Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kita semua manusia butuh energi. Salah satu energi yang membuat manusia bisa bekerja dan menjalankan aktivitasnya adalah dengan makan-makanan yang bergizi dan bernutrisi. Itu juga yang selalu dilakukan Diana. Diana butuh makan untuk bisa melakukan segala hal. Kalau dia tidak makan, maka kinerja otaknya akan berjalan dengan lambat, seperti siput yang sedang berjalan.
Pagi itu, Diana menatap piring kosong di hadapannya. Jejak kuning kunyit membekas di tepi piring, sementara aroma nasi kuning bercampur dengan sisa teh manis yang hampir dingin memenuhi udara. Dengan ujung jari, dia menyapu butiran nasi terakhir dan meletakkannya di mulut. “Sarapan yang pas,” gumamnya sambil menepuk ringan perutnya, lalu mengalihkan pandangan ke layar laptop di meja kerja.
File novel terbuka, memamerkan coretan komentar merah seperti luka di tengah medan perang kreativitas, hasil dari revisi dirinya sendiri. Diana menarik napas panjang, matanya menyisir halaman demi halaman penuh revisi. Jarinya mulai menari di atas keyboard, mencoba mengejar logika yang terselip di antara paragraf. Bab satu hingga bab dua puluh berkelebat di pikirannya, seperti potongan film tanpa akhir. Dia berhenti sejenak, alisnya bertaut, menatap satu kalimat yang membuat kerut di dahinya semakin dalam.
“Kenapa aku tulis ini?” bisiknya, suaranya nyaris hilang ditelan derit kursi saat dia bersandar, tangannya mengusap pelipis.
Setelah berjam-jam, Diana akhirnya mengunggah dua puluh bab naskah ke aplikasi cerita untuk diikutkan lomba di aplikasi tersebut. Dengan satu klik, tombol ‘pengajuan kontrak cerita’ terpampang seperti gerbang yang menunggu untuk dibuka. Dia menatap layar sejenak, seolah ingin memastikan segalanya telah sempurna, lalu memutuskan untuk menunggu editor aplikasi itu menghubunginya.
Keesokan Paginya
Layar laptop menyala. Sebuah notifikasi WhatsApp muncul di sudut, membuat perutnya seperti diaduk. Pesan itu berasal dari editor aplikasi. Jantung Diana berdegup lebih kencang, tangannya bergetar saat dia menyeret kursor ke notifikasi. Tarikan napas panjang mendahului satu klik yang akan membuka jawaban atas semua kerja kerasnya.
“Halo Kak, kontrak karya Kakak sedang dalam proses ya. Kami butuh data diri Kakak untuk melanjutkan proses kontrak ini. Apakah Kakak bersedia mengisi form data diri?”
Senyum Diana mengembang tipis, tetapi tatapannya kembali tertuju pada novel yang belum selesai. "Boleh, Kak," jawabnya singkat sambil mengetik balasan dengan telunjuk yang sedikit gemetar.
Tak lama, sebuah file PDF masuk ke ponselnya, lengkap dengan panduan gambar. Dia langsung mengisinya meski kepalanya berat dan pandangannya kabur akibat seharian mengedit. Saat selesai, dia mengirimkan kembali formulir itu dengan satu pertanyaan sederhana, “Cukup, kah?”
“Author ID-nya salah ya, Kak, itu ID pengguna,” balas editor.
Diana merengut, lalu membuka kembali aplikasinya, memastikan apa yang salah. Dia mengirimkan tangkapan layar ID miliknya. “Namanya ini,” tulisnya.
“Kakak bisa lihat Author ID Kakak di bagian 'pusat penulisan',” balas editor dengan cepat. “Silakan perbaiki terlebih dahulu ya, Kak.”
Kursi Diana berdecit ketika ia bersandar, matanya menatap nanar layar laptop. Jemarinya memijat pelipis yang berdenyut. “Perasaan ini udah bener, kok,” gumamnya pelan, sebelum mengirim tangkapan layar ke editor.
Karena dia tidak mengerti di mana letak kesalahannya, dia mengirim sebuah gambar yang dia ambil dari layar ponselnya. “Yang di sini, Kak, Author ID-nya?” tanya Diana.
“Iya, Kak,” jawabnya dalam pesan teks tersebut. “Selanjutnya ikuti langkah yang ada di gambar ya, Kak,” katanya dengan sabar memanduku untuk mengisi form dengan benar.
Diana pun secara refleks mengangguk saat membaca pesan teks tersebut, lalu Diana isi dengan arahannya. Author ID Diana ganti dengan nama penanya, tetapi saat Diana memberikan data dirinya kembali, editor tersebut mengatakan bahwa Diana salah mengisi lagi. Diana pun merasa pusing dengan instruksinya.
“Bukan Kak, bukan diisi dengan nama pena ya, Kak.” Diana mendesah, menggaruk kepala yang tak gatal. “Seperti ini ya, kak,” ucapnya dengan reply gambar cara yang tadi dia kirim.
Matanya memelototi gambar instruksi itu lebih saksama. Barulah Diana menyadari kesalahannya. Meski merasa malu karena dia salah, Diana dengan cepat menyalin Author ID dari aplikasi dan mengirim ulang data.
“Sudah benar, Kak?” tanya Diana sambil menatap layar ponselnya.
“Sudah, Kak. Baik, selanjutnya kami butuh foto KTP kakak ya,” balas editor dalam pesan singkatnya.
Diana mengernyit, jarinya berhenti mengetuk meja. Foto KTP? Maksudnya file foto atau… Dia menggaruk-garuk kepala, menoleh ke kakaknya yang sibuk menonton drama di laptop. “Kak, ini maksudnya foto KTP yang gimana, ya?” tanyanya sambil mengangkat ponsel, tapi tidak ada respons.
“Hmm, oke, mungkin kayak gini,” gumamnya akhirnya. Diana mengeluarkan KTP dari dompet, menyiapkan kameranya, lalu memotret bagian wajah di KTP itu saja. Dia mengirim foto tersebut sambil mengetik cepat, “Gini, Kak?”
Pesan balasan datang hampir seketika. “Bukan, Kak. Foto KTP secara langsung ya, Kak.”
Diana terdiam, keningnya berkerut. Foto KTP langsung? Tapi kan waktu bikin KTP enggak dikasih file fotonya? Dia kembali mengetik, “Maaf, Kak, waktu aku bikin KTP enggak dikasih soft file-nya.” Pesan itu meluncur sebelum dia sempat berpikir ulang. Tunggu, maksudnya bukan itu, ya?
Wajahnya memerah. Dia buru-buru menghapus pesan tadi sebelum terbaca, tetapi sudah terlambat. Sebuah tawa kecil pecah dari mulutnya. “Aduh, Diana, lemot banget sih,” gumamnya sambil menutup wajah dengan tangan.
Diana menarik napas panjang, lalu mengambil foto ulang. Kali ini, dia memastikan seluruh KTP terlihat utuh, dengan jarinya ikut masuk di sudut bawah. “Gini, Kak?” tulisnya sambil menyisipkan emotikon tertawa. Jarinya sedikit gemetar saat mengetik pesan berikutnya. “Maaf ya, Kak, hari ini lagi ngebug parah.”
Waktu terasa melambat saat dia menunggu balasan. Ponselnya berkedip sejam kemudian.
“Iya, Kak, tidak apa-apa,” tulis editor, diikuti emoji senyum. “Tapi kalau bisa, jangan ada tangannya ya, Kak. Taruh di meja saja, lalu langsung foto.”
Diana menatap layar lekat-lekat, ekspresinya membeku. Beberapa detik berlalu sebelum suara tawa pecah di kamar sempitnya. “Astaga, Diana, parah banget!” gumamnya, menepuk jidat sendiri sambil menyandarkan tubuh ke kursi. Dengan cepat, dia mengambil KTP, meletakkannya di atas meja, dan memotret ulang. Kali ini tanpa kesalahan.
“Ini ya, Kak,” balasnya, kali ini disertai stiker kelinci tersenyum.
Setelah menekan tombol kirim, Diana menyandarkan kepala di meja. Suara perutnya yang keroncongan mengingatkannya pada penyebab kelemotan itu. Dia lupa makan siang dan belum minum seharian. Tubuhnya terasa berat setelah seharian memelototi naskah. Pandangannya kabur saat dia mencoba mengingat kapan terakhir kali dia makan sesuatu.
Ponsel di tangannya bergetar. “Sudah benar, Kak. Terima kasih,” balas editor. Diana menarik napas panjang, lalu meletakkan ponsel ke samping. Sebuah senyuman tipis tersungging di wajahnya, lalu tertawa terbahak-bahak mengingat kembali kebodohannya.
Malam Harinya
Setelah semua drama siang tadi, Diana merasa dirinya butuh hadiah kecil. Dia meraih ponselnya, memesan makanan kesukaannya lewat aplikasi. "Hari ini butuh self-reward," katanya sambil tersenyum sendiri.
Ketika makanan tiba, Diana menyambutnya dengan penuh semangat. Aroma ayam bakar yang lezat dan nasi hangat menggoda perutnya yang sudah keroncongan. Tanpa berpikir panjang, dia mengambil suapan pertama dan menutup mata, merasakan ledakan rasa di lidahnya. "Ini dia energi yang aku butuhkan," ucapnya dengan mulut penuh.
Sambil menikmati makanannya, Diana memikirkan kembali perjalanan menulisnya yang penuh dengan perjuangan. Dari bangun pagi, begadang hingga larut malam, revisi yang tiada henti, dan sekarang harus menghadapi drama administrasi dengan editor. Namun, ia tahu bahwa semuanya tidak akan sia-sia. Menulis adalah bagian dari dirinya, sesuatu yang membuatnya merasa hidup.
Pikiran Diana mulai berkelana, membayangkan bagaimana ceritanya nanti bisa diterbitkan dan dinikmati banyak orang. Bagaimana komentarnya akan dipenuhi apresiasi dari pembaca yang merasa terhubung dengan karakter-karakter yang ia ciptakan. Tentu saja, hal itu membutuhkan usaha yang besar, tapi Diana yakin itu akan terbayar.
Di sela-sela menikmati makanannya, Diana memeriksa ponselnya lagi. Dia membuka aplikasi dan membaca kembali naskah yang telah diunggah. Kali ini dia membaca sebagai seorang pembaca, bukan penulis yang penuh kritik. Dia tersenyum sendiri melihat perkembangan karakternya, drama yang ia tulis terasa begitu hidup.
"Aku bisa melakukannya," gumamnya. "Aku bisa menjadi penulis yang baik, meskipun masih sering lemot."
Selesai makan, Diana membersihkan meja dan merapikan piring-piring. Setelah itu, ia kembali ke mejanya, menatap layar laptop yang masih menyala. Ia memutuskan untuk kembali bekerja, tetapi kali ini dengan semangat baru.
Jari-jarinya menari di atas keyboard, kali ini lebih lincah dan percaya diri. Ia mulai menulis bab baru untuk novelnya. Dalam pikirannya, ia sudah tidak peduli lagi dengan segala kesalahan-kesalahan kecil yang tadi terjadi. Baginya, perjalanan menulis adalah tentang belajar dan berkembang, dan ia siap untuk setiap tantangan yang datang.
Di dalam cerita yang ia tulis, Diana menciptakan karakter baru, seseorang yang penuh semangat, cerdas, tapi juga sedikit ceroboh — mungkin terinspirasi dari dirinya sendiri. Ia tertawa kecil, membayangkan karakter ini menghadapi situasi-situasi konyol yang serupa dengan apa yang ia alami hari ini.
Waktu berlalu tanpa terasa. Sebuah suara notifikasi tiba-tiba membuatnya kembali ke dunia nyata. Diana menoleh, melihat layar ponselnya. Ada pesan dari editor aplikasi.
"Kak Diana, terima kasih atas semua datanya. Kontrak karya Kakak sudah kami terima dan kami akan segera memprosesnya. Kami sangat menantikan karya Kakak!"
Senyum Diana mengembang lebar. Dengan hati yang berbunga-bunga, ia mengetik balasan singkat, "Terima kasih banyak, Kak. Saya juga sangat menantikan hasilnya."
Malam itu, Diana merasa lega dan bahagia. Segala kerja kerasnya selama ini, segala drama dan kesulitan, semuanya mulai menunjukkan hasil. Ia tahu masih ada banyak hal yang harus ia pelajari dan banyak tantangan yang menunggu, tetapi untuk malam ini, ia hanya ingin merayakan kemenangan kecilnya.
Diana menutup laptopnya, berdiri dan meregangkan tubuhnya yang pegal. Ia melihat ke jendela, menatap bulan yang menggantung di langit malam. "Aku bisa melakukannya," bisiknya. Dan kali ini, ia benar-benar percaya pada kata-katanya sendiri.