Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Kalian diam. Dia cucuku. Tidak milikmu, dan tidak milikmu.” Nenek menujuk ayah dan ibu. “Din akan di sini, bersamaku!”
Aku merebahkan tubuh di samping nenek, beralih menghadapnya. “Kenapa nenek begitu menyayangiku?”
“Karena nenek juga yakin, sayangmu pada nenek juga sebesar itu,” jawabnya sembari mengusap rambutku.
Aku baru saja lulus SMA. Syukur, diterima untuk melanjutkan kuliah di kota. Sudah kukemasi semua barang-barang dengan semangat. Baju, alat tulis, alat mandi, alat elektronik. Semua aku periksa dan kubawa, kecuali masalah yang kutinggalkan pada lembar kertas berserak di kamar. Sudah satu semester aku kuliah daring di rumah.
Kali ini tidak akan mudah, selain ibu, nenek juga menentang keputusanku. “Kamu tidak punya siapa pun di sana, nenek tidak tega kamu pergi dari sini.” Matanya kehilangan fokus, bibirnya tertarik ke bawah dan kelopak mata atasnya terkulai.
“Tapi, suatu saat aku akan menikah, Nek. Juga pergi dari sini.” Tanganku menyentuh pundaknya, berkata dengan mata berkaca-kaca.
“Itu berbeda. Saat itu terjadi nenek tidak perlu khawatir lagi karena sudah ada yang menjagamu. Nenek lebih merasa senang kamu di sini, bagaimana pun kondisimu.”
Aku terdiam. Apakah benar aku harus mengabaikan kesempatan itu?
Pagi kembali datang romantis dengan matahari yang menembus celah dedaunan depan rumah. Suara srek-srek terdengar di halaman rumah. Siapa lagi? Nenek—dengan kulit keriputnya—tetap cantik, baju daster bunga-bunga dan kupluk abu-abu senada dengan rambutnya.
“Aku sudah mencuci semua bajunya, Nek. Rumah juga sudah aku sapu.” Ungkapku riang.
“Segera sarapan, nenek sudah masakkan makanan kesukaanmu.”
“Nenek tidak sarapan?”
“Sudah sejak subuh.”
Aku mengangguk, masakan nenek adalah yang terbaik. Karena ibu tidak pandai memasak. Ibu selalu iri tiap aku makan di rumah nenek, dan masakannya utuh. Lantas menjejaliku dengan tangannya, bilang itu enak sekali. Aku mengangguk, menahan asin di lidah. Bilang, ibu paling enak masak sop. Lalu, besoknya masak sop.
Akhirnya, aku makan di rumah ibu, lantas nenek merasa gelisah nasinya utuh, semua diberikan ke ayam. Menggerutu.
Rumah ibu dan nenek berdampingan. Jadi, pagi pagi berikutnya aku selalu makan dua kali, begitu juga makan siang dan malam. Bagaimana bisa berat badanku tetap ideal padahal porsi makanku banyak sekali
Langkah kakiku malam ini menuju dipan kamar ibu, duduk di sebelah ibu yang sedang bermain ponsel.
“Senin besok sudah masuk perkuliahan, Bu.” Tangganku menggenggam kaki ibu, merayu. Dia sudah paham maksudku.
“Menikah saja, sudah. Enak.”
“Tidak mau.”
“Kamu tahu, kan? Ibu tidak punya uang sama sekali, ibu juga punya hutang nenek gara-gara kemarin ditipu itu. Ongkos kendaraan, uang sekolah, siapa yang bayar?”
“Tapi—”
“Memang kuliah, sekolah tinggi-tinggi menjamin kamu bakalan jadi apa?”
Seketika lidahku kelu, membisu. Aku melenggang pergi, ke rumah nenek. Diam-diam menangis di kamar. Nenek yang sudah lelah menonton TV kaget melihatku tersedu-sedu.
“Kenapa menangis? Siapa yang nakal? Kenapa, Sayangnya Nenek?”
Sial. Semakin ditanya, tangisanku semakin tak tertahan. “Di marahi ibu?”
Aku mengangguk.
“Sudah jangan nangis, biar nanti ibu nenek yang marahi ganti.”
“Dia tuh, mau kuliah, Nek. Biar saja, orang keluarga kita juga bukan orang mampu."
“Kamu benar—”
Aku lari dari kamar nenek, menuju kamar almarhum kakek, mengunci pintu dan menangis di sana. Pagi tidak sarapan, sore tidak mandi, keluar hanya untuk wudhu dan salat. Lantas nenek mengantar makanan, mengetuk pintu berulang kali, dari celah pintu aku mengintip matanya yang ciut berair, menaruh piring.
Seperti sudah cadangan terakhir glukosa yang bekerja menggerakkan otak dan sisanya dibagi ke jaringan otot dan sel darah merah. Borborygmi. Aku memegangi perut.
Malam pertama.
Esoknya aku makan jam sepuluh pagi, saat nenek tidak ada, aku baru mandi dan beraktiftas di luar. Lantas kembali diam di dalam kamar kakek. Aku sudah tidak mengunci pintu, jadi nenek kerap masuk untuk mengecek kondisiku. Jam sepuluh, jam satu, jam tiga—semalam tiga kali. nenek membenahi selimutku, padahal aku hanya pura-pura lelap.
“Siapa yang harus disalahkan saat keluargamu berada di pilihan hidup atau kematian? Bimbang terpaksa menyerahkan putri yang mereka cintai, berumur 15 tahun, sedang senang belajar dan sekolah untuk menikahi bujang tua berumur puluhan tahun.
Siapa yang salah ketika kau tidak pernah menginginkan mencintainya, dan dia memaksa dunia untuk membantu menyukseskan misinya. Bersekongkol dan memaksamu menurut. Memaksamu menjadi patung hidup yang digunakan untuk memenuhi obsesinya. 18 tahun mondok. Kerusakan terbesar di bumi adalah orang yang beramal tanpa ilmu. Tetapi, yang lebih besar dari itu, adalah orang pintar yang tidak mengamalkan ilmunya dengan benar.
Siapa yang harus disalahkan ketika seorang anak pertama lahir, ingin kau sayangi dan kaumiliki sepenuh jiwamu. Namun, itu hanya bulus untuk kembali menjadikanmu budak nafsunya yang menyiksa. Meski kaya, dia gila. Memaksa nenek melepas belahan jiwa pertama dengan paksa. Anak tidak pernah salah, meski tumbuh dihasut benci pun, mereka tidak mampu memahami kisah latar belakang yang begitu menyakitkan orang tuanya.
Ibumu tidak membenci hadirnya nenek saja sudah anugrah. Oleh karena itulah, kenapa nenek selalu mendukungnya, dan tidak sedikitpun memarahinya, rela mengadaikan ladang nenek demi penipu itu. Neneklah putri keluarga cemara yang dirusak oleh laki-laki sekutu setan.”
Malam kedua.
Aku sudah mau beraktifitas normal, namun lebih sedikit bicara, menjawab pertanyaan seadanya. Nenek datang lagi malam itu, menutup kelambu.
“Dari sanalah kehidupan pelik ibumu dimulai. Nenek bilang pada ayahnya bahwa “entah sekarang, esok, masa depan, lusa, atau kapan pun, zaman apa pun, kau ikut aku atau aku ikut kamu, aku tidak sudi dan tidak akan pernah sudi kembali padamu!”
Penolakan terakhir. Dengan tangis, nenek nekat membawa ibumu pulang, menggendong bayi dan padi sejauh 1 km untuk keluar dari pedalaman desa ke kota, hanya berbekal kain yang dipakainya dan payung. Sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan semena-mena laki-laki setan itu.”
Malam ketiga.
“Tidak cukup di sana. Nenek muda suka dengan salah satu tukang yang bekerja di rumah keluarga.
Saat itu nenek janda tapi masih cantik. Sebab kita sama tidak punya apa-apa. Berjuang dari awal. Berharap tidak membuatmu trauma sebab meng-hak-i segala baginya sendiri. Trauma yang menancapkan dalam otakmu tidak ingin memiliki suami kaya seperti sebelumnya; meski, polisi, pak lurah, camat, dokter, atau insinyur pun. Tidak peduli. Awalnya, Nenek hanya kesal dipanggil wanita penggoda dan hanya ingin membuktikan. Eh, takdir malah menyatukan dalam rasa cinta dan dua anak sebagai buktinya.
Untuk memperbaiki ekonomi keluarga, nenek meminta dia untuk belajar banyak hal, menjadi pandai besi, les bengkel, dan semuanya dibiayai dengan uang yang nenek dapatkan, dengan berdagang daun pisang di pasar. Laki-laki itu berjanji untuk tidak melupakan keluarganya saat sudah pintar kelak. Bohong. Datang orang ketiga yang memberangas segalanya.
Bermain wanita dan judi yang membuatnya lupa sadar diri. Setelah masak dan mandi, nenek menyisir rambut dan duduk rapi. Tersenyum, menyuguhkan kertas tanda tangan perceraian.”
Malam keempat.
“Tanda tangan itu membawa segalanya. Anak pertama diambil ayahnya, anak kedua dan ketigamu diambil si anjing wanita, tuk tinggal bersamanya. Hati siapa yang tak hancur? Nenek berkata padanya sebelum pergi “Aku akan jadi apa jika semuanya kau bawa? Kulitku sudah keriput tua, jika kau tinggalkan aku, tidak ada yang mau, aku hidup dengan siapa?
"Kata siapa tidak mau? Apanya? Masih banyak yang mengantri, iya.”
Malam kelima.
“Hidup sendirian sungguh menyiksa. Namun, cara apa pun tak mampu membuat suami dan anakmu kembali. Tiba-tiba saudaramu dikabarkan akan menikah dengan kakak sepupu jauh dari luar kota, karena menyukainya. Paman yang membawanya datang sudah membujuk sedemikian rupa. Ingin menjodohkan mereka. Namun, dia tegas, tidak mau. Lantas, Tojo bertemu nenek di ladang, nenek sedang mencangkul. Dia membantu nenek karena kasihan.
“Kenapa tidak mau dengn Siti? Dia gadis yang baik. Keluarganya cemara. Pilihan yang tepat, apalagi kamu sudah bujang tua, bagaimana jika tidak dengan dengannya kamu malah mendapatkan gadis lain?” kata Nenek membantu dia menerima perjodohan itu.
“Aku tidak mau menikah jika tidak denganmu.”
Nenek tertegun. Senja menyambut indah, untuk pertama kalinya dia tersenyum. Sikap dingin Tojo tiba-tiba menguap.
“Kamu gila? Jangan denganku. Aku tidak mau, kamu ini masih lajang, tampan. Dikasih gadis ngapain malah milih nikahi janda anak tiga?”
Meski nenek meyakinkan dia buruk baginya berjuta kali. Tojo malah menganggap serius ucapannya dan datang ke rumah untuk meminta nenek sebagai istrinya.
Senyum nenek kembali setelah sekian lama. Demi melamar nenek, Tojo rela menjual kalung senilai 75.000. Tahun itu masih sangat berharga. Sisanya, lebih dari cukup untuk memenuhi banyaknya kebutuhan pernikahan.
Hari-hari romantis seperti pasangan muda. Kemana-mana berdua. Duduk berbagi cerita, membantu membawa belanjaan, menunggui nenek masak. Hidup seperti pendakian. Suami pertamamu datang dengan sekarung permohonan. Terlambat, mau menyembah maaf 7 hari 7 malam, tidak peduli hujan atau kelaparan. Sama seperti saat nenek mengemis untuk tidak dipisahkan dengan anak pertamanya, kali ini dia mengemis dan menangis di halaman karena kesalahannya sendiri.”
Malam keenam.
Meski akhirnya nenek menemukan pasangan yang mengerti nenek, dan hidup bersama anak-anak nenek. Masalah tidak cukup di situ. Para masyarakat dan tetangga mulai membicarakan kebodohan pernikahan kita yang katanya tidak punya apa-apa. Nenek jadi bahan gunjingan.
Tojo langsung pergi malam itu. Lima belas hari berlalu. Dengan ringannya mereka mencibir, “Tojo tidak akan kembali.” Menertawakan, memampuskan nenek karena menikahi orang jauh yang akhirnya dibuang tak berguna.
Tapi nenek percaya pada kakekmu. Tojo, nenek yakin dia akan kembali. Tuhan sesuai prasangka hambanya. Tojo kembali membawa uang 35.000 dari hasil menjual aset miliknya. Nenek simpan di bawah gentong wajan masak. Siapa yang akan menduga, rumah gubuk bambu memiliki uang sebanyak itu? Haha, nenek langsung beli sawah, ladang. Bersama membesarkan ketiga anak yang bahkan bukan darah dagingnya. Dia hebat. Bahkan rela menjual apa yang ada untuk membelikan motor anak laki-laki nenek, menyuluh katak untukmu. Dia sangat menyayangimu.”
Nenek mengelus kepalaku.
Malam ketujuh.
Begitulah dunia.
Istri baik suami buruk
suami baik, istri yang buruk
Suami dan istri baik ada pelakor.
Suami dan isri baik tanpa pelakor
Tapi…
Selalu ada tapi.
Lantas, suami kedua nenek datang dan menghasut satu-satunya anak laki-laki nenek, menariknya dan menjatuhkannya dalam keburukan. Mengajarinya dendam dan benci karena cinta nenek yang gagal dia kuasai.
Dia mendebat kakek yang bukan ayah kandungnya, padahal sayang Tojo tak berupa kata-kata. Mungkin itulah sebabnya, meski di saat terakhir pun, pamanmu masih mengusir nenek dari rumah sakit.”
Aku menangis dari balik selimut.
Aku tahu kisah itu, kakek Tojo pernah menceritakannya. Bahwa Nenek menunggui paman sembari menangis dan berdoa sepanjang napasnya berembus di bawah ranjang putih rumah sakit. Sujud yang tak lekang dan tasbih yang tak lepas. Tapi terlambat, paman bahkan mengusirnya dan memintanya untuk tidak datang lagi. Siapa orang tua yang tidak sakit hati? Siapa yang patut untuk disalahkan atas semua ini?
Hingga pada akhirnya nenekku ditinggal kakek pergi untuk selamanya, anak laki-lakinya dan hidup sendiri dalam gelap sunyi. Di mana cucu2nya akan pergi juga satu persatu meninggalkan dia. Termasuk aku?
Malam ke delapan.
Aku memeluk seseorang yang membenahi selimutku.
“Cukup, Nek. Aku tidak akan kuliah, tidak apa. Aku akan menemani nenek.” Ucapanku tersendat.
“Ibu?”
“Pergilah, besok pergilah ke Jakarta. Cari ayahmu. Minta dia mengantarmu ke kampusmu itu, jangan pergi sendiri. Jaga diri baik-baik. Uang kuliah pertama sudah kamu bayarkan, kan? Berikutnya biar ibu yang urus.”
Aku memeluk ibu erat. “Terima kasih, Bu. Terima kasih. Maaf Din belum lolos beasiswa.”
“Ibu juga akan berangkat bekerja ke Batam. Nanti ibu minta adikmu untuk menemani nenek.”
“Tapi kenapa ibu tiba-tiba berubah pikiran?”
“Nenek menangis pada ibu, dia tidak tega melihatmu murung. Dia memohon untuk membiarkanmu pergi. Bahkan jika perlu, dia rela menjual ladang peninggalan kakek untuk membayar hutang ibu dan membiayai kuliahmu.”
“Nenek?”
“Hemm.”
Aku melempar selimut, menuruni ranjang, berlari ke kamar nenek. Memeluknya erat-erat dari belakang.
“Terima kasih, Nek. Terima kasih, terima kasih.” Ujarku berulang-ulang.
“Terima kasih sudah memberiku kesempatan, mengizinkanku melanjutkan sekolah. Terima kasih, Nek.” Aku menangis.
“Nenek melakukannya supaya kamu berhenti menangis, kenapa malah semakin menjadi?” Nenek membalik badan, mengusap pipiku.
“Kenapa nenek harus menjual ladang nenek, padahal itu tidak perlu.”
“Biarlah. Nenek dulu pengen jadi guru. Tapi sekolah SMP saja tidak bisa, hanya menatap basah orang-orang yang berseragam lewat, ayah nenek tidak mau membiayai, padahal orang berada. Dulu lulusan SMP saja sudah bisa mengajar jadi PNS. Tahun tujuhpuluhan.”
“Nanti nenek datang ya ke wisudaku, aku pengen bawa nenek jalan-jalan.”
“Hemm.”
“Nenek janji ya, nenek harus panjang umur dan lihat aku jadi orang sukses.”
“Nenek tadi gorengin kamu telur, satu kok nggak di makan?”
“Lah nenek?”
“Makan aja. Nenek mah gampang.”