Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Peringkat Palsu
0
Suka
113
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

 Aku tidak percaya melihat kertas di hadapanku. Angak enam dan tujuh mendominasi kolom-kolomnya. Angka delapannya hanya satu, di baris Bahasa Inggris. Masih bagus tidak ada angka lima di kolom nilai. Ada pun, apa pengaruhnya? Aku sudah kelas tiga SMA. Program Bahasa. Tahun depan, aku akan kuliah. 

Namun kotak peringkatku kosong. Ini yang membuatku gelisah. Aku biasa masuk 10 besar sejak SD. Malah pernah eberapa kali meraih peringkat satu di kelas. Seringnya lima besar. Kalau sial, 10 besar. Sekarang?

Bahkan peringkat 10 besar pun tidak masuk. Aku tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi. Perasaan, aku bisa mengikuti semua pelajaran di kelas. Memang, sih, aku sering mengantuk saat mata pelajaran Sejarah Budaya. Bukan salahku. Pak Sigit, guru Sejarah Budaya, jarang masuk kelas dan mengajar. Kadang-kadang kalau teman-temanku yang laki-laki membujukknya untuk tidak masuk dan memberinya dua batang rokok, Pak Sigit menuruti kemauan mereka.

Kelemahanku yang lain sebagai anak bahasa adalah daya analisisku rendah. Setiap kali mata pelajaran sastra, baik Sastra Indonesia maupun Sastra Inggris, aku tidak pernah teliti menganalisis karya sastra. Mau puisi atau cerpen, sama saja. Aku suka membaca, tetapi tidak suka mengkaji. Aku lebih berminat menulis agar bisa menuangkan khayalan-khayalanku.

Untuk mata pelajaran Bahasa Prancis, aku kesulitan mengucapkam huruf-huruf dan kosa katanya. Juga mentasrifkan kata kerja ke dalam berbagai bentuk. Aneh, aneh sekali bahasa yang kata orang romantis itu. Aku bertekad tidak akan belajar bahasa itu lagi. Rencanaku, kalau kuliah aku akan memilih jurusan Sastra Inggris, dengan peminatan linguistik.

Faktor lain yang menyebabkan aku tidak masuk 10 besar di kelas adalah karena kebanyakan main. Anak-anak Kelas Bahasa memang sinting semua. Setiap jam kosong, kami membuat keributan dengan mengadakan konser musik. Seorang temanku yang bercita-cita jadi musisi selalu membawa gitar ke sekolah. Aku yang senang menyanyi lantas membawakan lagu-lagu favoritku sambil berdiri di atas meja, diiringi petikan gitar temanku. Beberapa temanku juga mengingiringi nyanyianku dengan memukul meja. Pura-puranya itu perkusi. Ada juga yang jadi penyanyi latar. Sisanya, jadi penonton yang mengelu-elukan idolanya. Meriah sekali.

Awalnya guru-guru menegur kami dengan mata mereka yang melotot. Apalagi, kelas kami dekat sekali dengan kantor guru. Keributan sekecil apapun terdengar ke sana. Kami tidak pernah kapok mengulangi kegiatan yang sama yang membuat guru-guru itu akhirnya malas menegur kami.

Hampir setiap pulang sekolah, aku main ke rumah teman. Curhat, ngobrol ngalor-ngidul sampai sore. Malamnya, aku menulis jurnal, sebuah kebiasaan yang sudah kulakukan sejak SD. Kadang aku menulis puisi dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. Yah, tergantung mood-ku saat itu.

Aku merasa hari-hariku begitu padat demi mengisi masa remaja yang ceria. Namun aku tidak mengira hal itu berpengaruh cukup besar terhadap prestasiku di kelas.

Jadi begitu melihat baris peringkatku kosong, aku syok. Apa yang harus kulakukan agar kedua orang tuaku tidak marah? Terutama ibuku. Aku punya saudara sepupu yang seumuran. Kami sama-sama perempuan. Bedanya, dia masuk program IPS. Sejak kecil, ibu selalu membanding-bandingkanku dengannya. Sialnya, sepupuku itu selalu lebih beruntung dariku dalam hal akademis. Padahal aku tahu dia sering menyontek setiap ulangan.

Raport yang kuterima ini adalah raport bayangan alias raport sementara. Di caturwulan dua, akan ada perbaikan nilai. Seharusnya aku tidak perlu khawatir kalau nilai-nilaiku jelek. Akan ada kesempatan untuk memperbaiki.

Tetapi, aku ragu orang tuaku bakalan mengerti. Ibuku pasti akan membanding-bandingkanku dengan sepupuku. Tidak peduli kami beda kelas dan program. Ayahku juga pasti akan kecewa karena aku tidak lagi jadi murid yang pintar. Ah, aku harus berbuat sesuatu agar raportku ini terlihat bagus.

Sebuah ide melintas di benakku setelah wali kelasku selesai membagikan raport kami dan keluar kelas. Kuambil pensil dari dalam tasku (aku selalu membaca notes dan alat tulis ke mana pun dan acara apapun), dan kutulis angka empat di baris peringkat di raportku. Aku yakin, dengan cara ini orang tuaku tidak akan marah padaku.

***

Ibu membaca raportku dengan saksama. "Rangking empat, ya. Terakhir waktu kelas dua rangking berapa?" tanya ibuku.

"Tiga. Jangan dibanding-bandingkan, Bu. Kan, beda," pintaku. "Sekarang pelajarannya lebih spesifik sesuai program yang kuambil. Dan Kelas Bahasa cuma satu kelas jadi tidak bisa disbanding-bandingkan dengan kelas lain,” jelasku panjang lebar, sebagai antisipasi agar ibuku tidak menyebut-nyebut nama sepupuku lagi dan membanding-bandingkan kemampuan kami.

Ibu mengangguk-angguk, “Ya, sudah. Sana, tunjukkan raportmu pada ayahmu. Sekalian bawa pulpen.”

Aku meninggalkan ibuku sambil mengelus-elus dada. Selamat, selamat. Tinggal ayahku, nih.

Aku menyetorkan raportku dengan perasaan cemas. Kupikir, tidak akan ada lagi masalah. Soal peringkat, aku, kan, masuk lima besar. Tetapi bagaimana dengan nilai-nilainya? Dengan angka delapan yang hanya satu, ayah pasti mempertanyakan nilai-nilaiku yang lain. Dan aku jadi ragu ayah akan percaya, dengan nilai-nilai yang pas-pasan seperti itu, pantaskah aku meraih peringkat keempat?

Ayah menerima raportku dan meletakkannya di atas meja. Telunjuknya menelusuri setiap baris nilai pelan-pelan, seakan tidak mau sampai salah lihat nilai-nilaiku. Ayah lebih telitis daripada ibu. Namun kelebihannya, beliau tidak pernah ngomel-ngomel seperti ibu. Kalau aku salah, paling-paling ayah akan menegurku pelan-pelan.

“Mana pulpennya?”

Kusodorkan pulpenku. Ayah membuka tutupnya dan membubuhkan tanda tangan.

Selesai sudah ritual menegangkan ini. Baik ayah maupun ibu, tidak ada yang membahas nilai-nilaiku, apalagi peringkat. Apakah mereka cukup puas dengan rapotku, atau diam-diam heran sengan nilai-nilaiku yang tidak bagus itu? Aku tidak tahu.

***

Pak Iman, wali kelasku, meminta kami mengumpulkan raport di hari pertama masuk sekolah di catur wulan dua. Aku sudah menyiapkan buku-buku dan raportku sejak hari minus satu masuk sekolah lagi. Langkahku terasa enteng karena tidak ada beban apapun yang harus kutanggung selain belajar serius untuk memperbaiki nilai dan bekal ujian nanti.

Kuletakkan raport bayanganku di atas tumpukan raport teman-temanku dan kembali ke bangku. Belum juga aku duduk, Pak Iman memanggil.

"Audrey, seingat saya kamu tidak masuk 10 besar. Tapi kenapa di sini ditulis kamu rangking empat, ya? Pakai pensil lagi," tanya Pak Iman seraya memegang raport bayanganku.

Jantungku mendadak berdegup cepat. Kakiku lemas. "Oh... ng... mungkin... Mungkin bapak salah tulis..." jawabku ragu.

Pak Iman terus memperhatikan raportku. Teman-temanku mengeluarkan ekspresi bingung mereka. Tak satu pun dari mereka yang tahu perbuatanku memalsukan peringkat. Aku merasa wajahku memanas saat teman-temanku menoleh padaku. Aku hanya bisa mengangkat bahu dan mengeluarkan eskpresi keheranan seperti mereka.

Pak Iman meletakkan kembali raportku di atas tumpukan raport teman-temanku. “Perbaikan nilai akan dimulai minggu depan. Jangan lupa belajar, ya,” katanya kepada kami.

Sampai akhir jam pelajaran Sastra Indonesia hari ini, Pak Iman tidak menyinggung-nyinggung lagi soal peringkatku. Namun selama beliau mengajar, aku tidak fokus. Aku menyesali keteledoranku yang lupa menghapus angka empat di baris peringkat di raportku. Padahal aku sengaja menulisnya menggunakan pensil agar bisa dihapus sebelum dikumpulkan.

Sampai berhari-hari berikutnya pun Pak Iman tidak pernah membicarakan peringkat palsuku. Dan tidak ada pengaruh apa-apa terhadap raport dan ijazahku. Namun, rasa maluku tidak bisa hilang. Bahkan sampai aku masuk kuliah.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Peringkat Palsu
Rie Yanti
Komik
Bakwan jagung
Melinda Sintawati
Cerpen
Terajana (Teras Janda Muda)
Ragiel JP
Cerpen
Celana Dalam yang Hilang
Nadya Wijanarko
Cerpen
Bronze
Catatan Mas Doni
Emma Kulzum
Komik
Candra Tawa
Uniipia
Cerpen
Akew yang Tersakiti
E. N. Mahera
Komik
Silly Home
Cradosaur
Cerpen
Bronze
Menjadi Madu Mafia Kurang Akal
Yona Elia Pratiwi
Komik
Bronze
AFTER 18
Agam Nasrulloh
Flash
Ghina, Ayo Move On!
Yooni SRi
Flash
Papa Pungut
Lovaerina
Flash
DIPAKSA DEWASA
lany hardila
Flash
Ayam kampus
Bungaran gabriel
Flash
Katanya, Bisa Cantik Karena Bedak
Dita Xian
Rekomendasi
Cerpen
Peringkat Palsu
Rie Yanti
Cerpen
Ami Sakit Perut
Rie Yanti
Flash
Memotret Hujan
Rie Yanti
Flash
Bolu untuk Awan
Rie Yanti
Cerpen
Sehari Sebelum Melati Masuk Sekolah
Rie Yanti
Cerpen
Kakek yang Suka Duduk di Tepi Jalan
Rie Yanti