Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Perempuan tanpa batas sabar
1
Suka
8,537
Dibaca

“Kalian diam. Dia cucuku. Tidak milikmu, dan tidak milikmu.” Nenek menujuk ayah dan ibu. “Din akan di sini, bersamaku!”

Aku merebahkan tubuh di samping nenek, beralih menghadapnya. “Kenapa nenek begitu menyayangiku?”

“Karena nenek juga yakin, sayangmu pada nenek juga sebesar itu,” jawabnya sembari mengusap rambutku.

Aku baru saja lulus SMA. Syukur, diterima untuk melanjutkan kuliah di kota. Sudah kukemasi semua barang-barang dengan semangat. Baju, alat tulis, alat mandi, alat elektronik. Semua aku periksa dan kubawa, kecuali masalah yang kutinggalkan pada lembar kertas berserak di kamar. Sudah satu semester aku kuliah daring  di rumah.

Kali ini tidak akan mudah, selain ibu, nenek juga menentang keputusanku. “Kamu tidak punya siapa pun di sana, nenek tidak tega kamu pergi dari sini.” Matanya kehilangan fokus, bibirnya tertarik ke bawah dan kelopak mata atasnya terkulai.

“Tapi, suatu saat aku akan menikah, Nek. Juga pergi dari sini.” Tanganku menyentuh pundaknya, berkata dengan mata berkaca-kaca.

“Itu berbeda. Saat itu terjadi nenek tidak perlu khawatir lagi karena sudah ada yang menjagamu. Nenek lebih merasa senang kamu di sini, bagaimana pun kondisimu.”

Aku terdiam. Apakah benar aku harus mengabaikan kesempatan itu?

Pagi kembali datang romantis dengan matahari yang menembus celah dedaunan depan rumah. Suara srek-srek terdengar di halaman rumah. Siapa lagi? Nenek—dengan kulit keriputnya—tetap cantik, baju daster bunga-bunga dan kupluk  abu-abu senada dengan rambutnya.

“Aku sudah mencuci semua bajunya, Nek. Rumah juga sudah aku sapu.” Ungkapku riang.

“Segera sarapan, nenek sudah masakkan makanan kesukaanmu.”

“Nenek tidak sarapan?”

“Sudah sejak subuh.”

Aku mengangguk, masakan nenek adalah yang terbaik. Karena ibu tidak pandai memasak. Ibu selalu iri tiap aku makan di rumah nenek, dan masakannya utuh. Lantas menjejaliku dengan tangannya, bilang itu enak sekali. Aku mengangguk, menahan asin di lidah. Bilang, ibu paling enak masak sop. Lalu, besoknya masak sop.

Akhirnya, aku makan di rumah ibu, lantas nenek merasa gelisah nasinya utuh, semua diberikan ke ayam. Menggerutu.

Rumah ibu dan nenek berdampingan. Jadi, pagi pagi berikutnya aku selalu makan dua kali, begitu juga makan siang dan malam. Bagaimana bisa berat badanku tetap ideal padahal porsi makanku banyak sekali.

Langkah kakiku malam ini menuju dipan kamar ibu, duduk di sebelah ibu yang sedang bermain ponsel.

“Senin besok sudah masuk perkuliahan, Bu.” Tangganku menggenggam kaki ibu, merayu. Dia sudah paham maksudku.

“Menikah saja, sudah. Enak.”

“Tidak mau.”

“Kamu tahu, kan? Ibu tidak punya uang sama sekali, ibu juga punya hutang nenek gara-gara kemarin ditipu itu. Ongkos kendaraan, uang sekolah, siapa yang bayar?”

“Tapi—”

“Memang kuliah, sekolah tinggi-tinggi menjamin kamu bakalan jadi apa?”

Seketika lidahku kelu, membisu. Aku melenggang pergi, ke rumah nenek. Diam-diam menangis di kamar. Nenek yang sudah lelah menonton TV kaget melihatku tersedu-sedu.

“Kenapa menangis? Siapa yang nakal? Kenapa, Sayangnya Nenek?”

Sial. Semakin ditanya, tangisanku semakin tak tertahan. “Di marahi ibu?”

Aku mengangguk.

“Sudah jangan nangis, biar nanti ibu nenek yang marahi ganti.”

“Dia tuh, mau kuliah, Nek. Biar saja, orang keluarga kita juga bukan orang mampu."

“Kamu benar—”

Aku lari dari kamar nenek, menuju kamar almarhum kakek, mengunci pintu dan menangis di sana. Pagi tidak sarapan, sore tidak mandi, keluar hanya untuk wudhu dan salat. Lantas nenek mengantar makanan, mengetuk pintu berulang kali, dari celah pintu aku mengintip matanya yang ciut berair, menaruh piring.

Seperti sudah cadangan terakhir glukosa yang bekerja menggerakkan otak dan sisanya dibagi ke jaringan otot dan sel darah merah. Keroncongan. Aku memegangi perut.

Malam pertama.

Esoknya aku makan jam sepuluh pagi, saat nenek tidak ada, aku baru mandi dan beraktiftas di luar. Lantas kembali diam di dalam kamar kakek. Aku sudah tidak mengunci pintu, jadi nenek kerap masuk untuk mengecek kondisiku. Jam sepuluh, jam satu, jam tiga—semalam tiga kali. nenek membenahi selimutku, padahal aku hanya pura-pura lelap.

Nenek duduk disampingku,“Siapa yang harus disalahkan saat keluargamu berada di pilihan hidup atau kematian? Bimbang terpaksa menyerahkan putri yang mereka cintai, berumur 15 tahun, sedang senang belajar dan sekolah untuk menikahi bujang tua berumur puluhan tahun.

Siapa yang salah ketika kau tidak pernah menginginkan mencintainya, dan dia memaksa dunia untuk membantu menyukseskan misinya. Bersekongkol dan memaksamu menurut. Memaksamu menjadi patung hidup yang digunakan untuk memenuhi obsesinya. 18 tahun belajar ilmu agama tapi datang hanya membawa kerusakan. Sama halnya dengan orang yang beramal tanpa ilmu, orang pintar yang tidak mengamalkan ilmunya juga pembuat rusak.

Lalu, seorang anak pertama lahir, ingin kau sayangi dan kaumiliki sepenuh jiwamu. Namun, itu hanya bulus untuk kembali menjadikanmu budak nafsunya yang menyiksa. Meski kaya, dia gila. Memaksa nenek melepas belahan jiwa pertama dengan paksa. Anak tidak pernah salah, meski tumbuh dihasut benci pun, mereka tidak mampu memahami kisah yang begitu menyakitkan orang tuanya.

Ibumu tidak membenci hadirnya nenek saja sudah anugrah. Oleh karena itulah, kenapa nenek selalu mendukungnya, dan tidak sedikitpun memarahinya, rela mengadaikan ladang nenek demi penipu itu. Neneklah putri keluarga cemara yang dirusak oleh laki-laki sekutu setan.”

Malam kedua.

Aku sudah mau beraktifitas normal, namun lebih sedikit bicara, menjawab pertanyaan seadanya. Nenek datang lagi malam itu, menutup kelambu.

“Dari sanalah kehidupan pelik ibumu dimulai. Nenek bilang pada ayahnya bahwa “entah sekarang, esok, masa depan, lusa, atau kapan pun, zaman apa pun, kau ikut aku atau aku ikut kamu, aku tidak sudi dan tidak akan pernah sudi kembali padamu!”

Penolakan terakhir. Dengan tangis, nenek nekat membawa ibumu pulang, menggendong bayi dan padi sejauh 25 km untuk keluar dari pedalaman desa ke kota, hanya berbekal kain yang dipakainya dan payung. Sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan semena-mena laki-laki setan itu.”

Malam ketiga.

“Tidak cukup di sana. Nenek muda suka dengan salah satu tukang yang bekerja di rumah keluarga.

Saat itu nenek janda tapi masih cantik. Sebab kita sama, tidak punya apa-apa. Berjuang dari awal. Berharap tidak membuat nenek trauma lagi sebab meng-hak-i segala baginya sendiri. Trauma yang menancapkan dalam otak nenek, tidak ingin memiliki suami kaya seperti sebelumnya; meski, polisi, pak lurah, camat, dokter, atau insinyur pun. Tidak peduli. Awalnya, Nenek hanya kesal dipanggil wanita penggoda dan hanya ingin membuktikan. Eh, takdir malah menyatukan dalam rasa cinta dan dua anak sebagai buktinya.

Untuk memperbaiki ekonomi keluarga, nenek meminta dia untuk belajar banyak hal, menjadi pandai besi, les bengkel, dan semuanya dibiayai dengan uang yang nenek dapatkan dengan berdagang daun pisang di pasar. Laki-laki itu berjanji untuk tidak melupakan keluarganya saat sudah pintar kelak. Bohong. Datang orang ketiga yang memberangas segalanya.

Bermain wanita dan judi yang membuatnya lupa sadar diri. Setelah masak dan mandi, nenek menyisir rambut dan duduk rapi. Tersenyum, menyuguhkan kertas tanda tangan perceraian.”

Malam keempat.

“Tanda tangan itu membawa segalanya. Anak pertama diambil ayahnya, anak kedua dan ketigamu diambil si anjing wanita, tuk tinggal bersamanya. Hati siapa yang tak hancur? Nenek berkata padanya sebelum pergi “Aku akan jadi apa jika semuanya kau bawa? Kulitku sudah keriput tua, jika kau tinggalkan aku, tidak ada yang mau, aku hidup dengan siapa?

"Bohong. Tidak mau apanya? Banyak yang mengantri, baru iya.”

Malam kelima.

“Nenek hidup sendirian, menyiksa. Namun, cara apa pun tak mampu membuat suami dan anak nenek kembali. Tiba-tiba dikabari ada saudara laki-laki yang akan menikah dengan kakak sepupu jauh dari luar kota, karena menyukai laki-laki itu. Paman nenek yang membawanya datang, sudah membujuk sedemikian rupa. Ingin menjodohkan mereka. Namun, dia tegas, tidak mau. Dan tidak mau. Lantas, Tojo bertemu nenek di ladang, nenek sedang mencangkul. Dia membantu nenek karena kasihan.

“Kenapa tidak mau dengan Siti? Dia gadis yang baik. Keluarganya cemara. Pilihan yang tepat, apalagi kamu sudah bujang tua, bagaimana jika tidak dengan dengannya kamu malah tidak mendapatkan gadis lain?” kata Nenek membantu dia menerima perjodohan itu.

“Aku tidak mau menikah jika tidak denganmu.”

Nenek tertegun. Senja menyambut indah, untuk pertama kalinya dia tersenyum. Sikap dingin Tojo tiba-tiba menguap.

“Kamu gila? Jangan denganku. Aku tidak mau, kamu ini masih lajang, tampan. Dikasih gadis ngapain malah milih menikahi janda anak tiga?”

Berulang kali nenek meyakinkan dia, bahwa nenek ini buruk baginya. Tojo malah semakin serius membuktikan ucapannya dan datang ke rumah untuk meminta nenek sebagai istrinya.

Nenek akhirnya kembali tersenyum setelah sekian lama. Demi melamar nenek, Tojo rela menjual kalung senilai 75.000. Tahun itu masih sangat berharga. Sisanya, lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pernikahan yang banyak.

Hari-hari romantis mulai berlalu seperti pasangan muda umumnya. Kemana-mana berdua. Duduk berbagi cerita, membantu membawa belanjaan, menunggui nenek memasak, menonton televisi bersama. Hidup seperti pendakian. Suami pertamamu datang dengan sekarung permohonan. Terlambat, mau menyembah maaf 7 hari 7 malam, nenek sudah tidak peduli hujan atau kelaparan. Sama seperti saat nenek mengemis untuk tidak dipisahkan dengan anak pertama, kali ini dia mau mengemis dan menangis di halaman model apa pun, tidak akan nenek terima, karena kesalahannya sendiri.”

Malam keenam.

"Meski akhirnya nenek menemukan pasangan yang mengerti nenek, dan hidup bersama anak-anak nenek. Masalah tidak cukup di situ. Para masyarakat dan tetangga mulai membicarakan kebodohan pernikahan nenek dan kakek Tojo yang katanya tidak punya apa-apa. Nenek jadi bahan gunjingan.

Kakekmu langsung pergi malam itu. Lima belas hari berlalu. Dengan ringannya mereka mencibir, “Tojo tidak akan kembali.” Menertawakan, memampuskan nenek karena menikahi orang jauh yang akhirnya dibuang tak berguna.

Tapi nenek percaya pada kakekmu. Tojo. Nenek yakin dia akan kembali. Tuhan kan sesuai prasangka hambanya. Benar, Tojo kembali membawa uang 35.000 dari hasil menjual aset miliknya. Nenek simpan di bawah gentong wajan masak biasanya. Haha, siapa yang akan menduga, rumah gubuk bambu memiliki uang sebanyak itu?" Nenek tertawa lagi.

"Nenek langsung membeli sawah, ladang. Bersama membesarkan ketiga anak yang bahkan bukan darah daging Toko semdiri. Dia tidak pernah mengeluh, hidup dengan tenang, dan keren. Rela menjual apa yang ada untuk membelikan motor anak laki-laki nenek, membangunkan rumah untuk ibumu, membantu biaya ke luar negeri bibimu, dan menyuluh katak demi untukmu. Dia sangat menyayangimu, Din.”

Nenek mengelus kepalaku.

Malam ketujuh.

"Begitulah dunia. Istri baik suami buruk. Suami baik, istri yang buruk. Suami dan istri baik ada penganggu. Suami dan isri baik tanpa penganggu. Tapi…

Selalu ada tapi, dan akan terus tanpa tepi. Begitulah dunia.

Datang suami kedua nenek dan menghasut anak laki-laki satu-satunya yang paling nenek sayangi, menariknya dan menjatuhkannya dalam keburukan. Mengajarinya dendam dan benci karena cinta nenek yang gagal dia kuasai.

Dia mendebat kakek yang bukan ayah kandungnya, padahal sayang Tojo tak berupa kata-kata. Mungkin itulah sebabnya, meski di saat terakhir pun, pamanmu masih mengusir nenek dari rumah sakit.”

Aku menangis dari balik selimut.

Aku tahu kisah itu. Sejak itu kakek sudah tidak menyukai paman—adik ibu. Kakek pernah menceritakannya; bahwa Nenek menunggui paman di bawah ranjang putih rumah sakit sembari menangis dan berdoa sepanjang napasnya berembus. Sujud yang tak lekang dan tasbih yang tak lepas. Tapi terlambat, paman bahkan mengusirnya dan memintanya untuk tidak datang lagi. Siapa orang tua yang tidak sakit hati? Padahal nenek, adalah ibu kandungnya sendiri.

Hingga pada akhirnya nenek ditinggal paman—anak tersayangnya, dan juga kakek—suami terkasihnya, yang meninggal hanya jarak 1 tahun. Hidup sendiri dalam gelap sunyi. Di mana cucu-cucunya juga akan pergi juga satu persatu meninggalkan nenek. Termasuk aku?

Malam ke-delapan.

Aku memeluk seseorang yang membenahi selimutku.

“Cukup, Nek. Aku tidak akan kuliah, tidak apa. Aku akan menemani nenek. Di sini." Ucapanku tersendat, menoleh ke atas.

“Ibu?”

“Pergilah."

Aku bergeming.

"Besok pergilah ke Jakarta. Cari ayahmu. Minta dia mengantarmu ke kampusmu itu, jangan pergi sendiri. Jaga diri baik-baik. Uang kuliah pertama sudah kamu bayar, kan? Berikutnya biar ibu yang urus.”

Aku memeluk ibu erat. “Terima kasih, Bu. Terima kasih. Maaf Din belum lolos beasiswa.”

“Ibu juga akan berangkat bekerja ke Batam. Nanti ibu minta adikmu untuk menemani nenek.”

“Tapi kenapa ibu tiba-tiba berubah pikiran?”

“Nenek menangis pada ibu, dia tidak tega melihatmu murung. Dia memohon untuk membiarkanmu pergi. Bahkan jika perlu, dia rela menjual ladang peninggalan kakek untuk membayar hutang ibu dan membiayai kuliahmu.”

“Nenek?”

“Hemm.”

Aku melempar selimut, menuruni ranjang, berlari ke kamar nenek. Memeluknya erat-erat dari belakang.

“Terima kasih, Nek. Terima kasih, terima kasih.” Ujarku berulang-ulang.

“Terima kasih sudah memberiku kesempatan, mengizinkanku melanjutkan kuliah. Terima kasih, Nek.” Aku menangis.

“Nenek melakukannya supaya kamu berhenti menangis, kenapa malah menjadi-jadi?” Nenek membalik badan, mengusap pipiku.

“Kenapa nenek harus menjual ladang nenek, padahal itu tidak perlu.”

“Biarlah. Nenek dulu pengen jadi guru. Tapi sekolah SMP saja tidak bisa, hanya menatap dengan mata yang basah, orang-orang yang berseragam lewat, ayah nenek yang orang berada juga tidak mau membiayai. Dulu lulusan SMP saja sudah bisa mengajar jadi PNS. Tahun tujuhpuluhan. Nenek tidak mau cucu nenek bernasib seperti nenek.”

Aku sesenggukan, “Nenek nanti datang ya, ke wisudaku, aku pengen bawa nenek jalan-jalan.”

“Heem.”

“Nenek janji ya, nenek harus panjang umur dan harus lihat aku jadi orang sukses.”

“Hemm. Nenek tadi gorengin kamu telur satu, kok nggak di makan?”

“Lah nenek?”

“Makan saja. Nenek mah gampang.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Diary Seorang Gadis Tunarungu
winda aprillia
Novel
TETANGGA RAYA
Alfiatun Umi Latifah
Skrip Film
GONDRONG X KLIMIS
Ahmad Gali Prayoga Nasution
Cerpen
Perempuan tanpa batas sabar
Asya Ns
Novel
Prahara di Langit Borneo
Raida Hasan
Novel
DUST
YENI AMALIA ILAHI
Flash
Menjaring Matahari
Utep Sutiana
Flash
Yang Gila Disini Siapa?
Linggarjati Bratawati
Cerpen
Kotak kecil yang kelam
Laili Kusuma Wardani
Novel
Lakuna
yuliandap
Komik
Kita selalu bersama-sama
Dava Satya
Skrip Film
We Were Ship In The Night
Lilly Amundsen
Skrip Film
Birthday
Muhammad Adli Zulkifli
Flash
Sumur di Depan Mata
Keisha G.
Cerpen
Bronze
Tergiur Bunga
Kinanthi (Nanik W)
Rekomendasi
Cerpen
Perempuan tanpa batas sabar
Asya Ns
Novel
Ya, Suatu Saat Nanti
Asya Ns
Novel
ANILA - Kutukan Angin
Asya Ns
Flash
HARAPAN DAN KESEMPATAN
Asya Ns