Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kubuka lagi ransel hitam yang berada di pangkuan, memastikan keberadaan sebuah cermin pecah yang telah kubungkus plastik masih ada di sana. Di sampingku, di kursi kemudi, Nina fokus menyetir Ford Ranger-kami dengan kecepatan rendah. Jalan di hadapan kami adalah jalanan berbatu, yang memanjang seperti tak ada ujung. Satu per satu rumah penduduk mulai menghilang, menampilkan lanskap padang tanpa bangunan. Kami memasuki kawasan North-Hill yang sepi tanpa penghuni.
“Jika aku jadi kau, aku takkan pergi ke sana,” ucap Nina setelah sekian lama bungkam.
“Nina, please. Kita sudah membahas ini di rumah.”
“Adam, itu hanya tebak-tebakanmu. Rasa bersalah telah menumpulkan logikamu. Kalaupun kau ke sana dan mengembalikan cermin itu, apakah ada jaminan kau akan pulang hidup-hidup?”
Aku mendesah. “Nina! Hanya ini caranya. Pikirkan dirimu, pikirkan Sam. Kau mau kita diteror seumur hidup?”
“Kita belum tiba di sana, Adam. Batalkan rencana gila ini!”
Dalam diam, kupandangi sorot lampu yang menembak lurus ke jalanan. Di kiri-kanan, mulai tampak pohon pinus dan tumbuh rapat menjulang. Tak lama lagi, kami akan tiba di North-Hill yang legendaris itu.
Ini adalah kesalahanku. Tidak, tidak. Sebenarnya Barry. Dialah yang memiliki ide itu lima belas tahun lalu, mengambil cermin antik di sebuah rumah tua, di tengah hutan North-Hill. Cermin itu berbentuk oval. Hanya seukuran telapak tangan orang dewasa. Namun bingkainya yang dari logam kekuningan itu berukiran sangat indah. Sungguh, aku tak tahu bahwa setelahnya ada harga yang harus kami bayar, harga untuk kejayaan yang telah kami peroleh.
“Tenang! Cermin itu kita pecahkan, kita bagi. Untukku, Josh, Adam, dan Phil. Aku yakin, yang diceritakan nenekku itu benar. Kita akan sukses bila kita memiliki cermin itu,” ucap Barry dahulu.
Memang benar. Aku berhasil menjadi trader sukses, menikahi Nina Shirley—seorang model ternama, membeli dua flat, dan memiliki satu anak laki-laki yang lucu. Barry punya belasan kasino di California. Josh, jaksa terkenal di Alaska. Lalu Phil, dia dokter bedah plastik di LA. Kami, remaja miskin dari Desa Ravenridge, berubah kaya dalam waktu singkat.
Apakah kesuksesan yang kami peroleh memang karena cermin itu? Entahlah. Satu hal yang kutahu pasti, ketiga temanku tewas mengenaskan, selalu tiga hari sebelum ulang tahun mereka yang ke-31. Meski penyebab tewas mereka itu bermacam-macam, yang kutahu adalah selalu ada pecahan cermin di setiap kejadiannya.
Mobil kemudian berhenti tepat di sisi jalan. Di sebelah kami, North-Hill membentang luas. Langit Chicago mulai gelap tetapi masih menyisakan senja.
“Kita sampai,” ucap Nina. Dia segera mengeluarkan senter dan sebuah pistol dari laci mobil. “Ayo!”
Segera kupegang lengan Nina. “Kau tetap di sini. Jangan melangkah satu inci pun.”
“Adam, bukankah kita sepakat untuk menghadapi ini sama-sama?”
Aku menggeleng.
“Kau ... benar-benar keterlaluan! Aku sungguh benci kau!”
Kutinggalkan Nina yang sedang terisak. Aku pun sebenarnya takut.
North-Hill adalah gugusan hutan hujan dengan berbagai pepohonan yang tumbuh rapat, gelap, dan lembab. Kondisinya masih sama ketika Barry, dahulu, memimpin petualangan. Siang itu kami berbohong kepada orang tua kami. Padahal, sekolah sebenarnya tak pernah meminta sampel dedaunan liar.
Kini, di depanku, hutan North-Hill menyambutku dengan segala sesuatu di dalamnya. Setelah puluhan mil menempuh perjalanan, dua kali ban meledak, serta mobil yang padam tanpa sebab, akhirnya aku tiba. Kuraih ransel beserta sebuah pistol yang disiapkan Nina. Arloji menunjukkan pukul tujuh malam dan besok adalah tiga hari sebelum hari ulang tahunku.
Kerisik daun-daun kering yang kupijak menjadi satu-satunya suara di hutan itu. Tak ada lagi kicauan burung. Aku terus melangkah di jalan setapak yang tertutup oleh semak rendah. Kuarahkan senter untuk mempermudah langkah. Bermenit-menit aku berjalan dengan perasaan tak menentu. Rasa takut dan kewaspadaan terus menggerayangi benak. Berkali-kali aku menoleh ke belakang, ke kiri, dan ke kanan. Kurasa seperti ada banyak mata yang menyaksikan. Namun, tak ada siapa pun di sana. Di hutan itu, aku benar-benar sendirian. Untungnya, dari kejauhan, rumah yang kutuju mulai terlihat.
Kudaki lima anak tangga, di serambi rumah itu. Tak terlalu sulit karena ternyata kayunya masih kokoh. Bungkusan cermin kugantung erat di tangan kiri. Lalu, dengan kaki, kudorong pintu rumah perlahan. Tak ada derit. Semuanya gelap. Bau apak dan bau bangkai—kurasa tikus—langsung menyeruak, menusuk penciumanku. Segera kuarahkan senter ke dalam rumah.
Aku terlonjak. Jantungku serasa meloncat keluar.
Cahaya senter menyorot tubuh anak kecil, sepertinya laki-laki, yang sedang berdiri membelakangiku. Rambutnya dipotong pendek. Dia mengenakan piama panjang, entah biru muda, entah abu-abu. Seingatku, sejak dahulu, rumah ini tak pernah memiliki penghuni. Semua orang di Ravenridge tahu itu.
Dengan langkah mundur, aku menjauh dari anak itu. Aku lalu berdiri di halaman. Satu tanganku meraba pistol di pinggang.
“Halo ....” Aku berusaha menyapanya meski suaraku serak.
“Halooo ... Hihihiii!” sahut anak itu dengan tawa khas anak kecil. Suaranya mengambang di udara.
Syukurlah, hanya anak-anak.
“Aku Adam. Aku ingin mengembalikan cermin yang kuambil dari rumah ini bertahun-tahun lalu,” ucapku buru-buru.
“Ohhh ... jadiii, kau yang telah mencuri hartaku yang paling berharga?!”
“Itu kesalahanku. Maafkan aku.” Aku masih di posisi siaga.
“Ketiga temanmu itu ... sudah mati, kan? Hihihiii!”
Aku menelan ludah. Tidak mungkin. Bagaimana anak itu tahu?
“Dengar, aku kemari untuk mengembalikan cermin milikmu. Dan, kuharap kau berhenti mengganggu kehidupanku lagi!”
Hening. Tak ada jawaban. Aku bergidik. Tengkukku terus-menerus berdesir.
“Halooo...,” ucapku. Anak itu masih berada di dalam rumah.
“Kau telah mengambilnya dalam keadaan utuh, dan sekarang cermin itu pecah. Beraninya kau!!!” sahut anak itu dengan nada tinggi. Kali ini tak ada lagi tawa. Suaranya menggema, memecah keheningan hutan. Kepak sayap kelelawar terdengar di belakangku.
Kurasakan paru-paruku mulai menyempit.
“Maaf. Itu ide temanku.”
“Dan, Barry yang malang itu, akhirnya pecahan kaca menusuk jantungnya. Hihihi!”
Aku tak bertanya dari mana dia mengetahui itu. Tapi, jika dia tahu soal Barry, itu artinya dia juga tahu kematian Josh, Phil, dan mungkin juga kematianku.
“Ini cerminmu. Aku kembalikan. Kuletakkan di sini dan kau bisa mengambilnya sendiri.” Kutaruh cermin itu tepat di dekat kakiku.
“Tidak ... Tidaak. Kau mengambil cerminku dari dalam rumahku. Kembalikanlah dengan benar. Hihihiii!”
‘OK. Letakkan cerminnya lalu pulang. Selesai.’ Aku membatin.
“Baiklah, akan kuletakkan di tangga.”
Aku berjalan mendekati rumah.
“Lebih dekat lagi,” ucap suara itu.
Meskipun takut, aku tetap maju selangkah, makin dekat dengan pintu.
“Lebih dekat lagi, tolong! Tanganku kecil. Aku tak bisa menjangkaunya. Hihihiii!”
Baiklah, selangkah lagi. Aku maju perlahan lalu menunduk untuk memindahkan cermin itu tepat di bawah pintu.
“Hihihihiii! Kena kau!”
Suara cekikikan itu makin besar, melengking memecah telinga. Aku lalu menengadah. Sebuah mulut super besar, penuh gigi-geligi runcing berada tepat di wajahku. Meski pandanganku mendadak kabur, sebelah tanganku masih sempat meraih pistol.
Doorr!
Satu peluru terlepas. Aku memejam.
Sial!
Aku benar-benar merindukan Barry, Josh, dan Phil.