Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Perjalanan Meraih Cita-cita
1
Suka
39
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Dalam sebuah kamar di rumah yang sederhana, seorang gadis yang bernama Kalea Caroline sedang duduk di meja belajar dengan tumpukan buku dan catatan yang berserakan. Matanya lelah, tetapi pikirannya masih berpacu dengan waktu. Ujian akhir sekolah sudah dekat, dan Kalea merasa semakin tertekan. Ia ingin sekali menjadi seorang dokter, tetapi jalan menuju cita-citanya terasa begitu panjang dan penuh rintangan.

“Kalea, kamu lagi serius banget ya belajarnya?” suara ibu  terdengar dari dapur. 

Kalea mengangguk tanpa menoleh. “Iya, Bu. Aku harus belajar banyak supaya bisa lulus dengan nilai bagus.”

Ibu muncul di pintu, membawa segelas air putih. "Kamu sudah makan?" tanya ibu dengan lembut.

“Aku sudah makan tadi siang, Bu. Tapi sekarang cuma mau fokus sama belajar,” jawab Kalea sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.

Ibu duduk di sebelahnya dan memandang Kalea dengan penuh perhatian. “Kamu sudah sering bilang tentang cita-citamu, jadi dokter kan? Kamu yakin jalannya udah jelas?”

Kalea terdiam sejenak. "Aku tahu, Bu, aku harus belajar dengan keras. Tapi kadang aku merasa ragu. Banyak teman-teman aku yang lebih pintar dan lebih siap, sementara aku... kadang merasa belum cukup."

Ibu tersenyum hangat. "Anakku, cita-cita itu memang tidak mudah diraih. Tapi kalau kamu terus berusaha dan tetap percaya diri jalan itu akan terbuka. Yang penting, kamu tidak boleh menyerah."

"Aku takut kalau gagal, Bu. Kalau aku tidak bisa masuk kedokteran, gimana?" Kalea mulai membuka perasaannya.

Ibu mengelus rambut Kalea dengan lembut. "Gagal itu bagian dari perjalanan. Kalau kamu jatuh, kamu akan belajar bagaimana bangkit. Yang penting, kamu harus terus berusaha. Dan jangan lupa, berdoa juga sangat penting."

Kalea menarik napas panjang. “Iya, Bu. Aku akan mencoba lebih fokus dan tidak takut gagal.”

Beberapa minggu kemudian, ujian masuk universitas pun tiba. Kalea merasa cemas, meskipun sudah belajar keras. Pagi itu, ia mengumpulkan semua keberanian untuk menghadapi ujian yang sangat menentukan masa depannya. Di sepanjang jalan menuju tempat ujian, Kalea berjalan dengan langkah gontai. Pikiran-pikiran tentang kemungkinan gagal terus menghantuinya.

Di tengah perjalanan, Kalea tiba-tiba mendapat pesan dari sahabatnya, Norin.

"Kalea, kamu pasti bisa! Jangan ragu, kamu sudah berusaha dengan maksimal. Aku percaya kamu bisa menjadi seorang dokter."

Kalea tersenyum tipis membaca pesan itu. Norin selalu tahu bagaimana memberi semangat. Mereka sudah berteman sejak kecil dan selalu berbagi mimpi yang sama.

“Terima kasih, Norin,” Kalea membisikkan kata-kata itu dalam hati, sambil terus melangkah menuju ruang ujian.

Beberapa minggu setelah ujian, Kalea menerima surat yang sangat ditunggu-tunggu. Dengan gemetar, ia membuka surat itu. Hatinya berdetak kencang. Matanya tertuju pada kata-kata di surat tersebut.

"Selamat, Anda diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Alexandria."

Air mata Kalea menetes begitu saja. Semua perjuangan, rasa ragu, dan ketakutan seakan terbayar lunas. Ia bisa merasakan kebahagiaan dan kelegaan yang luar biasa. Kalea mengambil telepon dan segera menelepon ibunya.

"Bu! Aku diterima di fakultas kedokteran!" suaranya penuh semangat.

Ibu yang mendengar kabar itu langsung menangis haru. "Kalea... kamu sudah berhasil. Ibu sangat bangga sama kamu."

"Aku tidak tahu harus bilang apa, Bu. Terima kasih sudah selalu mendukung Kalea," jawab Kalea dengan suara terbata-bata.

Hari pertama kuliah pun tiba. Kalea merasa gugup saat memasuki ruang kuliah besar itu. Di sana, ada banyak mahasiswa lain yang juga bercita-cita menjadi dokter. Kalea duduk di bangku yang kosong, membuka buku dan mulai mencoba menenangkan diri. Namun, perasaan cemas itu datang kembali. Ia merasa seperti bukan bagian dari mereka, ia seperti seorang pemula yang belum cukup siap.

Ketika dosen masuk dan mulai menjelaskan materi pertama, Kalea merasa semakin kecil. Semua mata tertuju pada dosen yang dengan percaya diri menjelaskan topik-topik kedokteran yang rumit. Kalea merasa kesulitan mencerna semuanya.

Setelah kuliah selesai, Kalea bertemu dengan Norin di luar ruang kuliah. Norin tersenyum lebar saat melihat Kalea.

"Bagaimana, Kalea? Tadi kelas pertama, kan?" tanya Norin dengan antusias.

Kalea menarik napas panjang, "Norin, aku... aku merasa aku tidak mengerti apa-apa tadi. Semua materi terasa sulit sekali. Aku khawatir kalau aku tidak bisa bertahan di sini."

Norin menepuk bahu Kalea dengan lembut. "Tenang, Kalea. Semua orang pasti merasa seperti itu di awal. Kamu baru mulai, kok. Semua butuh waktu. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Yang penting, kamu jangan takut untuk bertanya kalau tidak mengerti. Kamu sudah berusaha sampai di sini, dan kamu pasti bisa."

Kalea menatap Norin dengan penuh harapan. "Kamu benar, Norin. Aku harus lebih sabar dengan diriku sendiri."

Minggu demi minggu berlalu, Kalea mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus yang penuh tantangan. Di setiap ujian, ia merasa tertekan, namun ia belajar untuk tidak menyerah. Kalea selalu mengingat kata-kata ibunya, "Gagal itu bagian dari perjalanan." Ia mulai melihat kegagalan sebagai kesempatan untuk belajar, bukan sebagai akhir dari segalanya.

Di semester kedua, Kalea mulai merasa lebih percaya diri. Ia aktif bertanya kepada dosen dan teman-temannya, dan perlahan mulai memahami materi yang sulit. Kalea menyadari bahwa setiap langkah kecilnya menuju cita-cita sebagai seorang dokter tidak hanya tentang belajar keras, tetapi juga tentang belajar dari kegagalan dan berusaha lebih baik.

Suatu hari, saat Kalea sedang duduk di taman kampus, ia menerima telepon dari ibunya.

"Bu, aku baru selesai ujian praktek pertama. Rasanya sulit, tapi aku berhasil mengerjakan semuanya dengan baik," kata Kalea dengan penuh kebanggaan.

Ibu di ujung telepon tersenyum bahagia. "Ibu sangat bangga padamu, Kalea. Kamu sudah melalui banyak hal dan kini kamu semakin dekat dengan cita-citamu. Jangan pernah menyerah, ya."

Kalea menatap langit biru yang luas, merasa semakin yakin dengan jalannya. "Aku tidak akan menyerah, Bu. Aku akan terus berusaha sampai bisa menjadi seorang dokter."

Dengan tekad yang semakin kuat, Kalea melangkah maju, satu demi satu, menuju cita-citanya yang kini semakin dekat. 

Waktu terus berjalan, dan Kalea semakin menikmati perjalanan panjang menuju cita-citanya menjadi seorang dokter. Setiap hari di kampus, ia semakin bersemangat meski tantangan dan ujian semakin berat. Semakin banyak teori yang harus dipelajari, semakin banyak keterampilan yang harus dikuasai, dan semakin besar pula tanggung jawab yang harus ia pikul. Namun, di balik semua itu, Kalea merasa semakin yakin bahwa jalan yang ia pilih adalah jalan yang benar.

Pada suatu sore, setelah selesai kuliah dan pelatihan di laboratorium, Kalea duduk di bangku taman kampus sambil menyandarkan tubuh ke kursi. Di depan mata, langit sudah mulai menguning, menandakan matahari akan segera terbenam. Ia mengeluarkan ponsel dari tasnya dan membuka pesan yang baru saja diterima.

"Kalea, kita harus bertemu! Ada yang ingin aku ceritakan." tertulis pesan dari Norin. 

Kalea langsung membalas, "Oke, aku di taman kampus. Kapan kamu bisa datang?"

Tak lama kemudian, Norin muncul dengan senyum lebar, wajahnya penuh kegembiraan. "Kalea, aku baru dapat kabar baik!" kata Norin begitu duduk di samping Kalea. 

"Ada apa, Norin? Kabar apa?" tanya Kalea penasaran.

Norin menghela napas, tampak seperti ingin berbicara tentang sesuatu yang besar. "Aku diterima di rumah sakit untuk magang! Mulai minggu depan aku bisa bekerja langsung dengan para dokter. Ini adalah langkah pertama yang aku tunggu-tunggu."

Kalea terdiam sejenak, merasa bangga dan senang untuk sahabatnya. "Wow, Norin! Itu luar biasa! Aku tahu kamu pasti bisa."

Norin tersenyum, meski ada sedikit kecemasan di matanya. "Tapi... aku tidak bisa membohongi diri sendiri, Kalea. Aku merasa belum siap. Semua ilmu yang aku pelajari di kampus terasa masih sangat jauh dari kenyataan. Aku takut tidak bisa ikut berkembang dan malah membuat kesalahan."

Kalea menatap sahabatnya dengan penuh perhatian. "Norin, nggak ada yang langsung siap. Kalau kamu tidak berani mencoba, gimana kamu bisa tahu? Ingat kata-kata ibuku yang selalu kamu dengar, 'Gagal itu bagian dari perjalanan.' Kalau kamu takut gagal, kamu tidak akan bisa maju. Kamu sudah sampai sejauh ini, dan itu berarti kamu sudah siap. Sama seperti aku."

Norin terdiam sejenak, merenung dengan kata-kata Kalea. "Kamu benar, Kalea. Kadang aku lupa bahwa kita semua memulai dari titik yang sama, dan kita harus terus belajar. Terima kasih sudah mengingatkan aku."

Kalea tersenyum. "Kita berdua pasti bisa, Norin. Bersama-sama kita bisa menuju cita-cita menjadi seorang dokter, meskipun jalannya penuh rintangan."

Beberapa bulan berlalu, dan Kalea semakin merasakan tantangan nyata dari dunia kedokteran. Semester demi semester, ia terus berusaha memperdalam ilmu, memperluas wawasan, dan memperbaiki diri. Tentu saja, bukan hal yang mudah. Ada banyak momen dimana Kalea merasa kelelahan, frustrasi, dan ragu. Tapi setiap kali rasa putus asa datang, ia selalu ingat kata-kata ibunya, "Jangan takut gagal."

Suatu malam, Kalea duduk di depan komputer, menyelesaikan tugas terakhir untuk mata kuliah fisiologi. Ia merasa begitu lelah dan kesulitan mencerna semua informasi yang baru saja dipelajarinya. Semua orang tampaknya sudah bisa menguasai materi ini, sementara Kalea merasa tertinggal. 

"Kalea, kamu kenapa?" suara Norin terdengar dari sampingnya. Ternyata, Norin duduk di meja sebelah dan memperhatikan Kalea yang tampak tertekan.

Kalea menghela napas panjang. "Aku capek, Norin. Semua tugas, ujian, dan materi kedokteran... rasanya semakin berat. Kadang aku merasa belum cukup pintar, dan aku takut tidak bisa mencapai tujuan."

Norin mendekat dan duduk di samping Kalea. "Kalea, dengar ya. Jangan bandingkan dirimu dengan orang lain. Setiap orang punya kecepatan belajar yang berbeda. Kamu sudah sampai sejauh ini karena kamu berusaha keras. Kalau kamu terus berjuang, tidak ada yang tidak mungkin."

Kalea menatap sahabatnya, sedikit lebih tenang. "Tapi, kadang aku berpikir, bagaimana kalau aku tidak lulus ujian-ujian ini? Apa aku bisa jadi dokter?"

Norin tersenyum, kemudian berkata pelan, "Kalea, dokter itu bukan hanya soal nilai ujian. Tapi soal tekad dan keinginan untuk membantu orang lain. Kamu punya hati yang besar untuk itu. Cita-citamu bukan hanya untuk dirimu, tapi juga untuk orang lain. Itu yang akan membuatmu terus maju, bahkan saat ujian terasa sulit."

Kalea merasa kata-kata itu menyentuh hatinya. Perlahan, rasa takutnya mulai memudar. Ia menyadari bahwa keberhasilan bukan hanya tentang nilai atau seberapa pintar kita, tapi tentang ketekunan, kerja keras, dan niat yang baik. Ia harus percaya bahwa setiap langkah, sekecil apapun itu adalah kemajuan.

Waktu berlalu begitu cepat, dan akhirnya Kalea tiba di tahun terakhir kuliahnya. Segala pengetahuan yang ia pelajari, semua latihan dan ujian yang ia hadapi, kini akan diuji pada ujian OSCE untuk mendapatkan izin praktik sebagai seorang dokter. Ia sudah melangkah jauh dari gadis muda yang penuh keraguan di awal kuliah. Kini, ia merasa lebih siap, meski tetap ada sedikit rasa gugup.

Pada hari ujian OSCE, Kalea berdiri di depan ruang ujian, menatap pintu yang akan membawanya masuk ke dalam. Ia merasakan detak jantung yang kencang, tetapi kali ini ia tidak merasa takut. Ia tahu ia sudah berusaha keras untuk sampai ke titik ini.

"Saatnya kamu menunjukkan apa yang sudah kamu pelajari," bisik Kalea pada dirinya sendiri. "Aku pasti bisa."

Setelah berjam-jam ujian, akhirnya Kalea selesai. Hasil ujian itu akan diumumkan beberapa minggu kemudian, namun ia merasa lebih tenang. Ia tahu, apapun hasilnya, ia sudah memberikan yang terbaik.

Beberapa minggu kemudian, Kalea menerima surat yang sangat dinanti. Dengan gemetar, ia membuka surat itu dan membaca hasilnya.

"Selamat, Anda lulus ujian OSCE dan kini berhak menjalani profesi sebagai seorang dokter."

Air mata kebahagiaan kembali mengalir di pipinya. Kalea akhirnya berhasil mewujudkan cita-citanya. Semua perjuangannya, keraguan-keraguannya, dan tantangan yang ia hadapi kini terasa sangat berharga. Ia tahu bahwa ini adalah langkah awal untuk membantu orang lain, dan itu adalah tujuan yang lebih besar dari apapun.

Ketika ia menelepon ibunya, suara ibu yang penuh kebanggaan terdengar di ujung telepon. "Ibu sangat bangga padamu, Kalea. Kamu sudah berhasil melewati semuanya dengan hebat."

"Aku tidak bisa sampai di sini tanpa doa dan dukungan Ibu," jawab Kalea dengan suara penuh haru.

Dan dengan itu, Kalea tahu bahwa ini baru permulaan. Dunia kedokteran adalah perjalanan panjang yang terus berlanjut, dan ia siap untuk terus belajar dan memberi manfaat bagi orang lain.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Semesta
MiiraR
Cerpen
Perjalanan Meraih Cita-cita
Indah Komala
Skrip Film
Perfect Husband to My Sister
mahes.varaa
Flash
Anak dan Rel
2EZ4HVK
Novel
When The Darkness Becomes To The Light
Agid Zoe
Novel
Times New Romance
Rizkia Ow
Flash
Rahara
Andini Pradya Savitri
Novel
Biografi Koruptor
Kartika Catur Pelita
Skrip Film
Lima Tahun Pernikahan
Aprillia Ramadhina
Novel
Theory: The Reason I'm Single
Dhincaa
Novel
Bau Peapi
Reni Hujan
Novel
Orange Breeze
Cemung
Novel
KANVAS KOSONG
syafetri syam
Novel
Gold
Arah Musim
Bentang Pustaka
Novel
Sesuai Pesanan
Guns Gunawan
Rekomendasi
Cerpen
Perjalanan Meraih Cita-cita
Indah Komala