Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Astagfirullah haladzim!
Tarmijah tersentak! Tiba-tiba saja ia sudah mendapati dirinya di sebuah ruang tanpa batas yang gelap gulita. Sejauh-jauh mata memandang yang terlihat hanya kegelapan. Tiada suatu apa pun juga. Tidak ada bangunan, tidak ada pohon, bahkan seekor binatang pun tak ada. Ia benar-benar merasa seperti sedang terlempar ke alam lain yang begitu asing. Hanya kesunyian yang mengelilingi keberadaannya.
Sejenak Tarmijah mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Sepi! Ia seolah sedang berada di sebuah ruang hampa. Tanpa ada siapa-siapa. Barangkali seperti inilah keadaan Adam waktu pertama kali diciptakan dan terlempar ke dunia akibat termakan godaan setan. Hanya kesepian yang menemani sepanjang langkah. Sepi yang memagut, melangutkan jiwa yang tersentuh sedikit rasa takut.
“Rahman …!” teriak Tarmijah memanggil anak sulungnya.
Sunyi. Tak ada seorang pun yang menyahut. Bahkan suaranya seakan lenyap entah ke mana. Keadaan itu membuat hati Tarmijah kian bertanya-tanya. Sedang di manakah kini dirinya berada? Mungkinkah ia sudah mati dan sedang menghadap Yang Maha Kuasa? Oh, tidak! Ia belum siap meninggalkan dunia. Ia merasa belum memiliki bekal yang cukup untuk pergi ke alam barzah. Anak, suami, serta orang tuanya yang sudah renta masih sangat membutuhkan keberadaannya. Tapi mengapa ia berada di sini sekarang?
“Kang Patrmin! Rahmaaan! Asiiihh!”
Sekali lagi dicobanya memanggil suami dan anak-anaknya. Namun ia harus kecewa. Karena hanya kehampaan yang masih menyapanya. Tertekan oleh perasaan bingung dan segudang tanda tanya yang berputar memnuhi isi kepalanya, Tarmijah mencoba berlari ke sana-ke mari tak tentu arah. Tangannya coba menggapai-gapai meski tak pernah menemukan apa-apa. Kini yang terdengar justru dengus napasnya yang terengah-engah. Ia jadi seperti seekor semut yang coba memutari sebuah bola.
Saat tenaganya sudah nyaris terkuras, ia pun bersimpuh pada tempat yang dipijaknya. Tapi ia yakin itu bukanlah tanah. Yang berputar mengelilinginya hanyalah sekumpulan kabut tipis yang menebarkan hawa dingin.
Untuk beberapa saat Tarmijah hanya mampu tertunduk lesu. Bibirnya tak mampu lagi untuk berteriak. Segenap doa-doa yang selama ini selalu dipanjatkannya seusai sholat 5 waktu, tiba-tiba raib dari ingatannya. Semua telah lumat. Tergerus oleh ketakutan dan kesunyian yang menyayat.
Oh!
Tarmijah memejamkan mata. Dengan begitu ia berharap penglihatannya bisa beradaptasi dengan kegelapan yang menyelimuti. Tapi upayanya sia-sia belaka. Tetap saja tak ada sesuatu yang melintas di sekelilingnya. Hingga matanya lelah terpejam.
Perlahan ia membuka mata kembali. Hmm, ia bisa sedikit tersenyum. Agak jauh dari tempatnya tampak adanya seberkas cahaya yang meliuk-liuk tertiup angin. Lantas ia bergegas bangkit dari duduknya guna menghampiri sumber cahaya itu.
Dug!
Belum 5 langkah, tubuhnya terasa membentur sebuah benda keras yang baru saja terbentang dari atas. Sesaat tubuhnya limbung tapi tak sampai jatuh. Dengan meraba-raba ia coba menggapai benda itu.
Hah!
Ia terbelalak tak percaya. Sebuah anak tangga telah berdiri kokoh di hadapannya. Berpikir bahwa tangga itu adalah penyelamatnya untuk bisa keluar dari lorong kesunyian tempat ia berada, tanpa pikir panjang ia pun merangsek naik. Satu demi satu titian anak tangga itu ia lewati dengan sangat hati-hati.
Sesekali ia berhenti untuk mengatur napas. Kalau saja tak ada cahaya terang yang berasal dari ujung tangga bagian atas, enggan rasanya ia meneruskan memanjat. Terlebih samar-samar ia sempat mendengar suara tangis suami dan kedua anaknya. Meski ia tak dapat melihat wujud mereka secara nyata, namun suara itu sudah cukup untuk membangkitkan semangatnya.
Ingin rasanya ia berteriak memanggil mereka. Tapi ia tak mau lagi melakukannya lantaran ia sadar bahwa suaranya akan hilang entah ke mana. Tempat aneh ini seolah sengaja tak memberinya kesempatan untuk bersuara.
Sekali lagi Tarmijah menatap ujung tangga yang masih sangat jauh dari jangkaunnya. Cahaya putih terang yang ada jauh di atas kepalanya menjadi satu-satunya harapan untuk selamat. Hal itu membuatnya tak peduli lagi walau harus menaiki anak tangga yang ratusan jumlahnya. Ia hanya ingin keluar dari tempat ini dan bertemu dengan keluarganya. Itu saja.
Tap! Tap! Tap!
Dengan langkah pasti ia kembali menaiki anak tangga itu. Suara tangis kedua anaknya yang terdengar timbul tenggelam, seakan jadi penuntun gerak kakinya. Ia telah pasrah. Kalau pun harus mati, ia ingin bisa mati di samping anak dan istrinya. Bukan di tempat sunyi yang terkutuk seperti ini.
“Emak … Rahman di sini Mak … tolong Mak …,” rintih anak sulungnya seolah didera kesedihan yang teramat dalam.
“Ijah … tolong Akang, Jah … tolooong ….” Suara suaminya juga terdengar menyayat.
“Kang! Rahman! Asih! Tunggu, aku akan segera datang menyelamatkan kalian!” teriak Tarmijah meski lagi-lagi suaranya tertahan di tenggorokan.
Tarmijah jadi tak sabaran lagi. Ia mempercepat gerakannya meniti anak tangga itu. Karena konsentrasinya terpusat pada suara suami dan kedua anaknya, akibatnya ia salah memijakkan kaki. Tak ayal tubuhnya melayang seiring dengan jatuhnya tangga panjang itu.
“Aaaaahhh!”
Bruukk! Tubuhnya terhempas kembali ke dasar ruang sunyi itu dalam posisi telentang. Ia meringis kesakitan. Tulang punggungnya serasa remuk redam. Dan sialnya lagi, belum sempat ia bangun, tangga yang melayang itu sudah pula sampai di atasnya. Tak sempat lagi ia menghindar. Dengan mata terpejam ia pasrah menerima tangga yang melaju cepat dan menimpa tubuhnya.
Bleg!
Tubuh yang tertimpa tangga itu tak sempat lagi untuk mengaduh. Ia sudah pasrah menerima nasip. Byar! Perlahan ia membuka mata. Ia telah mendapati dirinya tergeletak di lantai kamar kontrakannya.
“Alhamdulilah … kiranya semua itu tadi hanya mimpi belaka,” ucapnya seraya mengusapkan keduan telapak tangan ke wajah.
Kiranya ia baru saja jatuh dari ranjang, bukan jatuh dari tangga seperti yang dirasakannya. Punggungnya yang menbentur lantai terasa sedikit ngilu saat ia berusaha duduk. Sambil meringis menahan sakit, ia menyandarkan punggungnya ke tembok kamar.
Dipandanginya anak dan suami yang masih terlelap di atas ranjang. Sementara jam di dinding tepat menunjuk ke angka 12.
****
Tepat jam 01.30, suaminya terbangun. Begitu mendapati istrinya sedang duduk di lantai seraya menyandarkan punggung ke tembok, sang suami buru-buru menghampiri.
“MasyaAllah Ijah, kau sudah bangun? Tapi kenapa duduk di lantai begitu? Kan dingin, nanti masuk angin loh. Ayo sini duduk di ranjang aja!” kata suaminya sambil menggandeng tangan Tarmijah.
Tarmijah menurut. Ia mengikuti langkah suaminya yang membawanya duduk di tepi ranjang. Hati-hati sekali saat ia mendaratkan pantat di ranjang itu. Ia takut menimbulkan suara yang bisa membangunkan anaknya. Tarmijah duduk di samping suaminya dengan wajah kusut.
“Ijah, kenapa wajahmu kusut begitu Jah? Ada apa? Maaf ya kalau semalam aku tertidur saat ngeloni Asih sehingga tak sempat menjatahmu,” ujar suaminya merasa bersalah.
Tarmijah memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Meski yang dihasilkan hanyalah sebuah senyum kecut.
“Tak mengapa Kang, aku paham kok kalau kau memang capek ngurusi anak dan pekerjaan rumah seharian,” lirih Tarmijah menjawab.
Kang adalah panggilan sayang dari Tarmijah untuk suaminya yang sudah ia mulai semenjak masa pacaran. Dan lelaki yang telah memberinya dua anak itu teramat menikmati panggilan itu. Hal sederhana memang. Tapi bagi keluarga kecil yang jadi penghuni tetap garda depan garis kemiskinan, sudah menjadi sesuatu yang membahagiakan. Bahagia memang sederhana.
Tangan Parmin segera saja terulur menggapai pundak istrinya. Direngkuhnya perlahan dan ia sandarkan ke pundak kanannya.
“Kalau Ijah ingin, kenapa enggak bangunkan aku tadi?” bisik Parmin sembari bergelayut manja.
“Bukan itu masalahnya kok Kang.”
“Lalu apa, Ijah?”
“Aku hanya kepikiran sama mimpi yang baru saja aku alami tadi.”
“Mimpi?”
Tarmijah mengangguk lemah.
“Mimpi apa? Awas kalau mimpi ketemu mantanmu yang dulu ya!” Suara suaminya sedikit merajuk.
Akh, dasar lelaki! Selalu saja punya cara untuk menyudutkan pasangannya dalam waktu yang tepat. Namun begitu Tarmijah senantiasa merasa bersyukur pada Allah yang telah memberikan jodoh seorang lelaki paling pengertian sedunia untuk dirinya. Hehehe! Tarmijah tersenyum getir baru kemudian menjawab.
“Tentu saja tidak, Kang. Aku baru saja mimpi jatuh dari sebuah tangga yang tinggi karena ingin menyelamatkan kau dan anak-anak dari sebuah ruang yang sepi tanpa penghuni,” sahut Tarmijah sambil membelai kepala suaminya.
Seketika Parmin tertawa kecil.
“Kenapa kau malah tertawa, Kang?”
“Habis kau ini aneh, Ijah. Wong cuma mimpi jatuh dari tangga aja kok dipikirin. Malah sampai sedih gitu. Itu kan hanya mimpi, Ijah.”
“Tapi aku merasa ini adalah sebuah firasat, Kang.”
“Firasat apaan, Ijah?”
“Asal kau tahu Kang, kata Bapak dan Mamakku kalau kita mimpi jatuh dari tangga itu artinya kita akan kehilangan kedudukan atau pangkat, Kang.”
Hehehe! Lagi-lagi lelaki bertubuh langsing itu tertawa kecil.
“Sudahlah, gak usah dipikirin mimpi itu. Lagian kita kan tidak punya kedudukan atau jabatan apa pun. Kita hanyalah buruh. Jadi gak ada yang bakalan hilang dari kita, Ijah. Karena itu lebih baik kita tidur lagi aja supaya besuk kau bisa bangun pagi dan berangkat kerja dengan semangat, ya!” Sang suami berkata seraya menarik leher istrinya agar kembali berbaring di sisinya.
Tarmijah menurut saja. Ia balas mendekap suaminya sambil berusaha memejamkan mata. Namun hingga suaminya terlelap lagi, mata Tarmijah belum bisa terpicing. Masih saja pikirannya terpaut pada mimpinya.
Mimpi jatuh dari tangga yang membuatnya resah.
***
Jam 4 pagi.
Tarmijah sudah sibuk di dapur guna mempersiapkan makan pagi bagi keluarga majikannya yang saat itu masih terlelap di balik selimut tebal. Sambil menunggu matangnya nasi, Tarmijah tidak tinggal diam. Tangannya sibuk memasak sayur dan menggoreng lauk. Sekali-kali ia mencicipi masakannya, takut jika kurang garam atau malah kelebihan yang bisa membuat majikannya naik pitam.
Jujur sebenarnya Tarmijah kurang betah bekerja di keluarga ini. Karena Nyonya rumah yang bernama Nelly cerewetnya setengah mati. Tarmijah salah sedikit saja, memarahinya bisa lebih dari dua jam. Tapi mau bagaimana lagi? Tarmijah terdesak oleh kebutuhan. Suaminya yang hanya seorang guru honorer, honornya tak cukup buat menutupi kebutuhan. Apalagi sekarang anak sulungnya sudah mulai masuk SMP. Jadi betah tidak betah, Tarmijah mencoba tetap bertahan.
Selesai masak dan mempersiapkan makan pagi, Tarmijah menyapu lantai dan lantas mengepelnya pula. Ketika keluarga majikannya sarapan, Tarmijah masih harus menyeterika baju seragam anak majikannya. Anak majikannya ada dua. Yang satu kelas 6 SD dan yang satu kelas 2 SMA.
Tepat jam 06.45, semua keluarga itu berangkat ke tempat tugas masing-masing. Kini Tarmijah tinggal sendirian. Namun bukan berarti ia bisa istirahat. Setumpuk piring bekas makan pagi dan seember baju kotor sudah menanti untuk dicuci. Sedang perutnya sama sekali belum terisi.
Ketika jam di dinding berdentang 9 kali, Tarmijah baru saja selesai menjemur cucian. Saat itulah ia baru berniat untuk sarapan. Ia pun segera ke dapur. Mengambil nasi, sayur, dan lauk seperlunya saja. Yang penting bisa menambah tenaganya.
Namun ketika Tarmijah baru menelan sesendok nasi, tiba-tiba panggilan Nyonya Nelly sudah terdengar keras.
“Tarmijaaah!!”
Pembantu itu buru-buru meletakkan piringnya dan langsung berjalan tergopoh-gopoh menemui majikannya.
“Iya, saya Nyonya. Kok tumben jam segini Nyonya sudah pulang? Ada apa Nyonya?”
“Iya, ada sesuatu yang ketinggalan. Kamu tadi menyapu kamar saya, kan?” balik tanya majikannya tanpa melihat sang pembantu.
“Iya, Nyonya.”
“Nah, kau pasti tahu di mana cincinku berada? Tadi aku letakkan di meja rias.”
“Tapi Nyonya, saya benar-benar tidak tahu cincin itu.”
“Jangan bohong! Atau kau sengaja mencurinya, ya?” tuduh sang majikan pula.
“Ya Alloh, Nyonya. Saya memang miskin, tapi pantang bagi saya mengambil barang yang bukan hak saya.”
“Allaa … ngaku saja! Di rumah ini yang ada kan cuma kamu. Jadi kau mengaku saja lah, kau sembunyikan di mana cincin itu?” Sambil berkata begitu Nyonya Nelly mendorong tubuh Tarmijah ke dinding. Lalu dengan kasar tangannya menggeledah seluruh tubuh Tarmijah yang kini menangis sesenggukan.
Karena tak menemukan cincin yang dicari, Nyonya Nelly semakin naik pitam.
“Dasar pembantu tak tahu diuntung! Cepat katakan, dmana cincin itu kau sembunyikan? Kalau tidak, aku laporkan ke polisi kamu!!”
“Ampun Nyonya … saya benar-benar tidak mengambilnya. Saya benar-benar tidak tahu. Ampun Nyonya, jangan bawa saya ke polisi. Ampuun.”
“Akh!!!”
Nyonya Nelly menepis tangan Tarmijah yang hendak memeluk kakinya dengan kasar dan keras. Tarmijah terhempas ke lantai. Tapi Nyonya Nelly tak peduli. Ia melangkah ke kamar Tarmijah yang ada di sisi kanan dapur. Diacak-acaknya semua barang milik Tarmijah hingga berserakan ke lantai. Bahkan ada yang hampir masuk tempat sampah.
Tarmijah hanya bisa menangis pilu. Sampai akhirnya datanglah dua orang polisi yang telah ditelepon Nyonya Nelly. Tarmijah ditangkap dan dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi.
****
Di kantor polisi, Tarmijah tetap menyangkal semua yang dituduhkan sang majikan. Tapi Nyonya Nelly tetap ngotot dengan tuduhannya.
“Pak Polisi, jebloskan saja pembantu sialan ini ke dalam penjara. Biar kapok. Lagi pula mana ada maling yang mau mengaku??”
“Tenang Nyonya, kita harus ikuti prosedur hukum. Polisi tidak mau memenjarakan seseorang dengan tuduhan yang belum ada bukti dan saksinya.”
“Mau bukti apa lagi Pak Polisi? Sudah jelas hanya dia yang ada di rumah, mau siapa lagi yang mencuri kalau bukan dia.”
“Jadi cuma Nyonya dan Bu Tarmijah ini yang tinggal di rumah?”
“Tidak, Pak Polisi. Masih ada suami dan dua anak saya.”
“Baiklah, untuk sementara Nyonya boleh pulang, tapi sewaktu-waktu akan kami panggil lagi untuk dimintai keterangan.”
Tanpa menyahut Nyonya Nelly pergi, meninggalkan kantor polisi.
****
Dua hari kemudian. Siang itu Tuan Hendra suami Nyonya Nelly, baru saja keluar dari sebuah restoran mewah tempat ia meeting bersama klien bisnisnya. Begitu masuk mobil, tiba-tiba HP-nya berbunyi. Ternyata bapak Kepala Sekolah SMA Harapan yang meneleponnya. Meminta agar Tuan Hendra saat itu juga datang ke sekolah. Karena Alya putrinya sedang terkena suatu masalah.
Tuan Hendra pun segera meluncur ke SMA Harapan. Di sana ia buru-buru menuju ke ruang Kepala Sekolah. Begitu ia masuk, Bapak Kepala Sekolah sudah menunggu. Alya juga ada di situ. Juga dua orang polisi yang entah sedang apa.
“Selamat siang, Pak. Apa yang terjadi dengan Alya putri saya?” tanya Tuan Hendra tampak cemas.
“Duduklah dulu, Tuan Hendra. Biar Pak Polisi saja yang menjelaskan semuanya.”
Polisi yang ditunjuk oleh Kepala Sekolah menganggukkan kepala dan kemudian langsung menjawab.
“Begini Tuan Hendra … ketika anak-anak sekolah ini sedang melaksanakan upacara kami sengaja datang ke sekolah untuk melakukan razia pada tas anak-anak. Karena kami sinyalir bahwa di sekolah ini ada peredaran narkoba.”
“Lalu apa hubungannya dengan Alya?”
“Hubungannya jelas, Tuan. Dari tas Alya, kami temukan 10 butir pil haram dan sejumlah uang yang kami duga dari hasil transaksi obat-obatan terlarang itu, Tuan….”
“Tidak mungkin, Pak Polisi. Ini pasti salah. Lagi pula dari mana Alya punya uang sebanyak itu?”
“Soal itu, silakan Tuan tanya sendiri pada Alya.”
Tuan Hendra menghampiri anaknya yang duduk menunduk dengan wajah pucat pasi. Belum sempat Tuan Hendra bertanya, Alya sudah bersimpuh seraya merangkul kedua kaki papanya dengan tangis membuncah.
“Maafkan Alya, Pa. Maafkan Alya. Alya selama ini sudah salah pergaulan. Alya terjebak hingga jadi pemakai narkoba.”
“Jadi… semua ini benar, Alya?”
Ditanya begitu, tangis Alya semakin menjadi-jadi.
“Lalu dari mana kau dapatkan uang-uang itu?”
“Maafkan Alya… Pa! Alya terpaksa mengambil dan menjual cincin mama, karena Alya terjerat hutang pada pengedar, Pa …,” kata Alya masih dalam isak tangisnya.
Tuan Hendra langsung lemas. Tak menyangka bahwa ia dan istrinya yang selama ini sibuk bekerja, justru melupakan perhatian untuk anaknya, hingga terjadi hal yang serumit ini.
****
Braakk!
Tuan Hendra meradang. Tangannya yang mengepal menggebrak meja dengan cukup keras. Wajah lelaki perlente itu merah padam akibat menahan amarah yang menghujam. Terlebih saat matanya menatap sosok istrinya yang sedang duduk sembari menangis sesenggukan.
“Ma, dari awal aku sudah bilang kalau aku gak percaya pada apa yang Mama tuduhkan ke Mbok Tarmijah, tapi Mama tetap saja ngoto membawa Mbok Tarmijah ke kantor polisi. Harusnya Mama itu mikir dulu kalau Mbok Tarmijah itu gak mungkin berbuat sehina itu. Dia sudah cukup lama bekerja pada kita, Ma. Dan selama itu tidak pernah sekali pun bertindak serendah itu. Sekarang sudah ketahuan kalau yang nyuri cincin Mama itu adalah Alya, anak kita sendiri. Mau ditaruh di mana muka kita di depan Mbok Tarmijah, Ma!” Tuan Hendra memuntahkan kekesalan hatinya dengan suara berat.
“Habisnya itu kan cincin mahal, Pa. Ya wajar dong kalau aku emosi ketika cincin itu hilang,” bantah istrinya sambil mengusap air mata.
“Emosi ya emosi, tapi bisa kan dibicarakan baik-baik. Tak perlu pakai mecat dan lapor polisi segala. Kalau sudah begini, kita juga kan yang repot.”
“Bodo amat! Cari pembantu baru kan gampang!” Nyonya Nelly belum juga mau disalahkan.
“Sadarlah, Ma! Sadar! Sekarang lagi masa pandemi, mencari pembantu tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi mencari yang jujur dan rajin seperti Mbok Tarmijah.”
Kali ini Nyonya Nelly terdiam. Mau tak mau ia harus mengakui kebenaran kata-kata suaminya. Pembantunya yang dulu-dulu juga sering berbuat ulah. Bertindak sembrono bahkan pernah ada yang berani bersikap genit dan menggoda suaminya. Makanya tak pernah ada seorang pembantu yang betah bekerja di rumahnya. Selalu saja ada perkara yang tercipta.
Ketenangan dalam keluarganya baru tercipta setelah datangnya Mbok Tarmijah. Perempuan setengah baya yang selalu berpenampilan sederhana dan tak banyak tingkah.
Menyadari hal itu, sungguh ia teramat menyesal atas sikapnya yang semena-mena. Namun mau bagaimana lagi, ibarat nasi telah menjadi bubur. Ia sendiri yang telah menciptakan jurang perseteruan akibat gelap mata.
Terlebih jika ia mengingat perubahan sikap Alya yang sejak pulang dari kantor polisi seminggu yang lalu jadi seluru murung. Mengurung diri di dalam kamar tanpa mau bertemu dengan siapa-siapa. Di suruh makan atau minum, susahnya juga minta ampun. Setiap saat yang disebut dan ia panggil hanya satu nama, Mbok Tarmijah.
“Aku gak mau tahu, pokoknya Mama harus secepatnya meminta maaf pada Mbok Tarmijah. Papa gak tahu lagi bagaimana nasip Alya seandainya Mbok Tarmijah terlanjur sakit hati dan tak mau lagi kembali bekerja di sini.”
“Yaa, maafkan aku, Pa.”
“Maaf saja tidak cukup. Sore ini juga aku akan antar Mama ke rumah Mbok Tarmijah.”
“Tapi Pa ….”
“Tidak ada tapi-tapian. Aku tidak mau tahu, demi Alya, Mama harus bisa membujuk Mbok Tarmijah supaya mau bekerja kembali. Bagaimanapun caranya.”
Nyonya Nelly mengangguk pasrah.
****
Tarmijah sedang duduk di bangku bambu depan rumah kecilnya ketika Tuan Hendra dan Nyonya Nelly keluar dari mobil dan menghampirinya. Sebab sejak perseteruan dengan majikannya soal cincin itu, Tarmijah memutuskan berhenti kerja. Ia terlanjur sakit hati, meski tuduhan itu tak terbukti. Ia tak rela harga dirinya terinjak-injak.
“Mbok Tarmijah … atas nama keluarga saya minta maaf. Terutama atas apa yang telah di lakukan oleh istri saya. Sebab ternyata, cincin itu yang mengambil dan menjual adalah Alya. Sekarang ia berurusan dengan polisi karena masalah narkoba. Istri saya sekarang sedih banget. Jadi saya mohon Mbok Tarmijah mau kembali kerja di rumah saya.” Tuan Hendra berkata dengan hati tulusnya.
“Iya Mbok, sungguh saya minta maaf. Sekarang saya mohon Mbok Tarmijah kembali ke rumah saya. Karena Alya hanya dekat dengan Mbok Tarmijah. Jadi saya mohon, Mbok mau bantu saya. Saya janji hal seperti kemarin tak akan terulang lagi. Kalau perlu gaji Mbok Tarmijah akan saya naikkan dua kali lipat …. Tolonglah Mbok, demi Alya …,” sambung Nyonya Nelly memelas.
Dan Tarmijah yang terlanjur sakit hati, tak tergiur lagi oleh janji-janji manis Nyonya Nelly. Rasanya cukup sekali itu ia berurusan dengan polisi. Ia tak mau harga dirinya terinjak- injak lagi. Makanya dengan tegas Tarmijah menolak..
“Tidak! Saya tidak bisa!” ujar Tarmijah langsung masuk rumah. Seolah tak mau lagi melihat Nyonya Nelly yang telah menggoreskan luka dihatinya.
Tarmijah bertekad, lebih baik ia jadi pembantu di luar negeri saja. Karena di negeri ini yang namanya majikan selalu bertindak sewenang-wenang. Padahal mereka sama-sama orang Indonesia yang mengerti Pancasila. Sehingga harusnya tercipta satu sinergi di mana antara majikan dan pembantu harus saling mengerti dan memahami, bahwa mereka saling membutuhkan. Bukan saling menjatuhkan!
Karena pembantu juga manusia! Tarmijah sadar bahwa sejatinya hidup adalah sekadar permainan rasa. Bisa jadi apa yang ia rasakan selama ini merupakan perpaduan dari aneka rasa yang sedang diseduh Sang Pembuat Hidup untuknya. Kini tugasnya hanyalah untuk memeluk kabut biru agar rasa kemanusiaan yang ada dalam nuraninya tidak luntur oleh terpaan waktu.
Setebal apa pun kabut kehidupan akan menyelubungi dunianya, Tarmijah akan bergeming. Sebagai perempuan pemeluk kabut tekadnya tidak akan pernah surut. Baginya jika bagian terindah dari tidur adalah mimpi, maka bagian terindah dari hidup adalah mati. Kematian berarti jika tidak pernah menorah luka pada sesamanya.
Hingga mobil mewah itu menjauh dari halaman rumah kontrakannya, Tarmijah tak sudi lagi menoleh ke luar rumah. Ia peluk kabut hidup dengan hati pasrah.