Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Panas matahari yang samar menerobos kain robek yang melapisi dinding-dinding sebuah bangunan tua. Seorang pria terbangun dari kantong tidur yang lusuh, tubuhnya tertutup debu dan rasa dingin yang aneh. Matanya terbuka perlahan, menatap langit-langit retak yang dipenuhi jaring laba-laba dan bercak kehitaman. Di sekitarnya, hanya ada keheningan yang memekakkan, seperti dunia telah menarik napas terakhirnya dan tak lagi peduli.
Dia bangkit dengan gerakan kaku, mendapati kantong tidur itu terbaring di atas lantai beton yang penuh retakan. Kepalanya berdenyut, dan pikirannya kabur. Tidak ada ingatan jelas tentang bagaimana dia bisa sampai di sini, hanya kilasan cahaya terang dan suara gemuruh jauh di belakang pikirannya.
Dia memandang sekeliling. Gedung ini dulunya mungkin pabrik atau gudang, tapi kini hanya tinggal kerangka; dinding-dindingnya bolong, besi-besi berkarat menjulur seperti tulang dari luka terbuka. Sebuah tas kecil tergeletak di dekatnya. Dia meraihnya dan membuka isinya. Di dalamnya hanya ada botol air kosong, kompas yang jarumnya tak bergerak, dan selembar kain yang tidak dikenalnya.
Dia berdiri, kaki gemetar, dan melangkah ke arah pintu besar yang terbuka setengah. Angin membawa aroma tanah kering dan sesuatu yang busuk, tetapi tidak ada suara—tidak ada burung, tidak ada angin yang berbisik di antara pepohonan, tidak ada kehidupan.
Ketika dia melangkah keluar, dia mendapati dunia yang sama sekali asing. Langit kelabu menggantung rendah, seolah menindih puing-puing bangunan dan jalanan yang retak. Di kejauhan, reruntuhan kota berdiri sunyi seperti kuburan raksasa. Dia berdiri diam, membiarkan keheningan melingkupinya. Perlahan, kenyataan mulai meresap: dia sendirian di dunia ini.
Langkah-langkahnya bergema samar di antara puing-puing jalan yang retak. Setiap langkah terasa berat, seolah gravitasi di dunia ini lebih kuat daripada yang seharusnya. Dia berjalan tanpa tujuan yang jelas, hanya mengikuti dorongan insting yang terus mendorongnya maju.
Di sisi jalan, ada sisa-sisa kehidupan yang pernah ada. Sebuah mobil berkarat dengan pintu yang terbuka menganga, joknya hancur digerogoti waktu. Sebuah toko kecil berdiri miring dengan kaca jendela pecah, rak-raknya kosong, hanya menyisakan kaleng-kaleng penyok berlapis debu. Dia melangkah masuk, berharap menemukan sesuatu yang berguna, tetapi hanya disambut bau apak dan udara mati.
Tangannya menyentuh benda-benda yang dulu punya makna—boneka anak kecil yang kehilangan satu mata, bingkai foto dengan gambar yang memudar, sebuah jam dinding yang berhenti di pukul 3:17. Tapi semuanya sekarang hanya artefak dari dunia yang telah hilang, seperti monumen bisu yang berbicara tentang kehilangan.
Dia terus berjalan, sesekali berhenti untuk mendengarkan. Tapi tidak ada suara, tidak ada angin yang membawa tanda kehidupan. Hanya sunyi yang terasa semakin pekat, menekan dadanya. Dia berbicara sendiri, mencoba mengusir rasa takut yang perlahan menyusup.
"Ada orang lain di sini," katanya, lebih seperti doa daripada keyakinan. Tapi gema suaranya hanya kembali tanpa jawaban.
Di tengah jalan, dia menemukan selembar kertas kusut yang tertiup angin lemah. Dengan hati-hati, dia meraihnya dan membaca tulisan yang hampir tak terbaca: “Peringatan setahun berlangsungnya perang benua.” Dia menatap kata itu dan isi yang tertulis kecil di bawahnya lama, sebelum akhirnya mengantongi kertas tersebut.
Langit mulai menggelap, tapi dia terus berjalan, berharap—atau mungkin takut—menemukan sesuatu.
Langkah-langkahnya semakin pelan, seolah setiap tapakan mengikis sedikit demi sedikit kekuatan dalam dirinya. Dunia di sekitarnya tidak berubah; puing-puing gedung masih berdiri seperti sisa-sisa luka yang enggan sembuh, dan jalanan tetap sunyi. Dia berhenti di tengah jalan yang retak, lututnya lemas, lalu merebahkan dirinya di aspal yang tertutup debu..
“Kenapa aku di sini?” suaranya pelan, nyaris berbisik. “Kenapa aku satu-satunya yang tersisa?”
Dia mengangkat wajahnya, menatap langit kelabu yang berat. Tidak ada jawaban, hanya awan yang menggantung rendah seperti ingin menghimpit segalanya. Dia menekan pelipisnya dengan kedua tangan, mencoba mengingat apa pun yang bisa memberinya kejelasan. Tetapi kenangan hanya muncul sebagai pecahan-pecahan tanpa makna—tawa yang memudar, wajah-wajah yang tak bisa ia kenali lagi, suara gemuruh yang terlalu jauh untuk dijangkau.
“Apa yang kulakukan sebelum ini?” Dia berbicara kepada dirinya sendiri, suaranya gemetar di udara yang dingin. “Apa aku….” Pikirannya berputar tentang banyak kemungkinan.
Keheningan menjawabnya, seperti biasa. Dia tertawa kecil, getir. “Tentu saja tidak ada yang akan menjawab. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada apa-apa.”
Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Tetapi yang muncul justru rasa kosong yang semakin besar, mengisi setiap sudut dirinya. Tangannya menggenggam kertas lusuh yang ia temukan sebelumnya. Matanya membaca lagi kata-kata yang mulai pudar: “Peringatan setahun berlangsungnya perang benua.”
“Akhir, ya?” Dia tersenyum pahit, lalu membuang kertas itu ke tanah. “Apa bedanya? Dunia ini sudah mati. Aku hanya... bagian terakhir yang tertinggal.”
Suaranya semakin pelan, hampir tidak terdengar. “Mungkin ini hukuman. Atau mungkin ini hadiah. Aku tidak tahu lagi.”
Dia menatap cakrawala yang kosong. "Kalau begini rasanya hidup tanpa siapa pun... apa gunanya bertahan?" Matahari di kejauhan mulai terbenam, meski langit tetap kelabu. Dia terdiam, membiarkan pikirannya terombang-ambing di antara penyesalan dan keputusasaan.
Malam mulai turun perlahan, membawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Dia masih duduk di tengah jalan, tubuhnya diam seperti patung yang ditinggalkan. Di sekitarnya, bayangan gedung-gedung runtuh merayap panjang, seolah dunia ini sedang bersiap menyelimuti segalanya dengan kehampaan.
Dia menarik napas dalam-dalam dan membiarkan udara dingin itu memenuhi dadanya. Kali ini, tidak ada rasa takut, hanya ketenangan yang aneh. Perlahan, dia berdiri, membiarkan tubuhnya yang lelah menyeimbangkan diri. Tatapannya tidak lagi dipenuhi kegelisahan, tapi kepastian.
“Kalau memang ini akhirnya, aku ingin memilih bagaimana aku menghadapinya,” gumamnya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan doa.
Dia berjalan kembali ke tempat di mana semuanya dimulai—kantong tidur lusuh yang kini terasa seperti satu-satunya tempat yang masih "miliknya." Langit di atasnya mulai memudar ke hitam pekat, bintang-bintang tetap absen, seperti dunia ini bahkan telah melupakan keindahan.
Dia berbaring di kantong tidur itu, menatap ke langit untuk terakhir kali. Tidak ada rasa marah, tidak ada penyesalan. Hanya ada penerimaan yang dalam. Dalam diam, dia membiarkan pikirannya melayang ke arah kenangan-kenangan samar yang sebelumnya terasa seperti beban. Kini, kenangan itu berubah menjadi pelipur—wajah-wajah yang pernah dia cintai, suara tawa yang hangat, dan sinar matahari yang dulu menyelimuti hidupnya.
“Aku sudah selesai,” katanya, hampir tersenyum. “Jika dunia ini mati, maka aku juga harus pergi bersamanya.”
Matanya perlahan tertutup, dan untuk pertama kalinya sejak dia terbangun, dia merasa benar-benar tenang. Tidak ada lagi pertanyaan yang tak terjawab, tidak ada lagi keraguan. Hanya ada kedamaian, seolah seluruh dunia telah mengangguk setuju atas keputusannya. Di bawah langit gelap yang abadi, dia menyerahkan dirinya pada akhir yang telah lama menantinya.