Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam itu aku bermimpi. Seorang perempuan menari dalam hujan. Tubuhnya bergoyang-goyang, tangannya meliuk-liuk, bagai serangkaian bunga matahari yang tersibak angin. Kala berputar, roknya sedikit mengembang menampilkan dua buah kaki telanjangnya. Kemudian, perempuan itu menengadah, membiarkan bulir-bulir air menyerbu wajah. Sejenak, sebelum sesuatu menarik diriku yang tersangkut dalam mimpi itu keluar, perempuan dalam guyuran hujan itu melengkungkan bibirnya. Matanya menembus mataku dengan lembut. Suatu sengatan tak kasat mata tak terasa menggetarkan hati.
***
Dalam gedung teater yang pada saat itu menelan sekitar seratus manusia, aku kembali melihatnya. Perempuan itu bagai seorang dalang yang membius ratusan bola mata untuk tertuju pada penampilannya. Kala tirai terbelah menjadi dua, suatu perasaan gembira menghinggapiku. Perempuan itu tampak tak begitu asing. Hingga ketika dirinya yang berbalutkan gaun putih itu mulai menggerakkan tubuh mengikuti irama dentingan piano, bibir ini tak kuasa menahan rekahan senyum. Ia adalah perempuan yang beberapa hari lalu tersangkut dalam bunga tidurku.
Pagelaran tersebut bertajuk, "Dancing in the Rain." Perempuan itu adalah tokoh utama yang menari-nari dalam hujan. Hingga kemudian datanglah seorang pria yang ikut menari bersamanya. Pertunjukan berlangsung dramatis kala si pria yang diketahui adalah seorang pangeran itu telah dijodohkan dengan seorang putri bangsawan. Si perempuan yang bersedih pun kembali menari-nari untuk menghibur hatinya. Tirai panggung itu pun menampilkan suasana malam yang deras oleh hujan.
"Kau tidak bilang kalau sepupumu secantik itu," ucapku pada teman di bangku samping.
"Gimana? Mau kukenalin?" tanyanya.
Aku hanya tertawa kecil sembari meluruskan kembali pandangan pada panggung. Dengan segala perjuangan serta rintangan, pertunjukan itu berakhir sesuai harapan. Sang Pangeran akhirnya bisa bersama dengan si perempuan. Mereka menari begitu romantis sebagai penutup. Entah bagaimana tapi aku merasa perempuan itu seperti mengarahkan kedua matanya padaku, lantas tersenyum singkat. Lalu, tirai pun menutup dan ratusan tepuk tangan menyeruak.
Kami pun berkenalan pada akhirnya. Temanku yang bersepupu dengan perempuan itu mempertemukan kami. Diketahui bahwa perempuan tersebut bernama Raina. Tangannya yang lengket sehabis melakukan pagelaran tadi menjabat tanganku.
"Penampilanmu luar biasa!" Kulayangkan pujian untuknya.
"Terima kasih sudah bersedia melihat pertunjukan sederhana ini," sahutnya malu-malu dan merendah.
"Aku puas bisa melihat pertunjukan seperti tadi. Sungguh menyenangkan."
Raina tersenyum lembut. Lalu ia berkata bahwa akan ada beberapa pertunjukan lagi berikutnya. Maka, ketika tawaran yang penuh ragu-ragu itu dilontarkan pada sepupunya—yang juga padaku—tak ada bentuk penolakan macam apapun.
Sejak saat itu, selalu kusediakan waktu untuk menyaksikan penampilannya. Kami menjadi lebih dekat, sebagai teman. Dalam gedung teater yang berbeda-beda dan berpindah-pindah, tak secuil pun dirinya pernah mematahkan perasaan antusias ini. Di atas panggung penampilannya selalu memukau, sementara ketika berjumpa di belakang panggung ia adalah perempuan yang lembut serta rendah hati. Hingga diri ini selalu menantikan saat-saat ketika hendak berjumpa dengannya.
"Tadi itu keren sekali. Aku sungguh menikmatinya," ungkapku seraya memberi tepuk tangan kecil. Ini adalah kali kelima menghadiri pagelarannya.
"Thanks."
"Sekujur tubuhku merinding ketika kamu menangis tadi. Penghayatanmu sungguh luar biasa."
"Sungguh?" Raina tampak senang. "Aku sedikit cemas tadi. Takut jika penghayatanku kurang."
"Kau bisa lihat. Aku masih merinding sampai sekarang," ujarku seraya mengulurkan tangan.
"Seperti biasa aku selalu menjadi patung di antara kalian," celetuk temanku yang mulai menyalakan rokoknya.
Kami pun tertawa. Sekilas kulihat wajah Raina. Pipinya bersemu merah bagai potongan langit senja. Ada semburat senyum malu-malu ketika dia menatap ke arahku. Kutarik napas dalam-dalam. Rupanya sesuatu tengah tumbuh bermekaran dalam hati ini.
***
Aku kembali melihatnya dalam mimpi, di bawah guyuran hujan.
Sama halnya ketika kau melihat gumpalan kapas di langit menghitam, maka tak lama lagi jutaan atau bahkan milyaran bulir air akan tumpah. Atau ketika kau menemukan pohon randu telah berbunga, maka musim kemarau tengah merayap dan akan melanda pada waktunya. Semuanya hanyalah tentang waktu. Kita hanya perlu menunggu untuk menyaksikan pertanda-pertanda itu menjadi nyata.
Dalam satu kasus tertentu, aku memang menunggu. Pertanda yang kulihat muncul ke dalam mimpi. Bunga tidurku selalu menjadi nyata. Sungguh. Aku tak berdusta.
Semalam ketika sebuah pertanda datang bersambang, dengan perasaan was-was aku menunggu langit kembali menurunkan tirai malamnya. Di suatu trotoar yang sangat tak asing, ia sedang berjongkok di bawah guyuran hujan—persis seperti yang tampak dalam tidurku semalam. Lantas, segera kubentangkan payung untuk melindungi dirinya yang sebenarnya sudah terlanjur basah kuyup itu. Raina mendongakkan kepalanya. Ia menangis; matanya sembab dan raut mukanya semendung langit malam itu. Kuturunkan tubuhku perlahan supaya sejajar dengannya.
"Apa yang terjadi?"
"Aku harus bagaimana? A-ku a-," ia tak melanjutkan perkataannya, ledakan tangis menyerbu kembali.
"Ada apa Raina? Apa yang terjadi?"
Aku mengusap-usap pundaknya hingga napasnya kembali teratur.
"Aku tak bisa menepati janji pada Ibu untuk merawat Ayah dengan baik. Aku adalah pengecut egois yang terlalu mementingkan diri sendiri."
"Apa yang terjadi pada ayahmu?"
"Dia sedang kritis."
"Raina tenanglah. Itu bukan salahmu."
Kuraih tangannya yang membeku oleh dinginnya air hujan serta udara malam. Ia tersedu-sedu membuat irama yang terdengar memilukan. Hingga beberapa saat kemudian, temanku yang juga sepupu Raina itu datang menghampiri kami. Dari raut wajahnya tampak sesuatu yang tidak menyenangkan sedang terjadi.
"Raina, aku mencarimu kemana-mana. Cepatlah! Ayahmu sedang sekarat."
Kami bertiga pun berlari menuju rumah sakit yang berada tepat di samping trotoar.
***
Ayah Raina tak bisa bertahan. Butuh berminggu-minggu lamanya untuk menguatkan hati perempuan yang rapuh itu. Ketika ada waktu luang, kaki-kaki ini tak pernah lelah untuk menyambanginya. Cukup menyenangkan menjadi sandaran bagi seorang perempuan, seperti menjadi pria sesungguhnya. Rasanya seperti memiliki hewan peliharaan yang selalu kaurindukan, yang selalu kau cemaskan keberadaan serta kesehatannya. Namun, Raina lebih dari sekedar hewan peliharaan. Ia sangatlah spesial.
Langit mendung dalam wajahnya kini telah menampakkan secercah senyuman lembut seperti sedia kala. Ia berdiri di ambang pintu rumahku dengan kemeja kuning serta rok mengembang bercorak bunga matahari, persis seperti yang ada dalam mimpiku semalam.
"Aku bahkan belum mengetuk pintunya," sambutnya sambil tertawa renyah ketika kubukakan pintu.
"Hai," sapaku bersemangat karena pertama kalinya perempuan itu menginjakkan kaki di sini.
"Ya, hai. Boleh masuk?"
"Tentu saja."
Kami pun berpindah menuju sofa dan duduk berhadapan. Kubuatkan secangkir teh hangat karena pagi itu udara cukup membuat bulu kuduk meremang.
"Bagaimana kau tahu aku ada di depan pintu? Atau kebetulan kamu akan pergi keluar?"
"Sudah kubilang aku selalu melihatmu dalam mimpi."
Raina mendesah pelan sambil tersenyum tipis, "Baiklah, tak ada gunanya bertanya. Dulu ketika ayahku sedang kritis, kamu juga bilang begitu. Katamu aku ada dalam mimpi sehingga kau tahu kalau aku sedang menangis di sisi trotoar." Raina menyesap tehnya perlahan. "Sayangnya aku tak begitu memercayai mimpi-mimpimu itu."
"Tak apa. Toh aku juga tak memaksamu untuk percaya, kan?"
Kami pun tertawa. Raina tak pernah percaya pada mimpi-mimpiku. Lagipula, aku tak pernah bersungguh-sungguh menceritakannya, hanya menjadikannya sebuah gurauan. Juga, tak ada gunanya membiarkan orang lain tahu. Karena hal seperti ini terkadang cukup membebani, kalau harus jujur. Raina kembali menyesap teh dan bertanya dengan ragu-ragu apakah kehadirannya di sini mengganggu atau tidak. Maka dengan santai kugelengkan kepala, walau setumpuk berkas menantiku di kamar.
"Aku hanya ingin bertemu sebelum kau pergi ke Singapura besok. Tiga bulan cukup lama juga, ya."
"Ya, mau bagaimana lagi. Sayang sekali aku tidak bisa melihat pagelaranmu bulan depan."
"Tidak apa-apa. Semangat untuk pekerjaanmu di Singapura nanti. Semoga semuanya berjalan lancar." Raina tampak memaksakan sebuah senyuman. "Jangan lupa oleh-olehnya nanti. Katanya cokelat di sana enak."
"Baiklah. Belum berangkat sudah minta buah tangan, dasar kamu ini ya," timpalku, bercanda.
Kami menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang. Ia pulang ketika waktu telah tengah hari. Hingga ketika malam tiba, sebuah mimpi yang begitu mendebarkan muncul. Raina mengantarku hingga bandara, dan di saat-saat terakhir ia melingkarkan lengannya pada perutku sambil terisak.
"Aku akan sangat merindukanmu."
"Kita akan bertemu lagi. Aku tak akan lama," ucapku sambil membalas pelukannya.
Satu hal yang sudah sangat pasti: mimpiku tak pernah salah.
Dan keesokan harinya mimpi itu benar-benar terjadi. Kami saling merangkul dan mengakui perasaan masing-masing.
***
Jika ada kesempatan untuk bertemu dengan seorang Genie, maka aku ingin meminta agar tidurku tak lagi bermimpi. Itu lebih baik daripada terus mendapati mimpi yang selalu menjadi kenyataan.
Rasanya pagi ini aku tak ingin membuka mata dan memilih tenggelam saja dalam tidur, jika bisa. Langit Singapura yang tampak cerah saat itu seperti sedang menertawakanku. Mengapa langit begitu tersaput bersih? Tak lihatkah petir sedang berkilatan dalam diriku?
Semalam aku bermimpi sedang berdiri di bawah payung hitam. Bulir-bulir air menyerbu deras menyebabkan tanah yang baru digali itu menjadi basah. Aku meratap di samping makam. Ratusan kelopak bunga menguarkan aroma segar. Perempuan itu telah pergi. Ia berbaring di dalam tempat peristirahatan terakhirnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun sebagai perpisahan. Hujan yang lebat menyambut kepergiannya. Mimpi ini benar-benar membuatku gila.
Sungguh aku tak ingin membuka mata. Karena mimpi menyeramkan itu akan segera menampakkan taringnya. Kulihat ponsel yang tak henti berdering. Belasan panggilan tak terjawab datang dari temanku yang mana adalah sepupu Raina. Lalu, sebuah pesan muncul, "Raina tak bisa terselamatkan. Semalam ia tertabrak ... ."
Suatu cengkeraman kuat rasanya meremas hatiku. Mimpiku memang tak pernah salah. Keparat! Sialan!
Selamat tinggal untuk perempuan dalam rangkulan hujan.