Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Suara dari Sungai
Siska melangkah pelan menyusuri koridor panjang Panti Jiwa Harapan, cahaya lampu neon yang berkedip-kedip menambah kesan suram pada malam yang sudah pekat. Aroma antiseptik dan kelembapan yang dingin menusuk indra penciumannya, sebuah bau yang sudah terlalu akrab baginya sebagai perawat di shift malam. Jam dinding di ruang perawat menunjukkan pukul 02:15 WITA, dan kesunyian panti terasa semakin menusuk, diselingi bisikan-bisikan samar dari kamar-kamar pasien yang terkunci. Selama beberapa minggu terakhir, ada kegelisahan yang menggerogoti pikiran Siska, lebih dari sekadar kelelahan rutin. Ini adalah perasaan tidak nyaman yang tumbuh dari keanehan-keanehan kecil yang ia saksikan.
Tujuh pasien. Mereka menghilang. Bukan transfer yang diberitahukan secara resmi, bukan kepulangan yang bisa ia catat dalam laporan harian. Mereka hanya lenyap satu per satu, tanpa jejak. Ketika Siska bertanya pada staf lain, ia hanya menerima jawaban samar atau tatapan menghindar. Pasien-pasien lain, yang pikirannya sudah rapuh, terkadang akan berbisik kepadanya, "Mereka pergi selamanya," atau "Sungai memanggil mereka." Gumaman itu mengendap di benak Siska, menghadirkan firasat buruk. Ia ingat Nenek Ida, seorang wanita tua yang selalu menatap kosong ke luar jendela, suatu kali menunjuk ke arah sungai di belakang panti dan bergumam, "Arusnya deras sekali, Neng, bisa menyeret apa saja."
Puncaknya terjadi malam ini. Siska baru saja menyelesaikan putaran pemeriksaan rutinnya ketika ia melihat pergerakan aneh di halaman belakang, melalui jendela kantornya yang berembun. Samar-samar, di balik pepohonan pinus yang menjulang, ada cahaya senter yang bergeser-geser. Jantung Siska berpacu. Itu dr. Bram, psikiater kepala, sosok yang biasanya tenang dan profesional, kini tampak tergesa-gesa. Bersamanya, dua staf pria yang jarang terlihat di shift malam, terlihat mendorong sebuah troli medis besar yang tertutup rapat oleh kain tebal. Gerakan mereka tampak rahasia dan terburu-buru.
Tidak peduli pada rasa takut yang merayap, Siska memutuskan untuk mengintai. Ia mengenakan jaket tebalnya dan menyelinap keluar melalui pintu samping yang jarang digunakan. Mengendap-endap di balik semak-semak lebat dan pohon-pohon tua yang menjulang tinggi, ia mengikuti mereka dari kejauhan. Suara jangkrik bersahutan di hutan, namun suara roda troli yang berderit di atas kerikil jauh lebih memekakkan telinga Siska. Mereka menuju ke sisi timur panti, di mana sungai kecil yang berkelok-kelok mengalir deras, membelah hutan dan menghilang ke lembah di bawah. Udara di sana terasa dingin dan lembap, membawa aroma lumpur dan air yang amis.
Di tepi sungai, di bawah cahaya rembulan yang samar di balik awan tipis, Siska melihatnya dengan jelas. Kain penutup troli itu disingkap. Di atasnya, tergeletak sebuah kantong mayat berwarna hitam, bentuknya yang jelas dan mengerikan menyerupai tubuh manusia. Siska menahan napas, rasa mual membanjiri kerongkongannya. Dr. Bram berbicara dengan nada rendah kepada kedua stafnya, gesturnya tampak memberi perintah. Dengan sigap, kedua staf itu...