yang ku suka. Tentu, itu bukan kalkun. Keluarga Sullivard suka membuang uang demi hidangan utama yang hanya di pajang saja. Aku memotongnya dengan hati-hati.
"Oh ya, Ibu. Pasti menyakitkan melahirkan anak sepertiku bukan? Sebelum dan sesudah keluar, hanya aku satu-satunya yang masih menjadi beban berat bagimu. Kau selalu memikirkan tentang apa yang telah lama terjadi. Andai tidak pernah bertemu, andai memiliki keberanian, andai pria itu sadar, andai, andai, andai, andai, andai, andai, andai, andai... andai bukan aku yang membuka mata."
Ibu tidak pernah ada di sana. Dia telah terkunci atau mungkin mengunci dirinya di tempat yang tak lagi bisa ku jangkau. Tatapan sayu di atas senyuman itu terasa sangat menggelikan.
"A-apa maksudmu Jeimes?" Dia tertawa kecil, mengatasi kecanggungan. Beberapa kali melirik sang suami. Entah apa yang diharapkannya. "Makanlah dengan tenang, Anak-anak."
Kelembutan daging menyentuh lidah, saus asam dan manis meleleh bersamaan. Sekelebat aroma dan rasa mampu membawa akalku melayang jauh.
Seorang bidadari pemilik neraca timbang pun menjatuhkan garpu. "Sampai kapan kamu akan seperti ini?" Kejernihan mata dan kepolosan wajah, serta untaian keemasaan pada rambut menjadikan dia sebagai satu-satunya harta karun yang hidup di kastil ini.
Aku mengedarkan bola mata sembari terus mengunyah. Selayaknya anak kecil yang menjengkelkan. Kanan-kiri, kanan-kiri, kanan-kiri, tidak ada jawaban di setiap sudut ruangan. Sementara jam terus berdetak dan sang bidadari terus menunggu.
Satu ketukan di punggung kanan merebut panggung, Ari, seorang pelayan wanita yang berkulit hitam. Dia merendahkan kepala, "Maaf Tuan. Saya terlambat menghidangkan dagingnya."
Daging mengepul itu baru datang bersama pelayan laki-laki yang menahan panasnya. Diikuti hidangan-hidangan lain.
Para pelayan menyerbu meja tanpa menimbulkan derit kursi. Setangkai mawar yang dihadirkan di tengah menyadarkanku bahwa memang tidak ada kursi di sana. Hanya satu yang menemaniku di ujung meja lain. Padahal sosok-sosok samar itu melihatku yang duduk sejajar dengan mereka. Betapa menyenangkannya kegilaan ini.
"Liliana. Kamu lah yang paling menyukai keluarga kita, jadi tanyakan pada dirimu sendiri sampai kapan kamu sanggup bertahan dalam kastil? Bukankah puisi cinta dari keluarga Bruksveil sangat memabukkan? Kau tidak akan bisa lari lagi jika tetap diam dan patuh. Aku tahu betapa palsunya mereka. Bruksveil selalu gagal membuat anggur, tetapi pintar memainkan mulut."
"James!" Bentakkan yang sangat ku tunggu menggema dan memekakkan telinga. Jujur, terdengar luar biasa menyenangkan.
"Ya, Ayah?"
"Hentikan bicaramu! Atau Flyn menyeretmu keluar."
Aku pun menghitung kemungkinan, "Ayah, kau... hanya membenci atau takut padaku—?"
"—Tuan, anggur?" Suara berat milik pria paruh baya yang berdiri di sampingku menjadi detik ketika satu persatu sosok meninggalkan tempat mereka. Punggung-punggung kokoh tersebut menjauh tanpa keraguan sedikitpun. Kebungkaman tertelan oleh gemercik riuh hujan di luar kastil. Aku ingin menikmatinya lebih lama, pertunjukan yang sangat menghibur tersebut. Sayangnya, Tuhan mengingatkan bahwa mereka telah tiada.
Dia, yang memandangiku dari atas sana dan terus menertawai sampai tangisnya menghantam wajahku berkali-kali, suatu hari berbisik,
"Malam akan memeluk kita erat dan bintang akan membimbing kita ke rumah."
Aku membungkam ia dengan naskah yang selesai ku ketik. Sejak aku sadar bahwa aku merindukannya, sebuah pertunjukan drama keluarga yang memperlihatkan tidak ada jalan keluar di sini dan betapa menyenangkannya pilihan untuk beristirahat dalam keabadian.
Aku mengangguk ketika lilin di seberang meja padam tiba-tiba. Aroma tumpahan anggur berganti jadi kayu manis yang khas. Jantung memompa lebih cepat dari gerak jarum jam.
Sekarang, sesuai yang telah ku bayangkan sepuluh tahun yang lalu, meja ini akhirnya kosong. Ia menyisakanku sendiri sebagai pemenang yang kalah. Tuhan tidak bermain dadu, akulah yang melemparnya sembarang.
"Flyn, Kau masih ingat bagaimana semua ini berawal? Alasan mereka semua pergi?"
Pria tua itu mengangguk, "Semua terjadi karena tuan besar akhirnya tersadar akan dosanya. Berkat Tuan Muda James tentu."
"Menurutmu kenapa ayahku melakukannya?"
"Tuan... Mister Taro menyarankan anda untuk tidak mengungkitnya kembali." Ketidakenakan mencekat kerongkongannya. Flyn melunak, menjadi lebih manusiawi. Namun kebungkamanku seketika memaksa. "Ka-karena tuan besar menyayangi Anda."
"Ingatkan aku tentang kalimat terakhir yang diucapkannya."
Dia meragu. Sesuatu yang dingin menyentuh dahi.
"Anak terkutuk! Kau akan menanggung semua pesakitan itu sendiri." gema resonansi suara milik Flyn berubah menjadi pria yang berdiri mengacungkan pistol padaku. Begitu dekat. Sampai ujungnya menyentuh pucuk dahi.
Aku hanya menyandarkan punggung pada sofa nan lembut sembari menikmati pemandangan dari wanita dewasa yang tengah menangisi nasib dengan bersujud memeluk kaki ayah. Mereka setengah telanjang seolah tahu hari ini adalah waktu pembersihan.
Pemanas tak lagi berfungsi kala lampu meredup dan petir memunculkan kilatan di luar. Ratapannya hampir tak terdengar oleh deras sang badai.
Pintu berderit lirih, ia terbuka, menampilkan Dewi Hera yang memakai piyama putih bertabur kelopak mawar merah. Aroma wangi menyebar konstan. Senyumannya manis mengembang di antara dua bercak keunguan pada pipi.
"Sayang, ku mohon hentikan ini semua." Dia menyender lemah, melipat sayap yang tersisa di punggung.
Menggelikan.
Dalam pantulan bola mataku, mereka masihlah berwujud manusia utuh.
Aku baru bisa tersenyum begitu dering telepon di genggaman terdengar. "William, kau sedang menyetir? Tidak, jangan buka kotak itu sampai kau benar-benar berhenti. Aku tidak sengaja meninggalkannya di mobilmu, jadi kembalilah segera... ku mohon—"
"—Ayah? Dia akan membunuhku sekarang." Panggilan berakhir ketika sekali lagi mata kami bertemu.
"Sayang, Jeimes cuma bercanda. Sesuatu sedang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. Ku mohon, hentikan. Dia adalah putramu."
"Tidak.” Tanganku membungkus genggaman Ayah pada pistol. Berharap dia gentar saat melakukannya. “Tentu, tidak. Aku sangat serius, Ayah. Mari akhiri dosamu secepatnya dan bertaubatlah. Kita tidak mungkin saling membunuh di surga. Jadi mari lakukan dengan sekali tarikan. Tolong bersihkan Sullivard dari aib masa lalu.”
Ayah menurunkan muka supaya pandangan kami setara. Dia mengendurkan otot wajah dan mencoba tersenyum.
“Anakku, James. Mengapa kau berubah menjadi iblis kecil seperti ini? Dulu kau adalah malaikat favorit ayah. Pasti ada yang salah dengan otakmu. Seingatku, ayahmu ini sudah memberimu banyak hal berharga. Coba sebutkan, bagian mana yang kurang dalam pengajaranku. Harta? Bahkan jika kau menikahi puluhan wanita dan melahirkan ratusan anak. Uang-uang itu tidak akan menghilang sampai mereka semua mati. Kasih sayang? Siapa di antara saudaramu yang berani mengambil bagian milikmu? Mereka hanya mendapatkan kemarahanku loh. Status bangsawan? Kau tahu silsilah keluarga kita, James. Pendidikan? Ayah sampai jauh-jauh mengirimmu ke Harvard supaya tidak seorang pun bisa menandingimu dalam ranah kecerdasan berpikir. Apa yang salah denganmu, James? Itu adalah impian semua anak di seluruh dunia.”
“Ayah, tidakkah kau pernah melihat ke dalam cermin? Bukankah wujud kita serupa? Berarti kita sama-sama iblis. Jadi apa yang salah denganmu, Ayah? Bagaimana bisa aku tumbuh menjadi iblis kecil seperti in—“
“Jeim!” teriakan nyalang ibu.
“Kau ingin aku memperjelas semuanya, semua dosa-dosamu. Itu akan menjadi sebuah novel yang tak layak dibaca, Ayah. Ingat-ingat lagi tentang Tragedi Di Malam Kelahiranku. Saat kau sibuk membuat benih kehidupan baru dengan wanita-wanita lain, aku hidup berkat pengorbanan jiwa saudaraku sendiri. Aku selalu bertanya, mengapa aku sebenci ini pada dirimu, para hantu membuatku sadar bahwa semua emosi ibu telah larut menjadi daging dan tulang dalam tubuhku. Saat kau menyakitinya, aku juga akan tersakiti. Aku pikir semua anggota Sullivard akan begitu pula, tetapi nyatanya tidak. Kita semua berbeda. Hanya aku, yang berhasil membawamu sampai ke puncak. Lalu menyaksikan, bagaimana tampangmu yang sebenarnya. Aku terlahir dari campuran yang paling baik dan yang paling kotor. Memikirkannya saja membuatku mual.”
"Tutup mulutmu James. Kami sangat menyayangimu."
"Menyayangiku? Ibu, menurutmu, yang mana yang benar, antara James atau Jeimes siapakah yang mati saat itu?”
Perasaanku bergerak mengikuti setiap detik yang terlewat. Hingga ayah tersenyum puas selayaknya hari-hari biasa. Kecemasan pun menyerbu pikiran. Dia menarik balik tangannya, mengusak rambutku sewajarnya ayah yang baik.
"Ah, pertama kalinya, Ayah mendengar rengekan dari James Sullivard. Ku pikir kau jauh lebih tangguh dari siapapun. Semua yang kau ucapkan dulu baru ku mengerti sekarang."
Kemudian melambai pada Ibu.
Sebuah tawaran dari pistol yang dia letakkan di ujung telapak, mengisyaratkan sesuatu yang buruk akan terjadi.
"Miranda, kau mencintaiku bukan?"
Aku enggan mengerti bahwa istilah cinta dan kasih sayang bisa diekspresikan oleh tragedi. Karena setelahnya sang dewi melangkah anggun meraih tangan iblis. Dia mengambil pistol layaknya setangkai bunga mawar.
Ledakan singkat mendengung, memuntahkan timah panas yang melubangi mahkota indah sang dewi. Tubuhnya ambruk. Darah menggenang. Si wanita dewasa memekik pingsan.
Lantas sang iblis memamerkan senyuman paling lebarnya padaku.
Kilatan petir memecah dinding rasionalitas, menyesatkanku dalam ratus-ribuan percabangan nalar. Salahku yang enggan bersiap saat panahku meleset. Tuhan menyisipkan skenario tambahan. Sebaris kalimat yang lolos dari pengamatanku. Perhitungan yang ingin ku hapus adalah sesuatu yang benar-benar terjadi.
Iblis memulai khutbahnya.
“Lihat? Dunia memang seburuk itu. Yang ingin kau lindungi, malah memilih kematiannya sendiri. Kau ini tetap malaikat kecilku, jangan berpura-pura menjadi iblis. Baru mencicipi kerasnya dunia, sudah berlagak menjadi yang paling tersakiti. Itu menyedihkan, James. Sebagai ayahmu yang luar biasa, aku tidak mungkin membiarkanmu melarikan diri dengan jalan mati muda." Dia mengambil pistol yang tergeletak di samping mayat ibu. “Kau perlu tumbuh untuk tahu, bagaimana eksistensi manusia bekerja di dunia ini. Ada berbagai macam manusia yang harus kau temui. Mari bebaskan pemikiranmu dari yang kau sebut aib masa lalu. Pimpin sendiri perjamuan malam Sullivard. Aku akan memenuhi undangan perjamuan lain di neraka. Semoga beruntung, putera kesayanganku, James—" dan ledakan itu terulang. Dia melubangi rahangnya hingga peluru nampak bersarang di otak.
Keheningan menghantam kedua telinga, memaksa seluruh inderaku tertutup, menyisakan rasa sesak dari kencangnya aliran air mata yang melewati pipi. Pandanganku mulai bergetar. Dalam ketidakjelasan itu, sesuatu yang berdiri di antara tubuh ayah-ibuku, apakah malaikat pencabut nyawa?
Gelap membungkus dua mayat tersebut sampai Flyn datang dengan senter di tangan. Dia berlari gugup, bukan untuk meraba napas nyonya besar, tetapi justru membawa tubuhku ke dalam rangkulan terhangat yang tidak pernah ku rasakan sebelumnya.
Hidup dan mati adalah dua hal yang mutlak di dunia, aturan tetap yang tak dapat dihindari siapapun. Seorang pendeta telah mengajarkannya berulang kali. Aku mendengarkan dengan seksama. Akan tetapi, ketika sesuatu yang dia sebut sebagai takdir terpampang nyata di hadapanku, keyakinanku pada Bapa runtuh dalam sekejap.
Aku bukan menyerah, aku hanya tersesat. Rumah ini berubah menjadi labirin yang penuh hal-hal mengejutkan tiap jengkal lantainya.
Berbeda dengan ayahku. Dia hamba yang taat, seorang yang terus menggaungkan doa di dasar lubuk hati. Para manusia yang melihatnya pastilah mengecap pesona kharismatik nan memabukkan, sehingga mereka akan terus berlutut. Hanya aku, sungguh hanya aku, yang mendengar semua penghujatan dari mulutnya dan yang melihat jejak lumpur di langkah kakinya. Ayah telah terjatuh oleh kesombongannya sendiri.
Pemandangan memilukan seketika menghilang. Jam dinding tua di sudut ruang berdetak keras. Daging dan anggur tak lagi menarik minat.
Dari arah pintu kanan, seorang baru saja masuk. Pria berseragam yang berjalan terburu-buru. Hujan nyata berlangsung sepanjang hari sehingga tiap jejak langkah pria tersebut meninggalkan basah pada lantai.
"Selamat sore, Pak."
Sebuah berkas di tangan ku letakkan kembali pada tumpukan berkas lain di meja di hadapanku. Memandang sesuatu dari balik kacamata memperjelas segalanya. Seorang polisi. Dia menghormat begitu mata kami bertemu.
"Sore. Masih ada yang perlu saya urus, Pak?"
"Saya Rusch dari kepolisian ingin menginformasikan bahwa kami telah menemukan mobil yang dikendarai saudara anda pagi ini.—"
"Saya akan mengambil mayat dan kotaknya besok"
"Mayat? Saya bahkan belum selesai—"
"—Maaf, Tuan Rusch. Anda sedang berbicara dengan pembunuh. Lihat, dia bahkan tak meratapi keluarganya sendiri.” Sebuah suara nyaring yang baru terdengar setelah bertahun-tahun membungkam diri. Bocah laki-laki itu mendekat cepat. Dia memamerkan mimik kesal dan angkuh. "Jelaskan padaku James, bagaimana bisa kau membunuh semua orang tanpa mengotori tanganmu?"
Aku tersenyum begitu perkataannya menggelitik dada, "—dan hebatnya kau masih memanggilku kakak. Ayah membesarkanmu dengan sangat baik, jadi bagaimana rasanya narkotika jenis baru? Kau sudah mendapatkannya dari Gilliard bukan?" Detik itu pula udara di sekitar kami menipis. Sesuatu menenggangkan tubuh adik tercinta.
Rusch menyimak dalam diam. Yang kuingat tidak ada namanya di daftar penting. Adikku mungkin telah memahaminya.
"Kami suka bermain dengan lelucon berbahaya, Pak Rusch. Perkenalkan, dia adik saya, Ronald. Jangan membuatnya takut, Pak. Dia punya penyakit mental yang serius." Kekehan canggung terdengar dari mulut Ronald. "Ada yang perlu saya urus lagi di kantor polisi, Pak?"
"Hanya keterangan untuk melengkapi laporan kematian, Pak."
"Flyn, kepala asisten, yang akan mewakili saya."
Aku menyakinkannya lewat kontak mata kami, sehingga dia lekas menghormat dan berbalik keluar. Lalu sekilas, lirikan mata mereka bertemu di sepersekian detik saat Rusch melangkah pertama kali.
Derit pintu mencuri kesadaranku jauh sekali.
Nyanyian seriosa yang melantunkan puji-pujian terhadap Tuhan merangsek masuk dalam angan. Kepalaku bergerak menengadah, menjatuhkan topi hitam pada genangan air kecil.
Dia memanggil namaku dari atas sana. Dia menertawaiku sampai air matanya menghantam wajahku berkali-kali.
Kerumunan terbentuk oleh mereka yang berpakaian serba hitam dan bersembunyi di bawah payung hitam pula. Makam baru dan suasana yang menyendu, pendeta sibuk bermonolog. Sementara mereka menunduk khusyuk mengamini.
Ada sebuah tabir yang membentang di jangkauan pandanganku, sesuatu yang menghalangi diri berjumpa denganNya. Luas yang melebihi rentangan tangan, sial.
Liliana menyerah padaku, sehingga hanya membawa Ronald ketika harus meninggalkan makam bersama yang lain. Saat itu cuma ada aku di depan makam ayah, ibu, dan William. Rambutku basah dan hampir-hampir menusuk mata, tetapi yang didepanku lebih menusuk jiwa.
"Kalian, jangan mengekorinya terus. Perjamuan itu hanya untukku dan ayah. Dengarkan malaikat penjaga baik-baik dan seberangi sungai. Beritahu aku nanti, bagaimana wujud surga yang... sebenarnya."
Kedipan mata terakhir membawaku kembali pada meja makan panjang. Kursi takhta di ujung telah dihuni sosok baru, sumber keangkuhan semua orang di sini. Jumlahnya pun bertambah. Liliana dan Ronald duduk di kanan kiriku.
Anggur, daging, dan roti, serta beragam jenis sayur dan buah memenuhi meja tersebut. Lilin-lilin menyala, seolah membakar kakek di dalam bola mataku.
Pisau dan garpu berdenting, saling bersahutan. Dia terus menatapku saat tangan kanannya bergerak memotong steak. Aku hanya meraih gelas anggur dan menikmatinya dengan riang. Namun, ku ingat, mereka mengacau,
"Rumah sebesar ini terasa mati sekarang. Siapa yang akan menggantikan si anak emas? Mereka meninggalkannya dalam wasiat bukan?" tanya wanita gemuk dengan polesan warna-warni nan tebal di muka. Mentang-mentang duduk di kursi paling dekat dengan kakek, dia mengambil semua sorotan seketika.
"Antara James dan Ronald, sudah pasti James bukan?" seru yang tak ku kenal. Membuat beberapa kembali mengirim atensi padaku.
“Tapi, aku lebih suka Ronald.”
“William... Apa yang membuat anak itu begitu ceroboh?”
"Mengapa bukan Liliana? Oh ya aku tahu. Burksveil."
"Kasihan, Liliana."
“Sullivard jatuh. Hah, menyedihkan.”
"Aku tidak menyangka adik tercintaku akan mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Louis dan William juga. Ku pikir mereka sanggup memberikan penghormatan terakhir pada keluarga sedikit lebih baik dari ini. Huh, semoga Tuhan mengampuninya." Pria tirus di seberangnya menambahkan.
"Apa yang terjadi malam itu? Aku ingin dengar selengkap mungkin."
"Ku dengar rumor tentang perampokan, ternyata bukan toh?"
"Ah persetan dengan mereka, mari bicarakan pembagian lahan di selatan Hollsburg. Louis belum menyelesaikannya denganku!"
...bla bla bla bla—yang paling menarik hanyalah,
"Kurasa, Tuhan mulai mengutuk kita." Seorang paman muda yang melirik kakek dari sikap menunduk dan memainkan gelas winenya. "Maksudku, kita tengah di puncak sekarang. Banyak rumor yang beredar dan berita kematian Louis menjadi tagline berita utama di koran. Satu batu kerikil pun bisa menghancurkan mesin penggilas dari dalam. Nah, yang mampu melemparkannya pada kita, kurasa hanya Tuhan saja."
“Apa yang Karl pikirkan? Gila.”
Para lebah mendengung lagi. Aku tersenyum tipis. Liliana menjatuhkan garpu ke lantai. Dentingnya tak terlalu terdengar. Pelayan wanita telah siap siaga mengganti.
“James, seperti biasa, ekspresimu tak pernah berubah. Itu berbahaya, Nak. Setidaknya tersenyumlah yang lebar atau tertawa sekeras mungkin, dan menangis. Orang-orang lebih menyukai kenormalan.” Pemilik desain muka yang sama dengan Ibu, berbicara dari kursi tengah. Dia, seorang pria tampan yang suka berkelakar di panggung teater.
“Contoh William. Dia pandai—“
“—Menghamba pada kalian?” Mulut sebagian mereka terbungkam. “Ah, maaf. anggur terbaik Sullivard melicinkan mulutku, lidah jadi suka terpleset sendiri. Baiklah, Paman Yerus, aku akan belajar darimu tentang membuat banyak muka yang berbeda. Aku juga akan mencontoh William, menjadi manusia yang kalian senangi. Aku terlalu lama berkawan dengan para hantu, sehingga sering lupa bahwa aku masihlah hidup sebagai Sullivard.”
“Ada hantu di rumah ini?!”
“Ya dan mungkin akan bertambah.”
Mereka tertawa, tanpa diriku,
“Lantas, apakah kau... lihat dirimu yang lain di sana?”
Kini aku yang terbungkam oleh tanya si Karl. Aku tidak mengerti ketika bising di sekitar semakin menjadi. Ronald menenggelamkan diri dalam tundukan dan Liliana meneguk anggurnya.
"Sejak kapan kau mulai percaya Tuhan dan hantu, Karl?" pemilik nada suara paling berat akhirnya angkat bicara, mengabaikan potongan daging terakhir. "Masalah Louis selesai tepat setelah kita meninggalkan nisannya. Kepala keluarga Sullivard berganti jadi kau, James. Pertahankan derajat keluargamu."
Kata-kata yang terus menggema dengan jenis suara yang sama. Aku tersadar oleh rasa anggur yang lebih menggetirkan dibanding saat itu. Flyn menuangkannya kembali. Aku meminumnya sekali lagi. Masih getir.
"Flyn, kau ingin meracuniku? Mengapa rasa anggurnya berbeda? Kau tahu lidahku sangat sennsitif bukan?"
"Maaf Tuan, itu adalah anggur perpisahan dari nona Liliana. Buatan Burksvile, Saya akan segera menggantinya."
"Oh! Tidak usah. Akan ku habiskan."
Aku menenggaknya hingga kosong. Panas meraba seluruh permukaan wajah. Baru ku sadari detak yang sedari tadi ku dengar bukanlah detak jam dinding klasik keluarga Sullivard, tetapi sesuatu yang nampak memberontak dalam dada. Nyeri.
Ada yang salah rupanya.
"Tolong aku!"
"Ku mohon tolong aku, Kakak."
"Aku berjanji tidak akan mengulanginya."
Ronald berlutut di sebelahku. Dia memperlihatkan wajah paling melas yang ia punya. "Gilliard! Gilliard akan menyebut namaku. Katakan pada mereka aku ditipu atau apapun. Mereka pasti memercayaimu, Kak James. Sekali ini saja, tolong aku."
Lalu sebuah kertas jatuh ke lantai, menciptakan binar mata Ronald yang teramat cerah. Hantaman pintu seketika menghapus sosok Ronald dari sana.
Tetapi dia muncul kembali, bersujud, bahkan sampai kepalanya menyentuh ujung pantofelku. Benar-benar menempelkan dahi ke lantai. Ronald yang malang, bila ayah masih duduk di kursi empuk itu, ia mungkin tak lagi memiliki wajah yang mulus, rambut lebat, gigi lengkap, juga tangan yang utuh.
"I-itu kecelakaan! Aku sungguh tidak sengaja melakukannya. Tolong aku, Kak. Aku hanya ingin menakutinya, tetapi dia malah menyerangku. Aku benci yang dia katakan tentang anak ha— rumor, tentangku."
Flyn berbisik. Dua pelayan laki-laki melakukan tugasnya, satu berjaga di samping Ronald dan lainnya membuka koper. Dia menjatuhkan semua isi koper tersebut sekaligus. Kedua tangan Ronald sudah pasti gemetar hebat. Belasan bungkus narkoba dan beberapa botol berisi tablet berserakan.
Dengan nada lemah dia terus berkata,
"Kumohon, tolong aku."
Lalu, Suara jeritan memilukan dari balik pintu suatu kamar, menarik pandanganku. Seorang pria dewasa yang memakai jas putih keluar dari kamar tersebut dan membuang napas lelah. Bunyi gebrakan, pukulan, dan hantaman benda padat turut meramaikkan suasana. Hari demi hari. Sosok Ronald tidak lagi memunculkan batang hidungnya.
Aku tidak dapat menemukan satu orang pun di setiap koridor. Mereka mengosongkan banyak tempat. Para hantu yang ku jumpai di perpustakaan menerbangkan sebuah kertas. Ku pikir orang mati memang tidak bisa berbicara, mereka hanya menunjuk sebaris kalimat,
‘Homo homini socius.’
Aku menulis sebaris kalimat lain. Kita selalu bermain kata-kata setiap ada waktu luang. Bagaimana dengan,
‘Hell is other people.’
Mereka menjerit.
Aku tahu, aku terus tersesat dalam persimpangan rumit di kastil kecil ini. Sebanyak apapun memutar langkah, neraka yang dimaksud tak ku lihat dimana-mana, karena memang tidak pernah ada orang lain. Nyatanya akulah yang terlahir sebagai gangguan bagi siapapun.
Potongan adegan terakhir yang ku tonton adalah, Liliana memelukku erat dan berbisik,
“Aku paham mengapa kamu melakukan ini semua. Kamu ingin menyelamatkan Ronald bukan? Ayah selalu memberinya kebebasan sampai berani menyentuh barang haram itu. Terima kasih, James. Aku akan membantumu dengan tetap di sini.”
Kemudian, skenario milik Tuhan pun terjadi.
Langit selalu menghadirkan cahaya bulan yang indah untuk sebuh pertunjukan tragedi. Kami berada di lorong yang membelah taman. Aku pun masih memakai piyama begitu pula dirinya. Anak itu melanggar aturan dengan keluar kamar.
Langkah yang terseok-seok, tangan lemah yang ingin menggapaiku, dan mulut yang memuntahkan darah. Dia di sana berjarak 20 meter dariku.
"Siapa kau?" tanyaku, bukan pada Ronald yang telah menyerupai zombie. "Hentikan. Kau tidak akan mendapatkan apapun jika dia yang mati. Akulah kepala keluarga Sullivard. Akulah James Sullivard. Kau ini buta atau bodoh? Targetmu seharusnya bukan dia!" Teriakkanku menggema sekaligus mengagetkan diriku sendiri.
Dia berhenti dan menggerakkan mulutnya. Lengking jerit para hantu terdengar kembali. Batinku luruh oleh kenyataan yang dibawa penjagal itu.
"Ka...kak. La...ri." Langkah Ronald meninggalkan jejak merah yang pekat.
Rasa getir mencekik leherku. Penglihatan mengabur perlahan. Angin meneriakkan sosok lain yang mengintip dari dalam kegelapan. Lagi-lagi sesuatu mengintai, menunggu giliran tampil.
. Anak itu masih terus merangkul perut. Mimik sendunya berbeda dari belasan tahun yang lalu saat dia kelaparan dan memohon potongan kue milikku. Aku ingin meraih tangan-tangan pucat Ronald, yang mulai menggantung lemas, tetapi kakiku tertahan oleh bayang-bayang.
Maka si penjagal melancarkan aksinya dengan mudah. Dia mencengkram pundak Ronald, merobek leher berkalung rosario itu, menciptakan garis tipis yang seketika tertutup oleh banjir darah. Tubuh Ronald kejang. Dalam sepersekian detik, ayah memunculkan diri lewat sorot mata Ronald yang memudar sebelum akhirnya menghantam lantai dengan keras.
Ayah memberikan senyuman hangat yang menyentuh penglihatanku.
Suara tepuk tangan yang meriah menarik inderaku menuju studio teater lain. Tuhan memberi sesi istirahat dadakan dan dalam pejaman mata yang panjang tersebut seseorang berbisik,
"Maaf merepotkanmu."
Rasa getir yang berulang kali mengrogoti lidah mampu membuka kesadaranku seutuhnya. Satu botol anggur belum cukup mengatasi keringnya akal. Flyn sedang mengambil stok lain di basement. Para pelayan menyembunyikan diri di balik pintu.
Liliana berhasil membuatku duduk kembali di kursi makan milik James Sullivard. Setelah sekian lama mengosongkan meja tersebut, dia memberikanku kesempatan mengulang sisa-sisa memori tentang drama keluarga Sullivard yang menyenangkan.
Di temani wine langka, yang dia sebut sebagai hadiah terakhir, daging kalkun panggang, yang ku pesan sebagai pajangan saja, serta pelengkap lain seperti roti, ikan, salad, dan dessert.
Sungguh, hanya memutar kaset rekaman masa lalu.
Pintu berderit, tanda seseorang masuk yang ku abaikan. Dari langkahnya itu bukanlah bunyi hentakan terburu-buru milik Flyn. Nampaknya, drama ini menarik minat banyak pihak. Sayangnya memang tidak akan pernah ada orang lain di sini.
Dengan tenang, dia mengambil kursi di ujung meja. Turut menggengam cangkir kosong pula. Ketika delikan kami bertemu, ku dapati diriku sendiri tersenyum meledek.
"Aku melihatmu, kau melihatku. Betapa menyenangkannya perasaan ini. Momen saat kamu memelukku, sangat ku rindukan."
"Itu tidak pernah terjadi. Aku bertanggung jawab pada yang hidup dan kau sebaliknya. Aku sudah memberikan apa yang ku mampu. Aku sudah menunjukkan bahwa aku tumbuh. Sebelum aku benar-benar sendiri, aku perlu bertanya satu hal. Untuk memastikan kebenaran."
"Dan apa itu?”
“Apa yang salah dari diriku?”
Dia tertawa terbahak-bahak. “Aku tidak akan berbicara, karena seiring berjalannya waktu kau akan tahu juga. Aku balik bertanya padamu, apa alasanmu berada di sini sekarang? Berbicara dengan mereka yang sudah mati, tidakkah menakutkan bagimu?"
"Aku hanya mengobrol denganmu. Entah karena kau yang terus bersembunyi di akalku atau mungkin inilah..."
"—kehendak Tuhan."
Aku mengenal jawaban tersebut. Sangat menyebalkan, karena dia tahu apa yang aku ketahui. Flyn datang bersama sebotol anggur 1947. Wine yang belum sempat ku habiskan di makan malam Sullivard terakhir.
Sebuah pesan yang di tulis tangan oleh Liliana kembali ku baca. Kertas itu merupakan hidangan yang tersaji di atas piringku.
Aku bisa menjawab pertanyaanmu kemarin. Aku yakin, inilah waktunya bagiku untuk keluar dari kastil. Entah bagaimana, semua yang kamu ceritakan padaku dahulu benar-benar terjadi sekarang. Semua orang mati. Aku takut Jeimes, itu hanyalah kebetulan atau kamulah yang menciptakannya?
Aku tidak tahu.
Semua orang mati. Tiap-tiap dari mereka meninggalkan meja makan dengan piring kosong di atasnya. Kursi-kursi menyepi, sendok dan garpu menyendu. Kepergian yang melayukan bunga mawar indah di pusat meja.
Yang tersisa adalah diriku.
Tanpa sadar otot tanganku melemas, gelas anggur pun jatuh, menghantam lantai. Suara pecahan yang nyaring menghapus bayanganku tentang ruang makan Sullivard.
Langit membentangkan tabir gelapnya saat ku sadari kakiku bertengger di atas makam bertuliskan James Sullivard. Tuhan membisu di atas sana. Berapa kali pun tanganku terangkat, skenarioNya akan terus berjalan, menenggelamkanku pada kubangan menjijikan yang sulit ku mengerti.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Seorang bocah laki-laki yang mengenakan pakaian hitam di bawah payung hitam pula menatapku dengan bulatan mata yang besar. "Apa yang kau lakukan di sini?" Dia mengulang seolah aku tak mendengarnya, menjengkelkan.
"Namamu?"
"Sullivard. James Sullivard. Kau?"
Kami saling berkontak mata. Ah, aku mengerti. Bahkan sebelum aku menulis skript itu aku sudah mengerti. Tuhan tidak bermain dadu, akulah yang melemparnya sembarang. Aku mengingatnya, awal dan akhir yang terhubung oleh takdir.
Aku berjongkok, menyamakan tinggi dengan diriku sendiri, "Jeimes, panggil aku dengan nama Jeimes. Apa yang kau lakukan di sini, James?"
"Baiklah, Jeimes. Namamu sama dengan seseorang yang ku kenal. Sayang sekali, dia sudah pergi sangat jauh. Ah, aku tersesat. Bisakah kau membantuku, Jeimes?"
"Aku membenci semua Sullivard. Tapi aku akan memberitahumu sesuatu. Pada akhirnya semua orang akan meninggalkanmu James. Masa depanmu adalah jalan yang sangat sepi, sesuatu yang lebih menyakitkan dari sekadar kematian. Manusia adalah makhluk yang pandai berbohong. Mereka akan menyakitimu dengan kebaikan dan keburukan. Mereka akan berjanji dan mengkhiati. Membuatmu selalu ragu dan berputus asa. Itulah mengapa kau harus bersiap. Jangan biarkan Tuhan meninggalkanmu. Bangunlah dan perbaiki semua. Tidak ada waktu lagi untuk meratapi kematian saudaramu—"
"Tuan James"
Untuk kesekian kalinya, aku kembali membuka mata dan spontan bangkit dari tidurku. Angin kencang seketika menyapa, menyadarkanku bahwa Flyn berlutut di hadapanku dengan muka anehnya.
"Tuan, anda sudah terlalu lama tertidur di luar sini. Proses pemakaman tuan Ronald telah selesai. Saatnya anda menyambut tamu dan memberi keterangan pada penyidik."
Flyn membantuku berdiri. Akar pohon dan bebatuan kecil sangat menyiksa punggungku. Guguran dedaunan perak menghujani kami. Rerumputan telah tertutup sepenuhnya oleh daun maple. "Sudah berapa tahun pohon besar ini mengawasi mansion Sullivard?"
"Sekitar 20 tahun?"
"Wah, kau menjaganya dengan baik Flyn. Saat waktunya tiba, tanam maple merah di sebelah untuk makamku. Kasihan Jeimes, dia... sudah terlalu lama sendirian di sini."
Flyn menyembunyikan tawa, "Sepertinya, justru saya duluan yang menyusul Jeime, Tuan James. Anda harus meminta pada pelayan lain yang lebih muda."
"Ah, kau curang Flyn. Kalian semua curang."
Yang tersisa hanyalah diriku.
Ha ha ha ha,
Aku.
Ruang makan Sullivard menghangat oleh diskusi panas yang berlangsung di meja. Daging kalkun panggang melambungkan aroma sedap ke segala penjuru. Wine terbaik MoskCentau 1980 mengisi setiap gelas minum para tamu, terkecuali milikku.
Seorang tua duduk di ujung meja. Dia membungkam diri sejak melewati pintu masuk. Sedangkan para paman dan bibi mendentingkan sendok dan garpu mereka. Keramaian yang tak terhindarkan.
"Karl benar." Ucapanku yang menyela itu langsung mendapatkan semua atensi. "Tentang kutukan itu, aku mulai menyakininya juga. Karena setelah lama ku pikirkan, akhirnya aku sadar bahwa Tuhan memang melempar batu kerikil untuk merusak mesin penggilas. Kebetulan, aku berniat jadi batu kerikil tersebut. Kalian tahu, ada banyak hal yang mengecewakan di sekitarku, aku harus memperbaikinya. Terutama, yah... aku tak perlu menjelaskannya, beberapa dari kalian hanya harus menebus dosa dan aib atas Ronald Sullivard. Sebagai bagian dari keluarga yang terhormat, aku sangat menantikannya."
Fin