Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Masa SMP adalah masa transisi. Masa di mana kita merasa sudah dewasa, tapi kelakuan masih setara balita yang baru belajar jalan. Kisah ini terjadi saat kegiatan suci bernama Persami (Perkemahan Sabtu Minggu) walaupun namanya perkemahan, kegiatan ini dilakukan di sekolah.
Agenda utama Persami biasanya keren: Melatih kemandirian, kedisiplinan, dan jiwa korsa. Tapi bagi Regu, reguku isinya 12 anak curut tak berdosa, Persami kali ini berubah menjadi simulasi manajemen bencana feses.
Pukul 03.30 pagi. Suara peluit Kakak Pembina membelah keheningan malam, lebih nyaring dari terompet Sangkakala. "PRIIITTT!! BANGUN! BANGUN! PERSIAPAN PELANTIKAN! KUMPUL DI LAPANGAN DALAM 1 JAM!"
Kami terbangun dengan nyawa belum terkumpul. Mata belekan, iler masih nempel di pipi, rambut berdiri kayak Einstein kesetrum. Suasana sekolah yang biasanya ramah, jam segitu berubah jadi set film horor. Gelap, dingin, dan berkabut.
Di tengah kekacauan anak-anak yang lari ke kamar mandi buat cuci muka dan (maaf) buang hajat, ada satu temanku yang bernama Sakti. Sesuai namanya, dia harusnya kuat. Tapi pagi itu, Sakti lemah syahwat... eh, lemah tekad. Dia bangun paling telat. Jam 04.15 dia baru melek.
Sakti lari ke toilet sekolah yang letaknya di pojok belakang, dekat pohon beringin angker. Sampai sana, toilet sepi. Kosong melompong. Bukannya senang, Sakti malah merinding. Dia ingat cerita hantu "Suster Ngesot Penunggu Gayung". Mulesnya ada, tapi takutnya lebih besar.
"Ah, tahan aja lah. Nanti juga ilang," pikir Sakti naif. Sebuah keputusan fatal yang akan dia sesali seumur hidup. Dia lari ke lapangan, baris bersama kami. Regu Kancil lengkap 12 orang. Siap gerak.
Agenda pagi itu adalah Pelantikan Penggalang. Kami harus berjalan kaki (Long March) sejauh 5 kilometer menuju sebuah lapangan di desa sebelah. Jalanan masih gelap gulita. Kabut tebal turun. Udara dingin menusuk tulang rusuk.
Regu Kancil dapat giliran jalan paling belakang. Awalnya kami nyanyi-nyanyi lagu pramuka. "Di sini senang... di sana senang..." Tapi baru 1 kilometer berjalan, lagu Sakti berubah liriknya. "Di sini mules... di sana mules... di mana-mana perutku mules..."
Wajah Sakti pucat pasi. Lebih putih dari kertas HVS. Keringat dingin sebesar biji jagung bercucuran di pelipisnya. Tangannya memegang erat sabuk pramukanya, seolah kalau dia lepas sabuk itu, isi perutnya bakal meledak keluar.
"Bro... gue nggak kuat..." desis Sakti. Jalannya mulai aneh. Kakinya rapat, langkahnya kecil-kecil kayak geisha Jepang. "Tahan, bro! Dikit lagi!" hiburku (padahal masih 4 km lagi).
Di tengah situasi kritis itu, salah satu anggota regu kami, si Budi (yang otaknya agak geser dikit), tiba-tiba teringat sesuatu. "Eh! Ada yang pernah denger, katanya kalau kebelet boker, harus nyari batu!”
"Ada mitosnya! Batu bisa nahan boker! Sakti butuh batu!"
Kami semua panik tapi penuh harapan. "Oke! Cari batu! Cepat!" Kami, 11 orang, langsung menyisir pinggir jalan yang gelap itu layaknya tim forensik yang mencari barang bukti.
Setelah dapat batu, masalah baru muncul. "Terus ini batunya diapain?" tanya Sakti sambil meringis menahan 'gunung berapi' yang mau erupsi. Kami semua saling pandang. Kami lupa mitos aslinya apa. Harusnya batunya cuma DIKANTONGIN.
Tapi dasar anak SMP logika pas-pasan, terjadilah diskusi ilmiah yang sesat. "Dikantongin kali?" usulku ragu.
"Ah, nggak masuk akal!" potong Budi.
"Lu sakit kepala, obatnya dimakan kan? Masuk ke tubuh? Nah, kalau sakit pantat, berarti obatnya harus masuk ke pantat dong!"
Logika Budi terdengar sangat meyakinkan di telinga kami yang panik.
"Bener juga! Kalau cuma dikantongin mana ada efeknya? Berarti harus... DISUMPELIN?" tanya Wahyu horor.
"Iya! Disumpelin ke lubang pantat! Biar nahan ampasnya nggak keluar! Kayak dop ban sepeda!" tegas Budi.
Sakti yang sudah putus asa cuma pasrah. "Yaudah... buruan... cariin batu yang pas..."
Inilah momen paling absurd. Kami, 11 anak laki-laki, berhenti di pinggir jalan, jongkok melingkar, melakukan Seleksi Kelayakan Batu untuk disumpalkan ke pantat teman kami. Kami menyalakan senter HP (yang HP-nya masih Nokia senter).
Kandidat 1: Pecahan Batu Bata Merah Budi menyodorkan pecahan bata. "Nih Sak! Kasar nih, pasti kesat, nggak licin!" Sakti memegang bata itu. Permukaannya kasar, tajam, dan berdebu. "Gila lu Bud! Ini mau nambal pantat apa mau bangun ruko?! Lecet dong gila!" tolak Sakti. "Iya juga sih, nanti tetanus."
Kandidat 2: Semen Beku Bekas Cor-coran Wahyu menemukan gumpalan semen kering. Bentuknya abstrak, agak runcing-runcing kayak durian mini. "Nih Sak! Keras nih! Kokoh!" Aku menepis tangan Wahyu. "Heh! Itu tajem banget! Kalau dimasukin, nanti pas keluar malah bikin iritasi! Lu mau Sakti kena wasir stadium 4?!" Diskualifikasi.
Kandidat 3: Pecahan Genteng Ada pecahan genteng di selokan. Bentuknya pipih melengkung. "Nih, aerodinamis," kata Jaka. "Kegedean woy! Itu selebar telapak tangan! Anus gue bisa sobek?!" Sakti makin emosi. Mulesnya makin menjadi-jadi karena marah.
Kandidat 4: Kerikil Akhirnya, aku menemukan sebuah batu kerikil. Ukurannya pas. Sebesar jempol kaki orang dewasa. Bentuknya bulat telur, lonjong sedikit. Permukaannya halus, licin, smooth. "Nah! Ini dia!" seruku. "Halus, nggak tajem, ukurannya pas buat nyumpel!"
Sakti melihat batu itu dengan tatapan nanar. "Yakin ini muat?" "Muat Sak! Pas banget ini! Ini plug alami!" dukung Budi.
Kami membuat formasi lingkaran "Pagar Betis" untuk menutupi Sakti dari pandangan regu lain (walau kami udah paling belakang). Sakti membuka celana sedikit di tengah kegelapan. Dengan tangan gemetar, dia mengambil batu kerikil pilihan kami itu. Dia mencoba memasukkannya.
Hening sejenak.
"AAAAKKKHHH!!" Sakti menjerit tertahan. "Kenapa Sak? Masuk?"
"SAKIT GOBLOK!" desis Sakti sambil matanya melotot. "Ini keras banget! Ganjel!" "Tahan Sak! Itu proses penyumbatan! Dorong lagi!" semangati kami.
Sakti mendorong batu itu. Masuk. Sekarang batu itu bersarang di... pintu gerbang pertahanannya. Harapannya: Batu itu akan menjadi bendungan yang kuat menahan lahar panas. Realitanya: Batu itu malah menekan saraf-saraf sensitif di area sana.
Sakti berdiri tegak kembali. Wajahnya makin aneh. Tadinya cuma mules. Sekarang mules + sakit + ganjel. "Gimana rasanya?" tanyaku. "Rasanya... Rasanya kayak ada alien mau keluar tapi ditahan satpam galak..." jawab Sakti sambil jalan ngangkang lebar banget. Kakinya ngebuka huruf O.
"Jalan Sak! Keburu shubuh!" Kami lanjut jalan. Tapi baru 10 meter, Sakti berhenti lagi. "Nggak bisa... Nggak bisa... Batunya malah bikin gue pengen ngeden..." Ternyata, keberadaan benda asing di sana justru memicu refleks tubuh untuk MENGELUARKANNYA. Bukannya nahan, batu itu malah jadi pemicu tombol Eject.
Kami berjalan sangat lambat. Lebih lambat dari siput stroke. Jarak kami dengan regu depan sudah tertinggal jauh. Tiba-tiba, dari kejauhan terlihat cahaya senter mendekat. Itu Pak Bambang, guru olahraga yang jadi pengawas. Beliau lari-lari kecil menghampiri kami.
"HEH! REGU KANCIL! KENAPA LELET BANGET?!" teriak Pak Bambang. "Teman-teman lain sudah sampai pos bayangan! Kalian malah piknik di sini!"
Kami panik. Sakti sudah tidak bisa bicara. Keringatnya sudah membasahi seragam pramukanya sampai lepek. "Lapor Pak! Sakti sakit perut! Darurat Pak!" teriakku.
Pak Bambang menyolorkan senter ke wajah Sakti. Beliau kaget lihat muka Sakti yang sudah hijau. "Waduh! Ini mah udah di ujung tanduk!" Pak Bambang melihat sekitar. Kiri jalan sawah, kanan jalan tebing. Tapi Pak Bambang, dengan mata elangnya, melihat harapan.
"ITU! DI DEPAN SANA ADA KALI (SUNGAI)! SAKTI! KAMU LARI KE SANA! CEPAT!" perintah Pak Bambang penuh semangat. "Ayo saya temani! Lari Sakti! LARI DEMI HARGA DIRI!"
Mendengar perintah guru, reflek patuh Sakti menyala. Meski ada batu di pantatnya, meski perutnya bergejolak, dia mencoba lari. Dia mengambil ancang-ancang. Satu langkah... Dua langkah... Tiga langk...
BROT... PRET... BYARRRRRR......
Hukum fisika tidak bisa dilawan. Guncangan saat lari menyebabkan tekanan perut meningkat drastis. Pertahanan jebol. Batu kerikil yang tadi kami pilih dengan susah payah, sepertinya terlontar keluar dari lubang pantatnya, diikuti oleh lahar panas cair yang tak terbendung.
Suara itu terdengar jelas di keheningan pagi. Basah. Becek. Dan panjang. Sakti membeku di tempat. Posisinya seperti patung Liberty tapi versi nungging dikit. Pak Bambang berhenti lari. Kami semua berhenti napas.
Perlahan, cairan merembes keluar dari celana pendek cokelat pramuka Sakti. Mengalir ke betis... Masuk ke kaos kaki... Dan akhirnya membanjiri sepatu hitamnya.
"Yaaahhh... telat..." gumam Pak Bambang, menurunkan senternya.
Sakti menunduk. Dia menangis tanpa suara. Tainya sudah nyampe sepatu. Harfiah. Batu kerikil tadi mungkin sudah menggelinding entah ke mana, gagal menjalankan tugas sucinya.
Suasana berubah dari panik menjadi ngenes. Pak Bambang yang tadinya galak, jadi iba. "Yaudah... ayo ke kali. Cuci di sana. Kalian, teman-temannya, bantuin!"
Kami memapah Sakti (yang jalannya sekarang belepotan dan baunya... Masya Allah) menuju sungai kecil di bawah jembatan. Sakti turun ke sungai. Di sana, dia melakukan ritual pembersihan dosa. Sepatu dilepas. Kaos kaki dilepas (langsung dibuang karena sudah jadi senjata biologis). Celana panjang dicuci sebisanya.
Dan puncaknya: Celana Dalam. Sakti melepas celana dalamnya di balik semak-semak sungai. "Ini nggak bisa diselamatin, Bro," kata Sakti sedih. Dengan berat hati, dia menghanyutkan celana dalam (sempak) keramat itu ke aliran sungai. Kami melihat sempak itu hanyut terbawa arus, berputar-putar menjauh, membawa serta kenangan buruk (dan batu mitos) pagi itu. "Selamat jalan, Sempak. Jasamu abadi," batinku.
Sakti akhirnya melanjutkan acara pelantikan dengan kondisi:
Pelantikan selesai. Matahari terbit. Kami berjalan pulang kembali ke sekolah. Awalnya kami diam karena kasihan. Tapi manusia punya batas empati. Mengingat kembali kejadian tadi: Mulai dari debat milih batu (bata vs genteng), lalu Budi yang ngotot batu harus disumpel, sampai momen Sakti meledak pas disuruh lari sama Pak Bambang.
Satu orang terkikik. "Hihihi..." Lalu menular. "Hahaha..." Akhirnya kami ber-12 meledak tertawa terbahak-bahak di tengah jalan. "Gila lu Sak! Tai lu sampe sepatu woy!" "Lagian lu ngide banget masukin batu! Emang pantat lu celengan?!" "Itu batu kerikilnya pasti kaget, baru diambil dari sungai tau-tau masuk goa!"
Sakti yang tadinya sedih, akhirnya ikut ketawa. Ketawa pasrah. Ketawa orang gila. "Sialan kalian! Idenya Budi tuh sesat!" "Tapi lega kan Sak?" "Lega sih... anget-anget gimana gitu pas keluar."
Sejak hari itu Sakti dijuluki ‘Raja Kopet’, entah nasib celana dalam yang dibuangnya sudah sampai mana, semoga sehat-sehat selalu bersama oleh-oleh yang dibawanya.