Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Perempuan Tanpa Wajah
0
Suka
577
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Kapan aku jadi dewasa? Supaya bisa bebas memilih apa yang aku mau?”

Sebuah pertanyaan lugu dari seorang gadis kecil yang belum memahami apa itu dewasa. Suatu harapan manis, bahwa kedewasaan akan menuntun pada mimpi yang rupawan. Bahwa kebebasan adalah kebahagiaan itu sendiri. Oh... aku lupa satu hal. Hari ini aku mesti berangkat lebih pagi, mempersiapkan rapat untuk proyek besar.

Tujuanku sekarang hanya satu, proyek ini berjalan sukses. Keinginan kecil yang akan berdampak besar pada diriku. Mungkin saja. Walau kabut terkadang mendatangi isi kepalaku, atau aku yang berjalan di jalan yang panjang tanpa tujuan, hanya mengikuti petunjuk dari papan petunjuk arah. Membabi buta, mengikutinya.

Sebelum terjun ke medan perang, aku sempatkan diri berkaca pada lapisan es tipis ini. Dingin dan kabur. Pantulannya menyebar, menyamarkan bayangan wajahku yang tidak tahu kapan bisa terlihat kembali. Tapi, entahlah... sama seperti biasa, akan kututup dengan koleksi topengku.

Kubuka lemari penuh koleksi topeng-topeng indahku. Semua memiliki ciri khas yang berbeda. Topeng berbunga, topeng kuning cerah, topeng merah membara, dan masih banyak topeng lainnya yang tidak bisa kusebutkan satu per satu. Kira-kira, topeng apa yang akan kupakai? Hmm... bagaimana kalau topeng ungu ini? Ada garis keemasan di bagian matanya, nuansa yang menggambarkan keanggunan dan kecerdasan. Tatapannya begitu dingin, layaknya mengoreksi tingkah atau ucapan bodohku dalam diam. Terasa sangat berat di jemariku ketika mengambilnya dari lemari, seolah terbuat dari besi.

Ada jeda yang membuatku ragu untuk mengenakannya. Meski begitu, aku harus memakainya. Dan benar saja, wajahku hampir sulit menampung topeng ini. Beberapa kali sering melemparkan kepalaku ke bawah, menarikku terus ke pusat gravitasi. Membisikkan kata ketidakmampuan, bercampur dentuman besi yang ditempa.

Begitulah yang terjadi, hari demi hari berulang, lagi dan lagi. Membuka lemari, mencari topeng, dan mengenakannya. Terkadang ada yang berduri, ada juga yang panas layaknya terbuat dari batu bara. Meski wajahku tampaknya baik-baik saja di awal, namun ketika sampai di penghujung hari, rasa sakitnya perlahan merekah tak karuan. Menetes, layaknya air yang bocor yang semakin hari mulai membeku, bahkan keras.

Orang-orang yang tersenyum dan berbahagia, ah... aku penasaran. Mengapa mereka bisa menikmati hidupnya? Sampai terasa ringan dilihatnya. Melihat pemandangan itu setiap hari, layaknya film yang tak mungkin kumasuki. Sesekali mengingat sesuatu dari diriku yang perlahan mulai memudar, sesuatu yang kutemukan di peti harta karunku, yang ternyata adalah kotak pandora.

Kini tibalah waktu yang dinantikan, sebuah penentuan akan ke mana aku melangkah selanjutnya. Proyek yang menentukan nasib pemegangnya, api kecil yang masih memberikan dorongan untuk terus melangkah.

“Proyek kita sukses besar!”

“Wah, selamat!”

“Mari berbaris dan berfoto!”

Selama peperangan ini, aku merasa tertahan oleh batu besar dan tembok-tembok rapat. Tapi sekarang, ketika mendengar pengumuman itu, tembok-tembok itu runtuh, memperlihatkan isinya kepadaku. Sebuah obor besar yang menyala, bahkan hangatnya terasa sampai ke telapak tangan. Jadi, inikah mimpi kecil yang selama ini terkubur?

Aku tersenyum. Untuk pertama kalinya, rasa hangat itu benar-benar nyata. Meski kobaran apinya kecil, tapi kini membesar, memberi keramahan yang selama ini kunantikan. Beginikah bila tidak menyerah begitu saja?

“Selamat, Mia, Gian dan Orin, kalian akan dipromosikan.”

Ruangan hening begitu saja. Tepukan tangan dan tawa yang bukan untukku bahkan tak terdengar. Sepi dan redup. Tak satupun namaku terucap pada barisan nama-nama yang disebut. Satu kata yang hilang, hanya butuh sebuah kata yang tak diucap menghembuskan apinya, mematikan kobaran sampai ke akarnya. Jadi begitu? Ini hasilnya? Aku hanya merasakan panasnya tanpa bisa menggunakannya?

Alangkah baiknya aku keluar dulu dari ruangan. Setidaknya, melepas topeng ini untuk sementara waktu. Pikirku begitu, tapi sayang, tak satu pun tempat mengizinkannya. Lalu harus ke mana semua sampah ini dibuang? Mereka menumpuk terlalu tinggi. Mungkinkah kubakar saja semua sampah ini?

Alih-alih api yang kugunakan, hanya air yang membasahi sampah-sampah. Selama dalam perjalanan pulang, pikiran liarku masih bertanya, mencocokkan kejadian demi kejadian, menusuk diri sendiri dengan kata-kata makian, menyusutkan diri sampai ke sudut paling kecil, lalu kembali menunjuk keadaan dengan pisau. Jadi, apa sebenarnya semua ini? Apa yang kulakukan selama ini? Sehingga dengan mudahnya api dipadamkan dengan keputusan tanpa dasar. Semua batu itu aku yang angkat dan ukir, tapi mengapa hanya mereka yang dapat koin emas?

Ah... tidak sadar, dalam perjalanan aku memukul jendela kaca papan pengumuman di stasiun. Tak ada rasa pedih atau ngilu pada tanganku, meski memancarkan kelopak bunga dari celah luka. Bunga? Ah… cantik bukan bunga yang mengalir ini? Terus menerus mengalir. Mengalir...

Setiap mata memperhatikan, membisikkan kata-kata yang tidak aku dengar. Hari ini dunia begitu sepi. Tak ada bunyi kereta, meski sudah lewat beberapa kali.

“Tangan Anda baik-baik saja?”

Seseorang melemparkan pertanyaan sederhana. Hari ini rasanya tidak mau pulang ke mana pun. Aku berserah, mengikuti ke mana kakiku membawa. Ia mengajakku masuk ke dalam kereta, dengan tiket-tiket semua tujuan. Bandung, Garut, Tegal, ke mana pun asal jangan di kota ini. Tidak mau merasakan dempulnya asap, tidak tahan dengan sesaknya udara, tidak sanggup dengar celotehan klakson kendaraan. Ke mana pun, pokoknya sejauh mungkin. Sejauh mungkin dari pemandangan ini...

Dan di sinilah aku terdampar, sebuah taman dengan pemandangan bukit. Aku buka paksa topeng paku ini. Beberapa kail masih menyangkut di kulit, mengalir kelopak bunga mawar merah harum dari celah luka pada wajahku. Tanpa rasa sakit atau rasa nyeri. Kubiarkan semua merasakan sejuknya udara. Kutinggalkan alas kaki, membiarkan rumput-rumput menggelitik. Mata ini tertuju pada anak-anak yang sedang menari sambil bernyanyi. Sebuah kebebasan sarat akan tawa.

Seorang wanita berambut panjang menari bersama mereka. Ia begitu bebas dan bercahaya, bagai cahaya yang menyusup ke dalam hutan. Seorang wanita yang membawa bunga skeleton di tangannya, menaburkan kelopaknya, melayang mengikuti arah tubuhnya. Harum hutan hijau yang rindang begitu menyengat di hidungku. Apa ini harum taman ini?

Ah... matanya menatap ke arahku, seperti mengundangku untuk menari bersamanya.

Kakiku mulai mengikuti gerak mereka, ke sana-kemari, mengikuti irama. Alunan lagu menghipnotis tubuhku, perlahan semakin mengikuti lantunan lagunya. Perlahan, goncangan ria ini meretakan gunung es. Satu per satu, pecahannya mulai mencair, mengambang, mulai mengarungi lautan yang luas. Tetapi aku terus menari, lagi dan menari lagi.

“Bagaimana tariannya?”

“Menyenangkan!”

Wanita itu tersenyum, menari bersamaku, menuntunku untuk mengikuti langkah kakinya. Langkahnya perlahan semakin menjauh, melambatkan gerakan tubuhnya, dan terdiam menatapku. Hanya senyum kecil yang ia lemparkan padaku, lalu menghilang di tengah kerumunan, meninggalkan setangkai bunga skeleton. Rasa iri menerobos relungku, menginginkan kebebasan yang dimilikinya. Seorang wanita bernama Elionne. Hingga terbesit untuk memutuskan kesesakan itu.

Yang nyatanya, esok pagi kulayangkan surat pengunduran diri. Tepat di wajah manusia sampah itu. Tanpa menggunakan topeng, tanpa menggunakan pakaian terbaik. Hanya diriku dan keberanianku.

“Apa yang kamu lakukan?!”

Rasa menggelitik tiba-tiba saja menjalar ke kepalaku. Melihat raut wajahnya, bagaikan kepuasan untukku. Kucoba menahan tawa, namun lepas begitu saja. Sangat nyaring di telingaku. Mungkin terdengar sampai keluar ruangan. Kubiarkan alunan suaraku menyebar, menertawakan mereka semua.

Kutinggalkan mereka dengan langkah yang lebih ringan, seringan bulu-bulu pada burung di atas sana. Menikmati alunan musik dan menari mengikuti alunannya. Yah... seharusnya begini. Seharusnya dari dulu seperti ini. Tidak lupa untuk menghancurkan seluruh topeng-topengku di lemari yang selalu menatapku angkuh dan terus membisikkan kata pengorbanan. Hari ini, tatapan kalian tidak akan mampu menembusku lagi. Selamat tinggal. Ah... satu lagi, kaca es itu sudah kuganti dengan kaca sungguhan. Bukan bayangan samar lagi yang kulihat, tetapi wajahku. Wajah asliku. Bukankah ia sangat cantik? Kenapa selama ini selalu kusembunyikan?

Oke... sekarang, apa yang bisa kita lakukan saat ini? Menghabiskan tabungan? Pergi ke tempat yang belum pernah kubayangkan? Ah... peti harta karunku kini terbuka. Indahnya kilauan itu, tak sabar untuk menjelajahinya.

Beberapa waktu sudah berlalu. Langkah kaki gemetar menaiki tangga stasiun, mengenakan baju terbaiku untuk menipu orang-orang berdasi. Ketukan sepatu hak terdengar jelas di telingaku, meski dunia senyap.

Kini, kotak itu sudah bukan berisi permata lagi. Permata yang pernah membangunkanku sementara dari mimpi tanpa arah. Hanya ada koleksi topeng-topeng yang pernah kuhancurkan. Tidak peduli kaitan pada topeng merasuk ke dalam tulang. Tidak peduli gambaran wajahku menghilang dalam ingatanku. Yang kudengar saat ini, hanya suara nafasku pada sebuah ruangan yang kosong. Keringat tetap mengucur meski udara semakin dingin. Dan saat ini, langkah kakiku bukan lagi menari untuk kebahagiaan, tetapi untuk sebuah keharusan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
LOVE IS MAGICAL
Okhie vellino erianto
Cerpen
Perempuan Tanpa Wajah
Chrstin
Novel
Bronze
Hadiah dari TUHAN
Rizky Ade Putra
Novel
Bau Peapi
Reni Hujan
Flash
Bronze
Demi
Alfian N. Budiarto
Cerpen
Bronze
Yang telah gugur akan pergi, yang masih ada akan tetap bertahan
Aldika R
Cerpen
Bronze
Merindukan Sonep
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Mimpi Kang Muchtar
Munkhayati
Novel
Bronze
Merindunya Rindu~Novel~
Herman Sim
Flash
Bronze
Hanya Pengisi Waktu Kosongmu
Silvarani
Flash
Maxibet88 Situs Slot Gacor Hari ini
Xrutes
Cerpen
Bronze
Sehelai Benang Emas
Tino Perdiyansya
Cerpen
Bronze
Cermin Yang Terluka
Noveria Retno Widyaningrum
Novel
MESSY VE
Canes
Komik
Corrupted Program Running..
[Raven_Owl]
Rekomendasi
Cerpen
Perempuan Tanpa Wajah
Chrstin
Cerpen
Wanita Tiang Pancang
Chrstin
Novel
Redam Bintang di Malam ini
Chrstin
Novel
War of Hearts
Chrstin