Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku menyesap Cappuccino-ku yang kedua hari ini. Bukan Cappuccino mahal buatan kafe. Tapi iklan kopi sachet-an ini sendiri menjanjikan racikan kopinya tidak kalah dengan kopi yang ada di kafe-kafe. Aku menjadwalkan diri agar minum kopi hanya sekali sehari. Tapi hari ini aku harus bekerja ekstra di luar jam kerja. Tidak ada gaji tambahan. Ini sebatas loyalitas. Dan saat ini, aku mana bisa megandalkan satu-satunya rekan kerjaku, Gerry, yang faktanya menyerahkan semua tanggung jawab padaku saat bos memutuskan kami akan membuat film pendek berseri yang naskahnya kutulis sendiri.
"Pokoknya, gue ikut lo ya," ujar Gerry seolah tidak mau disalahkan jika ada hal buruk yang terjadi nanti. Sebelum salah satu series yang naskahnya kutulis menempati trending empat puluh di YouTube, aku yang harus selalu mengikutinya, mengikuti Sasha, bos kecil kami yang masih berusia enam belas tahun, juga Bu Clarissa, ibu Sasha, bos besar kami semua. Karena watakku dan Gerry bertolak belakang—aku perempuan yang agak tomboi, dan dia laki-laki dengan sifat feminin yang dominan—kami menjadi kombinasi yang cocok untuk bertengkar setiap hari. Sasha menyebut kami Tom 'n Jerry.
Sebelumnya juga, Arsih, aktris dadakan yang sebenarnya adalah salah satu pegawai toko Bu Clarissa, bahkan tidak segan-segan mem-bully-ku.
"Kamu sebenernya bisanya apa? Syuting nggak bisa. Ngedit video katanya kamu juga nggak begitu bisa, kan?" Aku hanya diam saat dia mengatakan hal itu. Karena bagaimanapun, tidak ada yang salah dengan pernyataannya itu. Aku memang masih baru sebulan bekerja saat itu. Tapi tentunya, mereka membutuhkan seseorang yang lebih professional untuk bekerja. Bukannya yang asal ambil kesempatan agar tidak jadi pulang ke kampung halaman sepertiku.
Tapi sekarang, keadaan berbalik. Dan aku yang tidak pernah berniat membalas dendam, membuat Arsih tertekan karena kewalahan harus menghafal skripku—yang sebenarnya, dia tidak benar-benar menghafalkannya, dan hanya perlu mengulang apa yang kukatakan di depan kamera. Aku sampai membujuknya dengan memberikan uang syutingku karena dia menangis, tidak mau ikut dalam episode terakhir series sebelumnya.
Tapi aku tidak punya pilihan lain sekarang. Saat memutuskan mengajukan naskah lain pada Bu Clarissa, aku harus bertanggung jawab pada semua hal yang mungkin terjadi. Gerry hanya seorang admin toko yang diminta beralih profesi sebagai kameramen, sekalipun dia mengambil gambar dengan cukup baik, dia tetap tidak banyak tahu soal produksi film. Dan aku penulis pemula yang membanting stir, mencoba peruntungan sebagai editor video—tidak ada seorang pun dari kami yang bisa menjamin segalanya berakhir dengan baik.
Sekarang, jam dua belas malam, dan aku masih duduk di depan laptop membuat Script Breakdown Sheet. Bagaimana aku bisa membagi pekerjaan ini pada Gerry?
"Duh. Ngapain juga pake ini. Nggak usah lah, Mbak." Barangkali itu yang akan dikatakannya dulu. Tapi sekarang barangkali, "Gue ikut lo. Tapi kalo yang satu ini, gue tetep nggak mau ikut. Gue apa kata lo. Oke?"
Setidaknya, untuk project ini, aku sudah mencari tahu di internet, tentang apa saja yang dibutuhkan untuk membuat sebuah film.
Aku sudah mulai mengantuk. Efek kopi yang kuminum enam jam yang lalu sudah hilang, digantikan perasaan cemas. Tapi karena akhir-akhir ini aku kurang tidur, rasa kantuk lah yang memenangkan pertarungan ini. Aku mematikan lampu ruang tamu, bergegas ke lantai dua, di mana kamarku berada di dalam rumah Sasha yang besar ini.
*****
"Mbak. Temenin dong!" kata Sasha sambil menyisir rambutnya yang pirang dan panjang.
"Ke mana?"
"Ke salon! Aku mau treatment " jawabnya.
"Bentar ya," kataku meminta waktu bersiap-siap.
"Kita jalan aja ya, Mbak. Nggak jauh kok dari sini," katanya saat kami sudah di depan gerbang rumah. Aku menurut saja, menyusuri komplek perumahan sepi yang mulai gelap itu—sudah jam enam lebih.
"Kalau pakai ini, trus ada getaran, dia bakal stabil lagi," katanya saat mendemokan cara kerja kamera mini yang menyatu dengan stabilizer itu.
"Iya," komentarku saat melihat hasilnya.
"Nanti, kita buat videonya pakai ini aja, Mbak."
"Video apa?" tanyaku.
"Aku mau nyanyi. Mbak yang main gitar!"
Apa?! "Jangan lah, Sha! Aku nggak gitu bisa main gitarnya."
"Nggak apa-apa. Ayolah?"
Sial banget nasib, rutukku dalam hati. Sial karena ini bagian dari pekerjaan. Aku memang bisa menolak permintaannya untuk ikut jualan takjil waktu Ramadhan, tapi membuat konten jelas-jelas masuk ke ranah pekerjaanku.
"Mau nyanyi lagu apa?"
Dia mulai menjelaskan sepanjang jalan kami menuju salon—yang kalau dipikir-pikir, pasti jaraknya sekitar satu kilo meter. Naas, saat sampai di tempat tujuan, Sasha malah bingung.
"Loh. Waktu itu salonnya di sini," Dia menunjuk satu bangunan.
"Waktu itu kapan?"
"Sekitar enam bulan lalu." Dia teramat yakin. "Kok nggak ada sih sekarang?"
"Jangan-jangan pindah," tukasku.
"Yah ...."
Sasha bertanggung jawab dengan membeli es kelapa muda. Sebagai gantinya, dia meminta pulang jalan kaki saja. Satu kilo meter lagi.
"Nggak apa-apa itung-itung olah raga malam," katanya cekikikan.
Aku hanya bisa menghela napas menghadapi bos kecilku ini.
Belum lagi saat dia minta ditanyakan harga jajanan yang ada di pinggir jalan.
"Nggak jadi deh, Mbak."
Astaga, Sasha! Mending kalau belum tanya harga. Bener kata orang. Orang kaya mah bebas.
Nasib berikutnya menungguku dalam suatu perjalanan menggunakan mobil Bu Clarissa.
"Rani, kamu belajar ya jadi Manager Sasha."
Aku tersentak. Tidak langsung menjawab. Bos kecil yang saat ini duduk di depan, di samping ibunya yang menyetir itu suka melakukan hal-hal absurd, tak jarang merepotkan. Tapi aku menerima tawaran itu karena kadang aku juga tak kalah absurd. Mungkin kami bisa bekerja sama.
Tapi, entah angin mana yang membawa kabar itu tersebar, sikap orang-orang di sekitarku mulai berubah. Mendadak, aku mendengar sendiri dari Gerry, bahwa setelah project baru kami selesai, dia akan resign. Begitu juga Arsih, yang memikirkan untuk ikut juga. Memangnya kau mau dipimpin orang yang pernah kau bully?
Tapi, bukankah Bu Clarissa memintaku menjadi manager Sasha, bukan mereka?
Entahlah. Aku tidak tahu. Mungkin mereka tidak suka melihatku berada di posisi yang lebih baik. Apa iya sikap idealisku pada pekerjaan sama sekali tidak ideal bagi mereka? Sehingga mereka tidak ingin berada terlalu dekat denganku? Apa aku terlalu kejam?
Aku tidak mengerti. Aku sendiri setengah hati menerima tanggung jawab mencarikan job itu, karena lebih suka fokus menggarap film saja. Tapi aku mengingatkan diri sekali lagi. Ini bagian dari pekerjaan.
*****
"Malang?" ulang Arjuna. "Aku dari Madura," lanjutnya.
"Oh ya?" Bagaimana bisa aku percaya? Bahkan Gerry juga setuju, tampang Arjuna seperti oppa-oppa Korea. Ini pertama kalinya Bu Clarissa mau mengeluarkan uang lebih untuk membayar lawan main Sasha yang faktanya seorang Selebgram.
"Dia punya banyak followers, Bu. Kalau followers-nya nonton juga. Jumlah penonton kita pasti lebih banyak." hasutku. Kata-kata itu ternyata ampuh.
"Duh. Nggak mungkin mau ibu bayar segitu," komentar Gerry setelah tahu.
"Udah kok."
"Udah apa?"
"Udah deal."
Gerry tercengang. Tapi dia sendiri sudah memintaku tidak mengikutkannya dalam drama ini. Dia hanya mau jadi kameramen, tidak merangkap pemain. "Tau gitu gue aja yang main," tukasnya hampir tertawa.
"Tapi, dia beneran nggak bisa main drum," kata-kata Putra, manager Arjuna, mengembalikanku ke masa kini.
"Nggak apa-apa," kataku saat kembali melihat Arjuna. "Pukul aja sesukamu nanti aku yang edit."
Saat ini kami sedang menunggu bos kecilku bersiap-siap. Kami akan pergi ke lokasi syuting bersama, ke studio musik terdekat.
Gerry baru saja menghentikan motornya di luar pagar.
"Nih. Udah lengkap," kata Gerry saat menyerahkan foto copy print out skenario untuk masing-masing pemain padaku. Dia tersenyum menyapa Putra, kemudian menyusulku masuk ke dalam rumah, menyelesaikan tugas kami. Sejak bangun hari ini aku sibuk sendiri, khawatir jika ada sesuatu yang terlewat. Membangunkan Sasha, menyiapkan pakaiannya, kamera, properti, naskah. Astaga! Ini belum tugas seorang manager.
Manager serabutan, batinku.
*****