Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Setelah bus terakhir berhenti di depan gerbang kampus, Dira turun dengan langkah yang mengalahkan embun. Ransel kain lusuh digendong ke punggung, tumit sepatunya berbunyi pelan di trotoar basah. Jam menunjukkan pukul delapan malam. Kuliah malam baru saja usai. Ia harus segera menyebrang ke kedai kopi tempatnya bekerja.
“Maaf, Mbak. Tadi ada dosen dadakan masuk,” katanya setibanya di pintu belakang. Tak ada yang marah. Mereka sudah terbiasa. Dira datang terlambat bukan karena malas, melainkan karena dunia tidak memberinya cukup siang untuk membagi hidup.
Ia mengganti baju di kamar kecil. Seragam hitam, celemek cokelat, dan senyum yang ditambal sabar. Beberapa helai rambutnya dikuncir tinggi, yang lain dibiarkan liar. Matanya menyimpan kantuk yang tak bisa dibayar dengan tidur siang. Tapi tetap jernih, tetap hidup.
Pelanggan malam itu tak banyak. Sepasang muda-mudi duduk di pojok dekat colokan, sibuk dengan layar masing-masing. Seorang pria berkacamata duduk sendiri, tenggelam dalam novel dan kopi yang sudah dua kali dingin.
Dira berdiri di balik meja kasir. Sesekali menyapu meja, mengelap cangkir, atau sekadar menatap malam dari balik kaca. Lampu-lampu jalan menyala kuning pucat. Dunia seperti tidur pelan-pelan.
Dalam hidup Dira, tak ada tokoh bernama "Ayah" yang bisa ia telpon saat saldo habis atau kosan nunggak. Sosok itu masih hidup, tapi baginya sudah lama wafat. Ayahnya tinggal di kota sebelah, bersama istri baru dan dua anak kecil yang tak pernah Dira kenal. Ia muncul setahun sekali lewat pesan WhatsApp: “Ini untukmu dan adikmu, jaga kesehatan ya.” Dua ratus ribu. Tak pernah lebih. Tak pernah kurang. Tak pernah cukup.
Dira tak pernah membalas.
Sejak ibunya meninggal dua tahun lalu karena stroke, hidup Dira seperti sepeda tua yang harus terus dikayuh di tanjakan tanpa rem. Ia kuliah berbekal beasiswa dan nasi bungkus yang disisihkan dari gaji paruh waktu. Pagi kuliah, malam bekerja. Pulang dini hari, lalu mengulang semuanya esok.
Ia jarang mengeluh. Bahkan pada sahabat terdekatnya di kampus, Reva, yang sering mengajaknya ngopi atau sekadar tidur siang di ruang baca, Dira hanya tersenyum.
“Aku harus kerja, Va. Bayar listrik bulan ini belum,” katanya sambil tertawa kecil. Seolah semuanya ringan, padahal tidak.
Suatu kali, Reva berkata, “Aku sering iri sama kamu. Kamu kelihatan kuat terus.”
Dira hanya menjawab pelan, “Mungkin karena aku tidak punya pilihan lain.”
Kadang, di tengah perjalanan bus, Dira menatap ke luar jendela. Wajah-wajah asing berlalu di balik kaca, dan ia membayangkan seperti apa hidup mereka. Apakah mereka punya ruang untuk istirahat? Apakah mereka bisa menangis tanpa harus menyembunyikannya di bantal?
Ia pernah menulis: "Di dunia ini, ada orang-orang yang tidak bisa lelah di hadapan siapa pun. Karena kalau mereka lelah, semuanya bisa runtuh."
Satu-satunya adik laki-lakinya kini kelas dua SMA. Tinggal di kampung bersama keluarga paman. Dira menanggung semua biaya. Adiknya ingin jadi dokter. Dira ingin mewujudkan itu, meski harus melipat semua mimpinya sendiri. Ia ingin adiknya melangkah lebih bebas.
Setiap malam, sebelum tidur, Dira membaca ulang pesan singkat dari adiknya:
"Kak, aku dapat ranking 2. Kalau Kakak di sini, pasti senang ya."
Ia senang. Tapi juga sedih. Karena tidak bisa hadir.
Pernah suatu malam, saat hujan turun dan pelanggan sepi, Dira duduk di pojok belakang kedai, menatap layar laptop. File skripsinya terbuka. Bab dua. Tentang teori ekonomi mikro yang belum ia pahami betul. Tapi ia belajar. Menulis dan menghapus, lalu menulis lagi. Kata demi kata seperti menggali sumur di tanah kering. Tapi ia tak menyerah.
“Kalau kamu capek, berhenti sebentar enggak apa-apa,” kata seseorang dulu—seorang ibu yang mengajarkan bahwa sabar bukan berarti diam, dan lelah bukan alasan untuk menyerah. Suara itu masih tinggal di telinganya, samar tapi hangat, seperti hujan pertama.
Ia tidak pernah bercerita kepada siapa pun tentang bangun pagi dan tidur dini hari setiap hari. Tentang nasi tanpa lauk. Tentang atap bocor dan sepatu jebol. Tentang betapa ia rindu disentuh oleh perasaan dicintai, bukan sekadar dibutuhkan.
Hidup bukan panggung untuk keluhan. Ia belajar itu sejak lama. Bahkan sebelum tahu bahwa seorang ayah bisa pergi meski tidak benar-benar hilang.
Teman-temannya menyebutnya keras kepala. “Istirahat dulu, Dir. Hidup tuh bukan lomba.” Tapi Dira tahu, hidup memang bukan lomba. Tapi ia harus tetap berlari, agar tidak tertinggal oleh kenyataan.
Ia tidak ingin besar karena amarah. Ia ingin tumbuh karena cinta. Cinta pada ibunya yang menjahit seragam meski jari kaku. Cinta pada adiknya yang menyembunyikan air mata setiap kali bilang, “Aku kangen.” Cinta pada dirinya sendiri, meski kadang itu sulit.
Impian Dira tak muluk. Lulus kuliah. Kerja tetap. Ngontrak rumah kecil. Makan tiga kali sehari. Punya meja kerja sendiri—tempat ia bisa menulis tanpa harus menumpang.
Dan suatu hari, kalau hidup lebih lapang, ia ingin membuka warung kopi sendiri. Tempat aman bagi siapa pun yang lelah tapi belum punya tempat pulang. Ia ingin memberi, meski hidup dulu tak banyak memberinya.
Pagi itu, Dira menyalakan lampu dapur untuk membuat teh bagi rekan jaga berikutnya. Matanya sembab, tapi ia tersenyum. Di luar, langit mulai memudar. Ia pamit dan menaiki bus pertama. Udara masih menggigil.
Di dalam bus, ia duduk di dekat jendela. Matanya lelah. Tangannya memeluk ransel. Sesekali kepalanya terangguk. Tapi hatinya masih penuh: ia sempat menyelesaikan dua halaman skripsi tadi malam. Ia sempat membalas pesan adiknya dengan stiker hati. Ia sempat mengirim lamaran kerja ke tempat magang semester lalu.
Sesampainya di kosan, ia membuka pintu, menaruh ransel, dan merebahkan tubuh di kasur tipis yang sudah lama kalah empuk. Skripsinya masih terbuka di laptop. Bab dua. Kata terakhir masih tertinggal di layar: "keseimbangan..."
Dira tertidur.
Dan pagi menjelma siang. Lalu petang. Tak ada jejak langkahnya di kampus. Tak ada balasan di grup kelas. Tak ada pesan masuk ke ponselnya.
Malam hari, salah satu rekan kerja mengetuk pintu kosnya. Tak ada jawaban. Saat pintu didobrak, mereka menemukannya masih terbaring, wajahnya tenang. Tak ada luka. Tak ada tangis. Hanya tubuh yang akhirnya memilih berhenti setelah terlalu lama berjalan sendirian.
Dira wafat seperti ia hidup—diam, sabar, dan penuh cinta.
Hari pemakamannya sederhana. Beberapa teman kampus datang. Reva menangis paling keras. Tapi Dira seolah tak pernah benar-benar pergi. Namanya terus disebut, kisahnya terus diceritakan. Di kedai kopi tempatnya dulu bekerja, sebuah kursi di pojok belakang dibiarkan kosong selama berminggu-minggu.
Di dinding kamarnya, masih tertempel selembar kertas kecil.
Tulisan tangannya rapi, sedikit miring ke kanan:
“Jangan pernah percaya pada hidup yang gampang. Tapi percayalah, hidup bisa jadi indah kalau kau tak berhenti berjalan.”
Dan Dira pun telah sampai.
Di tempat yang ingin ia tuju.
Dengan langkah yang tak lagi harus terburu-buru.